watch sexy videos at nza-vids!
Download aplikasi gratis untuk Android
INDOHIT.SEXTGEM.COM

Evilutions 3 : Mungkin Aku Harus Berterus Terang Padanya


Aku sadar kalau tinggal menunggu waktunya saja sebelum Kevin mengetahui kalau aku tak sepenuhnya setia padanya. Yang membuat semakin buruk adalah dia termasuk seorang pria yang belum pernah berkhianat pada isterinya, sejauh yang kutahu. Akan lebih mudah untuk berterus terang tentang kesalahanku jika dia juga melakukan hal yang sama. Sial! Aku berharap dia melakukannya. Jujur saja, aku mempunyai fantasi dia melakukannya dengan sahabatku Marsha. Tapi itu tak akan terjadi.

Dia tak begitu suka dengannya. Suamiku menganggap kalau Marsha membawa pengaruh buruk padaku. Tapi suamiku salah menilainya. Bukan Marsha yang mengajakku pergi ke club, itu adalah ideku. Sesungguhnya dia menasehatiku untuk tak melakukannya, meskipun hanya menasehati saja, tapi dia telah mencobanya. Dan Marsha tak menyuruhku untuk berdansa dengan pria asing. Aku suka berdansa, suka menari menggerakkan tubuhku mengikuti irama musik dan Kevin sama sekali tak menyukainya.

Aku dibesarkan untuk mempercayai bahwa wanita yang telah menikah hanya mendapatkan seks dari suaminya. Ibuku juga mengingatkanku kalau pria, bahkan yang sudah beristeri, akan langsung menyeret ke tempat tidur jika si wanita memberikannya kesempatan, namun dia tak mempersiapkanku jika aku mungkin terlibat dalam situasi tersebut. Sekarang, aku tak bilang kalau aku naik ke ranjang dengan pria manapun yang tersedia, tapi aku harus mengatakan bahwa ada banyak pria, yang disaat yang tepat, bisa membuatku cukup bergairah untuk… bertindak liar.

Akhir-akhir ini aku terus memikirkan untuk berterus terang pada Kevin kalau aku sudah berselingkuh dibelakangnya. Bukan karena merasa bersalah, tapi lebih karena jika dia mendengarnya dari orang lain, itu akan sangat membuatnya terpukul. Marsha pikir keputusanku ini salah, dia yakin kalau Kevin tetap akan merasakan hal yang sama meskipun dia tahu dariku ataupun dari orang lain.

“Dia tak akan mampu menerimanya. Aku tahu dia tipe pria seperti apa. Dia tak akan bisa menerimanya begitu saja. Apa dia pernah bermain gila dibelakangmu?”
“Tidak pernah.”
“Tepat seperti dugaanku.”
“Aku masih merasa kalau aku harus mengatakannya sebelum orang lain melakukannya.”
“Amanda, siman dulu hal ini. Mungkin ada yang bisa kulakukan.”

Aku tertawa. “Kalau kamu berpikir apa yang kupikir sedang kamu pikirkan, lupakan saja.”
“Apa yang kamu pikir sedang kupikirkan?”
“Lupakan, apa idemu?”
“Tidak, katakan padaku. Apa yang akan kamu katakan?”

Aku kembali tertawa. “Kadang, aku pikir tentang Kevin… dan kamu! Tapi itu tak mungkin berhasil.”
“Kamu benar. Dia bukan termasuk dalam kategoriku. Aku rasa kita berdua tahu itu. Tapi aku tak tahu kenapa. Aku belum pernah melakukan sesuatu padanya.”
“Dia hanya menilaimu nakal dan genit. Dia selalu menilaimu seperti itu. Itu bermula dari pertama kali dia bertemu denganmu.”
“Di pesta kolam?”
“Jadi, kamu ingat?”
“Tentu, aku sangat penasaran untuk bertemu dengan pria yang begitu membuatmu jatuh cinta. Aku sangat mengingatnya. Tapi aku lupa apa yang sudah kulakukan atau kukatakan yang membuatnya menilaiku seperti itu.”
“Kamu ingat apa yang kamu pakai?”
“Tidak, mungkin bikini. Kenapa?”
“Yah, dia mengingatnya. Kamu pakai string bikini warna hitam.”

Marsha tertawa. “Oh, Tu**nku! Kamu bercanda, dia ingat apa yang kupakai hari itu?”
“Kelihatannya, kesan itu sangat membekas dalam ingatannya. Kesan yang sangat negative.”
“Dia bilang seperti itu padamu?”
“Wanita manapun yang memakai pakaian seperti itu di acara keluarga tak menghargai dirinya sendiri, itu yang dia katakana. Dia juga bilang kalau dia sangat terkejut aku punya teman sepertimu.”

