watch sexy videos at nza-vids!
Download aplikasi gratis untuk Android
INDOHIT.SEXTGEM.COM

13. Eliza : Akibat Kenakalanku


I. Kenakalanku Di Rumah

Sudah beberapa menit aku terbangun dari tidurku. Walaupun aku sudah merasa cukup enakan, aku masih ingin bermalas malasan, dan membiarkan tubuhku yang telanjang bulat dan tersembunyi dalam bedcover ini tetap terbaring, menikmati empuknya ranjangku. Sesekali aku menciumi rambutku yang terhampar di atas bantalku ini, menikmati halusnya rambutku dan juga harumnya bau rambutku ini.

Dan aku sudah kembali tersenyum senyum sendiri karena aku teringat kejadian di hari kemarin bersama Andy, mulai dari sikap canggungnya di sekolah saat menemaniku sampai kembali ke kelasku, dan yang paling membuatku bahagia adalah SMS Andy malam harinya, yang mengingatkanku agar segera beristirahat dan tidur karena ia tahu aku kecapekan.

Hanya saja, Andy tahunya aku kecapekan karena belajar sampai malam, bukan karena ngeseks berkali kali sejak kemarin lusa. Aku memandang jam kamarku, ternyata sudah jam 5:10 pagi. Maka aku menarik nafas panjang, bersiap menjalani hari ini yang entah akan memberikan warna apa lagi pada kehidupanku.

“Auw…”, aku mengeluh perlahan ketika aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi.

Kedua betisku masih terasa begitu pegal ketika kupakai berjalan, bahkan liang vaginaku sesekali terasa sedikit ngilu. Ternyata tubuhku masih belum pulih benar setelah kemarin aku terseret dalam pesta seks yang liar itu. Padahal aku sudah beristirahat sepanjang malam tanpa gangguan, bahkan aku sudah tidur lebih awal setelah menerima SMS Andy sekitar jam 9 kemarin malam.

Aku melangkah tertatih tatih ke lemari bajuku untuk mengambil bra dan celana dalamku, juga seragam putih abu abu. Perduli amat dengan ancaman Dedi, hari ini aku memutuskan untuk memakai celana dalam. Seharian kemarin di sekolah aku merasa amat gelisah, membayangkan teman temanku di sekolah tahu kalau aku tidak mengenakan celana dalam. Kalau nanti Dedi menyusahkanku, aku sudah pasrah.

Sesekali aku mengeluh, ketika rasa sakit yang mendera betisku ini mengganggu langkah kakiku. Bahkan kini aku baru merasakan kalau otot perutku juga sedikit kejang, seperti habis melakukan sit up berkali kali saja.

Namun perlahan aku menyadari satu hal yang aneh, entah kenapa aku malah menikmati rasa sakit yang mendera perutku ini.

“Ih… apaan sih aku ini… masa pagi pagi udah kacau gini…”, aku menggerutu dan mengomeli diriku sendiri.

Maka aku berusaha untuk tidak membiarkan pikiranku melayang ke mana-mana. Setelah aku menggantungkan semua helai pakaian yang akan kukenakan dan juga handukku, aku mengunci pintu walaupun aku masih ingat kalau pintu kamarku terkunci. Tetap saja rasanya aneh kalau aku harus mandi tanpa mengunci pintu kamar mandi, dan aku tidak mau kalau aku menjadi terbiasa seperti itu.

Aku mulai memanjakan tubuhku dengan shower air hangat dan cairan sabun mandiku yang wangi, lembut menyegarkan. Setelah selesai, aku segera mengeringkan tubuhku dan mengenakan bra serta celana dalamku, lalu aku menuju meja riasku memandangi bayangan diriku di cermin.

“Sayang kamu udah nggak virgin… harusnya virgin kamu itu hanya untuk Andy… kalau kelak Andy tahu kamu udah nggak virgin, apa Andy masih mau sama kamu?”, aku berkata pada bayangan diriku di dalam cermin, dan kini perasaanku menjadi sedih.

Aku mulai memakai baju dan rok seragam sekolahku. Rasa pegal pada kedua betisku sudah terasa sedikit berkurang. Setelah mematikan AC kamarku, aku memeriksa buku buku yang ada di tas sekolahku, memastikan tak ada yang tertinggal dan tak lupa aku memasukkan ponselku ke dalam tas.

Lalu aku mengenakan sabuk yang biasa kupakai ke sekolah dan bersiap untuk merapikan penampilanku di depan meja riasku, ketika tiba tiba aku mendengar ponselku berbunyi, dan dari deringnya aku tahu kalau ada SMS masuk.

Aku cepat membuka tasku mencari ponselku, dan segera membaca isi SMS itu dengan penuh harap.

Pagi Eliza. Kamu sudah enakan? Aku harap hari ini kamu sudah lebih sehat dan nggak capek.’

Ketika aku melihat nama pengirimnya adalah Andy, hatiku kembali berbunga bunga. Aku langsung menulis balasan ucapan terima kasih sekaligus jawaban bahwa aku sudah lebih sehat dan juga sudah nggak capek. Aku senang sekali karena aku merasa Andy mulai berani memberikan perhatiannya padaku.

Setelah aku menyimpan ponselku dalam tas sekolahku, aku kembali bersiap merapikan penampilanku di depan meja rias. Aku memblow rambutku dengan hair dryer sambil menyisir rambutku hingga terlihat rapi dan indah mengembang, lalu aku memberikan sedikit bedak pada wajahku.

Hari ini aku ingin terlihat lebih cantik dan menarik di hadapan Andy, dan aku mengoleskan lip gloss secukupnya pada bibirku.

“Andy… kalau saja kamu tahu… aku senang dengan perhatian yang kamu berikan padaku…”, aku mengguman pelan sambil memandangi diriku di cermin memastikan tak ada yang salah dengan penampilanku.

‘tok tok tok…’, terdengar suara ketukan di pintu kamarku yang membuyarkan lamunan indahku.

“Siapa?”, aku bertanya sambil mengambil tas sekolahku, lalu aku melangkah ke arah pintu kamarku.

“Saya non, makan paginya sudah saya siapkan”, terdengar jawaban Sulikah.

Aku membuka pintu kamarku yang terkunci, dan mengucapkan terima kasih pada Sulikah. Setelah itu aku mengunci pintu kamarku, dan aku mengambil kaus kakiku di lemari kecil yang ada di sebelah rak sepatu, dan aku memakai kaus kaki dan juga sepatuku.

Tiba tiba aku tersadar, entah kenapa Sulikah masih berdiri di dekatku.

“Sulikah? Kenapa?”, aku bertanya heran.

“Non Eliza, hari ini non cantik sekali…”, kata Sulikah yang terus menatapku denganc pandangan kagum.

“Makasih ya”, aku tersenyum senang.

Dalam hati aku berharap di sekolah nanti Andy juga akan memujiku seperti ini, walaupun kalau melihat Andy yang malu malu seperti kemarin, rasanya harapanku itu tidak mungkin terwujud secepat itu.

Aku turun ke ruang makan untuk menikmati sarapan pagi. Aku makan lebih sedikit dari biasanya, karena tiba tiba saja aku takut menjadi gemuk. Aku tak ingin jadi terlihat tidak menarik bagi Andy. Dengan cepat aku menyelesaikan sarapanku, dan setelah mencuci tangan dan mulutku, aku melangkah menuju garasi.

Di sana aku melihat pak Arifin sedang mengelapi mobilku. Ketika aku mendekat, pak Arifin yang melihatku seketika menghentikan pekerjaannya, dan ia menatapku seperti baru pertama kali melihatku saja.

Demikian juga Wawan dan Suwito yang tadinya menyapu langit langit di garasi, kini terpaku melihatku sambil tetap memegang sapu panjang di tangan mereka.

“Pak Arifin, ngelapnya udah dulu ya. Tolong lapnya diminggirkan dulu dong, Eliza udah mau berangkat sekolah nih”, aku berkata pada pak Arifin sambil menunjuk lap yang masih berada di atas kap mesin mobilku.

Tidak ada jawaban dari pak Arifin yang hanya mengangkat lap itu dari kap mesin mobilku, dan konyolnya ia melakukan itu sambil terus menatapku. Ketika aku melihat sekeliling, aku melihat Wawan dan Suwito juga bersikap sama, mereka terus mematung sambil menatapku.

“Hei! Kalian semua ini kenapa sih? Nggak pernah liat cewek cakep ya?!”, aku sengaja membentak dengan suara yang cukup keras hingga mereka semua terkejut.

Suwito sampai hampir terpelanting dari kursi yang dinaikinya, sedangkan Wawan dengan wajah terkejut menjatuhkan sapunya. Pak Arifin sendiri mengelus dadanya berulang ulang. Aku menahan tawa melihat reaksi mereka bertiga ini, tapi aku berusaha tetap memasang wajah seserius mungkin.

“Yah non Eliza, keras amat suaranya… bikin kaget saja!”, gerutu pak Arifin yang lalu mulai mendekatiku.

Wawan dan Suwito turun dari kursi mereka, dan mereka berdua juga mulai mendekatiku dengan pandangan mata mereka yang amat kukenal, pandangan mata mereka di saat mereka begitu gemas dan bernafsu menikmati tubuhku.

“Eh eh… kalian mau apa? Nggak! Nggak mau!!”, menyadari apa yang akan dilakukan oleh pak Arifin, Wawan dan Suwito, aku berseru panik dan cepat cepat masuk ke dalam mobilku, lalu aku mengunci pintu mobilku sebelum mereka berhasil menangkapku.

Tapi aku membuka sedikit kaca pintu mobilku di sebelah kiri, supaya aku bisa mendengar apa kata mereka, juga supaya mereka bisa mendengar jawabanku yang pasti kuusahakan untuk membuat mereka semakin kesal.

“Ayo non Eliza… Sebentar saja non”, kata Wawan dan Suwito hampir berbareng dan mereka menarik narik handel pintu mobilku, mencoba membuka pintu mobilku yang sudah terkunci ini.

“Nggak mau! Nggak mau! Nanti bajuku lecek! Pokoknya nggak mau!”, aku menjawab dengan suara yang cukup keras dan menggelengkan kepalaku berkali kali, tapi aku sengaja mengerling ke arah mereka, dengan gaya yang kubuat semenggoda mungkin.

Ketiga pria itu menatap diriku dengan gemas. Diam diam aku merasa ngeri membayangkan apa yang akan terjadi kalau sekarang ini aku sampai tertangkap mereka. Bisa bisa aku terlambat masuk sekolah karena dipaksa melayani nafsu birahi mereka terlebih dahulu.

Setelah beberapa kali aku menggelengkan kepala dengan kerlingan nakal untuk menjawab permintaan mereka yang terus memaksa aku turun sebentar, akhirnya mereka menyerah juga dan kembali melanjutkan pekerjaan mereka. Pak Arifin mengelap mobil mamaku, sedangkan Wawan dan Suwito kembali naik ke kursi yang tadi mereka pakai dan melanjutkan menyapu langit langit garasi ini.

Sambil tersenyum senyum karena merasa menang, aku menyalakan mesin mobilku. Dan ketika aku melihat mereka bertiga pura pura tak tahu kalau mereka harus membukakan pintu garasi dan juga pintu gerbang untukku, aku menekan klakson mobilku hingga mereka semua terkejut dan semua alat bersih bersih yang ada di pegangan mereka itu kembali terjatuh ke lantai garasi.

Aku sudah tak tahan lagi dan aku tertawa sejadi jadinya sambil menutup kaca jendela mobilku. Pak Arifin yang paling dekat dengan mobilku terlihat bersungut sungut sambil membukakan pintu garasi dan kemudian juga pintu gerbang, sedangkan Wawan dan Suwito kembali menatapku dengan gemas.

Aku meleletkan lidah dengan senang, walaupun aku tahu setelah pulang sekolah nanti mereka bertiga pasti akan membalas dendam padaku, entah dengan cara menjadikanku piala bergilir ataupun piala bersama.

Tapi aku tak perduli, toh tanpa kugoda seperti tadi pun mereka bertiga sudah berkali kali menjadikanku betina mereka saat tak ada siapa siapa di rumah.

Entah nanti apa yang akan mereka perbuat padaku setelah semua yang kulakukan ini, kalau nanti aku benar benar harus sendirian di rumah. Lagi lagi, diam diam aku bergidik ngeri membayangkan perbudakan seperti apa yang harus kujalani setelah aku pulang sekolah nanti.

Setelah pintu terbuka semua, aku segera melajukan mobilku ke sekolah. Aku tak mau memikirkan apa yang akan terjadi dengan diriku nanti, karena di pikiranku saat ini hanya ada satu hal, yaitu aku berharap hari ini Andy menemuiku.

Entahlah, apa hanya karena alasan pinjam buku catatanku atau alasan yang lain, yang penting bagiku aku berharap hari ini Andy melihatku. Hari ini aku sudah merias diriku secantik yang aku bisa, dan ini kulakukan spesial hanya untuk Andy. Aku ingin Andy benar benar tertarik padaku.

-x-

II. Harapan Indah Di Pagi Hari

Masih 15 menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi ketika aku sampai di parkiran sekolah. Jantungku berdegup kencang ketika aku melihat Andy baru turun dari mobilnya. Dan ketika aku melihat tempat kosong di sebelah mobil Andy, rasanya aku seperti bermimpi indah, dan aku senang sekali.

Aku tak ingin mimpi indahku ini lenyap begitu saja, maka aku segera melaju dan memarkirkan mobilku di samping mobilnya Andy. Dan Andy sepertinya langsung mengenali kalau ini adalah adalah mobilku. Kini Andy menatap ke arahku dan dengan sabar ia menungguku selesai memarkirkan mobilku ini.

Aku turun dari mobil dan mengunci pintu, dan kami berdua sempat saling pandang untuk beberapa lamanya. Lalu Andy menundukkan wajahnya saat aku tersenyum padanya. Perlahan aku melangkah mendekati Andy, yang kini baru kulihat kalau wajahnya merona merah.

“Hai Andy… makasih ya tadi malam, mm… juga tadi pagi… aku udah sehat kok, juga udah nggak begitu capek seperti kemarin”, kataku pelan.

Hatiku semakin terbuai ketika aku melihat wajah Andy yang tampan itu tersenyum lembut. Tapi Andy masih terus menunduk seperti tak berani melihatku dan aku tersenyum geli melihat kecanggungan Andy.

“Hai Andy…”, aku menyapanya lagi karena Andy tetap menunduk tanpa menjawab kata kataku.

“I… Iya… hai Eliza… kamu… e… kamu…”, suara Andy terdengar begitu gugup.

“Aku kenapa?”, aku bertanya dengan senyum usil.

“Aku… anu… aku senang kamu sudah nggak sakit”, Andy menatapku sekilas, lalu ia kembali menunduk.

“Ooo… makasih ya Andy, kamu baik deh. Mm… ya udah aku masuk ke dalam kelasku dulu ya”, aku berkata dengan riang.

Sebenarnya aku sedikit kecewa, aku tadi berharap kalau lanjutan kata kata Andy tadi itu adalah pujian dari Andy kalau aku terlihat cantik hari ini. Aku jadi sedikit penasaran, apakah sebenarnya Andy itu menganggapku cantik atau tidak. Walaupun begitu, kata kata Andy tadi itu tetap membuatku tersenyum bahagia.

Aku sudah yakin sekali kalau Andy suka padaku, terlihat dari sikapnya yang selalu salah tingkah seperti ini dan kata kata Andy tadi menunjukkan kalau Andy amat perduli padaku.

“Aku… boleh aku temani kamu lagi sampai ke kelasmu, Eliza?”, Andy bertanya dengan suara pelan.

Aku mengangguk senang, tapi Andy menunduk begitu dalam dan ia tak mungkin bisa melihatku. Aku tersenyum geli melihat Andy yang begitu canggung dan salah tingkah di depanku. Apakah ini karena ia juga jatuh hati padaku?

“Andy…”, aku memanggil Andy, dan ketika ia mengangkat wajahnya menatapku, aku menganggukkan kepalaku lagi sambil tersenyum padanya, senyum yang kupasang semanis mungkin.

Andy menatapku dan sekali ini ia tersenyum, entah senang atau malu, atau mungkin keduanya. Aku tak yakin, tapi aku merasa tatapan Andy ini amat menghangatkan hatiku. Aku tak tahu kata kata apa yang bisa menggambarkan perasaanku sekarang, yang jelas aku merasakan di pagi hari ini aku mendapat harapan yang indah. Dan aku amat bahagia ketika Andy terus melangkah di sampingku, walaupun Andy yang sesekali menoleh dan tersenyum padaku itu hanya diam membisu.

Sama seperti kemarin, aku merasakan beberapa tatapan iri dari para murid cewek yang melihatku berjalan menuju kelasku dengan ditemani Andy. Lagi lagi aku merasa bangga dan senang, walaupun sebenarnya kami berdua ini belum berstatus sepasang kekasih. Dan kini kami berdua sama sama diam sambil terus melangkah, sampai akhirnya kami berdua tiba di depan pintu kelasku.

“Andy… makasih ya”, aku berpamitan pada Andy.

“Aku… aku juga ke kelasku dulu Eliza…”, jawab Andi dengan gugup sambil melambaikan tangannya.

“Iya”, aku menjawab sambil balas melambaikan tanganku.

Aku tersenyum senyum sambil melangkah masuk ke dalam kelasku. Tapi ketika aku melihat Jenny yang dengan senyum usilnya itu menatapku dan menungguku di bangkunya, aku menghela nafas panjang sambil terus melangkah untuk duduk di sebelah Jenny. Aku sudah pasrah, hari ini aku pasti digoda dan diledek habis oleh Jenny.

