Cinta Berkabut Gairah
Hari sudah menjelang senja ketika rombongan mahasiswa itu menuruni
lembah Gunung Gumarang. Hamparan lembah yang luas itu memutih oleh putik
bunga-bunga Edelweiss yang tumbuh subur di sela-sela pepohonan pinus
yang menghijau. Lewat temaram senja, Edelweiss tampak memutih
memantulkan cahaya perak kekuning-kuningan. Sungguh pesona alam yang
sangat mengagumkan. Sebagian anggota pencinta alam itu melangkah dalam
hening. Hanya deru nafas mereka yang sesekali terdengar. Udara dingin
terasa keras menusuk kulit. Rudi sebagai pemimpin rombongan, berjalan
paling depan. Pemuda berkulit hitam itu memalingkan wajahnya sejenak ke
belakang, dicarinya sosok Aline, seorang cewek cantik yang sudah sejak
tadi menarik perhatiannya, tapi gadis itu tidak tampak dalam rombongan.
Rudi menghentikan langkahnya, matanya mencari-cari. Heh, di manakah
gadis itu? Sekali lagi diperhatikannya kawan-kawannya yang lain satu per
satu. Yah, bukan saja Aline yang tidak ada. Heri, Eveline, dan Lidia
pun tak nampak di dalam rombongan itu.
”Wid, kemana Heri?” tanya Rudi kepada Widya, cewek berambut panjang yang berjalan paling dekat dengannya.
Widya menaikkan bahunya, “Entahlah, mungkin masih di belakang.”
Wajah cowok itu sedikit khawatir menatap Widya. Diliriknya jam tangan di
lengan kirinya. Pukullimalewat tiga puluh menit. Berarti sudah empat
puluh menit yang lalu mereka berkumpul di Puncak Gumarang tadi.
Seharusnya rombongan yang dipandu oleh Heri pun sudah sampai di lembah.
Perjalanan dari Puncak Gumarang ke lembah tidak terlalu jauh, paling
hanya memakan waktu tiga puluh menit.
“Adaapa, Rud?” tegur Widya.
“Nggak, nggak ada apa-apa. Kau jalan duluan aja. Aku tunggu rombongan Heri di sini.”
”Oo tidak bisa,” Widya menggoyangkan jari telunjuknya.
Rudi yang melihatnya, langsung tertawa. ”Kaya Sule aja kamu, Wid.” Untuk
sejenak, Rudi bisa melupakan kekhawatirannya pada Aline.
”Aku akan menemanimu.” kata cewek cantik itu.
”Jangan. Nanti siapa yang nyiapin makanan anak-anak?” di dalam rombongan
itu, Widya memang sudah menjadi salah satu juru masak yang bisa
diandalkan.
”Kan masih ada Atika.” Widya menunjuk cewek mungil berdada besar yang duduk kelelahan tak jauh dari mereka.
Atika yang merasa diperhatikan, menoleh dan bertanya. ”Mau dilanjutkan nggak?”
”Kamu jalan duluan aja. Aku sama Widya mau nunggu rombongan Heri dulu.” kataRudi.
”Ah, kau terlalu khawatir, Rud. Mereka tidak apa-apa. Heri sudah
berpengalaman, bukan untuk pertama kali dia ke tempat ini. Setiap tahun,
ia selalu ikut, kan?” kata Atika sambil berdiri. Gadis itu membersihkan
daun-daun kering yang menempel di bokongnya yang bulat.
Rudi tersenyum kecil. “Ya. Tapi sekarang ia tetap sebagian dari rombongan kita. Jangan lupa itu!”
Atika tersenyum. ”Ya udah, aku jalan dulu. Kutunggu di bawah.” bersama anak yang lain, gadis itu meninggalkan Rudi dan Widya.
”Huh,” cowok itu mengeluh singkat. Tidak seharusnya memang ia terlalu
khawatir seperti sekarang ini. Tapi... entahlah. Dengan ikutnya Aline
dalam rombongan ini, membuat rasa khawatirnya seperti berlebihan.
”Brrr, dingin.” Widya merapatkan badan ke Rudi, membuat cowok yang sedang melamun itu kaget.
”Salah sendiri, kenapa pake jaket tipis gitu.” meski mengomel, tapi tak
urung Rudi tetap memeluk gadis itu, berusaha menjaga agar Widya tetap
hangat.
”Makasih.” Widya tersenyum. Dia menyandarkan kepalanya di pundak Rudi yang tipis.
Rudi membalas dengan makin mempererat pelukannya. Dan entah siapa yang
memulai lebih dulu, tiba-tiba saja bibir mereka bertemu dan saling
melumat. Keduanya saling memagut dan menghisap dengan mesra. Hawa gunung
yang dingin, dan juga suasana romantis yang terbangun karena mereka
cuma berdua saja di tempat yang sepi seperti itu, membuat keduanya cepat
hilang kendali.
”Eh, ahhh... maaf.” gagap Rudi saat bibir mereka terpisah tak lama kemudian.