“Apa yang kamu katakan?”
“Kami bertengkar hebat.”
“Kamu tak pernah bilang tentang ini.”
“Apa poinnya? Dia keterlaluan, dan lagipula aku juga tak suka dengan beberapa temannya.Jadi tak ada alas an dia harus menyuakai semua temanku.”
“Bailkah, Amanda, aku akan jujur padamu. Bukan aku yang kupikirkan untuk dijadikan dengan Kevin.”
“Oh? Lalu siapa?”
“Aku bisa pikir beberapa kandidat.”
“Baiklah, itu tak masalah. Kevin tak akan menghianatiku.”
“Mau taruhan?”
“Hampir.”
“Aku akan butuh bantuanmu untuk mengaturnya. Kamu ikut?’
“Marsha, aku rasa ini bukan ide yang baik.”

“Ok. Kamu punya yang lebih baik? Katakan saja pada Kevin semuanya. Katakan bagaimana ramahnya kamu dengan Charles dan bagaimana kamu memilih seorang pria, sama sekali tak kamu kenal, membawanya pulang bersamamu, dan menyetubuhinya dengan gila. Di atas ranjangmu sendiri. Aku yakin itu akan jadi masalah yang sangat besar!”
“Ok. Baiklah. Kamu benar. Dia akan sangat marah.”
“Kamu benar sekali. Jadi, beri aku beberapa hari, Ok? Berjanjilah padaku kamu tak akan mengatakan apapun padanya, setidaknya selama satu minggu.”
“Baiklah, aku janji.”

***
Waktu menunjukkan pukul lima sore saat kudapat sebuah telephone.

“Kevin? Hai. Ini Charles. Masih ingat denganku?”
“Hai, Charles. Tentu, aku mengingat anda. Bagaimana kabarnya?”
“Baik! Sangat baik. Tapi dengar, untuk menyingkat cerita, bagaimana cara agar aku bisa menghubungi Amanda, wanita yang kau kirim untuk menemaniku beberapa bulan lalu? Aku ada pesta besar tiga minggu kedepan dan aku ingin mengundang dia.”
“Tapi anda tinggal di M**an bukan?”
“Ya memang. Kenapa? Tiket kapal terbang tak terlalu mahal, lagipula aku masih punya beberapa tiket yang belum kugunakan. Aku bisa mengiriminya sebuah tiket.”
“Baiklah, akan kulihat apa aku bisa menghubunginya. Tapi anda tahu kalau dia sudah menikah, dan …”
“Ya, ya. Aku tahu.”
“… sudah agak lama sejak aku…”
“Kevin, Aku tahu kalau aku bisa mengandalkanmu. Henry bilang padaku kalau kamu selalu bisa diandalakan.”
“Hey, aku tak menjanjikan apapun, Charles. Tapi akan kulihat apa yang bisa kulakukan.”
“Tepat. Itu yang ingin kudengar. Jika aku bisa mendapat Amanda dipestaku nanti, itu akan sangat, sangat membuatku senang.”

Sangat membuatmu senang, hah? Itu tak akan membuatmu senang Charles tua. Tak mungkin aku akan membuat kesalahan yang sama kembali. Amanda tak akan mendengar tentang ini. Tak ada alas an untuk menceritakan padanya kalau… Charles menginginkannya terbang ke M**an… untuk apa? Untuk menidurinya? Tidak, terimakasih.

Kucoba menyingkirakan Charle dari otakku, tapi dia tak mau pergi begitu saja. Beberapa hari kemudian, dikantor, telephoneku berdering. Dari Diana, salah satu asisten Henry.

“Kevin, Henry mencarimu. Haruskah kubilang padanya kalau kamu sudah kembali ke kantor?”
“Tak usah, aku akan menemuinya.”

Aku mulai sadar, saat berjalan dikoridor, aku belum menghubungi Charles kembali. Dia pasti bilang sesuatu pada Henry. Sial.

Henry bangkit dari balik mejanya dan merangkulku.
“Kevin, aku ditelephone Cahrles. Dia akan menggandakan ordernya untuk tahun depan. Dan kamu tahu, kalau tidak karena bantuanmu pada perusahaan, aku rasa itu tak akan terjadi. Aku sangat berhutang budi padamu, bung.”
“Apa maksudmu?”
“Begini, Charles sangat menginginkan wanita yang kamu kirim untuk menemaninya beberapa waktu lalu. Dan sekarang dia ingin agar dia terbang ke M**an untuk sebuah pesta, semacam perayaan perusahaannya.”
“Dia bilang begitu padamu?”
“Ya. Sejujurnya dia sudah mengirmiku tiket agar kamu berikan pada dia.”

Aku hanya berdiri disana, mencoba untuk menyerap intisari dari semua ini. Tenggorokanku terasa kering.