-x-

III. Rahasia Lain Di Gudang Sekolah

Seharian ini tak ada kejadian istimewa, selain Jenny yang sibuk menggoda dan meledekku tentang Andy, juga Sherly yang ikut memperparah keadaan sewaktu kami berkumpul di kantin pada jam istirahat pertama dan, dan juga pada jam istirahat kedua seperti sekarang sekarang ini.

Dan kalau biasanya aku selalu berusaha membalas ledekan mereka, kini aku hanya bisa mengelak atau tersenyum malu, walaupun hatiku rasanya senang sekali. Untung saja bel tanda jam istirahat kedua berakhir ini sudah berbunyi.

“Liat deh… mukanya sampai merah gini”, kata Jenny yang tertawa geli.

“Duh… kasihan…”, ledek Sherly dan mereka berdua kembali tertawa geli.

“Kalian ini nggak usah pura pura kasihan deh. Dari pagi tadi kalian terus ngeledek aku, juga ngetawain aku. Kalian semua jahat!”, aku mengomel dan merengek, lalu aku pura pura merajuk.

“Iya iya… sekarang udah nggak kok. Cup cup… jangan nangis deh sayang… Kita balik ke kelas yuk”, ajak Jenny sambil menggandeng tanganku.

“Jen… aku aja yang nggandeng Eliza… istirahat pertama tadi kamu kan udah…”, kata Sherly dengan nada memohon.

“Hmmhh… Iya deh…”, kata Jenny sambil menghela nafas panjang dan menyerahkan tanganku yang ada dalam gandengan tangannya itu pada Sherly.

“Apaan sih kalian ini…”, aku tertawa geli, lucu juga rasanya memikirkan diriku menjadi rebutan Jenny dan Sherly seperti ini, tapi aku menurut saja ketika Sherly menggandeng tanganku.

Kami berbalik arah, dan mereka berdua menemaniku kembali ke kelas. Dan kedua kekasihku ini tak bosan bosannya menggoda dan meledekku tentang Andy. Aku lagi lagi tak bisa membalas, hanya tersenyum malu dan pasrah menerima semua ini. Aku hanya bisa berharap kami segera sampai ke kelasku. Tapi ketika kami sampai di depan pintu kelas, tiba tiba aku merasa ingin buang air kecil.

“Sher… kamu balik ke kelas aja dulu. Jen, aku mau ke toilet, nanti kalau ditanyain pak Totok tolong bilangin aku masih ke toilet dulu ya”, aku menitip pesan pada Jenny.

“Eliza… aku temanin kamu ya…”, Jenny merengek.

“Eh… nggak usah ah… sebentar aja kok”, kataku sambil tertawa geli.

“Ya udah deh, jangan lama lama ya sayang… Sher, aku masuk dulu, bye bye…”, kata Jenny yang lalu saling melambaikan tangan dengan Sherly, kemudian masuk ke dalam kelas.

Sherly sendiri terus menggandeng tanganku. Sebenarnya aku sedikit risih digandeng oleh Sherly dengan mesra seperti ini, tapi aku menurut saja sambil berharap dalam hati semoga tidak ada yang curiga melihat kemesraan Sherly padaku yang sedikit di luar batas ini.

Akhirnya kami sampai di depan pintu kelasnya Sherly, dan aku menunggu Sherly melepaskan gandengan pada tanganku.

“Udah dulu ya Sher, aku ke toilet dulu”, kataku sambil tersenyum pada Sherly.

“Eliza… aku temani kamu ya…”, bisik Sherly di telingaku.

“Ih kamu kok jadi seperti Jenny sih?… Nggak usah deh, aku kan cuma sebentar”, jawabku dengan berbisik pula, dan lagi lagi aku tertawa geli.

“Iya deh, sampai nanti ya Eliza”, kata Sherly dengan gaya kecewa, tapi ia melambaikan tangannya.

“Iya, sampai nanti”, aku menjawab sambil melambaikan tanganku juga, lalu aku segera menuju ke toilet.

Ketika aku akan masuk, aku berpapasan dengan Vera yang baru keluar dari toilet. Kami sempat saling sapa, dan diam diam aku merasa heran, mengapa tadi Vera tersenyum aneh seperti itu ketika ia melihatku.

Entahlah, lalu aku terus masuk ke dalam toilet perempuan ini, dan dengan sembarangan aku memilih salah satu dari enam kamar kecil yang ada di dalam sini. Setelah aku selesai buang air kecil dan merapikan baju serta rok seragamku, aku segera keluar untuk kembali ke kelasku.

“Emmphh…”, aku menjerit tertahan ketika tiba tiba ada sebuah tangan yang membekap mulutku.

Belum sempat aku bereaksi, sebuah tangan yang lain melingkar di depan dadaku dan menarikku ke belakang, dalam dekapan pemilik kedua tangan ini.

Aku meronta dengan perasaan ngeri, tapi dekapan ini terlalu kuat, hingga tanpa perlawanan yang berarti, aku sudah terseret masuk ke dalam gudang yang ada di sebelah toilet, tempat dimana Vera entah diperkosa atau memang sedang melayani Dedi dan Pandu dua hari yang lalu.

Penculikku ini terus menyeretku ke ujung ruang ini, hingga kami ada di balik tumpukan meja dan kursi tua. Tanpa melepas bekapan tangannya pada mulutku, ia menekan pundakku hingga aku berjongkok, dan sesaat kemudian penculikku ini duduk di samping kananku, lalu ia memangku tubuhku di atas pahanya.

“Eliza… kamu jangan ribut! Sebentar lagi ada tontonan yang menarik”, bisik penculik ini di telinga kiriku.

Suara ini membuatku bergidik karena aku tahu ini suara Dedi. Aku terdiam sesaat, lalu aku mengangguk pelan. Lebih baik aku menurutinya, karena kalau aku menimbulkan keributan, lalu banyak yang tahu aku di dalam gudang ini sedang berduaan dengan Dedi, apapun alasannya namaku pasti akan hancur.

Bekapan pada mulutku dilepas, dan aku diam saja tanpa berusaha melihat ke arah Dedi. Di gudang ini entah akan ada tontonan apa, tapi setelah tontonan itu berakhir, aku kuatir Dedi tak akan membiarkanku pergi begitu saja sebelum memaksa aku melayani nafsu birahinya di dalam gudang ini.

Aku sedang tidak mood untuk ngeseks sekarang ini. Diam diam aku berpikir bagaimana supaya hari ini aku tidak harus merelakan liang vaginaku ditembusi batang penis lelaki bejat ini. Mungkin aku bisa mencoba menawarkan servis oral saja dengan alasan aku tak ingin ketahuan orang lain karena aku merintih, atau aku takut ditanyai guru di kelasku karena aku terlalu lama berada di toilet.

Dengan begitu semoga si kurang ajar ini menerima alasanku dan tidak memaksaku untuk ngeseks dengannya. Selagi aku memikirkan apakah ada alasan yang lebih bagus, tiba tiba kurasakan Dedi menggamit lenganku, dan aku mengarahkan pandangan mataku ke arah yang ditunjuk oleh jari telunjuk Dedi.

Aku tertegun melihat masuknya seorang cebol yang langsung kukenali sebagai pelayan salah satu stan di kantin sekolah. Aku tak tahu nama si cebol ini, tapi aku tahu pemilik stan tempat si cebol ini bekerja adalah Cie Fifi, seorang wanita yang menurutku berwajah cantik, usianya sekitar 29 tahun.

Kedatangan si cebol ini membuatku sedikit takut. Aku tahu diam diam si cebol ini suka menatap tajam ke arah Jenny, Sherly, aku, dan juga siswi lain yang sedang makan di kantin. Entah apa yang diinginkan Dedi dengan menyeretku ke gudang ini selagi ia tahu si cebol ini akan masuk ke dalam sini.

Si cebol duduk dengan seenaknya di kursi yang ada di tengah ruangan ini. Aku tak mengerti apa yang sedang dilakukannya, apakah menunggu seseorang, atau ia merencanakan sesuatu yang lain.

Tiba tiba pintu gudang ini terbuka lagi, dan aku tertegun melihat kedatangan Cie Fifi yang masuk dengan raut wajah kesal. Tapi anehnya Cie Fifi malah menghampiri si cebol yang sedang tersenyum senyum menjijikkan.

“Halo Fifi sayang”, sapa si cebol, sementara Cie Fifi hanya diam tak menjawab.

Sesaat kemudian si cebol berdiri, dan berikutnya jantungku berdebar kencang melihat sebuah pemandangan erotis yang mengejutkan tersaji di hadapanku.

Si cebol menyusup masuk ke dalam rok Cie Fifi yang hanya diam saja. Kepala si cebol yang kini ada di dalam rok Cie Fifi, tepat di depan pangkal paha Cie Fifi membuat bagian depan rok itu menyembul.

“Sshh…”, Cie Fifi mendesah sambil memejamkan mata dan menggigit bibirnya sendiri.

Aku terus memperhatikan bagian yang menyembul dari rok Cie Fifi yang pastinya adalah kepala si cebol itu bergerak gerak, membuat gairahku perlahan bangkit, dan aku harus berusaha mengatur nafasku yang mulai memburu.

“Kenapa cantik? Kamu kepingin digituin seperti Cik Fifi? Kok kamu juga ikut ikut gigit bibir?”, tiba tiba kudengar bisikan Dedi.

Wajahku terasa panas, aku baru sadar kalau ternyata aku juga menggigit bibirku sendiri. Aku menatap Dedi dengan kesal. Tapi tentu saja aku tak bisa berbuat macam macam daripada nasibku malah jadi semakin buruk. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku kalau aku membuat keributan yang mengakibatkan si cebol ini tahu aku ada di sini.

Dedi hanya tersenyum senyum, sama menjijikkannya dengan senyuman si cebol tadi. Dan aku tak bisa berbuat banyak ketika Dedi yang memangku tubuhku ini memelukku dari belakang dan mulai menggodaku.

Dengan kedua tangannya yang melingkari tubuhku dari belakang ini, Dedi mulai meremasi kedua payudaraku, kadang lembut, kadang kasar, yang pasti ulah Dedi ini membuatku gelisah dan jantungku berdegup semakin kencang.

Aku tak berani menepis karena aku takut tepisanku mungkin akan menimbulkan suara yang bisa saja terdengar oleh si cebol itu ataupun Cie Fifi. Aku hanya bisa berusaha memegang kedua pergelangan tangan Dedi yang jauh lebih besar dari kedua pergelangan tanganku ini, dan aku mencoba menarik tangan Dedi ke bawah untuk membebaskan kedua payudaraku dari remasan remasan kurang ajar ini.

Tapi tangan Dedi terlalu kuat bagiku untuk kusingkirkan begitu saja. Aku menggeliat lemah, konsentrasiku untuk melihat adegan erotis di hadapanku ini mulai buyar karena aku sendiri sudah mulai terangsang akibat ulah Dedi yang terus meremas kedua payudaraku.

“Ded… hentikan…”, bisikku dengan ketus.

“Ssst!”, Dedi menyuruhku diam, tapi kurang ajarnya kedua tangan Dedi itu melekat erat dan terus meremasi kedua payudaraku.

Sadar akan kemungkinan Cie Fifi mendengar suaraku tadi, aku melihat ke arah Cie Fifi. Ternyata ia sedang memejamkan mata dan mendesah tak karuan sambil memegangi sembulan pada bagian depan rok yang dikenakannya, yang pasti adalah kepala si cebol.

Walaupun jantungku berdegup kencang melihat itu semua, rasa sakit pada kedua payudaraku membuatku kembali menggeliat, dan aku mencoba menghindarkan payudaraku dari remasan remasan nakal ini. Tapi kemanapun aku bergerak, telapak tangan Dedi tetap melekat erat dan terus memberikan remasan pada kedua payudaraku.

Pikiranku mulai kacau dan nafasku mulai terasa sesak. Perlahan tapi pasti, aku mulai tersiksa akibat rasa panas yang mulai menjalari tubuhku ini.

Akhirnya aku memilih berhenti menggerak gerakkan tubuhku, tapi aku mencoba memegang dan menarik kedua telapak tangan Dedi yang sibuk memainkan kedua payudaraku ini. Aku sadar tenagaku tak akan ada artinya bagi Dedi, tapi aku tak mau menyerah begitu saja.

“Mhhh…”, aku mendengar rintihan Cie Fifi.

Perhatianku kembali tertuju pada adegan erotis di depanku. Entah sejak kapan, aku melihat sehelai celana dalam yang tergeletak di dekat kaki Cie Fifi.

Itu pasti celana dalam Cie Fifi yang ditarik lepas oleh si cebol. Dan Cie Fifi yang kini sedikit membungkuk, mendesah dan merintih dengan wajah seperti menahan sakit selagi si cebol sibuk di dalam rok Cie Fifi.

Aku memejamkan mataku, membayangkan di dalam rok Cie Fifi itu tidak ada helai celana dalam yang melindungi vagina Cie Fifi. Dan kini si cebol itu entah sedang menjilati bibir vagina Cie Fifi, mencucup dan memagut bibir vagina Cie Fifi, atau sedang menggoda dan mengaduk liang vagina Cie Fifi dengan lidahnya, atau dengan jarinya.

Rasa panas yang menjalari tubuhku ini semakin menjadi jadi. Aku sudah sangat terangsang, entah karena remasan nakal yang dilakukan Dedi pada kedua payudaraku, atau karena pikiranku yang melayang membayangkan apa yang terjadi di dalam rok Cie Fifi itu.

Dan tubuhku menggigil ketika aku nyaris tak bisa menahan diriku untuk merintih karena Dedi mencium tengkuk leherku, dan keadaan menjadi semakin sulit bagiku ketika aku merasakan jilatan Dedi di tengkuk leherku ini.

-x-

IV. Akhir Derita Cie Fifi, Awal Deritaku

“Aku juga baru tau sekitar dua minggu lalu, kalau bu Fifi itu juga bisa dipakai seperti kamu”, bisik Dedi di telingaku.

Ingin rasanya aku menampar Dedi karena kata katanya yang amat kurang ajar itu. Tapi aku tak berani melakukannya, selain karena aku takut keberadaanku di sini ketahuan oleh Cie Fifi dan terutama si cebol, aku tak ingin menerima balasan yang aneh aneh dari Dedi dan membuat nasibku semakin buruk.

Maka aku hanya bisa menatap Dedi dengan kesal, tapi bibirku malah dipagut oleh Dedi. Aku memejamkan mataku dan menahan rintihanku. Aku hanya bisa pasrah membiarkan Dedi melumat bibirku sampai dia puas.

Tapi ketika nafasku hampir habis, aku meronta hingga bibirku terlepas dari pagutan Dedi, dan aku cepat berusaha mengatur nafasku sepelan mungkin agar dengusan nafasku ini tak sampai terdengar Cie Fifi ataupun si cebol.

“Nungging di sono, Fifi”, tiba tiba kudengar suara si cebol, yang tanpa sungkan menyuruh Cie Fifi dengan langsung menyebut nama Cie Fifi begitu saja.

Aku kembali memperhatikan mereka. Telunjuk si cebol mengarah ke selembar kardus lusuh di samping kursi tempat dimana ia menunggu Cie Fifi tadi.

“Dasar kurang ajar. Kamu ingat ya! Hari ini sudah ke sembilan!”, kata Cie Fifi dengan setengah membentak pada si cebol.

“Iya iya… tinggal satu kali lagi. Sudah cepat nungging”, si cebol mengiyakan.

Walaupun raut wajah Cie Fifi terlihat kesal, Cie Fifi menuruti perintah si cebol. Cie Fifi berlutut, lalu menumpukan kedua tangannya di lantai. Kemudian Cie Fifi merendahkan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya pada kedua tangannya yang kini terlipat namun tetap menumpu di lantai.

Tanpa berkata apa apa lagi, si cebol melucuti celana panjang dan celana dalamnya yang agak lusuh. Lalu ia mendekati Cie Fifi yang sudah menungging itu dan menyingkap rok Cie Fifi ke atas. Tak ada perlawanan sama sekali dari Cie Fifi ketika celana dalamnya dilorotkan si cebol hingga ke lutut.

Si cebol sudah bersiap untuk menikmati tubuh Cie Fifi. Ia berdiri di belakang pantat Cie Fifi, kedua kakinya agak direntangkan sedikit, dan beberapa saat kemudian…

“Engghh…”, Cie Fifi melenguh.

Kulihat tubuh si cebol sudah mulai bergerak maju mundur diiringi desahan dan rintihan Cie Fifi. Entah sejak kapan Cie Fifi menjadi budak seks si cebol ini, tapi kalau sudah kali ke sembilan seperti kata Cie Fifi tadi, aku tidak terlalu heran melihat sikap si cebol yang berani dan seenaknya seperti tadi.

Aku tak pernah menyangka Cie Fifi yang sehari hari terlihat begitu ramah dan enerjik, ternyata memendam masalah yang tak jauh berbeda denganku. Aku merasa iba pada Cie Fifi walaupun dari pembicaraan mereka tadi, mungkin Cie Fifi hanya tinggal satu kali lagi merelakan tubuhnya dijarah oleh si cebol itu.

Namun sebuah remasan kurang ajar pada kedua payudaraku ini menyadarkanku kalau sekarang ini nasibku tak lebih baik dari Cie Fifi.

“Cantik, aku horny nih… Habis mereka selesai nanti, aku juga mau sama kamu sayang…”, bisik Dedi di telingaku, dan ia terus meremas remas kedua payudaraku denzgan keras.

Aku menggeliat kesakitan. Dan kata kata Dedi tadi membuatku tegang. Nanti Dedi akan memaksaku ngeseks dengannya. Aku teringat ancaman Dedi di tempat tambal ban itu, dan hal itu membuatku kuatir karena sebentar lagi aku akan mendapat masalah kalau Dedi mengetahui aku memakai celana dalam.