Widya tidak menjawab. Gadis itu cuma memandangi Rudi dengan muka merah
padam. Nafasnya juga sudah berat, menandakan kalau gairah gadis itu
sudah menguasai dirinya.
”Sebaiknya kita tidak melakukannya sekarang.” Rudi melonggarkan pelukannya.
”Kenapa?” Widya tak mengerti. Rudi yang biasanya gampang terpancing,
sekarang malah menolak dirinya. ”Kau takut Aline akan memergoki kita.”
tebak gadis itu.
”Bukan, bukan itu.” Rudi menggeleng, tapi dalam hati dia membenarkan
kata-kata gadis itu. Rudi tidak mau Aline memergoki saat dia sedang
melakukan perbuatan cabul dengan Widya.
”Kalau begitu tunggu apalagi. Aku kedinginan, hangatkan aku dengan
tubuhmu.” rajuk Widya sambil menjatuhkan diri menindih tubuh kerempeng
pemuda itu. Kalau sudah begini, Rudi jadi tidak bisa berbuat apa-apa.
Rudi memandangi saat gadis itu mulai mencopoti bajunya
satu per satu. Tubuh mulus Widya membuat iman tipis Rudi runtuh dengan
mudah. Dia jadi melupakan untuk apa dia berada disini. Rudi tergoda, dia
tak berdaya menatap bulatan payudara gadis, juga bongkahan pantat dan
pinggulnya yang besar. Hawa dingin pegunungan turut mempercepat
kekalahan pemuda itu. Rudi menoleh, dia memutar pandangannya, melihat
sekeliling, berusaha memantau situasi. Mereka berada di bawah sebuah
pohon besar, dengan dikelilingi rumput dan semak Edelweiss yang lebat
dan rimbun. Jarak dari jalan setapak cuma tiga meter. Cukup berbahaya
memang kalau tiba-tiba ada yang melintas. Tapi kalau mereka melakukannya
dengan tenang dan tanpa mengeluarkan banyak suara, mungkin akan cukup
aman. Widya sudah hampir telanjang ketika Rudi menarik dan merangkul
tubuh sintal gadis itu.
”Auw,” gadis itu menjerit senang.
Mereka berciuman. Bibir mereka bertemu untuk saling melumat dan
menghisap. Widya tampak begitu menikmati bibir tebal Rudi yang
menari-nari di mulutnya. Dia membuka bibirnya saat lidah Rudi menerobos
masuk untuk membelit lidahnya, mengajaknya untuk saling menjilat dan
bertukar air liur.
”Ehhmmhh,” Widya mendesis saat merasakan tangan nakal Rudi meraba-raba
payudaranya. Pemuda itu meremas-remas dan memijit-mijit benda bulat
besar itu dengan penuh nafsu.
”Hisap, Rud.” bisik Widya sambil mengarahkan putingnya yang berwarna
merah kecoklatan ke mulut Rudi. Dengan cepat, pemuda itu mencaplok dan
menghisapnya. Rudi melakukannya bagai seorang bayi yang kehausan, begitu
cepat dan kuat. Dengan lidahnya yang basah, pemuda itu mencucup dan
menggelitik benda mungil itu.
”Aahhhhh,” Widya merintih saat Rudi ganti mencaplok puting susunya yang
sebelah kiri. Sementara yang kiri diemut, puting yang kanan dipilin dan
ditarik-tarik, itu membuat Widya jadi semakin merintih dan menggelinjang
keenakan. Apalagi sekarang, tangan kiri Rudi mulai merambat turun,
membelai punggung dan pinggulnya, dan terus turun hingga ke bongkahan
pantatnya.
”Uuhhh,” desis Widya saat Rudi menyelipkan jari-jarinya ke balik CD
hitam yang dikenakan gadis itu. Widya bisa merasakan tangan Rudi yang
sekarang meremas-remas bokongnya dengan keras. Dan tidak cuma berhenti
sampai disitu. Saat Widya melepas celana dalamnya, Rudi langsung
menggelitik dan mengobok-obok vaginanya.
”Aiihhh,” jerit gadis cantik itu saat jari telunjuk Rudi masuk menusuk
vaginanya. Disusul kemudian jari tengah dan jari manis pemuda itu. Total
ada tiga jari yang menari-nari di dalam vaginanya sekarang. Itu sudah
lebih dari cukup untuk membuat Widya menjerit dan merintih-rintih
keenakan.
”Sst,” Rudi segera menyambar bibir gadis itu. Rudi tidak ingin jeritan
gadis itu sampai didengar orang. Sambil melumat bibir Widya, Rudi terus
menggerakkan tangannya: mengocok dan menstimulasi vagina gadis itu,
memberi kepuasan pada Widya seperti yang sudah sering dilakukannya
selama ini.
”S-sudah, Rud. Aku nggak tahan lagi. Geli banget.” Widya menarik tangan
Rudi. Nafas gadis itu tersengal-sengal, tubuhnya gemetar, sementara
butiran keringat membasahi dahi dan lehernya, padahal saat itu udara
begitu dingin.