“Kenapa dia tidak mengirimkannya langsung saja padanya?” tanya Henr.
“Kurasa dia tak memberinya alamatnya.”
“Atau nomer telephonnya,” tambah Henry, menatapku seakan mencari sebuah jawaban dari semua keanehan ini.
“Jangan melihatku. Aku tak begitu mengenal Aman…” Kuhentikan diriku sebelum kusebutkan nama isteriku. Tak ada gunanya memberi Henry informasi yang pasti sudah dia tahu.
“Ya, itu dia. Amanda! Charles bilang padaku namanya, tapi aku lupa. Aku mestinya mengingatnya. Nama isterimu Amanda juga, kan?”

Kuberi dia selamat atas ingatannya. Henry belum pernah bertemu dengan Amanda, tapi aku yakin kalau namanya sudah sering dia dengar. Aku hendak minta diri, tapi Henry, tangannya masih merangkulku, meremas bahuku sebentar dan mengatakan padaku jika aku kesuliatan menghubungi Amanda, aku harus memberitahunya.

“Hal terakhir yang akan kita lakukan adalah mengecewakan si Cherles tua. Aku tak perlu mengingatkanmu, ordernya untuk tahun depan nilainya hampir satu setengah miliar. Bersih.”
“Sebanyak itu?”
“Benar. Dan itu tak termasuk hitungan keuntungan lain yang kita dapat dari menjadi supplier utama Charles ditahun depan. Hei, si Amanda ini tak akan mengecewakan dia kan?”
“Aku, mm, kurasa tidak,” jawabku.

Sisa hari itu terasa berkabut bagiku dan aku pulang kerumah dengan wajah kusut.

“Ada masalah, sayang?” Amanda abertanya saat dinner.
“Urusan bisnis. Hanya semua omong kosong saat dikantor,” jawabku, tak tahu mesti bagaimana menyikapi perkataan Henry tadi.
“Kamu bisa mengambil cuti, manis. Kita bisa berlibur bersama. Bagaimana menurutmu? Bukankah kedengarannya bagus?”
“Ya. Boleh juga,” jawabku.
“Kita harus pergi kesuatu tempat dimana kita bisa habiskan waktu hanya berdua saja,” sambung Amanda, suaranya terdengar hangat dan mesra.

Malam itu kami pergi tidur lebih awal dari biasanya. Amanda membantuku membersihkan sesaknya kepalaku dengan memberi tubuhku pijatan.

“Tak usah pakai boxers. Aku tak mau ada yang menghalangi pijatanku,” perintahnya, menggoda.

Amanda membuatku sangat rileks, mengelus leherku, punggungku, begitupun kaki dan pahaku, dan dalam sepuluh menit berikutnya aku hampir tertidur. Lalu kudengar dia mengucapkan sesuatu. Dia memintaku untuk berbalik, terlentang. Kulirikkan pandangan. Dia sudah lepas pakaian tidurnya dan kini berdiri dalam keadaan mengenakan busana kala terlahir, telanjang bulat, menggosokkan minyak pijat segar ditelapak tangannya. Hanya ada sedikit penerangan didalam kamar, namun aku tak butuh cahaya lebih untuk dapat melihat pancaran nakal dikedua mata indahnya.

“Jangan tidur dulu, sayang. Pijatanmu belumlah selesai,” ucapnya, mengirimkan telapak tangannya ke dada dan perutku.

Belum pernah kukunjungi panti-panti pijat seperti banyak diceritakan temanku, tapi mereka menceritakan kalau para gadis pemijat disana tak akan membiarkan satupun bagian tubuhmu tak tersentuh. Pijatan semacam itulah yang kudapat dari Amanda malam itu. Tangannya yang berlumur minyak menari menelusuri sisi tubuhku, naik turun di pahaku, naik ke dada, tanpa sedikitpun menyentuh bagian pribadiku, pada awalnya. Entah bagaimana, dengan cepat, tangan kecilnya yang hangat sudah berada di batang penis dan buah zakarku, meluncur naik turun, memanjakanku.

“Iya kan, senang tak tidur dulu demi bagian yang ini?”
“Sayang, tak mungkin aku bisa tidur karena ini!”

Amanda tertawa manja pelan, mengamati pekerjaan tangannya. Aku sudah berdiri tegak dan keras untuknya, dan telah siap untuk segalanya, yang ada dalam benaknya, yang mana, seiring merambatnya waktu, adalah menunggangi batang penisku. Setelah melumuriku seluruhnya, dia memposisikan tubuhnya diatasku dan perlahan menurunkan pantatnya ketubuhku. Hebat! Betapa pelumuran yang manis. Diantara minyak yang dia lumurkan dibatang penisku dan cairan naturalnya sendiri, segera saja aku tenggelam seluruhnya didalam tubuhnya. Dan kemudian dia mulai bergerak. Pemandangan tubuhnya yang bergerak naik turun diatasku, sangat, seperti yang sering mereka bilang dalam iklan komersil, tak terkira!