‘Duh… bagaimana ini? Cepat Eliza… berpikiir…’, aku berteriak dalam hati.

Aku teringat tentang beberapa alasan yang kupikirkan tadi. Kini tinggal bagaimana caranya aku memohon supaya Dedi mau mendengar alasanku dan tidak memaksaku untuk ngeseks dengannya.

“Oooh…”, kudengar Cie Fifi merintih hingga aku kembali memperhatikan Cie Fifi.

Ternyata si cebol sedang bersemangat memaju mundurkan tubuhnya ke selangkangan Cie Fifi. Tubuh Cie Fifi terguncang guncang, membuatku sedikit penasaran apa penis si cebol itu cukup besar. Tapi aku kembali menggeliat kesakitan ketika Dedi meremas kedua payudaraku dengan gemas.

“Ded, udah… sakit… turunin aku dong”, aku berbisik dengan kesal pada Dedi.

“Habis empuk sih”, jawab Dedi dengan kurang ajar sambil meremas bongkahan payudaraku satu kali lagi, lalu ia menurunkanku dari pangkuannya.

Aku menatap Dedi kesal, dan ia hanya tersenyum senyum, sepertinya ia senang setelah menjadikan kedua payudaraku ini mainannya sejak tadi.

Suara rintihan Cie Fifi ditambah dengusan si cebol, membuat suasana di gudang ini menjadi sedikit ribut, maka aku berpikir ini saat yang tepat untuk menyampaikan maksud dan alasanku pada Dedi tanpa takut terdengar oleh Cie Fifi ataupun si cebol.

“Ded, aku tadi itu cuma pamit ke WC. Aku oralin kamu sekarang aja ya, takutnya nanti aku dimarahi sama guru kalau aku terlalu lama di sini.”, aku berbisik pelan sambil menatap Dedi dan melucuti celana panjangnya secukupnya.

Dedi diam, sepertinya ia sedang berpikir.

“Ya sudah, sekarang aja”, jawab Dedi yang juga dengan berbisik.

Aku lega mendengar jawaban Dedi, dan aku segera melorotkan celana dalam Dedi untuk mencari penisnya. Aku tertegun sejenak melihat penis itu sudah ereksi, dan ketika aku menggenggam batang penis itu, terasa begitu keras.

“Sudah berdiri Cantik… gara gara kamu”, bisik Dedi dengan sok mesra.

Aku sedikit risih juga mendengar rayuan mesum Dedi. Tapi aku tak mau membuang waktu, aku segera mulai menggoda penis Dedi, mengocok batang penis itu dengan lembut.

“Oooh… enaknya memekmu Fiii”, aku mendengar si cebol mengerang, dan ketika aku melirik ke arah mereka, aku melihat si cebol sedang menarik penisnya.

Ternyata si cebol cepat juga sudah keluar. Bagaimana dengan panjang penisnya? Apakah lebih pendek dari kebanyakan milik para pejantan yang sudah pernah menggagahiku?

Kini Cie Fifi terbaring rebah di atas kardus itu. Seingatku, sejak tadi Cie Fifi hanya mendesah atau merintih saja, tapi tak sampai melenguh seperti layaknya wanita yang sedang dilanda orgasme. Apa karena penis si cebol itu terlalu pendek? Atau mungkinkah penis si cebol itu juga seperti penis milik wali kelasku, yang lembek dan cepat keluar itu?

“Sudah, balik ke kantin dulu Fi”, kata si cebol sambil mengelap penisnya yang pasti belepotan sperma bercampur cairan cinta Cie Fifi itu dengan menggunakan celana dalam Cie Fifi.

Cie Fifi tak bereaksi, ia hanya diam dan memejamkan matanya. Si cebol mengenakan celana dalam dan celana panjangnya, lalu ia keluar dari gudang ini.

Tak lama kemudian, Cie Fifi juga bangkit berdiri, lalu ia mengeluarkan kantung plastik kecil dari saku rok bajunya. Cie Fifi memungut celana dalamnya yang basah belepotan sperma si cebol tadi, lalu memasukkan celana dalam itu ke dalam kantung plastik kecil itu.

Sepertinya Cie Fifi memang menyiapkan kantung plastik itu untuk menyimpan celana dalamnya yang ia tahu akan dikotori si cebol seperti sebelum sebelumnya.

“Dasar. Sudah orangya cebol, nggak sadar kali kalau burungnya itucebol juga”, gerutu Cie Fifi yang kemudian meninggalkan gudang ini.

Kata kata Cie Fifi tadi membuatku termenung. Hanya pendek, masalah yang diomelkan Cie Fifi. Apakah penis itu cukup keras?

Ya ampun… mengapa juga aku harus penasaran dengan penis si cebol???

“Emmkh…”, aku merintih tertahan ketika tiba tiba kurasakan kepalaku ditarik ke depan hingga penis Dedi bersarang dalam liang tenggorokanku.

“Cantik, ayo katanya mau nyepong. Kapan keluarnya kalau dari tadi cuma kamu emut saja?”, tanya Dedi yang kini dengan kejam terus menekan nekan kepalaku hingga wajahku terbenam di depan selangkangannya, dan penis Dedi itu makin menyiksa liang tenggorokanku.

“Mmmhh…”, aku cepat cepat mengulum dan memainkan lidahku pada penis Dedi, supaya ia tidak meneruskan siksaannya padaku.

“Nah… gitu cantik… ayo terusin… sssh… ooh…”, kata Dedi yang kini mendesah dan mengerang keenakan menikmati servis oralku.

Kedua tangan Dedi membelai rambutku dengan lembut selagi aku terus berusaha membuat penis Dedi berejakulasi. Sesekali aku menatap nakal pada Dedi, agar ia makin terangsang hingga tugasku akan selesai lebih cepat.

“Mmmhh…?”, aku tak bisa bicara, hanya bisa mengguman tak jelas ketika kurasakan sepasang tangan meremas kedua bongkahan pantatku.

Kedua tangan Dedi masih membelai rambutku. Tadi itu sudah tak ada siapa siapa lagi ketika aku meneruskan servis oralku. Lalu kedua tangan yang meremasi pantatku itu milik siapa?

“Halo Eliza… lagi asyik nih? Aku ikutan ya”, kudengar suara yang cukup kukenal dari belakangku.

Hatiku seperti tersiram air es. Sejak kapan Pandu sudah berada di sini? Mengapa tadi aku tak melihatnya?

“Mamamm…”, aku ingin melarang Pandu, tapi saat ini mulutku tersumpal penis Dedi hingga aku tak bisa bicara dengan jelas.

Terlambat, Pandu sudah menyingkap rok seragam sekolahku, dan aku sudah pasrah menunggu hukuman yang akan diberikan Dedi kalau ia melihatku memakai celana dalam ini.

“Eh Pan Pan… nggak bisa… gue dulu dong! Elo yang ini dulu”, sergah Dedi yang lalu menarik lepas penisnya dari mulutku.

“Iya iya…”, gerutu Pandu yang lalu bertukar posisi dengan Dedi.

Aku diam dengan jantung yang berdetak semakin kencang. Dua siswa bejat ini akan segera melumatku di dalam gudang ini, tapi yang paling kutakutkan adalah Dedi. Kedatangan Pandu ini merusak semua rencanaku. Seharusnya tadi itu aku bisa lolos dari gudang ini tanpa harus ngeseks dengan Dedi, tapi…

Tak ada waktu bagiku untuk berpikir ataupun berleha leha. Tiba tiba tubuhku sudah ditarik berdiri oleh mereka berdua, lalu kedua kakiku yang direntangkan cukup lebar. Kemudian dengan posisi kedua kakiku yang tetap seperti itu, badanku direbahkan ke depan. Pandu sudah mengacungkan penisnya yang ternyata juga sudah ereksi itu di depan wajahku, menagih servis oralku.

Dengan kesal aku mengulum penis Pandu, dan aku mengeluarkan semua teknik oralku agar Pandu cepat mencapai puncak dan nantinya ia tidak ikut menikmati liang vaginaku setelah Dedi selesai menikmati tubuhku. Sementara itu kurasakan celana dalamku ditekan tekan oleh jari tangan Dedi, tepat di bagian bibir vaginaku. Dedi sudah tahu. Aku memejamkan mata dan pasrah menerima nasibku.

“Lho cantik… siapa yang suruh kamu pakai? Ooo… makanya kamu tadi nawarin ngemut kontolku, karena kamu masih ingat kan apa yang dulu aku bilang kan?”, tanya Dedi dengan setengah membentak.

Aku tak berani menjawab, tak berani menoleh. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku tak ingin nanti teman temanku terutama Jenny malah bertanya tanya kalau nanti mataku terlihat sembab.

Aku hanya bisa pasrah dan terus mengoral penis Pandu, sambil menunggu hukuman yang akan diberikan Dedi padaku.

“Mmmkh…”, aku merintih tertahan ketika kurasakan jari tangan Dedi menerobos masuk ke dalam liang vaginaku yang masih tertutup celana dalam ini.

Jari tangan itu bergerak gerak di dalam sana, menimbulkan sensasi yang aneh ketika aku menyadari celana dalamku mengorek ngorek dinding liang vaginaku. Aku merintih dan terus merintih tertahan, tapi aku tak lupa kalau aku harus memaksa penis Pandu yang berada dalam mulutku ini segera berejakulasi.

“Mmmh… aaahh…”, aku tak kuat lagi, aku merintih dan meronta kesakitan ketika aku merasakan pedih pada vaginaku, hingga penis Pandu terlepas dari kulumanku.

“Enak kan Cantik?”, ejek Dedi ketika aku menoleh ke belakang untuk melihat apa yang dilakukan Dedi.

Aku melihat bagian bawah celana dalamku ditarik ke atas. Rupanya itu membuat bagian depan celana dalamku ini terlipat, dan menggesek masuk ke dalam bibir vaginaku. Aku menatap Dedi dengan memelas, memohon belas kasihannya untuk menghentikan semua ini.

Tapi Dedi benar benar ingin menghukumku. Celana dalamku ini ditarik ke atas dan kebawah hingga sensasi yang mendera bibir vaginaku ini makin menjadi jadi. Antara pedih dan nikmat.

“Aduuh… sakit Deed…”, aku mulai merengek, tapi Dedi hanya tertawa tawa.

“Sudah, jangan ngoceh terus! Lanjutkan!”, tiba tiba Pandu memutar kepalaku hingga wajahku kembali menghadap penisnya, dan Pandu segera menjejalkan penisnya itu ke dalam mulutku.

“Mmmph…”, aku merintih tertahan, tapi saat ini aku tak mempunyai pilihan lain, aku harus melanjutkan servis oralku buat penis Pandu.

Di belakangku, Dedi rupanya sudah tak sabar untuk menikmati tubuhku. Aku merasakan bagian bawah celana dalamku disingkap, dan sebuah benda tumpul, hangat dan cukup besar, yang pasti kepala penis Dedi itu, kini menempel dan mendesak bibir vaginaku.

Tubuhku mengejang sesaat ketika penis Dedi membelah liang vaginaku dan terus melesak masuk. Aku memejamkan mata menahan sakit, dan berikutnya aku terus berusaha melanjutkan servis oralku buat penis Pandu selagi Dedi mulai memompa liang vaginaku.

Sekali ini Dedi memperlakukanku dengan sedikit kasar. Ia memegang pinggulku, menarik tubuhku ke arahnya tiap ia menyodokkan penisnya, hingga penisnya terasa menghunjam begitu dalam pada liang vaginaku. Beberapa kali aku melenguh tertahan, dan aku mulai tak bisa berkonsentrasi untuk mengoral penis Pandu.

Akibatnya aku harus makin menderita saat Pandu memegang bagian belakang kepalaku hingga wajahku menempel di depan selangkangannya. Aku harus berjuang menahan mual akibat bau apek yang menerpa hidungku, juga aku harus menahan rasa sakit bercampur nikmat pada liang vaginaku yang dipompa habis habisan oleh Dedi.

Kini aku hanya berharap penderitaanku ini segera berakhir. Aku juga berharap baju seragam sekolahku ini tidak lecek dan basah oleh keringatku setelah aku selesai diperkosa oleh dua begundal ini. Setelah aku mengumpulkan segenap tenagaku, aku melingkarkan kedua tanganku ke belakang pantat Pandu, lalu aku menyedot dan menghisap penis Pandu kuat kuat.

“Oooh…”, Pandu mulai melolong dan kurasakan ia hendak melepaskan penisnya dari seranganku, mungkin ia sudah tak mampu menahan kenikmatan servis oralku.

Tapi aku tak mau melepaskannya, aku harus membuatnya cepat berejakulasi. Dengan kedua tanganku yang kugunakan untuk menahan tubuh Pandu, penis itu kujilat memutar, lalu kepala penis itu kucucup kuat kuat dan beberapa saat kemudian penis itu kembali kucelupkan dalam kuluman mulutku. Semua itu kulakukan di tengah gencarnya sodokan penis Dedi pada liang vaginaku.

“Aahh… sedapnya seponganmu Elizaa…”, erang Pandu keenakan ketika kurasakan cairan sperma Pandu menyemprot, memenuhi rongga mulutku.

Akhirnya bajingan tengik ini keluar juga. Aku menelan semua cairan di dalam mulutku ini, tapi aku tak mau Pandu lolos begitu saja. Ia sudah merusak rencanaku yang tadi harusnya sudah berhasil. Aku amat kesal padanya.

Aku teringat bagaimana aku bersama Jenny, Sherly dan Cie Stefanny kemarin berhasil mengalahkan tiga pejantan di rumahku, dan aku pikir aku mungkin bisa memakai cara yang sama untuk melampiaskan kekesalanku pada Pandu. Aku terus menyedot penis di dalam mulutku ini walaupun penis itu sudah melunak lembek.

“Ooh… sudaah… ampuun…”, Pandu melolong lolong tak kuat menerima seranganku, namun aku masih belum selesai dengannya.

Aku terus menghisap dan menghisap penis Pandu, sampai akhirnya ia menguik nguik seperti akan disembelih saja. Akhirnya aku menghentikan kulumanku pada penis Pandu, dan ketika aku melepaskan tanganku, Pandu langsung roboh lemas, persis seperti nasib para pejantan di rumahku yang terkapar setelah aku dan para kekasihku balik memperkosa mereka.

“Oooh… kamu benar benar pelacur, Cantik… ooooh…”, Dedi meracau dan menghunjamkan penisnya dalam dalam pada liang vaginaku.

Dadaku serasa akan meledak ketika aku mendengar penghinaan Dedi tadi. Setelah Dedi selesai menyiramkan spermanya dalam liang vaginaku, aku segera berdiri, berbalik badan, dan sekali ini aku menampar Dedi.

‘plaak… plaak…’, dua kali aku menampar pipi Dedi, keras sekali.

Dedi terpana menatapku seperti tak yakin dengan apa yang baru saja terjadi.

“Brengsek, kamu masih bisa bisanya menghina aku”, desisku dengan suara gemetar sangking marahnya.

Suasana di gudang menjadi hening. Gemuruh detak jantungku bisa kudengar dengan jelas. Aku menggigit bibir menahan tangis. Aku amat sakit hati ketika Dedi menyebutku pelacur.

Tanpa memperdulikan mereka lagi, aku segera keluar dari gudang ini. Tapi aku sadar bahwa aku harus merapikan diriku di dalam toilet, sekaligus paling tidak aku harus membersihkan sisa sperma Dedi yang meleleh dari bibir vaginaku.

Di dalam toilet, aku segera mengangkat rok seragam sekolahku, dan aku mengambil tissue yang tersedia untuk mengelap lelehan sperma di sekitar pangkal pahaku. Beberapa tissue kuambil dan kuselipkan di bagian dalam celana dalamku yang sedikit basah, agar bisa meringankan rasa tak nyaman pada selangkanganku.

Dan sekali ini aku sudah tak kuat lagi, aku menangis sesenggukan. Mengapa aku harus menerima hinaan seperti ini? Dengan berurai air mata, aku merapikan rambutku di depan cermin, lalu aku menyusuti air mataku dengan tissue. Untung make up tipis pada wajahku tidak sampai rusak akibat air mataku.

‘kriiing…’, bel tanda jam pelajaran berganti sudah berbunyi.

Aku cepat keluar dari toilet dan aku sedikit berlari ke arah kelasku. Dalam perjalanan aku melihat pak Totok yang baru keluar dari kelasku, dan aku langsung menemuinya.

“Selamat siang pak. Maaf saya tadi tiba tiba sakit perut, jadi nggak bisa ikut pelajaran pak Totok”, aku menyapa pak Totok sekaligus menyampaikan alasan mengapa aku tadi tidak bisa hadir di dalam kelas.

“Selamat siang Eliza. Ya, tidak apa apa. Nanti kamu bisa pinjam catatan temanmu, tidak ada quiz ataupun ulangan mendadak hari ini. Eh… Eliza? Kamu habis menangis? Ya ampun… tadi perutmu pasti sakit sekali ya? Sekarang kamu masih sakit? Kalau masih sakit kamu bisa istirahat di ruang UKS”, kata pak Totok.

‘Uh… UKS? Nggak deh… aku nggak mau tertimpa musibah untuk kedua kalinya di sekolah hari ini’, pikirku dalam hati.

“Nggak usah pak, Eliza sudah enakan. Terima kasih pak, saya kembali ke kelas dulu”, jawabku sekalian pamit pada pak Totok.

“Baik, silakan Eliza. Selamat siang”, kata pak Totok.

“Selamat siang pak”, kataku dengan lega, dan aku segera berbalik menuju ke dalam kelas untuk mengikuti jam pelajaran terakhir.