Tersenyum, Rudi memperlihatkan tiga jari kirinya yang basah. ”Tapi enak kan?” godanya.
Widya pura-pura mau memukul pemuda itu, ”Dasar!”
“Nih, lepasin.” Rudi meminta bantuan Widya untuk melepas baju dan
celananya. Tampaknya, pemuda kurus jelek itu juga sudah tidak tahan.
Dengan cepat Widya melakukannya. Hanya dalam hitungan detik, Rudi sudah
telanjang, sama seperti dirinya. Bedanya, kalau tubuh Widya putih dan
montok, kalau tubuh Rudi kurus dan kering, hitam lagi. Tapi jangan
salah, biar kurus kering, Rudi mempunyai senjata dahsyat yang selalu
diidam-idamkan kaum wanita. Penis Rudi panjang dan besar, dengan warna
hitam mengkilat saat penis itu tegang. Itulah kenapa Widya takluk kepada
pemuda itu. Cuma Rudi yang bisa memberi kepuasan pada gadis itu. Tanpa
perlu disuruh, gadis itu segera menunduk dan memasukkan penis itu ke
dalam mulutnya. Dengan sedikit kesulitan, Widya menjilat dan mengulum
benda itu. Rudi yang keenakan, cuma bisa merintih dan menikmati sambil
memejamkan mata.
”Terus. Jilat terus. Ohh, enak banget, Wid. Terus!” rintih pemuda itu.
Dengan penuh semangat Widya melakukannya, dia memasukkan penis itu,
mengocok-ngocok dengan mulutnya, membasahi benda itu, hingga tak lama
kemudian penis itu menegang penuh, siap untuk digunakan. Vagina Widya
juga sudah basah, begitu juga dengan penis itu. Inilah saat yang tepat
untuk mempertemukan benda itu satu sama lain.
Rudi segera menghamparkan baju dan jaketnya sebagai alas. Dia menunggu
hingga Widya siap dengan berbaring telentang mengangkang di depannya.
Pelan, Rudi mengarahkan penisnya ke lubang kencing gadis itu. Widya
memejamkan matanya saat ujung penis Rudi menyentuh bibir kemaluannya.
”Ahhh,” Widya merintih. Dia menahan nafas, menunggu saat-saat yang
mendebarkan itu, saat dimana penis Rudi yang besar menerobos masuk
menembus vaginanya. Tapi alih-alih mendorong, Rudi malah
menggesek-gesekkan penisnya naik turun. Dia sepertinya masih ingin
bermain-main terlebih dahulu, membuat Widya yang sudah tidak tahan,
menjadi tidak sabar.
”Ayolah, Rud. Masukkan.” Widya menarik pinggul laki-laki itu. Dan
akibatnya, penis Rudi yang sedang menempel di kemaluannya, langsung
terdorong masuk, bless! ”AAAHHHH!” Widya menjerit lirih. Tubuhnya
bergetar dan menggelinjang saat merasakan penis Rudi yang besar
menggesek dan memenuhi liang vaginanya.
”Uuhhh,” Rudi juga melenguh keenakan, jepitan dan kehangatan vagina
Widya benar-benar membuatnya melayang. Meski sudah sering menyetubuhi
gadis itu, tak urung Rudi tetap surprise juga. Kemaluan gadis itu
seperti tidak pernah berubah, tetap seret dan rapet seperti lima bulan
lalu, saat Rudi pertama kali menikmatinya di WC kampus.
”Sakit?” Rudi bertanya saat melihat kernyitan di bibir Widya.
”Nggak,” gadis itu menggeleng. ”Malah enak. Nggak apa-apa, teruskan saja.”
Perlahan, Rudi menggerakkan pinggulnya. Pemuda itu menarik dan mendorong
penisnya maju mundur, mengocok dan menggesek-gesek vagina Widya, hingga
membuat kernyitan di bibir gadis itu berubah menjadi rintihan penuh
kenikmatan tak lama kemudian.
”Uuhhh, terus. Enak, Rud. Terus!” Widya berbisik. Gadis itu menarik
tangan Rudi ke arah payudaranya. Widya ingin agar sambil menggoyang,
Rudi juga meremas-remas benda bulat besar itu.
”Wid,” bisik Rudi sambil mencium bibir gadis itu.