Kamu tahu, semenjak kencannya dengan Charles, dia berubah begitu liar dan sangat hot diatas ranjang. Aku berani bersumpah demi apapun, ini seperti kamu melihat film porno saja.

***
Kutelephone Marsha setiap hari dalam minggu itu. Tak ada kabar. Tak ada kabar baik. Dia telah menghubungi beberapa temannya yang dia pikir akan mungkin menikmati berkencan dengan pria beristeri yang menarik tanpa ada ikatan, tapi belum ada yang tertarik. Tapi Amanda masih belum menyerah.

“Aku masih belum menemukan pilihan yang paling tepat, Amanda. Percaya saja padaku, ini akan berhasil.”

Aku juga menginginkannya berhasil, meskipun jika kamu bertanya padaku kenapa, kamu akan mendapatkan campuran jawaban. Tentu, ini akan membuatku lebih mudah untuk mengaku, karena Kevin juga melakukan hal yang sama padaku. Disisi yang lain, jika Kevin bersetubuh dengan wanita lain, aku akan menganggap itu sebagai lampu hijau untuk melanjutkan kesenangan dan permainanku sendiri..

Kubayangkan tentang kencan terlarangku dengan Charles. Aku sangat senang dengan dua kencanku bersamanya. Aku tak akan merasa keberatan untuk menemaninya berkeliling kota jika dia datang ke kota ini lagi. Dan kemudian, kencan semalamku dengan Opick, hmmm… itu malam yang sangat gila!

Sebagaimana besarnya rasa cinta dan sayangku pada suamiku, Kevin, kurasa aku rela untuk membagi dirinya dengan wanita lain. Kurasa kalau aku rela membaginya tentu sebaliknya juga dia akan rela membagi diriku dengan pria lain. Itu masuk akal, bukan? Tapi jika berpikir realistis, aku masih merasa ragu dengan hasil akhir dari rencana Marsha. Kevin tak akan memakan umpannya dan aku tetap harus mengatakan padanya kenyataan jujur yang menyakitkan.

***

Hari Jum’at dalam minggu tersebut, aku mendapat sebuah kunjungan yang sangat menarik. Resepsionis dilantai bawah menghubungiku. “Kevin, ada seorang wanita disini yang ingin bertemu denganmu. Apa kamu sedang menunggu seseorang?”

Aku tidak sedang menunggu seseorang, tapi aku tidak sedang mengerjakan sesuatu yang akan terganggu untuk waktu sekitar lima menitan, jadi aku putuskan untuk menemui wanita tersebut dan melihat apa yang dia mau.

“Hai. Nama saya Dewi. Saya dengar anda sedang mempertimbangkan untuk mengembangkan unit anda dan mungkin anda membutuhkan tenaga tambahan.”

Berdiri dihadapanku, seorang wanita yang sangat muda kuperkirakan umurnya tak lebih dari 21 tahun. Dia terlihat seperti seorang model, memakai sepatu bertumit tinggi dan sebuah setelan pakaian bisnis. Rok yang pendek dan blazer yang tak dikancingkan, memperlihatkan blous satin dengan belahan rendahnya yang lebih rendah dari busana kantor pada umumnya.

“Maaf, anda dengar dari mana kalau saya sedang mencari tenaga tambahan?” Kucoba untuk tetap fokus pada matanya, tapi pahanya yang jenjang dan belahan rendahnya di balik blazer tersebut membuatnya jadi sulit.
“Boleh saya duduk?”

Aku minta maaf karena tidak mempersilahkannya duduk dan memepersilahkannya dikursi disamping mejaku. Lalu aku melangkah menuju pintu untuk menutupnya dan kemudian kembali ketemapat dudukku. Dia silangkan pahanya dan memaksa mataku untuk semakin lekat pada paha mudanya yang berbalut stocking.

Sebelum dia mengucapkan sepatah kata lagi, kutanyakan kembali darimana dia mendengar kabar kalau aku sedang mencari tenaga tambahan.

“Seorang teman saya kenal dengan salah satu pegawai disini, tapi saya tak ingat namanya.”
“Temanmu yang bilang kalau aku sedang membutuhkan tenaga tambahan?”
“Ya, dia bilang kalau anda mungkin sedang mencari seseorang untuk pekerjaan tak tetap. Untuk menggantikan salah satu pegawai anda yang sedang liburan.”
“Sedang liburan? Apa temanmu bilang padamu pekerjaan seperti apa dikantor ini?”
“Pekerjaan kantor yang umum, seperti filing, menjawab telephone, pergi meeting, semacam itulah.” Saat dia bicara, perlahan dia mulai melepaskan blazernya, seakan merasa ini sedang dirumahnya sendiri. Sangat percaya diri, sangat dewasa untuk wanita muda seusianya.

Aku melirik ke arah dadanya. Dengan blazernya sekarang dia lepas dan blousnya yang berbelahan dada demikian rendah, dadanya seakan memberiku sebuah undangan yang tak mungkin untuk kulewatkan. Dia tesenyum, kelihatannya puas karena aku mengamati tubuhnya.