-x-

IV. Sebuah Janji Yang Membahagiakan

“Sayang… kamu kenapa kok lama sekali di WC? Aku udah hampir menyusul kamu lho…”, tanya Jenny ketika aku sudah duduk di sebelahnya.

“Tadi… aku abis sakit perut Jen”, jawabku pelan.

“Eh…? Kenapa kamu sayang? Kamu abis nangis ya?”, tanya Jenny lagi dengan kuatir.

“Iya, tadi perutku tiba tiba sakit sekali, aku nggak kuat nahan sakitnya, jadi aku sampai nangis. Tapi aku udah enakan kok sekarang Jen”, aku berbohong supaya Jenny berhenti mengkuatirkanku

“Sekarang perutmu udah nggak sakit?”, tanya Jenny lagi dengan iba.

Aku menggeleng lemah sambil berusaha tersenyum pada Jenny.

Sebenarnya aku merasa sedikit tak enak karena aku harus berbohong pada Jenny yang begitu memperhatikan dan menyayangiku. Rasa bersalah ini sedikit menggangguku, walau aku tahu ini adalah yang terbaik, daripada ada yang mendengarkan pembicaraan kami saat aku mengaku apa yang sebenarnya terjadi padaku selagi aku ada di toilet, atau lebih tepatnya di gudang tadi.

Tapi tak lama kemudian Jenny sudah kembali sibuk menggoda dan meledekku soal Andy. Apalagi ketika jam terakhir hari ini guru yang seharusnya mengajar di kelas kami tidak masuk, sehingga kami bebas belajar sendiri. Jenny makin bersemangat menggodaku, dan aku sudah kehabisan akal untuk membalas ledekan Jenny, hingga aku hanya bisa tersenyum malu.

Dan selagi aku tak tahu harus berbuat apa, tiba tiba aku melamunkan Andy.

Apa ya yang kira kira sedang dilakukan Andy? Apa yang kira kira ada di pikiran Andy sekarang ini? Apakah ia memikirkanku? Tiba tiba aku sudah merasa rindu pada Andy.

“Duh… bidadari yang satu ini lagi jatuh cinta deh… sampai sampai aku nggak dianggap lagi”, keluh Jenny.

“Siapa sih…”, aku lagi lagi mencoba mengelak.

“Gitu ya? Kalau gitu… nanti aku bilangin ke Andy ah…”, kata Jenny sambil melihat ke atas.

“Jeen… apaan sih… memangnya kamu mau bilang apa ke Andy?”, aku merengek.

“Mmm… aku mau bilang apa ya… aku mau bilang, kalau Eliza nggak suka sama dia”, Jenny menjawab dengan gaya cuek bebek sambil mulai mengemasi buku bukunya ke dalam tas sekolahnya, karena bel pulang sekolah memang baru saja berbunyi.

“Jeen… jangan gitu dong… aku…”, aku mulai panik kalau kalau Jenny bersungguh sungguh dengan kata katanya, dan aku dan terus merengek.

“Kalau gitu kamu jangan mengelak terus sayang, ngaku aja deh!”, Jenny kembali menggodaku.

“Aku…”, aku tak bisa berkata apa apa lagi dan wajahku rasanya panas sekali.

Jenny menatapku dengan senyum usil. Aku hanya bisa tersenyum malu sambil membereskan semua buku dan alat tulisku ke dalam tas sekolahku. Setelah doa pulang, aku dan Jenny bersiap keluar kelas ketika Sherly tiba tiba muncul di depan pintu kelasku.

“Duh…”, aku sengaja mengeluh ketika aku melihat Sherly tersenyum senyum .

“Kenapa sayang?”, tanya Sherly yang mendekatiku.

“Kalian ini mau sampai kapan sih baru puas nggodain aku?”, tanyaku dengan memelas.

“Sampai kamu jadian sama Andy, dan nraktir kita kita”, kata Jenny dan Sherly hampir berbareng dan mereka tertawa senang.

“Ssstt!! Apaan sih? Kalau yang lain dengar gimana coba!”, aku mengomel dengan panik.

“Makanya jangan ngelamun aja sayang… liat dong di sini udah tinggal kita bertiga aja”, kata Jenny sambil merangkulku.

Aku melihat ke sekelilingku, ternyata memang kelasku ini sudah kosong selain kami bertiga. Tapi tetap saja aku was was kalau ada yang mendengar kata kata mereka tadi tentang aku jadian sama Andy. Aku tak ingin Andy mendengar gossip yang tidak tidak, aku tak ingin hubunganku dengan Andy yang baru mulai bersemi ini menjadi rusak.

“Yuk, kita temani kamu sampai ke mobilmu ya”, kata Sherly yang lalu menggandeng tanganku.

“Tapi, aku mau cari minuman dulu, aku haus nih. Kalian duluan aja deh”, aku mencoba memberi alasan untuk berpisah dari mereka, supaya aku tak terus menerus jadi bahan ledekkan mereka.

“Ya nggak apa apa, kebetulan aku juga haus. Aku temani kamu ke kantin deh sayang”, kata Jenny.

“Aku juga haus kok. Ya udah kita ke kantin dulu aja”, kata Sherly yang kini sudah menarik tanganku.

Aku sudah tak punya alasan lagi, maka aku menurut saja ditemani mereka berdua ke kantin. Tentu saja ledekan mereka terhadapku kembali berlanjut, dan aku hanya bisa tersenyum malu.

Sampai di kantin, perasaanku jadi risih ketika aku melihat si cebol. Aku teringat kelakuan bejatnya di gudang tadi terhadap Cie Fifi.

Namun aku berusaha bersikap biasa. Apalagi Cie Fifi sudah menyapa kami dan menanyakan apa yang kami pesan. Setelah kami bertiga selesai minum, kami segera membayar pesanan kami dan berpamitan pada Cie Fifi.

“Eh kalian liat nggak, si cebol tadi itu… matanya jelalatan terus ngeliatin dadanya Cie Fifi… kurang ajar deh pokoknya”, gerutu Sherly selagi kami menuju ke parkiran mobil.

“Masa iya Sher? Aku nggak liat sih”, tanya Jenny.

“Kamu sih, yang diliatin cuma Eliza. Hati hati lho Jen, nanti yang cemburu bukan cuman aku aja lho!”, kata Sherly dengan nada menggoda.

“Kalian ini… apaan sih…”, aku mengeluh kesal walaupun sebenarnya hatiku senang sekali mendengar semua ledekan mereka itu.

“Lhoo… kan memang benar, bukan aku aja yang bisa cemburu, tapi yayangmu juga kan”, goda Sherly lagi, dan Jenny ikut tertawa melihatku tak bisa menjawab.

Habis deh aku, mereka berdua seperti bekerja sama untuk meledekku habis habisan sejak dari kantin sampai ke parkiran mobil. Tak ada yang bisa kulakukan, aku sudah tak bisa membalas kata kata mereka dan pasrah saja diiringi kedua kekasihku ini, yang tega membuatku terus tersenyum malu seperti ini.

“Lhoo… Andy itu nungguin kamu sayang. Hayo, kalian janjian ya?”, goda Sherly ketika kami sudah dekat dengan mobilku.

“Hai Andy… nungguin Eliza ya… nih kukembalikan deh Elizanya”, Jenny menyapa Andy sekaligus meledek kami berdua.

“Hai Eliza… hai Jenny… Sherly…”, sapa Andy yang kemudian menunduk malu, mungkin karena ledekan Jenny itu.

“Hai juga Andy… Eh Eliza, kamu kok diam saja sih?”, Sherly langsung meledekku setelah membalas sapaan Andy.

Kini aku hanya bisa ikut menunduk malu. Gara gara Jenny dan Sherly, kini lidahku rasanya kelu bahkan hanya untuk menyapa Andy.

“Ya udah deh, kami titip Eliza sama kamu ya Andy. Jangan dihilangkan lho!”, kata Jenny yang tiba tiba nada suaranya menjadi galak.

“I… Iya”, jawab Andy dengan suara pelan.

“Awas kalau kamu sampai menghilangkan Eliza, Andy”, kata Sherly dengan sama galaknya.

“I… Iya…”, Andy menjawab lagi dengan suara sepelan tadi.

Mukaku rasanya benar benar panas. Entahlah, mungkin wajahku sudah semerah kepiting rebus. Aku menatap mereka berdua dengan kesal bercampur senang dan malu, tapi mereka berdua bersikap seolah tak terjadi apa apa hingga aku jadi semakin gemas pada mereka berdua.

“Ya udah Eliza, aku pulang dulu ya, bentar lagi aku les sama Cie Stefanny tuh. Andy, aku pulang dulu ya”, kata Jenny yang mengedipkan matanya dengan lucu sambil melambaikan tangan.

“Aku ikut kamu aja ya Jen. Dah, Eliza… Dah Andy…”, kata Sherly yang juga melambaikan tangannya.

Aku balas melambaikan tangan sebentar pada mereka berdua. Sebelum aku kembali menunduk malu, aku melihat sekilas, ternyata Andy juga melambaikan tangannya pada Jenny dan Sherly.

Diam diam aku merasa sedikit iri membayangkan apa yang kira kira akan terjadi di rumah Jenny setelah ini. Apalagi Sherly juga ikut ke sana. Mungkin Sherly dan Jenny akan mengajak Cie Stefanny bermesraan atau bahkan bercinta, dan perlahan gairahku mulai naik membayangkan semua itu.

Tapi aku sadar aku tak boleh membayangkan hal hal yang bisa membangkitkan gairahku selagi aku masih di sini bersama Andy, karena aku tak ingin mempermalukan diriku sendiri. Lagipula aku tak boleh kehilangan konsentrasiku sekarang ini. Aku tak ingin Andy menyangka aku tak perhatian padanya kalau nantinya obrolanku nggak nyambung karena pikiranku yang melayang ke mana mana.

“Hai Eliza…”, Andy menyapaku lagi tepat ketika aku menatap Andy.

“Hai juga Andy…”, sekali ini aku bisa balas menyapa, walaupun dengan hati yang berdebar tak karuan.

Kami kembali terdiam beberapa saat lamanya. Aku mencoba mencairkan suasana yang canggung ini.

“Andy, kamu benar sedang nungguin aku?”, aku bertanya pada Andy.

Andy tersenyum malu dan mengangguk.

“Kenapa?”, tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu apa kira kira jawaban Andy.

“Aku… aku…”, Andy tergagap panik.

Aku tersenyum geli melihat kepanikan Andy. Walaupun tentu saja aku merasa senang, tapi aku mulai penasaran mengapa Andy menungguku di sini. Apakah Andy ingin mengatakan sesuatu padaku?

Lagi lagi aku meratap dalam hati, dengan semua perhatian yang diberikan Andy padaku ini, tetap saja kami ini masih belum berstatus sepasang kekasih.

Sungguhpun begitu, besar harapanku bahwa dalam waktu dekat kami berdua akan benar benar jadian, dan… dan…

“Eliza… eeh… nanti malam… boleh aku telepon kamu?”, tanya Andy membuyarkan lamunanku.

Aku merasa seperti tersambar petir di siang hari yang amat cerah ini, lalu hatiku rasanya seperti disiram air es yang amat dingin. Hampir saja aku pingsan, dan aku nyaris tak percaya dengan pendengaranku.

Tapi… oh, terima kasih Tuhan… inilah saat yang kutunggu tunggu sejak aku bertemu dan mengenal Andy di kelas 1 SMA. Akhirnya Andy mulai berani terang terangan berusaha mendekatiku, dan aku mulai berani berharap, semoga mimpi indahku akan segera terkabul.

“Boleh”, aku menjawab sambil menunduk, dan sekarang ganti aku yang tersenyum malu bercampur rasa senang yang amat sangat.

“Kalau gitu… aku nanti malam telepon kamu ya… jam delapan malam boleh Eliza?”, tanya Andy lagi.

“Iya… jam delapan malam boleh… aku… aku tunggu ya”, aku berkata pelan, dan wajahku terasa panas.

“Iya… jam delapan malam”, kata Andy.

Jantungku berdegup dengan kencang, sampai sampai rasanya aku bisa mendengar degup jantungku sendiri. Ini adalah sebuah janji yang membahagiakan bagiku.

“Aku pulang dulu ya Andy…”, aku berpamitan pada Andy setelah lagi lagi kami terdiam cukup lama.

“Oh iya… aku juga pulang dulu Eliza. Take care ya…”, kata Andy.

“Iya, kamu juga take care ya Andy…”, kataku dengan jantung yang kembali berdegup kencang.

Aku masuk ke dalam mobilku setelah saling melambaikan tangan dengan Andy. Kini aku dalam perjalanan pulang, dengan hati yang sangat bahagia. Andy akan meneleponku nanti malam, entah apa yang akan kami bicarakan.

Yang jelas hari ini aku senang sekali, dan aku sudah tak sabar menunggu waktu ini berputar sampai jam delapan nanti, menghadirkan saat yang indah buatku.

-x-

V. Kenakalanku Berlanjut

Aku menekan klakson mobilku satu kali ketika aku sudah berada di depan pintu gerbang rumahku. Sesaat kemudian aku melihat Wawan yang membukakan pintu untukku, dan aku jadi teringat keusilanku tadi pagi. Aku menahan nafas sambil memasukkan mobilku ke garasi, bersiap menerima nasibku.

Tapi aku sedikit terkejut melihat ada mobil kokoku di dalam garasi. Dan ketika aku melihat kokoku ada di dalam mobilnya, yang sepertinya sibuk mengutak atik sesuatu di dalam mobilnya, aku bernafas lega. Tiga pejantan yang pasti menaruh dendam padaku itu tak akan seberani itu untuk menyentuhku selagi ada kokoku di sini.

Maka aku turun dengan santai, dan mendekat ke arah kokoku yang masih sibuk di dalam mobilnya. Aku melihat Wawan yang menatapku dengan penuh nafsu, dan aku meleletkan lidah padanya dengan tenang tanpa kuatir akan diapa apakan olehnya. Dan kini aku sudah berada di samping kokoku.

“Halo ko… diapain lagi sih mobilnya?”, aku menyapa kokoku.

“Oh… lagi masang CD lagu baru nih”, jawab kokoku.

“Lagunya siapa… aku mau dong”, aku mulai merengek.

“Iya iya aku beli dua kok. Nih satunya”, kata kokoku yang keluar dari mobilnya dan memberikan satu kotak CD yang masih terbungkus ini padaku, kelihatannya kokoku sudah selesai memasang CD lagu baru itu di dalam CD changer mobilnya.

“Makasih ya ko”, kataku dengan senang dan menimang nimang CD itu, lalu mulai membaca baca judul lagu yang ada dalam CD itu.

“Iya iya… ayo makan dulu, aku sudah lapar nih”, kata kokoku sambil mengusik rambutku hingga jadi sedikit awut awutan seperti ini.

“Iih… apaan sih”, aku mengomel dan mengejar kokoku yang sudah melarikan diri ke dalam.

Demikianlah kalau aku bertemu kokoku, kami sering jadi sedikit ribut dalam canda seperti ini. Kemudian kami makan bersama sambil saling menceritakan hal hal yang baru kami alami. Tentu saja aku tidak segila itu untuk menceritakan semua aktivitas seksual yang kualami pada kokoku. (tapi kuceritakan pada blog kisahbb dan blog telurrebus, duh…)

“Me, aku nanti butuh handycam. Ada di kamu kan me?”, tanya kokoku ketika kami sudah selesai makan.

“Oh iya… sebentar aku ambilkan ya ko”, kataku sambil mencuci tanganku.

“Aku langsung ikut saja ke kamarmu me, sekalian meriksa anti virus di komputermu”, kata kokoku.

“Ok deh”, kataku dan aku menunggu kokoku selesai mencuci tangan, lalu kami sama sama ke atas menuju kamarku sambil sesekali saling meledek, dan sekali ini aku yang menang begitu aku menggunakan Cie Stefanny sebagai bahan ledekan.

Aku melepas sepatu dan kaus kakiku, yang kemudian semuanya kutaruh di lemari sepatu. Aku jadi teringat kemarin, saat Jenny dan Sherly datang mengantarku dan melihat sepatu Cie Stefanny.

Sesaat jantungku berdegup kencang. Tiba tiba aku merasa ngeri membayangkan apa reaksi kokoku kalau ia melihat Cie Stefanny tertidur di ranjang kamarku dalam keadaan telanjang bulat. Tapi aku langsung kembali tenang ketika aku sadar kalau tak ada sepatu siapapun yang di depan pintu kamarku.

Di dalam kamar, aku menyalakan AC dan membuka gorden jendela. Setelah kokoku membereskan anti virus di komputerku dan handycam itu kuberikan padanya, kokoku berpamitan padaku, katanya mau menemani papa mama. Mereka baru akan pulang hari Minggu nanti, yang besar kemungkinan mereka pulang di malam hari seperti biasa.

Sambil menutup pintu setelah kokoku sudah keluar dari kamarku, aku mulai berpikir, berarti aku sendirian sampai besok malam. Dan aku tahu aku tak mungkin lolos dari serangan tiga pejantan di rumahku ini kalau aku tak mengunci diri di kamarku.

Tapi aku bingung juga memikirkan apa yang harus kulakukan saat aku harus makan malam nanti. Entahlah, mungkin aku harus menahan lapar nanti malam. Yah, anggap aja diet.

Maka aku mengunci pintu kamarku, tapi sebuah ketukan pada saat aku masih sedekat ini dengan pintu kamarku membuatku menjerit kaget.

“Me, ada apa? Ini tadi aku lupa kalau aku bawain kamu roti tawar dan keju kesukaanmu”, kudengar suara kokoku dari balik pintu.