Dengan malas Widya membuka matanya. Tampak sekali kalau gadis itu tengah
mengalami kenikmatan yang amat sangat. Nafas Widya memburu, sementara
mukanya merah padam, dengan keringat dingin membanjiri tubuhnya yang
sintal. Saat Rudi mempercepat goyangannya, gadis itu juga memperkeras
rintihannya, membuat Rudi makin bersemangat dan bergairah untuk
menyetubuhinya. Angin dingin yang bertiup dari arah puncak gunung tidak
menyurutkan hasrat keduanya. Rudi malah semakin bergairah. Dia sudah
lupa dengan Aline, Heru, atau siapapun yang ia tunggu. Yang ada
dipikirannya sekarang cuma bagaimana melampiaskan nafsu pada gadis
cantik yang sedang ditindihnya ini. Ia sudah tidak peduli meski Aline
atau siapapun memergoki perbuatannya sekarang. Ia hanya ingin
menumpahkan spermanya di dalam rahim Widya, karena itulah, Rudi
menggoyang pinggulnya makin keras dan cepat. Begitu juga dengan Widya,
semua sudah tak penting lagi. Kebersamaannya dengan Rudi-lah yang
penting, bagaimana dia memanfaatkan dan menikmati waktu berdua ini
sebaik mungkin. Apapun yang diminta laki-laki itu, Widya akan
memenuhinya. Yang penting dia bisa terpuaskan dan Rudi tidak kecewa
sehingga tidak akan menolak kalau lain kali diajak lagi. Dan seperti
saat ini, Rudi meminta Widya untuk menunduk dan menungging. Ini adalah
posisi kesukaan Rudi: Doggie Style. Dengan senang hati, Widya
memenuhinya.
”AHHHH!” jerit gadis itu saat penis besar Rudi menerobos vaginanya dari
belakang. Rasanya memang sedikit sakit, tapi biasanya itu cuma diawal
saja, dan setelah beberapa kali goyangannya, rasa sakit itu akan
digantikan oleh rasa nikmat yang amat sangat.
”Enak banget, Wid.” bisik Rudi di telinga gadis itu.
Widya cuma mengangguk. Dia sedang melayang sekarang. Gesekan penis Rudi
di kemaluannya benar-benar membuatnya nikmat, geli dan basah bercampur
menjadi satu, menciptakan suatu sensasi yang membuat Widya tak tahan
kalau tidak merintih.
”Terus, Rud. Oohhhh, terus. Tekan lebih dalam!” rengek gadis itu meski
tahu penis Rudi sudah berkali-kali mentok menabrak dinding rahimnya.
”Enak, Wid. Aku jadi tak tahan.”
”J-jangan keluar dulu. T-tunggu aku.” Widya memejamkan mata, berusaha meresapi semua kenikmatan itu.
Dia berharap, dengan begitu, rasa ingin kencing yang mulai terkumpul di
selangkangannya, bisa segera tersalurkan. Dan benar saja, bersamaan
dengan geraman Rudi, Widya vaginaik dan mengejang beberapa kali.
Tubuhnya menggelinjang diiringi dengan dengan semprotan-semprotan
panjang di dalam vaginanya. Dia orgasme! Di belakangnya, Rudi menyambut
orgasme itu dengan menekan penisnya dalam-dalam. Dari dalam penis hitam
itu, terlontar berjuta-juta sperma yang langsung memenuhi rahim Widya,
bercampur dengan cairan cinta Widya, hingga membuat vagina gadis itu
menjadi begitu penuh. Rudi merasakan penisnya seperti direndam dalam
cairan yang lengket dan hangat. Benar-benar luar biasa, nikmat sekali
rasanya.
******
”Hoiiii!” terdengar teriakan Heri dari sela-sela pepohonan.
Rudi tersentak. Dia yang saat itu asyik berpelukan dengan Widya, cepat
melepaskan diri. Dengan tergesa-gesa dia memunguti pakaiannya yang
berserakan di tanah dan mengenakannya tanpa bersuara. Begitu juga dengan
Widya, gadis itu langsung mengenakan kaos dan celananya tanpa perlu
repot-repot mengenakan daleman. CD dan BH-nya cuma ia kantongi begitu
saja di balik jaket.
”Biar cepat.” bisik gadis manis itu.
Rudi cuma tertawa sambil matanya berusaha mencari-cari sosok Heri yang tadi berteriak, tapi masih belum nampak.
”Oiiii!” terdengar lagi suara memanggil. Nadanya begitu lembut dan halus, itu suara Aline.
Setengah berlari, Rudi menyongsong ke arah suara itu. ”Lin, Aline! Kamu
di mana?” teriaknya. Dia baru ingat kalau dia seharusnya mencari gadis
itu, bukan malah ngentot dengan Widya seperti saat ini.
”Kami tersesat!” kali ini teriakan Aline terdengar tidak terlalu jauh.
”Diam saja disitu, aku akan menyusul.” ujar Rudi dengan penuh rasa
khawatir. Di pelupuk matanya terbayang wajah Aline yang pasti sedang
ketakutan. Pemuda itu jadi menyesal, kemolekan tubuh Widya membuatnya
melupakan gadis itu. Rudi jadi begitu cemas, dia merasa bersalah.
”Aline, kamu dimana?!” teriak Rudi saat dia mulai menerobos semak
belukar. Tak terdengar jawaban dari Aline. Perasaan Rudi jadi semakin
gelisah.
”Heri! Aline! Siapa saja, kalian dimana?!” kali ini Widya yang berteriak. Dia melangkah mengikuti di belakang Rudi.
“Aline?!” teriak Rudi lagi. Tapi tetap sepi, tak ada jawaban. Hening di lembah itu tiba-tiba saja terasa sangat mencekam.