“Dewi, jujur saja, aku tak punya posisi kosong seperti yang kamu bilang, bahkan untuk posisi tak tetap. Siapapun yang bilang padamu, dia salah.”
Dia hanya duduk disana untuk beberapa saat, mata hitamnya mengamatiku. “Namamu Kevin, kan?”
Aku mengangguk. “Benar, namaku Kevin.”
“Aku sangat membutuhkan pekerjaan, Kevin. Mungkin kamu kenal seseorang yang memerlukan seorang pekerja keras. Aku bisa diandalkan… untuk semuanya!”

Kubalas tatapan matanya. Dia bersandar dikursi, membuat blousnya menempel ketat pada dadanya. Dia tersenyum.

“Apapun, Kevin.”
“Dewi, aku akan mencatatnya. Kenapa tak kamu berikan nomer telephonmu agar aku bisa hubungi?” kusodorkan selembar kertas dan pena padanya, kalimatnya ‘apapun’ menggema dalam kepalaku.

Dia menggeliat dikursinya lalu membungkuk kearah mejaku. Saat dia menuliskan nama dan nomer telephonnya, mataku melekat erat pada kedua payudaranya yang terpampang menakjubkan dan juga sepasang paha yang sempurna, yang sekarang lebih terbuka karena rok yang dia pakai tersingkap lebih keatas.

Dalam keadaan normal aku akan segera berdiri dan mengantarnya untuk keluar dari ruanganku, tapi kondisi yang tak kuharapkan di celanaku ini menjadikan jika aku berdiri tentu akan membuatku merasa malu.

Selama kurang lebih satu jam setelah Dewi berlalu, parfum yang dia pakai masih tertinggal didalam ruanganku, membuatku dapat mengingat dengan sangat jelas, seorang wanita muda penggoda, genit yang meninggalkan kesan teramat mendalam bagi diriku dan batang penisku.

***
Hari sabtu, sebelum aku menelephone Marsha, dia sudah menghubungiku lebih dulu.
“Amanda, kamu pasti tak mengira siapa yang aku temui di club kemarin malam.”
“Kamu benar, aku tak tahu. Jadi, ceritakan padaku.”
“Henry.”
“Henry teman kantor Kevin?”
“Yup, Henry yang itu.”
“Dia datang ke club? Sendiri?”
“Ya, kelihatanny dia datang kesana cari wanita untuk kencan.”
“Sungguh? Apa dia mendatangimu?”
“Ya. Atau setidaknya dia mencobanya. Aku biarkan dia membelikanku minum. Dan… aku berdansa dengannya.”

“Bukankah dia sudah agak tua, mungkin umurnya sekitar enampuluhan?”
“Mungkin, tapi dia masih segar dan punya tubuh yang bagus. Dia juga kelihatannya cukup familiar. Kurasa kamu pernah berdansa dengannya saat malam itu kita kesana.”
“Kamu bercanda?”
“Tidak. Sungguh. Aku rasa memang dia. Ngomong-ngomong, ini yang dia katakan, dia bertanya padaku apa aku kenal dengan wanita yang bernama Amanda. Bukankah itu gila? Dia bilang umurnya seumuranku, menikah, dan sangat, sangat sexy.”

“Jangan membual!”
“Aku serius. Aku tanyakan bagaimana dia mengenal Amanda yang ini.”
“Apa jawabnya?”
“Dia tak menjawab. Hanya bilang kalau dia punya pesan yang sangat penting untuknya, sesuatu yang mungkin akan membuatnya sangat sangat bahagia.”
“Tapi dia tak mengatakan yang lebih dari itu?”
“Tidak, tapi ini tentu tentang Charles, kan?”

“Ya. Apalagi? Dia pasti datang ke kota ini lagi.”
“Dan pasti Kevin tak begitu senang kamu tahu tentang ini.”
“Iya, dia mungkin curiga kalau kencanku dengan Charles bukan hanya seperti yang kuceritakan.”
“Itu semakin membuatnya jelas.”
“Apa yang kamu bilang padanya?”
“Kubilang padanya kalau aku mengenal seseorang yang bernama Amanda yang mirip seperti ciri-cirinya, dan dia memberiku kartu namanya. Aku tak tahu apa yang dia harapkan dengan ini. Kurasa agar aku memberikannya padamu.”
“Itu gila. Tentu ada puluhan Amanda berumur 30an dikota ini, dan dia pikier kalau dia sudah menemukan yang benar?”