Aku membuka pintu lalu aku menghambur dan memeluk kokoku dengan lega. Jantungku berdegup kencang, dan aku berusaha menenangkan diriku dengan menyusupkan wajahku di dada kokoku yang cukup bidang ini.

Kokoku balas memeluk tubuhku dengan lembut, dan aku terus diam dalam pelukan kokoku.

“Me, ada apa? Tadi kamu kok sampai menjerit seperti itu?”, tanya kokoku dengan heran.

“Aku… anu… memangnya siapa yang nggak kaget kalau pintu yang baru kukunci sudah diketuk seperti itu?”, aku memprotes dan mendongak memandang kokoku, dan aku memasang muka cemberut.

“Ooh… sorry deh kalau gitu”, kata kokoku yang lalu membelai rambutku dengan sayang.

Aku senang sekali dengan perlakuan lembut kokoku ini. Aku kembali menyusupkan wajahku ke dada kokoku, dan aku merasa aman berada di pelukan kokoku.

Sebenarnya aku tak ingin melepaskan kokoku pergi, aku ingin menikmati rasa aman ini. Tapi aku takut kokoku malah curiga dengan sikapku.

Maka dengan berat hati aku melepaskan pelukanku pada kokoku, lalu aku menerima roti pemberian kokoku, tentu saja tak lupa aku mengucap terima kasih padanya.

Setelah kokoku keluar kamar, aku kembali mengunci pintu kamarku supaya nanti saat kokoku sudah pergi, aku sudah aman. Paling tidak siang hari ini aku bebas dari gangguan pak Arifin, Wawan dan Suwito yang pasti tak rela membiarkanku menganggur.

Dan roti yang diberikan kokoku ini pasti bisa menyelamatkanku dari rasa lapar ketika nanti aku harus terpenjara dalam kamarku sendiri, demi menghindari nafsu tiga pejantan itu.

Kini aku ingin tidur siang barang sebentar, supaya nanti malam aku tidak capek atau mengantuk saat Andy meneleponku. Dan tentu saja aku tak ingin langsung tidur begitu saja, aku ingin badanku bersih sehingga aku bisa tidur dengan nyaman.

Maka aku bersiap untuk segera mandi. Sambil menenteng handuk, aku pergi ke kamar mandiku untuk menyiapkan air hangat pada shower dengan memutar handel kran ke arah yang biasanya.

Setelah aku merasa air yang memancar dari shower ini tak terlalu dingin, dengan santai aku melucuti baju dan rok seragam sekolahku, juga bra dan celana dalamku, lalu semuanya kutaruh dalam keranjang baju kotor.

Aku mengunci pintu kamar mandiku dan aku segera berdiri di bawah siraman shower air hangat ini hingga rasa lelah yang mendera tubuhku sedikit terobati.

Setelah seluruh tubuhku basah, aku mulai memanjakan tubuhku dengan cairan sabun mandiku yang lembut, tapi aku jadi menggigit bibirku sendiri saat aku menyabuni kedua payudaraku.

Beberapa kali telapak tanganku menyenggol puting payudaraku tanpa sengaja saat aku membilas kedua payudaraku, dan dari awalnya yang tidak sengaja itu kini aku sendiri yang malah sengaja menyentuh dan menggoda kedua puting payudaraku sendiri.

“Mmmh…”, aku merintih menikmati rasa panas yang mulai menjalari tubuhku.

Kini aku mulai meremas lembut kedua payudaraku sendiri, sambil membayangkan Andy sedang mencumbu dan memanjakanku dengan mesra di kamar mandiku sekarang ini.

“Mmmh…”, aku kembali merintih dengan nafas memburu, sambil memejamkan mataku dan menikmati fantasy liar yang memenuhi pikiranku ini.

“Ohh… Andy…”, aku mendesah, dan seiring gairahku yang makin menggelegak, aku mulai meraba bibir vaginaku sendiri.

Semua rabaan dan tekanan yang kulakukan pada bibir vaginaku dengan jari jari tanganku ini membuatku mulai lepas kontrol. Aku membayangkan Andy sedang mencumbuiku dengan mesra, juga sedang meraba dan meremas kedua payudaraku dengan lembut seperti ini.

Gairahku sudah mulai menguasai diriku. Tanganku seperti bergerak sendiri, mencelupkan jari telunjuk kananku ke dalam liang vaginaku. Rasa nikmat saat jari tanganku menggoda liang vaginaku sendiri membuatku membayangkan Andy menyetubuhiku dengan penuh cinta di kamar mandiku sekarang ini.

“Mmm… ssshh…”, aku merintih, mendesah, dan menggeliat perlahan di bawah siraman air hangat yang nyaman ini, sambil menikmati nakalnya jari tanganku yang menggoda liang vaginaku sendiri dan aku terus membayangkan Andy yang melakukan semua ini padaku.

Rasa panas mulai menjalari sekujur tubuhku, dan nafasku makin tak beraturan. Aku memejamkan mataku dan kedua pahaku ini kurapatkan sekuat tenaga menikmati setiap denyutan yang menimbulkan rasa ngilu pada liang vaginaku.

Desahanku sudah mulai berubah menjadi dengusan, dan tak lama kemudian tubuhku tersentak sentak didera orgasme.

“Andyyy…”, aku merintih panjang, tak kuat lagi menerima semua sensasi ini, dan aku menarik jari telunjuk kananku dari jepitan liang vaginaku.

Dengan nafas tersengal sengal, aku melihat ke daerah selangkanganku, dimana cairan cintaku terus merembes membasahi kedua pahaku. Kedua betisku kembali terasa pegal akibat kenakalanku ini, dan tenagaku lagi lagi seperti lenyap begitu saja entah ke mana.

“Duh… aku ini kenapa sih… kok jadi seperti ini…”, aku mengeluh pelan menahan malu menyadari kalau aku baru saja bermasturbasi sambil membayangkan Andy, dan aku berusaha menekan nafsu birahiku ini.

Perlahan aku mulai pulih dari keadaan terangsang ini, dan orgasmeku juga sudah mereda. Rambutku jadi basah semua, dan aku memutuskan untuk keramas sekalian. Tak lupa aku membersihkan liang vaginaku yang tadi sempat dipenuhi cairan cintaku ini, dan kini aku sudah merasa nyaman dengan tubuhku.

Setelah itu aku menghanduki rambut dan tubuhku hingga kering, lalu aku membelitkan handuk ini hingga menutup setengah bagian payudaraku sampai ke setengah pahaku.

Dan aku baru keluar dari kamar mandiku, ketika aku nyaris menjerit ketika aku melihat bayangan beberapa orang di jendela kamarku yang tadi gordennya tidak kututup.

“Kalian ini sudah gila ya!”, aku setengah membentak pada Wawan dan Suwito yang asyik memandangiku dari jendela kamarku

Aku sebenarnya bukan tidak ingat kalau tubuhku ini sudah berkali kali dinikmati dan dijarah habis oleh mereka. Tentunya bertelanjang tubuh di hadapan mereka sudah bukan merupakan hal yang luar biasa, apalagi sekarang ini tubuhku masih terbelit handuk mandiku. Tapi entah kenapa, saat ini aku merasa kesal diintip oleh mereka seperti ini.

Wawan dan Suwito berlagak tak mendengar kata kataku, dan mereka berdua menaruh tangan mereka di telinga mereka sambil membuka mulut mereka, seolah ingin aku mengulangi kata kataku, hingga aku makin kesal. Melihat sikap mereka ini aku tahu kokoku pasti sudah pergi. Kalau kokoku belum pergi, tak mungkin mereka berani kurang ajar seperti ini padaku.

Aku melangkah ke jendela dan sudah akan menutup gorden jendela kamarku ini, ketika tiba tiba terlintas sebuah ide yang membuatku ingin tertawa.

Melihat mereka terus memandangiku seperti itu, aku bukannya menutupkan gorden jendela kamarku, tapi aku malah melonggarkan handuk yang membalut tubuhku, dan dengan perlahan aku menurunkan handuk ini.

Kedua payudaraku pasti sudah mulai terlihat oleh Wawan dan Suwito yang kini jadi menelan ludah. Aku terus menurunkan handuk ini sampai ujung atas bibir vaginaku yang sudah berkali kali terisi penis mereka itu terpampang di hadapan mereka.

Wawan dan Suwito terus melotot memandangi tubuhku, sampai mata mereka seperti akan keluar dari tempatnya. Aku semakin bersemangat menggoda mereka, dan dalam keadaan telanjang bulat seperti ini, perlahan aku membalikkan tubuhku, lalu aku melangkah ke arah lemari bajuku dengan kaki tersilang layaknya seorang model yang sedang berjalan di atas catwalk.

Aku mengambil bra dan celana dalamku dari lemari bajuku, sengaja kupilih bra yang berukuran paling kecil di antara semua milikku. Lalu aku kembali mendekat ke jendela, dan aku melangkah ke sana dengan gaya seperti tadi sambil mengerling nakal pada mereka.

Berikutnya aku sengaja berlambat lambat mengenakan bra ini, perlahan menutup kedua payudaraku.

“Non… ayo non… buka dong…”, aku mendengar suara Wawan dan Suwito dari luar yang memohon mohon dengan wajah mesum mereka itu.

Entah apa yang mereka minta untuk dibuka, bra yang sudah kukenakan ini, atau daun jendela kamarku ini, atau pintu kamarku, yang pasti aku tak mungkin mau mengabulkan permohonan mereka.

Dan dalam hati aku mengomel, dari sini aku bisa mendengar kata kata mereka yang tak terlalu keras itu dengan jelas, tapi tadi itu mereka berlagak tak mendengarku. Maka aku memutuskan untuk membuat mereka makin haus dan lapar akan tubuhku, toh aku aman aman saja di dalam sini.

Aku kembali mengerling dengan nakal ke arah mereka berdua. Aku terus mengenakan celana dalamku, dan seperti tadi, aku berlambat lambat menaikkan celana dalamku melewati kedua pahaku, sampai akhirnya celana dalamku ini menutup selangkanganku dengan sempurna.

Lalu aku mendekati mereka, seakan aku ingin memperlihatkan tubuhku dengan lebih jelas pada mereka semua. Berikutnya aku mengangkat kedua tanganku, memejamkan mataku dan memutar tubuhku seperti sedang menari. Lalu aku merentangkan tanganku, memegang gorden jendela kamarku dan menutup sebagian tubuhku dengan gorden itu, sambil mengerling nakal ke arah mereka bertiga.

“Sudah, aku mau tidur!”, aku berkata dengan suara keras, lalu aku menutup gorden jendela kamarku ini.

Aku tertawa geli membayangkan entah sekesal apa Wawan dan Suwito sekarang ini padaku. Kudengar gedoran gedoran kecil pada jendela kamarku, tapi aku tentu saja tak mau menanggapi semua itu.

Perlahan aku menghela nafas panjang, lalu aku ke meja riasku untuk mengeringkan rambutku dengan hair dryer. Selagi aku mengeringkan rambutku, kudengar handel pintuku tersentak sentak beberapa kali, rupanya mereka sudah terbakar nafsu dan memaksa masuk ke dalam sini untuk mendapatkanku, memperkosaku dan melumat habis tubuhku.

Jantungku berdegup kencang, dan aku menjadi sedikit tegang juga. Tapi aku mencoba tenang. Aku tahu aku akan aman di dalam kamarku, mereka tak akan berani berbuat lebih jauh seperti mendobrak pintu kamarku ini. Setelah rambut ini kusisir rapi hingga terasa halus dan nyaman, aku memutuskan untuk segera tidur siang.

Aku tak ingin tidur terlalu lama, maka aku menyetel weker agar berdering pada jam lima sore nanti. Lalu dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam seperti ini, aku meyusup masuk ke dalam bed cover ranjangku.

Cukup sulit aku berusaha untuk segera tertidur. Andy selalu muncul di hadapanku setiap aku memejamkan mataku. Kalau aku membuka mataku, aku jadi ingin malam segera tiba dan membayangkan betapa senangnya aku nanti saat Andy meneleponku.

Aku tersenyum senyum sendiri, dan entah berapa lama kemudian barulah aku akhirnya bisa tertidur.

-x-

VI. Dendam Tiga Pejantan

Masih jam setengah empat sore ketika aku sudah terbangun dari tidur siangku. Tapi rasa capek dan pegal yang menyiksa tubuhku selama tiga hari ini sudah berkurang banyak. Dan aku sudah tersenyum senyum lagi karena bayangan Andy sudah kembali mengisi hatiku.

“Non… non…”, kudengar suara Sulikah yang mengetuk pintu kamarku.

“Iya, kenapa mbak?”, tanyaku was was.

“Ada tukang surat yang minta tanda tangan non Eliza”, kata Sulikah.

“Oh iya mbak, sebentar”, jawabku dengan malas.

Aku keluar dari bedcover ranjangku, dan hawa dingin AC kamarku langsung menerpa tubuhku yang hanya berbalut bra dan celana dalam saja. Aku menggigil sejenak dan langsung berlari ke lemari bajuku, lalu aku segera mengenakan baju rumah ala kadarnya.

“Aduh… gawat deh…”, aku mengeluh dengan kuatir.

Aku mengintip dari balik gorden jendela kamarku, kelihatannya Wawan dan Suwito sudah tidak di depan jendela kamarku. Entah ada di mana mereka sekarang, jangan jangan mereka sedang nungguin aku di depan pintu kamarku.

Maka dengan takut takut aku mengintip dari kaca pengintip pintu kamarku, dan aku hanya bisa melihat Sulikah yang menungguku.

“Mbak, harus aku ya yang tanda tangan?”, aku bertanya dengan harapan jawabannya tidak.

“Kata tukang suratnya sih harus non Eliza”, jawab Sulikah.

Aku sedikit lemas mendengar jawaban Sulikah ini. Aku ingin membiarkan tukang surat itu pergi, tapi aku tak ingin nantinya aku jadi semakin repot kalau ternyata yang akan disampaikan tukang surat itu sesuatu yang penting. Terpaksa aku menempuh resiko ini. Perlahan aku membuka pintu kamarku, dan dengan harap harap cemas aku mengintip apa mereka ada di sekitar sini.

“Mbak, mereka ada di mana?”, tanyaku dengan berbisik bisik.

“Tadi sih ada di kamar mereka, mbak”, jawab Sulikah sambil tersenyum senyum.

Dasar, ini orang melihat anak majikannya takut akan diperkosa, bukannya kasihan, malah senyum senyum seperti ini. Aku sedikit kesal pada Sulikah, tapi aku tak berkata apa apa dan segera turun menuju ke pintu gerbang.

“Ya pak?”, tanyaku ketika aku sudah berada di hadapan kurir itu.

“Ini ada kiriman untuk mbak, tolong tanda tangan di sini ya”, kata kurir itu sambil memberikan sebuah amplop padaku, yang ternyata isinya Discount Card dari restoran favorit Jenny, berikut dengan sebuah tanda terima dan pulpen padaku.

“Oh iya, makasih pak”, aku berkata senang dan menanda tangani tanda terima itu, lalu aku masuk ke dalam dengan riang.

Berarti besok atau Senin aku bisa pamer pada Jenny dan Sherly, aku duluan yang mendapat Discount Card ini. Dan aku akan mentraktir mereka berdua di sana untuk membuat mereka semakin kesal padaku :p

Tapi jantungku nyaris berhenti ketika di garasi aku melihat Suwito yang langsung memburuku dengan tampang seperti orang kelaparan. Aku menjerit ketakutan menghindari sergapan Suwito, dan aku berlari ke dalam dengan panik, berharap aku masih sempat masuk ke dalam kamarku dan mengunci pintu.

“Nggak usah lari non, percuma saja”, ejek Suwito sambil tertawa, dan ia mulai mengejarku, membuatku semakin ketakutan dan aku terus berlari ke arah tangga.

“Aaah… jangaan…”, aku menjerit ngeri ketika tiba tiba Wawan muncul dari balik tangga, dan aku menghindar sebisaku ketika Wawan juga hendak menangkapku.

Aku tak bisa ke tangga, juga tak bisa berlari ke luar. Aku lari ke ruang tamu, tapi perlahan mereka malah membuatku terpojok di sofa ruang tamu. Aku menjadi nekat dan melompati meja di ruang tamu ini, lalu aku bermaksud melarikan diri ke ruang keluarga.

Tapi mereka lebih cepat menghadangku, dan terus mengurungku hingga aku kembali terpojok, terkepung di grandfather clock yang terpajang di ruang tamu ini.

“Sudah non, sekarang non Eliza menyerah saja…”, kata Wawan yang makin mendekat dan bersiap menyergapku.

“Waktunya non menyerah dan main main sama kami”, Suwito menambahkan sambil tersenyum mesum.

Jantungku berdegup semakin kencang. Aku tahu aku tak boleh sampai tertangkap mereka. Karena mereka berdua yang pasti nantinya akan ditambah dengan pak Arifin, tentu akan memperkosaku sampai mereka puas menuntaskan dendam birahi mereka padaku.

“Ko… kok sudah pulang?”, kataku sambil mengarahkan pandanganku ke pintu utama ruang keluarga yang terlihat dari sini.

Wawan dan Suwito langsung menoleh ke arah pintu, pasti mereka terkejut setengah mati mendengar kata kataku tadi.

Kesempatan ini langsung kugunakan untuk melarikan diri menuju ke ruang keluarga, dan aku berhasil lolos dari kepungan mereka berdua.

“Wah non Eliza curang!”, gerutu Suwito yang kemudian langsung mengejarku.

“Jangan lari non!”, seru Wawan yang juga ikut mengejarku.

Aku mati matian berlari secepat mungkin menuju tangga, dan kelihatannya aku memang lebih cepat dari mereka. Aku terus menuju ke dalam kamarku, dan aku berhasil mengunci pintu kamarku tepat sebelum handel pintu kamarku ini tersentak sentak.