Rudi menatap langit yang kian gelap. Dalam pikirannya kini, yang
terbayang adalah wajah Aline. Kasihan gadis itu. Baru pertama kali
mendaki, sudah tersesat. Sial! Rudi memaki udara kosong. Ini tentu
eksperimen Heri untuk mencari jalan baru menuju lembah. Anak satu itu
memang sok tahu, sok pahlawan. Kecemasan Rudi semakin kuat. Apalagi
belum ada tanda-tanda mereka tiba di lembah.
“Heri! Aline! Eveline! Lid...!" Rudi berhenti berteriak.
Tak jauh darinya, “Hei!” Heri, diiringi langkah Lidia, Eveline, dan
Aline, melambai ke arahnya. Wajah mereka biasa saja, tak ada tanda-tanda
mereka nyaris tersesat di dalam hutan sana. Bahkan ia melihat Aline,
gadis yang begitu di khawatirkannya, asyik mengobrol bersama Lidia
sambil tertawa ceria.
“Sialan!” Umpat Rudi dalam hati. Kiranya cuma ia saja yang dicekam rasa
cemas. Sedangkan mereka yang dicemaskan bersikap biasa-biasa saja,
seperti tak terjadi apa-apa. Sialan! Sekali lagi Rudi mengumpat.
“Kau ajak ke mana mereka, Her?” tanya Rudi sambil menahan dongkol.
Heri tersenyum sambil menepuk pundak cowok itu, “Kami hampir tersesat
tadi. Aku mengusulkan untuk turun melalui jalur timur yang biasanya bisa
motong jalan. Eh, ternyata jalur itu buntu kena longsor!” Heri
mengumbar gelak seenaknya, seakan tidak punya perasaan bersalah setelah
membuat Rudi khawatir.
“Untung saja kau tak mati di sana!” sungut Rudi, yang masih diselimuti perasaan dongkol.
Heri kembali tertawa. “Yah, aku nggak mau mati sekarang. Aku kan belum kawin.”
“Kawin sering, nikahnya yang belum.” dengus Rudi.
“Hahaha....” Heri kembali menjawab kedongkolan kawannya dengan suara tawanya yang khas.
Rudi tersenyum masam. Dalam hati ia merasa malu dengan perasaannya
sendiri. Seharusnya ia memang tak perlu khawatir secara berlebihan. Heri
rasanya tak mungkin tersesat jauh untuk menuruni Gunung Gumarang menuju
lembah. Sudah hampir lima tahun berturut-turut ia ikut pendakian ke
tempat ini. Sialan! Perasaan jengkelnya muncul lagi ketika tahu Heri
hanya mempermainkannya. Agaknya anak itu tahu kalau ia menyimpan
kekhawatiran pada Aline. Diliriknya gadis yang berjalan di samping Heri
itu. Wajahnya berkesan acuh tak acuh. Rambutnya yang panjang dibiarkan
tergerai lurus, hidungnya mancung menantang langit, dengan bibir tipis
dan mata lebar yang indah, membuat Rudi menarik napas panjang setiap
kali memandangnya. Gadis seperti itulah yang dia cari, cantik tapi
sedikit lembut. Rudi menyimpan ketertarikannya pada gadis itu
dalam-dalam di hatinya. Langit di sekitar lembah kini berkilau oleh
cahaya keperak-perakan. Awan hitam berarak, siap menutupi cakrawala.
Mereka beriringan menuju kemah. Dingin udara lembah sudah terasa menusuk
kulit. Bahkan Eveline yang biasanya tahan dingin, sudah nampak
menggigil.
”Ayo, kita cepat sedikit. Kita masih harus membangun tenda dulu,” ajak Rudi.
Mereka pun berjalan agak tergesa menuju tempat perkemahan. Tiba di sana,
beberapa tenda sudah berdiri. Widya segera membantu Atika yang sedang
sibuk menjerang air. Mereka memang termasuk gadis-gadis terampil di
Mapala, kedua gadis itu sudah cukup terbiasa bertualang di alam bebas.
Kesigapan mereka memang patut dihargai.
”Kayu buat api unggun sudah siap?” tanya Rudi pada Jarwo, pemuda gendut bertenaga besar yang tugasnya mencari kayu.
”Belum.” anak itu menggeleng.
”Cepat cari, mumpung belum gelap.” saran Rudi. ”Biar aku yang neruskan bangun tendanya.”
Dengan ditemani beberapa anak, Jarwo berjalan pelan menuju ke kedalaman hutan pinus.
”Kutemani ya?” teriak Lidia dari samping. Gadis itu memang tidak ada
kerjaan, dia tidak bisa masak ataupun mendirikan tenda. Daripada cuma
jadi penonton, dia lebih baik ikut Jarwo. Lidia ingin membantu juga
meskipun itu cuma mencari kayu bakar.
“Terserah,” sahut Jarwo acuh tak acuh.
Beriringan mereka masuk ke dalam hutan.
***
”Tebang yang itu!” perintah Jarwo pada seorang anak. ”Ini, bawa ini ke tenda!” perintahnya pada anak yang lain.