“Ya, dia benar bukan?”
“Iya, dia beruntung. Hey, bagaimana dengan perkembangan rencana besarmu?”
“Sedang berjalan. Belum ada kemajuan berarti, tapi aku sudah punya seseorang calon pasti.”
“Baguslah. Hubungi aku jika ada kemajuannya. Aku harus pergi, aku punya ayam dalam oven. Aku sedang membuat kejutan untuk Kevin dengan masakan favoritnya.”
“Apa dia dirumah?”
“Tidak, dia harus pergi ke kantor untuk mengerjakan sebuah urusan siang ini.”
“Begitu ya.”
“Akan kutelephone kamu lagi, Marsha.”
“Bye, Amanda.”

***
Belum pernah kulakukan sesuatu seperti ini. Membuat janji untuk bertemu dengan Dewi di Sabtu siang di kantorku, demi memberinya saran untuk mencari kerja, siapa yang sedang bermain api sekarang?

Aku sama sekali tak berpikir kalau ‘meeting’ kami kali ini akan murni bisnis. Dan aku yakin kalau dia juga mempunyai pikiran yang sama pula. Beberapa kali percakapan kami ditelephone bukanlah sebuah percakapan yang professional. Dewi bicara padaku seakan dia sudah lama mengenalku, seakan kami sepasang sahabat, dan seakan kita bisa menjadi lebih dari sekedar teman jika aku mau. Dengan menyetujui untuk bertemu dengannya seperti ini, aku akui kalau ‘lebih dari sekedar teman’ kenyataannya, itu yang aku harapkan.

Dia muncul dengan memakai sweater dan jeans, namun kalau hanya itu saja yang kugambarkan tentang penampilannya, kamu hanya tahu sebagian saja. Pertama, sweater yang dipakaianya, tetap memperlihatkan padaku belahan dada yang sama menakjubkannya dengan yang kulihat saat pertama kali kami bertemu.

Dia pakai sebuah bra dibalik sweaternya, tapi itu seakan tak ada gunanya, karena payudaranya tetap bergerak dengan begitu menggoda didalam sweaternya. Sweater tersebut, seakan kehabisan bahan sebelum menyentuh pinggangnya, memperlihatkan sedikit kulit perutnya yang putih dan rata. Lalu jeansnya, dengan model pinggul rendah, begitu ketat dan seakan mau lepas turun dari pinggulnya.

***
Rambutnya diikat keatas, membuatnya terlihat berpenampilan lebih dewasa. Sekarang dia terlihat berusia 25 atau lebih. Matanya yang hitam pekat, terlihat eksotis seperti sebelumnya.

Keseluruhan paket tersebut memberikan efek instant padaku, sebuah efek singkat yang menyerang penis seorang pria. Kali ini, entah bagaimana, aku tak berusaha untuk menutupinya, saat kupersilahkan dia untuk duduk disofa, sebuah tempat yang lebih nyaman untuk memulai sebuah meeting, apapun jenisnya.

Kumulai interview dengan pengalaman yang dia punya, tapi dengan sigap dia mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih jauh.

“Aku tak punya banyak pengalaman dengan pria beristeri, tapi aku mau belajar,” katanya, membuatku tahu dengan matanya kalau dia menyadari tonjolan didepan jeansku. Kami berdua duduk diatas sofa kulit saat itu.
“Kamu tahu, Dewi, sweatermu… itu seharusnya tidak kamu paku untuk sebuah interview pekerjaaan. Kamu tahu itu kan?” ucapku, mwncoba untuk berkilah dari maksud sebenarnya dari meeting kami ini.
“Oh, aku seharusnya tak memakai ini? Itu yang kamu maksud?” dia tertawa manja, tangannya membelai bagian depan dari sweater ketatnya, sebelum akhirnya meluncur turun dan menggenggam bagian bawahnya. Kusaksikan dia dengan cepat mengangkatnya melewati kepalanya dengan satu gerakan yang lembut.

“Lebih baik?” tanyanya, senyumnya terlihat sangat tak bersalah, payudaranya terlihat hampir tumpah dari balik penutupnya yang minim.
“Lebih baik, buatku, kurasa,” gumaku. “Kamu memiliki sepasang payudara yang indah, Dewi.”
“Thanks, Kevin. Aku bisa rasa kalau kamu menyukainya,” tambahnya, melirik kebawah selangkanganku.
“Pria mana yang tidak?”
“Bicara tentang keindahan,” katanya, tangannya mulai merayap naik di pahaku dan bermuara pada ereksiku, “Apa yang harus dilakukan oleh seorang wanita untuk bisa mengintip keindahan yang ini?”
“Kurasa sebuah ciuman bisa,” candaku.
“Itu saja?” jawabnya. “Ini.”

Tubuhnya membungkuk dan menciumku, payudaranya yang nikmat menekanku. Formalitas dari ‘meeting’ ini lenyap sudah. Tangannya tetap berada di selangkanganku. Bibirnya terasa lembut dan hangat, lidah kami bertemu. Aku yakin kalau aku tengah berada ditengah mimpi yang akan usai setiap saat dan wanita muda yang telanjang bagian atas tubuhnya ini memberikan tubuhnya untukku melebihi mimpi basah seorang pria yang telah menikah.