Jantungku serasa akan copot. Pasti Wawan dan Suwito sedang berusaha membuka pintu kamarku. Tapi aku juga sadar kalau aku sudah aman di dalam kamarku ini.

‘YES!!’, aku berteriak dalam hati dengan senang.

Lega sekali rasanya aku bisa terbebas dari dua maniak itu. Bukannya aku tak mau melayani mereka, aku hanya ingin menyimpan tenagaku hari ini, paling tidak sampai aku selesai telepon dengan Andy nanti malam.

Aku sedikit berkeringat akibat baru saja lari dengan sekuat tenaga seperti tadi. Nafasku juga sedikit tak beraturan dan tubuhku sedikit gemetar, tapi kini semua sudah aman. Dan aku berpikir bahwa berendam di air hangat mungkin bisa menurunkan keteganganku.

Maka aku mengambil satu set baju ganti lengkap dengan bra dan celana dalam dari lemari bajuku, dan aku melangkah ke kamar mandiku. Tak lupa aku membawa serta handuk yang tergantung di depan wastafel, dan aku bersiap menikmati nyamannya bathtub kamar mandiku.

“Haaaaah…”, aku menjerit ketakutan ketika aku melihat pak Arifin yang berada di dalam kamar mandiku, entah sejak kapan ia berada di dalam sini.

Helai demi helai pakaian yang kubawa berjatuhan ke lantai kamarku selagi aku mundur mundur sambil menggelengkan kepalaku berkali kali, sementara pak Arifin mulai mendekatiku.

“Pak… jangan pak…”, aku merengek dengan nada memelas, tapi situasi ini tidak berubah, pak Arifin terus mendekatiku.

Aku semakin panik, tak tahu harus lari ke mana. Tapi aku masih punya harapan. Asal aku bisa mengelabui pak Arifin hingga aku bisa lari ke kamar mandi di dalam kamarku ini dan mengunci pintunya, mungkin aku masih bisa selamat, paling tidak untuk sementara waktu.

“Pak… ya udah Eliza mau sama pak Arifin saja, tapi jangan panggil yang lainnya ya”, aku sengaja merengek dengan manja dan kini aku malah mendekat ke arah pak Arifin.

Aku sudah akan menarik kaus yang kukenakan ini, tapi aku menghentikan niatku ketika pak Arifin yang masih berdiri di depan pintu kamar mandiku ini malah membuka gorden kamarku yang memang ada di dekatnya.

Aku sudah putus asa, harapanku pudar sama sekali ketika aku melihat kunci jendela kamarku dibuka oleh pak Arifin, karena itu berarti jalan masuk ke dalam kamarku terbuka bagi Wawan dan Suwito.

Aku tak mungkin mempunyai cukup waktu untuk melarikan diri lewat pintu kamarku yang terkunci ini, karena selagi aku memutar kunci pintu kamarku, pak Arifin pasti sudah menyergapku.

“Saya sih senang senang saja non kalau bisa ngeseks sama non sendirian, cuma saya nggak enak sama Wawan dan Suwito. Saya bisa ikut menikmati non Eliza kan berkat mereka juga”, kata pak Arifin yang kini kembali mendekat ke arahku.

Aku amat kesal mendengar kata kata pak Arifin, yang memang benar itu. Kalau dulu Wawan dan Suwito tidak memulai kekurang ajaran mereka terhadapku, belum tentu pak Arifin bisa ikut menikmati tubuhku bersama mereka. Lebih lagi, belum tentu aku harus menjadi budak seks mereka bertiga di rumahku sendiri sejak akhir tahun 2004 kemarin.

Tapi tak ada waktu bagiku untuk mengingat masa lalu. Aku sadar sekarang ini pak Arifin sudah dekat sekali, dan aku sempat berkelit ke belakang untuk menghindar ketika pak Arifin mencoba menangkap tubuhku.

“Pak…”, aku kembali mundur mundur ketakutan, kini aku benar benar merasa akan diperkosa.

“Fiiin, kowe onok ndek njero toh? Ayo bukaen pintu kamare dol!”, aku mendengar Wawan berseru dari depan pintu kamarku.

“Yo, untung toh maeng aku ngenteni nang njero kamar mandine non Eliza? Lek gak, saiki kene lak ngaplo maneh? Tapi saiki kowe mlebu teko jendelo ae Wan, kuncine wes tak buko. Wedine non Eliza mlebu lan ngumpet nang njero kamar mandine lek aku mbukano pintu gawe kowe. To, kowe ngenteni nang ngarep pintu ae, ben Wawan seng mbuka pintune gawe kowe”, kata pak Arifin dalam bahasa Suroboyoan pada mereka, dan pak Arifin terus mendekatiku.

Untuk yang tak mengerti percakapan mereka yang menggunakan bahasa Suroboyoan itu, tadi Wawan bertanya apakah pak Arifin ada di dalam kamarku, dan menyuruh pak Arifin membuka pintu kamarku buat mereka.

Pak Arifin mengiyakan kalau ia ada di dalam sini, sekaligus membanggakan diri karena ia tadi menunggu di dalam kamar mandiku. Kalau tidak, sekarang ini mereka semua pasti kembali menganggur. Tapi pak Arifin menyuruh Wawan masuk ke dalam kamarku melalui jendela kamarku yang kuncinya sudah dibuka olehnya, karena pak Arifin kuatir aku akan masuk dan bersembunyi di dalam kamar mandiku selagi ia membuka pintu kamarku untuk Wawan.

Selain itu pak Arifin juga meminta Suwito untuk menunggu di depan pintu kamarku, sampai Wawan membuka pintu kamarku untuknya. Dengan begitu aku tak mungkin bisa melarikan diri lewat manapun, karena semua jalan keluar dari kamarku sudah terjaga oleh mereka.

Benar benar gila, pak Arifin sampai sudah membuat strategi seperti ini untuk menangkapku, dan memang mereka berhasil membuatku terkepung di dalam kamarku sendiri. Entah bagaimana ia bisa memikirkan hal ini, yang jelas sekarang ini aku sudah tak bisa berbuat apa apa lagi, dan aku tinggal menunggu waktu sebelum tubuhku ini jatuh ke tangan mereka.

“Aduh… jangan paak…”, aku menjerit ketika kedua tanganku sudah tertangkap pak Arifin yang tiba tiba menyergapku, dan aku sama sekali tak sempat menghindar karena semangatku sudah pudar.

Aku mulai mencoba meronta, tapi semua itu percuma saja. Apalah arti tenagaku, seorang gadis yang mungil kalau dibandingkan dengan pak Arifin yang bertubuh tegap dan kekar itu?

Sesaat kemudian Wawan masuk dari jendela kamarku, lalu ia menguncinya. Gorden itu juga ditutup olehnya.

“Pinter kowe Fin”, kata Wawan yang terlihat sangat senang dengan keberhasilan strategi pak Arifin.

Lalu Wawan melenggang ke arah pintu kamarku, sambil menatapku dengan senyum penuh kemenangan, dan ia membuka pintu kamarku untuk Suwito. Mereka berdua saling tos dengan bersemangat, membuatku semakin lemas melihat ini semua.

-x-

VI. Pembantaian Itu Dimulai

Lengkap sudah ketiga pejantan yang pasti akan segera melumat tubuhku untuk melampiaskan dendam mereka padaku. Entah mereka akan membantaiku seperti apa, aku tak berani membayangkan nasibku akan seburuk apa hari ini.

Aku meronta ronta selagi Wawan dan Suwito mendekatiku sambil menyeringai. Walaupun sebenarnya mereka sudah sering menikmati tubuhku, tetap saja saat ini aku bergidik ngeri melihat tatapan mereka yang seperti ingin menelanku bulat bulat.

Aku terus mencoba melepaskan kedua tanganku dari cengkeraman tangan pak Arifin.

“Jangan… jangan sekarang… besok saja… jangan hari ini… aku mmpph…”, permohonanku yang sia sia ini terputus oleh Suwito yang dengan buas sudah melumat bibirku.

Selagi aku merintih rintih sampai akhirnya megap megap karena kehabisan nafas, kurasakan celana pendek berikut celana dalamku sudah dilorotkan.

Aku tak melihat siapa yang melakukannya, tapi dengan pak Arifin yang mencengkeram kedua tanganku dan Suwito yang masih terus memagut bibirku, aku tahu pelakunya pasti Wawan.

Kedua kakiku sedikit direntangkan, dan berikutnya Wawan memagut bibir vaginaku dengan penuh nafsu.

Aku mulai melemas, dan ketika pak Arifin melepaskan cengkeramannya pada tangan kananku, aku sudah terlalu kacau untuk menggunakan tangan kananku entah untuk mendorong Suwito yang masih sibuk melumat bibirku, ataupun Wawan yang terus memagut bibir vaginaku. Lagipula tenaga pada tangan kananku ini rasanya lenyap entah ke mana.

“Mmhh… sudaah… lepaskan…”, aku memohon dan merengek ketika Suwito melepaskan pagutannya pada bibirku.

“Lepasin? Non Eliza jangan mimpi deh!”, kata Suwito dengan nafas memburu, dan ia bersama pak Arifin menarik kaus yang kukenakan ini ke atas hingga terlepas dari tubuhku.

Kini aku tinggal mengenakan bra yang berwarna putih ini, dan aku tahu sebentar lagi pembantaian terhadap diriku akan segera dimulai.

Pak Arifin dan Suwito yang berdiri di samping kiri dan kananku ini, melingkarkan kedua tanganku di leher mereka.

“Aaah…”, aku menjerit ngeri ketika tiba tiba tubuhku terangkat, ternyata Wawan memanggul kedua pahaku di atas bahunya, dan kedua betisku yang terjuntai menekuk ke bawah ini menempel di punggung Wawan.

Aku semakin tak berdaya. Dengan tangan kiriku yang melingkar di leher pak Arifin yang berdiri di sebelah kiriku, tangan kananku yang melingkar di leher Suwito yang berdiri di sebelah kananku, dan kedua pahaku yang dipanggul Wawan di bahu kanan dan kirinya, aku sudah tak bisa ke mana mana lagi.

Kengerian sedikit melandaku ketika aku menyadari tubuhku melayang cukup tinggi dari lantai, apalagi dalam posisi seperti ini mereka membawa tubuhku keluar dari kamarku, terus keluar sampai ke tempat jemuran baju.

Tapi yang paling membuatku panik adalah kepala Wawan yang berada di antara kedua pahaku yang terbuka, dan yang pasti wajah Wawan menghadap langsung pada bibir vaginaku, sangat dekat. Sebuah jilatan yang dilakukan Wawan memulai pembantaian terhadap diriku, dan aku menggeliat lemah akibat ulah Wawan ini.

“Wan… jangan… angghhhk…”, aku mencoba memohon, tapi aku harus melenguh ketika Wawan kembali memagut bibir vaginaku yang terpajang di hadapannya, dan tubuhku mengejang hebat tanpa bisa kukendalikan lagi.

Belum cukup siksaan kenikmatan yang kualami, pak Arifin dan Suwito menambah penderitaanku. Mereka menyingkap bra yang membungkus payudaraku, lalu hampir bersamaan mereka mencucup kedua puting payudaraku yang ada di hadapan mereka. Aku mulai tak kuasa menerima semua rangsangan ini, tubuhku menggeliat dan mengejang tanpa bisa kukendalikan lagi.

“Mmmhh… udaaah…”, aku merintih dan memohon.

Tak ada jawaban dari mereka atau tanda tanda mereka mau mendengarkan permohonanku. Mereka bertiga terus menggoda kedua puting payudaraku, juga bibir dan liang vaginaku. Aku mulai tersiksa dalam kenikmatan ini, gairahku sudah naik tak karuan, dan rasa panas mulai menjalari sekujur tubuhku.

“Ngghh… sudaah… mmhh… hentikaaan… aunghhh…”, aku memohon dan merengek di antara lenguhan dan rintihanku.

Tapi memang salahku juga sih, tampaknya dendam tiga pejantan ini terlalu besar setelah aku berkali kali menggoda dan memancing nafsu mereka seharian ini. Mereka sama sekali tak menghiraukan permohonanku dan dengan kejam mereka terus menyiksaku.

Aku sudah tak kuat lagi. Pinggangku melengkung dan melengkung, kepalaku sampai terdongak akibat nikmatnya rangsangan bertubi tubi yang mendera tubuhku ini. Karena posisi tubuhku yang seperti ini, kepalaku jadi terjuntai ke bawah, dan rambutku yang tergerai ini tersentak sentak mengikuti gerakan tubuhku.

Tiba tiba mereka bertiga serentak menghentikan aksi mereka, namun mereka membiarkan tubuhku tetap melayang tinggi di pundak mereka. Aku merintih perlahan, dalam hati aku merasa kecewa karena nikmat yang melandaku ini menjadi pudar ketika mereka berhenti begitu saja seperti ini.

Tapi aku hanya diam, aku tak mau berkata apa apa, meminta ataupun berbuat apapun, walaupun diam diam aku menikmati sisa sisa gejolak gairah yang masih melanda tubuhku.

“Non Eliza mau turun?”, tanya Wawan sambil meniup niup bibir vaginaku.

“I… iyaa…”, jawabku dengan merengek dan aku sedikit menggoyang goyangkan pinggulku untuk menghindarkan bibir vaginaku dari tiupan Wawan.

“Wan…”, aku kembali merengek pada Wawan.

Dengan kedua betisku yang menempel di punggung Wawan, dan kedua pahaku yang juga menjepit kepala Wawan, gerakanku sama sekali tidak berguna. Apapun yang kulakukan, bibir vaginaku tetap ada di hadapan wajah Wawan yang tega meneruskan ulahnya itu.

“Terus apa tanggung jawab non yang tadi sudah membuat kita kita tegangan tinggi waktu lihat non di kamar siang tadi?”, tanya Suwito yang kemudian mencucup puting payudaraku yang ada di hadapannya hingga aku menggeliat dan mengejang lemah.

“Enggh… maaf deh… tapi… kalian kok kurang ajar sih… kalian itu ngintip aku, kok malah aku yang disuruh tanggung jawab?? Harusnya kan aku yang marah??”, dari memohon kini aku jadi memprotes dengan kesal sambil menahan gairahku selagi Wawan dan Suwito sibuk menyerang daerah daerah sensitif pada tubuhku ini.

Mendengar omelanku, Wawan dan Suwito menghentikan serangan mereka, dan mereka saling berpandangan sejenak.

Aku sendiri menatap kesal pada mereka, namun aku tak bisa berbuat apapun selagi tubuhku masih melayang seperti ini dengan kedua tangan dan kakiku yang berada dalam kekuasaan mereka.

“Wah nggak mau tahu, pokoknya non Eliza harus tanggung jawab. Lagian non Eliza sudah bikin kita kita ngaceng berkali kali tanpa hasil sejak pagi”, kata Wawan yang lalu kembali memagut bibir vaginaku.

“Engghkk… ngghh…”, aku melenguh keenakan akibat siksaan Wawan ini dan pinggangku kembali melengkung hingga perutku terangkat tinggi.

Aku ingin meronta, aku ingin memohon agar mereka melepaskanku hari ini saja, karena aku tak ingin dalam keadaan lemas saat menerima telepon Andy nanti malam. Aku ingin menikmati saat saat mengobrol dengan Andy tanpa siksaan rasa pegal ataupun kantuk akibat kelelahan.

Tapi sesaat kemudian aku sudah tak mampu lagi berpikir jernih. Aku merintih rintih keenakan ketika kedua pergelangan tanganku dicengkeram oleh pak Arifin dan Suwito, dan tangan mereka yang satunya mereka gunakan untuk meraba dan membelai perutku, sedangkan mereka berdua kembali mengulum puting puting payudaraku.

Semua ini masih ditambah ulah Wawan yang meraba raba kedua pahaku yang terpangku di bahunya ini dengan kedua tangannya. Baru kali ini mereka bertiga menyiksaku dengan sekejam ini. Semua sensasi kenikmatan yang kurasakan ini terlalu hebat dan mengacaukan pikiranku.

Akhirnya aku memilih menikmati saat saat menjadi bulan bulanan tiga pejantan ini, dan aku hanya bisa berharap nanti malam aku masih cukup kuat untuk menerima telepon Andy.

Tubuhku mengejang berulang kali, pinggangku melengkung dan melengkung sangking enaknya rasa nikmat yang kuterima ini. Tanpa bisa kutahan lagi, aku harus menyerah dilanda orgasme.

Aku melenguh sejadi jadinya dan menggeliat hebat melepaskan gejolak liar ini, dan sekali ini tak ada satupun dari mereka yang mau mengampuniku walaupun aku memohon seperti apapun.

Bahkan sekali ini mereka makin memperhebat siksaan mereka padaku. Aku merasakan lidah Wawan menusuk masuk mengisi liang vaginaku, dan itu masih ditambah bibir Wawan yang memagut bibir vaginaku dengan liar.

“Aaahh… ooooh… Waaan…”, sebuah cucupan yang amat kuat oleh Wawan pada bibir vaginaku membuatku menjerit keenakan.

Rasanya setiap sambungan tulang di seluruh tubuhku terlepas saat aku harus mengejang hebat akibat ulah Wawan ini. Kedua betisku menempel erat di punggung Wawan, akibatnya lututku sudah tak bisa kutekuk lagi.

Kedua tanganku yang melingkar di leher pak Arifin dan Suwito tak terlepas walau aku menggelinjang seperti apapun. Mereka mengunci kedua pergelangan tanganku di depan dada mereka masing masing dan tangan mereka yang satunya seperti tak pernah bosan memainkan kedua payudaraku.