Memang, untuk urusan perkayuan, Jarwo-lah jagonya. Dia bisa memilih mana
kayu yang kering, mana kayu yang mudah terbakar, mana yang awet, dan
mana yang tidak mengeluarkan banyak asap. Sekali lagi kapak Jarwo
mengayun, dan sekali lagi tumbanglah sebuah pohon pinus besar yang sudah
tua. Jarwo membelah batang pohon itu menjadi beberapa bagian yang lebih
kecil sehingga mudah untuk diangkat.
”Hmm, kamu boleh juga.” celetuk Lidia.
Jarwo menoleh dan tersenyum pada gadis itu. ”Apanya yang boleh?” tanyanya nakal sambil mengelap keringat yang membasahi dahinya.
”Tenagamu luar biasa, cocok sama badan kamu yang besar.” Lidia tertawa.
Jarwo memang gendut, badannya hampir sebesar sapi betina yang mau
melahirkan. Makannya enam kali lipat manusia normal, dan minumnya,
sebotol bisa dihabiskan hanya dengan sekali teguk. Itulah kenapa di
Mapala, Jarwo selalu kebagian tugas-tugas berat: mengambil air atau
mencari kayu bakar. Tapi anak itu tidak pernah protes. Jarwo memang
lebih suka pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik daripada kekuatan
otak. Kini mereka tinggal berdua: Lidia dan Jarwo. Anak-anak yang lain
sudah kembali ke perkemahan, sudah tinggal sedikit kayu yang harus
diangkut, itu kayu jatah mereka berdua. Jarwo sudah akan beranjak dari
tempat itu ketika Lidia bertanya,
”Eh, bener nggak kalo penis cowok gendut itu kecil?”
Jarwo langsung menoleh dan melotot pada gadis itu, “Kenapa tanya begitu?”
Lidia gelagapan, ”Ah, nggak. Cuma pengen tahu aja.”
Jarwo mendengus. “Gak usah dibahas. Ayo kita balik, sebentar lagi gelap.”
”Jawab dulu pertanyaanku.” Lidia merajuk.
“Hhh,” Jarwo menghela nafas panjang melihat kengototan gadis itu.
“Ayo katakan, besar apa kecil?” paksa Lidia.
Sekilas Jarwo sudah akan marah, tapi suatu pikiran membuat raut kesal di mukanya berubah menjadi raut nakal penuh kemesuman.
“Nanggung kalau cuma dikatakan, kenapa tidak kamu cari tahu saja
sendiri.” sambil berkata begitu, Jarwo melepas celana katun tebal yang
dikenakannya.
Tidak ada apa-apa lagi di baliknya, pemuda itu telanjang. Jarwo memang
tidak pernah mengenakan celana dalam, tidak ada ukuran yang cocok buat
pinggulnya.
“Iihhh,” gidik Lidia saat melihat ular naga kecil yang ada di bawah perut buncit Jarwo. “Kecil amat.” ejek gadis itu.
“Emang kamu pernah lihat yang lebih besar.” tanya Jarwo.
”Pernah.” sahut Lidia.
”Punya siapa?” Jarwo penasaran.
”Pak Tohir, guru kimia kita.” celetuk Lidia tanpa malu-malu.
”Kamu ngintip ya?”
”Enak aja. Buat apa ngintip, Pak Tohir kok yang ngasih lihat ke aku.”
”Hah?” Jarwo kaget. ”Kalian sudah pernah...”
”Iya, emangnya darimana nilai sembilan itu kalau bukan dari jual tubuhku ini.” terang Lidia tanpa malu-malu.
Dia memutar-mutar tubuh indahnya itu di depan Jarwo, memamerkannya bak
peragawati yang lagi show. Penis Jarwo langsung bereaksi. Melihat tubuh
Lidia yang terpampang menggoda didepannya, di tambah dengan bayangan
gadis itu yang sedang bercinta dengan Pak Tohir, membuat Jarwo jadi
bergairah. Perlahan-lahan penisnya bangun dan membesar.
”Eh, itu-mu bangun.” pekik Lidia sambil menunjuk penis Jarwo yang sekarang sudah setengah berdiri.
”Besar kan?” kata Jarwo bangga sambil memamerkan penis itu.
”I-iya.” Lidia mengangguk.
”Gede mana sama punyanya Pak Tohir?”
”Masih gedean punya Pak Tohir dikit.” Lidia berterus terang.
”Tapi ini masih bisa lebih gede lagi lho.” terang Jarwo.
”Hah, benarkah?” Lidia menatap tak percaya.
”Tapi untuk itu perlu bantuan kamu.” sahut pemuda itu.
”Bantuan apa?”
Jarwo menarik lengan Lidia dan menaruh di atas penisnya. ”Kocok pelan-pelan.” gumam Jarwo sambil menyeringai mesum.
”Gak mau ah.” Lidia menarik tangannya cepat.
”Kenapa?”
”Buat apa, gak ada untungnya. Yang penting aku dah tahu kalau penis orang gendut ternyata gede juga.”
”Tapi ini sudah kadung aku keluarin, masa gak diapa-apain?”