“Ok, sekarang aku harus melihatnya,” ucapnya, menyibukkan diri dengan sabukku, dan kemudian disusul kancing jeans dan resleitingnya. Dia menyuruhku untuk berdiri dan saat aku melakukannya, dia menurunkan jeansku hingga lutut. Seingatku, aku belum pernah bermimpi dengan berdiri. Ini pasti benar-benar terjadi.

“Hmm, ” dia menggumam, mengamati bagaimana batang penisku membuat sebuah tonjolan pada boxerku.
“Oh, Kevin!” dia tertawa genit, tangannya merabaiku. Dan kemudian, menyentakkan turun boxer yang kupakai hingga paha “Ooh, kamu begitu besar!”

Aku berdiri disana, memandanginya dibawahku saat dia memegangi batang penisku dengan kedua tangannya. Dia merupakan sebuah pemandangan yang begitu menggairahkan.

“Belum pernah kurasakan penis seorang pria beristeri sebelumnya, Kevin. Kamu keberatan… kalau aku…”

Kugelengkan kepala, kuamati bagaimana matanya matanya berbinar dan bagaimana payudaranya bergoyang dibalik bra kecilnya. Dan kemudian kuamati bagaiman bibirnya terasa pada batang penisku. Dia masukkan seluruh kepala penisku kedalam mulutnya dan menghisapnya lembut. Tak tergesa, hanya sebuah hisapan yang lembut. Terasa memabukkan. Aku tak memiliki kata untuk mendiskripsikan sensasi dari mulut Dewi yang bekerja dibatang penisku. Sepanjang waktu dia menghisapku, aku terus berpikir betapa sangat inginnya agar dia lepas dari jeansnya dan berbaring.

Aku harus menghentikannya, aku mau melihatnya telanjang.

Dia tertawa manja saat melucuti pakaiannya yang tersisa, terlebih ketika kubantu dia melepaskan celana dalam model thong yang dia pakai. Untuk sebuah alasan, itu membuatnya begitu terangsang.

Kami bersetubuh diatas sofa, atau setidaknya memulainya diatas sofa. Aku bagai berada diatas ular betina yang terus menggeliat mengimbangi setiap tusukanku. Dengan cepat kepalanya menggantung dipinggir sofa, lalu bahunya. Kami berguling keatas lantai, batang penisku tertancap begitu dalam di tubuhnya. Dia mengerangkan namaku berulang-ulang, tangannya mengunci pantatku, membuatnya tidak mungkin bergerak selain lebih jauh lagi kedalam tubuhnya.

Aku tak pernah tahu kalau berselingkuh akan terasa begitu indah.

***
Hari minggu siang, Kevin akan menyaksikan pertandingan bola di televisi. Biasanya beberapa temannya datang kerumah atau dia yang ke rumah mereka untuk nonton bersama. Hari ini, teman Kevin yang bernama Sandro yang menjadi tuan rumah. Jadi saat Marsha menelephonku, aku sendirian dirumah dan baru saja selesai membersihkan rumah.

“Amanda, aku bertemu Henry lagi.”
“Kemarin malam?”
“Iya. Kukatakan padanya kalau aku sudah bertemu denganmu dan kemudia kesebutkan nama Charles. Dan matanya terlihat berbinar sangat cerah! Dan apa kamu siap untuk ini… dia mengeluarkan beberapa lembar tiket pesawat, ke M**an, dan dia bilang itu untuk Amanda.”
“Charles ingin dia terbang ke M**an untuk sebuah pesta yang dia adakan.”

“Kamu mengarangnya.”
“Sumpah demu T**an aku tak mengarangnya, Amanda.”
“Astaga!”
“Kamu percaya ini?”
“Aku ingin pergi, Marsha.”
“Aku yakin itu, itulah kenapa kuambil tiketnya.”

“Astaga! Marsha, aku mendapatkan begitu banyak kesenangan bersama Charles. Dia begitu berbeda dari Kevin. Tunggu sebentar! Kevin tak akan mengijinkanku. Sial! Baru saja aku bisa membayangkan sedang terbang ke M**an,” aku menggerutu, kembali pada kenyataan.
“Tunggu dulu. Bagaimana jika…”
“Aku suka kalau kamu jadi kreatif.”
“Bagaimana jika kamu diundang untuk acara pernikahan keluarga atau reuni sekolah di kota lain pada minggu yang sama dengan pesta itu?”
“Maksudmu, ditempat lain diluar kota?”
“Ya. Mungkin bisa di M**an, meskipun mungkin terdengar agak mencurigakan.”
“Kapan Charles mengadakan pestanya? Kamu tahu?”
“Dua minggu kedepan. Kamu akan terbang hari Jum’at pagi dan pulang hari Minggu malam.”
“Apa kamu punya waktu yang cukup untuk mengatur sesuatu?”
“Mungkin. Aku punya seorang teman di M**an. Dia bisa menghubungimu. Anggap saja dia teman satu kontrakan dulu dan sekarang akan menikah dan dia memaksamu untuk hadir di pesta pernikahannya. Kamu tak mau mengecewakan dia, kan?”