Dengan gerak tubuh yang tertahan seperti ini, aku merasa tak berdaya bahkan untuk sekedar melepas gejolak orgasmeku. Tapi diam diam aku malah amat senang diperlakukan seperti ini oleh mereka, dan aku sangat menikmati ketidak berdayaanku ini.

-x-

VII. Pembantaian Itu Berlanjut

“Udah dong… turunin aku ya…”, aku memohon dan merengek pada mereka dengan nafas yang tersengal sengal.

“Aanggkkh…”, aku melenguh sejadi jadinya ketika jawaban yang kuterima adalah pagutan Wawan pada bibir vaginaku.

Tapi hanya sebentar saja, Wawan sudah menghentikan pagutannya. Dan ia menurunkan kedua kakiku dari pangkuan bahunya, membiarkanku tergantung lemas dengan kedua tanganku yang tetap melingkar di leher pak Arifin dan Suwito, dan kedua pergelangan tanganku yang tetap terkunci di depan dada mereka.

Aku melihat Wawan menuju pintu yang membatasi bagian luar dan dalam di lantai dua rumahku ini, dan ia mengambil kunci pintu yang melekat di lubang kunci bagian dalam pintu itu, lalu memasang kunci itu di bagian luarnya.

Berikutnya Wawan menutup dan mengunci pintu itu, lalu ia memasukkan kunci pintu itu dalam saku celananya, sambil memandangku dengan senyum penuh ejekan, seolah hendak mengatakan kalau sekali ini aku tak mungkin bisa lolos.

Tiba tiba aku terkejut karena aku menyadari satu hal. Bukan soal aku sudah tak mungkin bisa melarikan diri, karena aku sudah mengerti kalaupun aku berusaha lari ke bawah, pada akhirnya di bawah nanti aku harus terkepung lagi oleh mereka dari dua arah dan akan segera tertangkap kembali oleh mereka.

Yang kumaksud adalah, mengapa mereka memilih tempat jemuran baju ini sebagai tempat untuk membantai diriku? Di tempat yang sangat terbuka ini, bagaimana kalau nanti rintihan dan lenguhanku sampai terdengar oleh orang yang lewat di jalan depan rumahku? Atau, bagaimana kalau kami sampai terlihat oleh tetangga di depan rumahku yang tanpa sengaja melihat ke arah rumahku?

“Wan… jangan di sini dong… di kamar aja ya…”, aku mulai merengek.

“Supaya non bisa lari?”, tanya Wawan dengan nada mengejek.

“Nggak… bukan gitu Wan… aku takut kalau di sini nanti suaraku terdengar orang di depan gimana… Iya deh aku janji nggak akan lari lagi”, aku berusaha memohon dengan nada memelas.

“Ya kalau gitu non jangan bersuara, gampang kan?”, jawab Wawan seenaknya, dan ia mulai mendekatiku.

Aku menatap Wawan sambil memasang wajah cemberut, tapi tak lama kemudian tubuhku mengejang ketika kedua payudaraku sudah kembali diremas remas oleh pak Arifin dan Suwito.

“Eeh… mmmhh…”, aku merintih dan menggeliat, antara keenakan dan kesakitan.

Wawan terus mendekat, dan kini pandanganku beralih ke arah pada penis Wawan itu sudah tegak mengacung itu, yang sudah siap untuk mengaduk dan memperkosa liang vaginaku.

Ketika Wawan sudah membungkuk di hadapanku dan kedua pahaku yang kurapatkan sejak tadi ini direnggangkan olehnya, aku menggigit bibir dan memejamkan mataku, bersiap merelakan liang vaginaku ini menerima tusukan brutal dari penis perkasa Wawan itu.

“Mmm…”, aku merintih pelan ketika kurasakan bibirku ini dicium lembut, dan aku tetap memejamkan mataku.

Ciuman Wawan ini begitu mesra. Membuat jantungku berdetak kencang.

“Mmmhh…”, aku kembali merintih ketika kurasakan sebuah jari tangan tercelup masuk ke dalam liang vaginaku.

Jari tangan yang nakal itu mulai mengaduk liang vaginaku. Ditambah dengan remasan remasan lembut pada kedua payudaraku oleh pak Arifin dan Suwito, juga ciuman mesra Wawan yang kini sudah berubah menjadi pagutan penuh nafsu pada bibirku, semua ini membuatku mulai tersiksa dalam birahi.

Kedua lututku serasa lemas. Kalau sekarang ini kedua tanganku tidak melingkar di leher kedua pejantan yang ada di samping kanan dan kiriku ini, kedua kakiku ini pasti tak mampu menopang tubuhku. Aku kembali merapatkan kedua pahaku, mencoba menahan derasnya adukan jari tangan Wawan yang menimbulkan rasa ngilu pada liang vaginaku.

Sementara itu aku terus merintih tertahan selagi bibirku terus dipagut Wawan seperti ini, dan nafasku mulai habis. Aku semakin tersiksa dalam kenikmatan ini. Aku tak mampu meronta, tubuhku rasanya terlalu lemas, tenagaku lenyap entah ke mana.

Aku membuka mataku, menatap Wawan dengan sayu, mencoba menggelengkan kepalaku, berharap ia mengerti isyaratku kalau aku sudah mulai menderita karena kehabisan nafas. Namun Wawan malah menambah siksaan ini. Aku merasakan lidah Wawan melesak masuk ke dalam mulutku, dan reflek aku membalas, hingga lidah kami saling bertaut.

Berikutnya, Wawan dengan kuat menyedot mulutku, menghisap dan menyeruput air ludah dalam mulutku ini. Aku sudah tak bisa bernafas lagi karena gejolak birahi yang melanda diriku ini seperti menyumbat dadaku.

“Oooh…”, aku mengeluh lega ketika akhirnya Wawan melepaskan pagutannya setelah puas menyeruput semua air ludah di dalam mulutku ini.

Nafasku tersengal sengal tak karuan setelah tadi aku cukup lama kehabisan nafas. Aku berusaha mengatur nafasku ini, namun cubitan nakal Suwito pada puting kanan payudaraku ini membuat nafasku kembali memburu.

Dan ketika pak Arifin meremas kuat payudara kiriku, dan mencucup puting payudaraku itu dengan sekuat kuatnya, aku mendesah keenakan menikmati semua cumbuan mereka ini.

“Aauw…”, aku kembali mengeluh ketika Wawan dengan seenaknya mencabut jari tangannya yang sejak tadi dicelup celupkan ke dalam liang vaginaku.

‘Waan… masukin lagi…’, aku menjerit dalam hatiku.

Aku kecewa. Aku tak ingin jari tangan yang nakal itu pergi dari dalam liang vaginaku. Aku ingin memohon pada Wawan agar ia mau memasukkan jari tangannya lagi, atau malah memasukkan penis perkasanya itu ke dalam liang vaginaku.

Tapi aku masih cukup sadar untuk menjaga harga diriku sebagai nona majikan mereka. Maka aku terpaksa diam dan memejamkan mataku, sambil berharap semoga Wawan segera menggoda liang vaginaku lagi.

“Mmmhh…”, aku melenguh pelan ketika merasakan sesuatu yang tebal, hangat dan basah menekan bibir vaginaku.

Aku kembali membuka mataku. Ternyata sekarang ini Wawan sedang berjongkok di depanku dan menjilati bibir vaginaku. Rupanya Wawan masih ingin mempermainkanku, menyiksa diriku yang sudah tenggelam dalam gejolak birahiku ini.

Berikutnya Wawan memeluk kedua pahaku, lalu ia memagut bibir vaginaku. Aku merintih keenakan, tubuhku kembali menggelinjang, kurasakan cairan cintaku kembali meleleh.

Dan sensasi yang luar biasa mendera diriku ketika tiba tiba Suwito menerkam dan memagut bibirku, sedangkan pak Arifin yang masih terus menyusu pada puting kiri payudaraku, kini juga meremasi payudaraku yang satunya, yang sempat menganggur karena ditinggalkan oleh Suwito yang kini sibuk melumat habis bibirku.

“Mmmh… mmm…”, aku merintih nikmat akibat cumbuan bertubi tubi yang dilakukan tiga pejantanku ini, dan aku hanya bisa mengguman tak jelas karena bibirku yang terus dipagut dengan ganas oleh Suwito.

Seolah semua ini belum cukup, kini Wawan kembali menusukkan lidahnya ke dalam liang vaginaku. Lidah itu menggoda liang vaginaku dengan nakal sekali, meliuk liuk ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, membuat mataku terbeliak, tubuhku mengejang dan mengejang.

Aku pasti sudah menjerit keenakan kalau bibirku tidak sedang dilumat oleh Suwito seperti ini.

“Mmmhh… mmmpphh…”, dalam gempuran mereka aku merintih panjang dan tubuhku tersentak beberapa kali mengiringi orgasme hebat yang melanda tubuhku.

Otot perutku mengejang sampai serasa akan kram, mendatangkan rasa nikmat di antara rasa sakit yang menyiksa diriku. Semua itu masih ditambah dengan rasa ngilu yang makin menjadi pada liang vaginaku, yang memaksaku untuk terus orgasme.

Aku merasakan cairan cintaku membanjir begitu banyak. Tapi dengan kejam Wawan memagut bibir vaginaku kuat kuat dan pagutan itu tak terlepas walau aku menggelinjang seperti apapun. Dan semua cairan cintaku yang terus meleleh itu dicucup dan diseruput Wawan sampai habis.

“Mmmhk…”, aku merintih lemah, pasrah.

Tak ada yang bisa kulakukan selain menggelepar, meronta, merintih tertahan. Namun gelombang orgasme yang menderaku ini sama sekali tidak mereda, karena Wawan terus mengaduk aduk liang vaginaku dengan lidahnya, sedangkan Suwito tak melepaskan bibirku dari pagutannya, sementara pak Arifin tetap bersemangat memagut puting kanan payudaraku.

Mereka terus menjarah tubuh nona majikan mereka ini.

Setelah beberapa saat disiksa seperti ini oleh mereka, pandanganku mulai kabur. Aku sudah lemas dan hanya bisa pasrah menerima semua ini. Tenagaku seperti hilang bersama cairan cintaku yang terus membanjir keluar dari liang vaginaku. Dan rasa tak berdaya ini mengantarku orgasme lagi untuk ke sekian kalinya.

“Uhuuk… ngghhk…”, aku terbatuk batuk kehabisan nafas ketika Suwito melepaskan pagutannya, dan aku masih harus melenguh menikmati orgasmeku.

“Non… non cakep sekali…”, desah Suwito, yang lalu mengecup telingaku, mengulum daun telinga kiriku, menambah segala sensasi nikmat yang sudah sejak dari tadi menyiksa tubuhku.

“Oooh…”, aku merintih dan menggigil, mataku kupejamkan kuat kuat.

Cumbuan yang dilakukan Suwito sekarang ini begitu mesra, membuatku semakin bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Jantungku berdegup kencang, sedangkan orgasmeku sama sekali tidak mereda.

“Udah Suwitoo… kamu kenapa sih… oooh…”, aku merengek, namun aku kembali merintih ketika tiba tiba kurasakan sesuatu yang hangat pada leherku.

Aku tak lagi merasakan kuluman pada puting kanan payudaraku, berarti sudah pasti pak Arifin yang mengalihkan serangannya pada leherku ini.

“Pak Arifin juga… auuuh… Waaan… udaaah…”, aku merengek rengek, memohon mereka menghentikan pembantaian terhadap diriku ini.

Tapi mereka mana mau mendengarkanku?

“Oooh… sudaah… hentikaaan…”, aku terus menjerit, merengek, memohon dengan nafas yang tersengal sengal.

Tapi lidah yang nakal itu masih terus bermain di dalam liang vaginaku, menusuk dan mengaduk tanpa ampun. Daun telinga kiriku terus dilumat dengan lembut, lalu jilatan dan kecupan pada leherku ini… juga semua rabaan tangan tangan mereka yang penuh nafsu pada sekujur tubuhku ini…

“Aaaah…”, aku menjerit panjang, tak kuasa menerima siksaan orgasme demi orgasme yang terus menderaku sejak tubuhku jatuh ke tangan tiga pejantanku.

Kenikmatan yang kurasakan ini benar benar sudah tak tertahankan lagi. Otot perutku terus berkontraksi mengiringi orgasmeku, rasanyaseperti diremas remas. Liang vaginaku serasa akan jebol. Tanpa ampun, tubuhku harus kembali tersentak sentak lalu mengejang sejadi jadinya.

Tiba tiba aku tak bisa lagi mendengar suara jeritanku sendiri. Berikutnya pandanganku menjadi kabur dan semuanya menjadi gelap…

-x-

VII. Kedatangan Cie Natalia

“Eliza…”, samar samar kudengar suara yang memanggilku.

“Mmmhh…”, aku merintih lemah dan perlahan aku membuka mataku, namun cahaya yang menerpa mataku ini terasa begitu menyilaukan, memaksaku kembali memicingkan mataku.

Aku merasa pernah mendengar suara itu, tapi aku jadi ingin tahu dan aku memaksa membuka mataku untuk melihat siapa yang memanggilku.

(Natalia)

Ternyata dugaanku benar. Itu suara Cie Natalia, sepupuku yang masih berusia 19 tahun. Cie Natalia masih kuliah di semester dua, di kampus yang sama dengan tempat Cie Stefanny kuliah. Dan kebetulan sekali Cie Natalia juga mengambil jurusan yang sama dengan Cie Stefanny.

“Eliza, kamu tiduran aja dulu”, kata Cie Natalia yang membimbingku berbaring kembali di ranjangku ketika aku berusaha beranjak duduk.

“Halo Cie Lia…”, aku menyapa Cie Natalia sambil tersenyum.

“Halo juga Eliza… baru aja Cie Cie ke sini, tadinya sih mau minta tolong kamu. Tapi Cie Cie baru tahu kalau kamu sakit begini…”, kata Cie Natalia yang terlihat ragu.

“Eh… kenapa Cie? Eliza nggak apa apa kok…”, aku bertanya ingin tahu.

“Eliza, tadi badan kamu panas. Sekarang pun mukamu keliatan pucat. Kok masih bilang kalau kamu nggak apa apa? Ini juga Cie Cie mau antar kamu ke dokter”, kata Cie Natalia.

“Nggak, nggak usah Cie, Eliza nggak apa apa, sungguh. Eliza cuma kecapaian kok”, aku berkata dengan sedikit panik.

Aku jadi takut ke dokter. Entah apakah dokter bisa tahu atau tidak, tapi aku takut kalau ternyata dokter bisa tahu aku kecapaian gara gara ngeseks dan ngeseks. Apa jadinya kalau hasil diagnosa seperti itu sampai terdengar oleh Cie Natalia?

Aku jadi teringat, hari ini aku baru saja dibantai oleh tiga pejantan di rumahku. Dan tadi itu mereka memaksaku orgasme dan orgasme sampai aku pingsan.

Entah apa yang terjadi setelah itu, dan aku baru sadar kalau sekarang ini aku mengenakan baju tidur baby doll. Hanya saja aku sadar kalau aku tak mengenakan bra dan celana dalam.

“Sungguh nggak apa apa Eliza?”, tanya Cie Natalia membuyarkan lamunanku.

“Iya Cie, sungguh. Terus, Cie Cie mau minta tolong apa ya?”, tanyaku sekalian berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Gini Eliza, besok malam ada tukang servis yang mau tuning piano Cie Cie, tapi Cie Cie baru ingat kalau besok itu Cie Cie mesti pergi ke pesta ulang tahun teman Cie Cie. Nah, papa dan mama Cie Cie kan masih di Amerika habis ngunjungin koko Hong hari Senin lalu. Jadi, di rumah Cie Cie nggak ada yang bisa nungguin tukang servis itu”, Cie Natalia bercerita panjang lebar.

“Terus, Cie Cie ingat kamu kan juga bisa main piano. Jadi tadi Cie Cie ingin minta tolong kamu untuk jagain tukang servis itu, sekalian kamu coba coba apa pianonya sudah dituning dengan baik. Tapi…”, kata kata Cie Natalia terhenti, dan ia menghela nafas.

“Ooh… nggak apa apa Cie, Eliza mau kok. Tapi besok tukangnya datang jam berapa Cie? Soalnya Eliza kan ada les balet, selesainya jam enam malam”, aku menjelaskan jadwalku pada Cie Natalia.

“Oh tukangnya datang jam tujuh malam kok Eliza. Kamu bisa datang ke rumah Cie Cie setelah les baletnya selesai. Tapi kamu sakit gini, Cie Cie nggak enak…”, kata Cie Natalia sambil membelai rambutku.

“Cie… Eliza nggak apa apa kok, sungguh”, kataku sambil tersenyum manis.

“Mmm… tapi kamu Senin besok ada pe er atau ulangan nggak Eliza?”, tanya Cie Natalia.

“Nggak ada kok Cie. Kalaupun ada, Eliza kan bisa belajar sambil nungguin tukang servis piano itu”, aku berusaha meyakinkan Cie Natalia.

“Duh, makasih ya sayang”, kata Cie Natalia yang lalu memelukku dan mencium kedua pipiku.

Jantungku berdebar kencang akibat pelukan dan ciuman Cie Natalia tadi. Harum rambut Cie Natalia yang menerpa wajahku membuat pikiranku mulai kacau.

Tapi aku sadar kalau sebaiknya aku tidak berbuat yang aneh aneh. Bagaimanapun Cie Natalia masih ada hubungan family denganku, dan aku tak ingin ia tahu kalau aku mengidap kelainan, yaitu suka dengan sesama jenisku, walaupun tentu saja aku masih menyukai lelaki.

Andy! Aku teringat janji telepon jam delapan malam. Oh, apakah aku sudah melewatkan saat yang kutunggu tunggu itu?