”Gak mau ah.” Lidia sudah akan melangkah pergi.
Jarwo berpikir keras, sedikit frustasi. ”Ok, gini aja. Biar adil, gimana
kalau kamu buka celana juga. Aku pengen lihat vagina kamu, biar
sama-sama tahu gitu.”
Lidia tampak terdiam, berpikir. ”Cuma lihat lho ya, nggak boleh pegang-pegang!”
Jarwo segera mengangguk cepat. ”I-iya, cuma lihat.”
Pelan, dengan disaksikan Jarwo yang melotot di depannya, Lidia mencopot
celananya. Dia menurunkan celana itu sampai selutut. Jarwo menelan ludah
melihat sepasang paha Lidia yang putih mulus, benda itu tampak begitu
bersinar di keremangan senja yang mulai gelap ini.
”Ayo cepat, buka.” bisik Jarwo saat Lidia mulai membuka kakinya.
Lidia menyingkap sedikit celana dalamnya. Jantung Jarwo serasa berhenti
berdetak saat benda itu terlihat: Mungil, berambut tipis, terbelah tepat
di tengah, dengan warna merah kecoklatan yang begitu menggoda, ada
sedikit cairan bening yang merembes di sela-sela belahannya.
”Oooh, indah sekali.” bisik pemuda gendut itu.
Lidia cuma tersenyum mendengarnya. Gadis itu membuka kakinya lebih lebar
lagi, memberi Jarwo pemandangan yang bisa menghentikan detak jantung,
membiarkan pemuda itu untuk memandangi vaginanya yang indah sepuasnya.
”Ihh, burungmu tambah gede tuh.” dengan matanya Lidia menunjuk penis Jarwo yang sekarang berdiri tegak dan membengkak maksimal.
”Gara-gara lihat vaginamu nih, ayo tanggung jawab!” Jarwo memegang benda hitam berurat itu dan memberikannya pada Lidia.
”Ah, ogah.” Lidia menolak. ”Tanggung jawab apaan?” tanya gadis itu.
”Selesaikan apa yang sudah kamu mulai.” sehabis berkata begitu, Jarwo
memepet Lidia dan memojokkan gadis cantik itu ke sebatang pohon Pinus
besar.
”Eh-eh, kamu mau apa?” Lidia bergidik saat Jarwo menggesek-gesekkan penis besarnya ke pipinya yang mulus.
”Ayolah, kamu pasti tahu apa yang aku inginkan.” Jarwo membuka mulut Lidia dan memaksa gadis itu untuk menelan penisnya.
”Tapi kan janjinya tadi cuma mel... emmphh!” Lidia tidak bisa
melanjutkan kata-katanya karena penis hitam Jarwo sudah mendesak masuk
dan menjejali mulutnya. Mau tak mau gadis itu harus mengoral benda itu
kalau dia masih ingin bisa bernafas.
”Ya, begitu. Terus.” Jarwo yang merasa keenakan, menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan cepat.
Dia begitu menikmati saat bibir tipis Lidia menyapu kulit kemaluannya
dengan pelan. Pemuda itu juga menggeram saat dengan lidahnya, Lidia
menggelitik dan mencicipi ujung penisnya yang gundul.
”AHHHH,” Jarwo memejamkan mata merasakan kenikmatan yang mengalir di tubuhnya.
”Enak?” tanya Lidia di sela-sela hisapannya.
”Enak banget.” Jarwo mengangguk. ”Kenapa tidak dari tadi kamu melakukannya?” tanya pemuda itu.
”Kenapa tidak dari tadi kamu memaksaku?!” balas Lidia.
”Hah! Maksudmu apa?” Jarwo tidak mengerti.
Lidia mengangkat penis itu ke atas, dia kini ganti menjilati biji pelir
Jarwo yang besar sebelah. ”Memangnya kenapa aku ikut kemari kalau tidak
untuk ini.” sahut gadis itu manja.
Jarwo menatapnya tak percaya. ”Kamu ingin main denganku? Tidak mungkin!”
”Kenapa tidak mungkin?” tanya Lidia.
”Masih banyak cowok yang ganteng di rombongan kita, kenapa kamu malah milih aku?”
”Kamu nggak mau?” Lidia menatap Jarwo tajam dan menghentikan jilatannya.
”Eh, mau-mau. Jangan berhenti, aku sudah terlanjur enak.” pinta Jarwo.
Lidia kembali memasukkan tongkat hitam di selangkangan Jarwo itu ke
dalam mulutnya. ”Tidak perlu kuberi tahu alasannya, yang penting kamu
bisa merasakan tubuhku. Ok?”
”Ok, no problemo, nona manis.” sahut Jarwo sambil melepas celananya yang dari tadi cuma menumpuk tak berguna di bawah kakinya.
Dengan berdiri bersandar di sebatang pohon pinus, pemuda itu menikmati setiap hisapan dan kuluman Lidia yang mampir di penisnya.
”Uuhhh,” Lidia melenguh saat merasakan tangan Jarwo menyusup dan menggerayangi payudaranya.