“Tentu saja tidak,” jawabku geli.
“Amanda, ini begitu nikmat. Kamu tahu kalau kamu membuatku berpikir mesum?”
“Aku jadi basah membayangkan semua ini.”
“Kamu mesum!”
“Ya!” aku tertawa, tanganku menyelusup kedalam celana dalamku untuk memastikan seberapa basahnya aku.

Aku memang sudah begitu basah.

***
Aku pergi menemui Henry pagi ini untuk mengabarinya kalau aku tak berhasil menghubungi Amanda, tapi yang mengejutkanku, dia bilang tak usah menghawatirkan tentang itu.

“Semuanya sudah beres,” katanya.
“Maaf?”
“Aku bertemu dengan seseorang yang kenal dengan Amanda,” terangnya. “Seorang teman wanitanya. Dan semuanya sudah beres. Amanda akan melakukannya. Aku akan pastikan kalau kamu akan mendapatkan kenaikan bonus yang bagus di tahun ini, Kevin. Bagaimanapun juga, kamulah yang sudah mengenalkan Amanda pada Charles pertama kali.”
“Uh, thanks, Henry. Thanks.”
“Jangan sungkan.”

Kurasa aku berjalan dengan menyeret kaki keluar dari kantor Henry. Aku sangat bingung dan begitu ingin segera bicara dengan Amanada begitu sampai dirumah.

Kapan dia akan mengatakan padaku tentang terbangnya ke M**an dan kenapa dia pikir kalau akau akan mengijinkannya? Itu pertanyaan yang harus kutemukan jawabnya, namun saat waktu berlalu, aku tak pernah menanyainya. Amanda mendapat telephone dari seorang temannya dari M**an, seseorang teman lamanya sewaktu kuliah. Dan sebagai seorang sahabat lama, dia ingin agar dia datang ke pernikahannya.

“Kapan itu sayang?” tanyaku.
“Dua minggu lagi. Kamu tak keberatan, kan?”

M**an? Dua minggu kedepan? Betapa menarik. Minggu yang sama dengan pesta Charles. Bisa kurasakan temperaturku naik, tapi kugigit lidahku dan melangkah keruang lain tanpa menjawabnya. Dia menyusulku dan mengulangi pertanyaannya.

“Kamu tak keberatan kan, sayang?”
“Apa kita ada acara minggu tersebut.” tanyaku.
“Tidak, sejauh yang kutahu di agendaku tidak ada,” jawabnya.
“Biar ku cek dulu,” jawabku, dan saat dia melangkah keluar dari ruang ini, aku pencet nomer telephon.
“Dewi, aku ingin bertemu denganmu lagi. Kamu bisa?”

Dia bisa.

“Bagus. Kamu ada acara dua minggu kedepan?”
“Belum.”
“Bagaimana kalau kita kencan?”
“Ooh, aku sangat senang bisa kencan denganmu, Kevin. Apa kita sedang membicarakan tentang malam Minggu, atau apa?”
“Aku sedang berpikir tentang malam Minggu dan juga Minggu pagi.”
“Oh, Kevin, itu kedengarannya sangat nikmat! Tapi bagaimana caramu bisa pergi dari isterimu?”
“Itu sudah kuatur, manis. Akan kuhubungi lagi kamu nanti.”

Amanda sedang melihat televisi. Aku duduk disampingnya dan merengkuh bahunya.

“Ada apa, sayang?” tanyanya, tangannya meregangkan pahaku.
“Aku sudah mempertimbangkan tentang pernikahan temanmu…”
“Jadi, kamu mengijinkannya?”
Kupeluk dia, “Ya. Aku tak melihat di jadwalku yang membutuhkan untuk kamu temani.”

Dia tersenyum lebar dan menciumku. “Oh, sayang, terima kasih. Kamu benar-benar tak apa-apa kalau akau jadi pergi?”
“Aku ingin kamu pergi. Dan selamat bersenang-senang.”
“Thanks,” jawabnya, menciumku lagi. Tangannya merambat menaiki pahaku.

Kubalas ciumannya. Mulut kami terbuka, saling menyambut lidah.

Kami bercinta di atas sofa tersebut.



« Back | Next »

Download film langsung dari hape !
+ KISAH PANAS +
[01] | [02] | [03] | [04] | [05] | [06] | [07] | [08] | [09] | [10] | [11] | [12] | [13] | [14] | [15] | [16] | [17] | [18] | [19] | [20]
Home Home
Guestbook Guestbook

U-ON
305
INDOHIT.SEXTGEM.COM