Aku segera mencari dan melihat jam dinding, dan aku menarik nafas lega ketika aku melihat jam itu masih menunjuk jam setengah tujuh, malam tentunya.

“Ih Cie Cie, nggak usah pakai makasih deh. Jadi, Eliza datang besok malam ya Cie?”, tanyaku dengan manja.

“Eliza, kalau kamu mau, kamu langsung menginap di rumah Cie Cie malam ini. Kamu bawa aja baju untuk besok, dan juga baju sekolah untuk Senin nanti. Jadi kamu bisa istirahat di rumah Cie Cie, sekalian nemanin Cie Cie gitu. Ternyata nggak enak juga sendirian di rumah lama lama, hihi…”, kata Cie Natalia sambil tertawa kecil.

“Yee… mmm… tapi boleh juga sih. Bentar ya Cie, Eliza siap siap dulu”, kataku dengan senang.

Aku langsung saja mengiyakan tawaran Cie Natalia. Aku tak tahu apakah para pejantan itu sudah puas atau belum berpesta menikmati tubuhku tadi sore. Tapi yang pasti aku sedang tidak berminat melayani nafsu seks mereka.

Aku menghindar dari mereka ini sama sekali bukan karena mereka berwajah jelek. Justru diam diam aku menyadari hal itu sebenarnya malah menambah gairahku, saat aku harus merelakan diriku digagahi oleh para pejantan yang berwajah tak karuan seperti pak Arifin, Wawan ataupun Suwito.

Tapi aku berpikir untuk mengistirahatkan tubuhku yang sudah terlalu kecapaian. Bahkan aku berpikir untuk ‘meliburkan’ tubuhku dari sentuhan para pejantan itu selama beberapa hari. Dengan begitu aku berharap tubuhku akan pulih. Beberapa hari ini aku merasa amat capai. Kalau bisa, aku bisa pulang dari rumah Cie Natalia hari Rabu malam saja.

Aku bisa menelepon Cie Stefanny kalau aku nggak bisa les hari Senin besok, atau bisa saja aku meminta Cie Stefanny datang ke rumah Cie Natalia, untuk memberikan les padaku di sana. Soal ijin, aku yakin papa mamaku pasti mengijinkan, karena dulu ketika aku masih kecil, aku sering menginap di rumah Cie Natalia. Aku akan menelepon dan mengabari mereka nanti setelah aku sampai di rumah Cie Natalia.

“Cie, Eliza mau menginap di rumah Cie Cie sampai hari Selasa malam. Boleh nggak Cie?”, aku bertanya pada Cie Natalia yang menungguiku.

“Boleh dong Eliza… mau menginap sebulan, setahun, itu juga boleh kalau kamu mau”, goda Cie Natalia.

“Yee… ya udah, Eliza menginap sampai Selasa malam ya Cie”, kataku yang dibalas anggukan dan senyum manis Cie Natalia.

Aku menyiapkan semuanya. Buku buku sekolah sampai hari Rabu kumasukkan ke dalam tas sekolahku sampai hampir nggak muat. Aku mengambil tas bajuku yang cukup besar, dan aku memasukkan handuk kering, selimut kesayanganku, tiga stel seragam sekolah plus kaus kaki untuk Senin sampai Rabu.

Tak lupa aku memilih lima stel baju rumah dan baju tidurku. Yang pasti aku memasukkan kostum baletku, lengkap dengan sepatu balet yang sudah kubungkus dengan kantung plastik. Dan tentu saja beberapa pasang bra dan celana dalam yang kiranya akan cukup sampai hari Rabu nanti.

Bahkan diam diam aku membawa pil anti hamil yang rutin kuminum di masa suburku, dan kuselipkan di antara tumpukan baju yang sudah berada di dalam tas bajuku. Entah kenapa aku merasa pil itu harus kubawa, meskipun seingatku tak ada pembantu laki laki di rumah Cie Natalia.

“Cie, Eliza mau mandi dulu. Tapi Cie Cie jangan pulang dulu ya, Eliza mau pergi sama sama nanti”, aku memohon dengan manja.

“Iya, jangan kuatir Eliza. Cie Cie tunggu kok”, kata Cie Natalia yang kini berbaring dengan santai di atas ranjangku.

“Thanks ya Cie, kataku senang.

Aku segera masuk ke kamar mandi setelah menyiapkan baju gantiku. Dengan cepat aku mandi keramas sebersih bersihnya, tak lupa aku menggunakan cairan pembersih vaginaku untuk membersihkan liang vaginaku yang terasa lembab dengan sisa cairan cintaku ketika aku dibantai sore tadi.

Lalu setelah aku mengeringkan rambut dan tubuhku, aku berganti baju dan memasukkan cairan pembersih vaginaku, sabun, shampoo, sikat gigi dan odol ke dalam kantung plastik. Setelah kurasa tak ada yang tertinggal, aku keluar dari kamar mandi.

Sambil ngobrol dengan Cie Natalia, aku menyempatkan diri mengeringkan rambutku dengan hair dryer, juga menyisir rapi rambutku. Setelah aku memasukkan semua yang akan kubawa ke dalam tas bajuku, aku mematikan lampu dan AC kamarku. Sepatu sekolahku sudah kumasukkan ke dalam kantung kresek, sedangkan aku sendiri memakai sandal yang biasa kupakai untuk acara santai.

Lalu kami berdua segera turun menuju ke garasi. Dibantu Cie Natalia, aku menaruh semua barang bawaanku di dalam mobilku. Setelah selesai, aku memanggil pak Arifin, memintanya untuk membantu membuka pintu garasi dan pintu gerbang, lalu aku dan Cie Natalia sama sama masuk ke dalam mobil masing masing.

Sempat kulihat tadi pak Arifin melihatku dengan heran, namun entah sepertinya dari mata pak Arifin ia terlihat senang, atau lebih tepatnya lega melihatku. Dalam perjalanan menuju rumah Cie Natalia, aku baru teringat tentang pembantaian sore tadi yang menyebabkan aku pingsan karena orgasme.

Dan tiba tiba aku jadi ingin tahu apa saja yang terjadi padaku tadi selagi aku pingsan. Maka aku mengambil ponselku, dan menghubungi telepon rumahku.

“Mbak Ika ya?”, tanyaku ketika aku mendengar suara Sulikah.

“Iya non, saya”, jawab Sulikah.

“Tolong panggilin Wawan atau Suwito, atau pak Arifin juga boleh”, kataku pelan.

“Iya non…”, Sulikah mengiyakan, dan kudengar suara gagang telepon yang diletakkan.

Sesaat aku menunggu, dan setelah aku mendengar suara Wawan, aku segera menanyakan maksudku.

“Wan, tadi aku kamu apain aja waktu aku pingsan?”, tanyaku ketus.

“Eh… itu non… saya…”, Wawan tergagap mendengar pertanyaanku.

Aku diam menunggu Wawan menjelaskan perbuatannya.

“Tadi non tiba tiba pingsan. Saya dan semuanya sampai kaget non, terus kami semua coba bangunin non Eliza, tapi sampai sekitar sepuluh menit pun non tetap nggak sadar”, kata Wawan.

“Eh, sepuluh menit… memangnya aku itu kalian apain aja?”, tanyaku ingin tahu.

“Ya, jujur saja awalnya saya dan yang lain mengira non pura pura. Saya coba menggelitiki pinggang non, tapi non diam saja. Terus saya celupin jari saya ke dalam memek non, tapi non masih nggak sadar, jadi Suwito dan Arifin juga saya suruh bantu bangunin non. Terus mereka ngeremasin susu non Eliza. Sampai memeknya non itu saya aduk aduk pakai dua jari, tapi percuma saja…”, cerita Wawan panjang lebar.

“Dasar kurang ajar. Sudah tahu aku pingsan, malah diedel edel seperi itu. Terus habis itu gimana ceritanya sampai Cie Natalia datang?”, dengan sedikit kesal aku kembali menanyakan lanjutan kejadiannya, namun sekarang aku malah terangsang membayangkan perbuatan mereka bertiga itu.

“Yah non… tadi aja saya panik liat non nggak sadar. Kalau tahu non nggak apa apa dan nantinya bakal sadar lagi, ya saya terusin saja main sama non sampai puas. Belum lagi Suwito dan Arifin yang ngomel nggak sempat dapat bagian, sekarang mereka …”, kata Wawan yang kini malah bisa bisanya terus bercerita sambil menggerutu.

Tapi perasaanku semakin tersengat mendengar cerita Wawan. Nafasku sedikit memburu membayangkan mereka bertiga yang malah sibuk menjarah tubuhku tanpa perduli bahwa nona majikan mereka ini sedang jatuh pingsan.

Pikiranku sedikit melayang, dan aku sudah akan meraba ataupun membelai daerah selangkanganku sendiri ketika klakson mobil di belakang menyadarkanku dan membuatku terkejut setengah mati. Maka aku melajukan mobilku dan menepi sejenak, karena aku kuatir pikiranku kembali kacau ketika mendengar lanjutan cerita Wawan.

Untung saja ternyata tadi aku sedang berhenti di lampu merah ketika aku terpengaruh kata kata Wawan tadi. Dan yang lebih penting, untung saja tadi itu aku tak sampai terlanjur bermasturbasi di depan umum.

Aku tak berani membayangkan kemungkinan adanya orang yang melihatku sewaktu aku berbuat segila itu, yang mungkin akan memberikan kesempatan pada orang itu untuk menambah kesengsaraan dalam hidupku. Sudah cukup banyak pejantan dalam hidupku yang memperbudak diriku ini.

“Heh… kurang ajar! Sudah sudah! Jangan ngelantur terus! Ditanya soal Cie Natalia kok…”, dengan sedikit membentak untuk mengusir gairah birahi yang menghinggapiku, aku meminta Wawan melanjutkan ceritanya setelah kupastikan posisi mobilku aman di pinggir jalan ini.

“Nah kami jadi makin bingung, mau bawa non ke dokter, kami takut ditanya tanyain, lagian kami kan nggak punya duit non. Terus kebetulan non Natalia telepon, nanyain non. Kami bilang aja non Eliza lagi sakit, dan sekarang lagi tidur. Terus non Natalia bilang lagi perjalanan ke rumah non Eliza. Jadi kami bawa non ke kamar non, dan abis Sulikah memakaikan baju tidur non, kami baringkan non di ranjang, lalu nunggu non Natalia datang. Begitu ceritanya non”, kata Wawan.

Aku diam mendengar kata kata mereka. Untung saja mereka memakaikan baju tidurku tadi, jadi aku tak sampai ditemukan dalam keadaan telanjang bulat oleh Cie Natalia.

Dan karena aku sudah mengetahui tentang semua yang ingin kuketahui, maka aku putuskan untuk menutup telepon.

“Ya sudah kalau gitu. Hari ini aku nggak pulang, jadi nggak perlu ditungguin. Udah dulu Wan…”, kataku dan aku sudah akan memencet tombol end call ketika kudengar suara Wawan memanggil manggilku.

“Apa lagi sih Wan?”, tanyaku ketus.

“Non, kapan pulang? Kangen sama memek non…”, kata Wawan.

“Gila!”, aku membentak dan tombol end call itu langsung kutekan.

-x-

VIII. Di Rumah Cie Natalia

Aku kembali melajukan mobilku dengan agak kencang untuk menyusul mobil Cie Natalia. Akhirnya kami sampai di rumah Cie Natalia sekitar jam delapan kurang sepuluh menit.

“Eliza, nanti kamu tidur di kamar Cie Cie aja ya”, kata Cie Natalia.

Aku mengangguk mengiyakan. Dengan dibantu Cie Natalia, akhirnya semua barangku sudah berada di dalam kamar Cie Natalia. Tentu saja sandal dan sepatuku tidak ikut masuk, kutaruh di rak sepatu yang tersedia di samping kamar Cie Natalia.

“Eliza, nanti aja menata barang barangnya. Kebetulan Cie Cie mau pergi nonton sama teman teman, kamu mau nggak ikut Cie Cie pergi nonton?”, tanya Cie Natalia ketika aku mulai menata barang bawaanku.

Aku sedikit ragu. Aku sedang menunggu telepon Andy. Kalau aku ikut Cie Natalia, aku tak akan bisa berbicara dengan leluasa pada Andy. Tapi aku tak bisa menemukan alasan yang bagus, maka aku memutuskan untuk berbicara terus terang pada Cie Natalia.

“Thanks ya Cie, tapi sorry Eliza nggak bisa ikut. Eliza lagi nungguin teman Eliza yang janji mau telepon sebentar lagi”, dengan sungkan aku terpaksa menolak ajakan Cie Natalia.

“Janji telepon? Masa sama teman? Hayo… teman apa teman nih?”, goda Cie Natalia.

Aku hanya bisa menunduk sambil tersenyum malu.

“Nggak apa apa Eliza, Cie Cie ngerti kok. Ya udah, Cie Cie pergi dulu ya Eliza”, Cie Natalia berpamitan padaku.

“Iya, thanks ya Cie…”, aku mengangguk senang.

Singkatnya, akhirnya Cie Natalia pergi bersama teman temannya, sedangkan aku bersantai di dalam kamar Cie Natalia, sendirian.

Namun aku tak kesepian, karena Andy meneleponku pada jam delapan malam. Dan ngobrol dengan Andy benar benar menyenangkan. Aku tak pernah menyangka Andy yang pendiam itu ternyata pandai melucu dan sering membuatku tertawa.

Kami membicarakan banyak hal, dan saling bercerita terutama tentang beberapa kejadian di kelas kami masing masing. Tak terasa kami mengobrol sampai jam sebelas malam. Sebenarnya kami sama sama belum mengantuk, atau paling tidak aku belum merasa mengantuk.

Tapi aku nggak enak karena Andy sudah meneleponku terlalu lama, kasihan juga kalau pulsanya habis lebih banyak. Toh aku kan masih bisa bertemu dengan Andy setiap hari di sekolah? Bahkan, besok aku bisa bertemu dengan Andy di gereja kalau aku datang untuk kebaktian yang dimulai pada pukul setengah sepuluh siang.

“Andy, udah malam nih… aku…”, rasanya enggan juga, tapi aku terpaksa mengatakan ini.

“Oh iya… udah malam… tapi besok aku boleh telepon kamu lagi ya Eliza?”, tanya Andy yang dari nada suaranya aku tahu ia begitu berharap, membuatku tersenyum bahagia.

“Mmm… boleh kok”, jawabku malu malu, dan hatiku senang sekali.

Kami berdua sama sama sempat terdiam beberapa saat.

“Eliza, thanks ya udah nemenin aku ngobrol”, kata Andy.

“Nggak apa Andy, aku suka kok eh… ngobrol sama kamu…”, wajahku terasa panas ketika aku mengucapkan kata suka tadi.

“Mm… kalau gitu udah dulu deh Eliza… sampai besok ya… bye bye…”, Andy berpamitan padaku.

“Iya… sampai besok Andy… bye”, kataku menutup pembicaraan kami.

Aku menekan tombol end call, dan sambil tersenyum senyum aku menata barang bawaanku. Aku senang sekali. Aku berharap Andy memang benar benar menyukaiku. Aku berharap tak lama lagi kami berdua benar benar… oh… apa aku salah kalau aku berharap Andy benar benar menjadi kekasihku?

Setelah semuanya selesai, aku berganti baju tidur. Pakaian kotorku sudah kutaruh di kantung plastik yang memang kusiapkan. Kini aku menunggu Cie Natalia pulang. Sempat terlintas di dalam pikiranku, apa saja ya yang dilakukan Jenny, Sherly dan Cie Stefanny seharian ini?

Apakah mereka bertiga saling bercinta? Aku teringat akan nasib buruk yang menimpa diriku ketika aku harus pasrah diperkosa oleh lima orang buruh di rumah Jenny itu. Apakah Sherly dan Cie Stefanny juga harus melayani mereka semua?

Tiba tiba aku sadar akan serangan gairah yang melanda tubuhku selagi aku membayangkan semua itu, maka aku berusaha mengalihkan pikiranku dari tiga kekasihku itu dengan cara menonton TV. Tapi setelah agak lama aku menonton TV di kamar Cie Natalia ini, tiba tiba saja aku mulai mengantuk.

Aku pikir Cie Natalia tak akan keberatan kalau aku tidur duluan. Dan aku sudah malas untuk mengingat ingat tentang kejadian apa saja yang telah menimpaku seharian ini. Maka aku mematikan TV itu dan aku berbaring di sisi kiri ranjang Cie Natalia, mencoba mengistirahatkan tubuhku dari hari hari yang penuh dengan aktivitas seks ini.

Sempat terlintas dalam pikiranku, tadi aku belum menelepon papa mamaku.

Tapi, ah… mereka juga pasti belum pulang hari ini, jadi aku pikir tidak apa apa kalau besok saja aku baru memberi tahu mereka. Toh aku menginap di rumah family sendiri. Lagipula aku sudah sangat mengantuk dan kedua mataku yang terpejam ini terasa berat sekali untuk kubuka.

‘klik…’, samar samar aku sempat mendengar bunyi handel pintu kamar ini yang dibuka seseorang.

Pasti itu Cie Natalia yang baru pulang. Tapi aku sudah terlalu malas untuk kembali bangun hanya untuk menyapa Cie Natalia. Aku terus memejamkan mataku, dan tak lama kemudian aku sudah tertidur pulas.

Bersambung...



« Back | Next »

Download film langsung dari hape !
+ KISAH PANAS +
[01] | [02] | [03] | [04] | [05] | [06] | [07] | [08] | [09] | [10] | [11] | [12] | [13] | [14] | [15] | [16] | [17] | [18] | [19] | [20]
Home Home
Guestbook Guestbook

U-ON
961
INDOHIT.SEXTGEM.COM