”Dilepas aja ya?” bisik Jarwo sambil membuka jaket dan kaos Lidia. Gadis
itu tidak membantah saat Jarwo menelanjangi dan membelai tubuh
indahnya.
”Uh, dingin.” gumam Lidia sambil merapatkan tubuh ke arah Parjo. Ya jelas aja dingin, di puncak gunung kok telanjang?!
Jarwo segera merangkul dan memeluk gadis cantik itu. Dia meraba dan
mengelus-elus tubuh Lidia yang halus bagai pualam, saat Lidia mendongak,
jarwo langsung menyambar dan melumat bibir tipis gadis itu.
”Ehhmmm,” Lidia melenguh saat Jarwo mencucup dan menghisap mulutnya dengan ganas.
Meskipun sudah berusaha mengimbangi, tetap saja ciuman Jarwo itu terasa
begitu kasar, tanda kalau pemuda itu belum pernah berciuman, itu yang
bisa diperkirakan oleh Lidia. Membayangkannya membuat Lidia jadi makin
bergairah. Memang inilah yang dia cari, laki-laki yang masih lugu, yang
belum pernah bercinta. Gadis itu sudah bosan bercinta dengan pemuda yang
biasa, dia ingin pengalaman lain yang lebih seru. Dan sepertinya Jarwo
akan bisa memberikan pengalaman itu. Mudah-mudahan saja, batinnya dalam
hati. Lidia melepaskan ciumannya dan kembali menunduk. Dia ingin
menggarap penis Jarwo sekali lagi. Lidia sangat menyukai benda itu,
meski tidak begitu panjang, tapi diameternya luar biasa, hampir tidak
muat jari Lidia saat menggenggamnya. Gadis itu harus susah payah kalau
mau menelan semuanya.
”Uhhh, enak, Lid. Terus!” gumam Jarwo saat merasakan bibir tipis Lidia kembali menari-nari di atas kulit kemaluannya.
Pemuda itu benar-benar tidak menyangka, Lidia yang cantik ini, mau
melakukan ini dengan dirinya. Kalau saja tidak melihat tumpukan kayu
yang mesti dibawanya balik ke tenda, Jarwo rela untuk melakukan ini
sepanjang malam.
”Ayo, Lid, tiduran sini.” Jarwo membentangkan jaket dan celananya sebagai alas Lidia untuk berbaring. ”Kita lakukan sekarang.”
Jarwo tidak ingin menunda lagi, dia takut teman-temannya di tenda akan
curiga kalau dia tidak cepat kembali. Dia tidak ingin ada yang menyusul
kemari dan memergoki perbuatannya dengan Lidia. Dia tidak ingin berbagi,
Jarwo ingin menikmati tubuh sintal Lidia sendirian, sepuasnya.
”Pelan-pelan, ya?” bisik Lidia saat melihat Jarwo mulai mengarahkan penis besarnya ke bibir kemaluannya yang sudah basah.
Gadis itu membuka kakinya lebar-lebar, memberi jalan pada torpedo hitam
yang sekarang meluncur itu, mempersilahkannya untuk masuk dan
mengaduk-ngaduk vaginanya yang hangat sampai puas.
”Nggak bisa masuk ya?” tanya Lidia saat merasakan ujung penis jarwo cuma membentur-bentur bibir vaginanya saja.
Benda itu tidak bisa masuk. Jarwo kesulitan untuk menembus lubang vagina Lidia yang mungil.
”Tunggu sebentar.” Lidia membetulkan posisinya dengan membuka kakinya
lebih lebar. Dengan tangannya, gadis itu membimbing penis Jarwo untuk
menemukan lubangnya yang pas. ”Sekarang, coba lagi.”
Jarwo mendorong dan... ”AAHHHHHH,” Lidia langsung melenguh saat benda
hitam besar itu melesak sebagian, menggesek bibir vaginanya dan memenuhi
lubang kencing Lidia dengan denyutan-denyutannya yang khas.
”Sakit ya?” tanya Jarwo khawatir. Tapi di sisi lain, dia juga merasakan
kenikmatan yang amat sangat. Penisnya yang besar seperti dipijat dan
diremas-remas oleh daging hangat yang lembut. Luar biasa sekali rasanya,
Jarwo sampai bergidik dibuatnya. Rasanya benar-benar beda dengan onani
yang selama ini dia lakukan di kamar mandi.
Lidia menggeleng. ”Tidak, tidak apa-apa. Teruskan aja.” dia tidak ingin jarwo berhenti karena takut.
Lidia akan berusaha untuk menahan rasa sakit itu demi kenikmatan yang
akan dia dapatkan sebentar lagi. Jarwo menekan lagi, dan melesaklah
penis itu seluruhnya, amblas, tuntas, ditelan vagina Lidia yang memerah.
”AAHHHH!” mereka merintih berbarengan.
”Jangan cepat-cepat ya, pelan-pelan aja.” pesan Lidia saat melihat Jarwo sudah akan mulai menggoyang pinggulnya.
Pemuda itu mengangguk. Dengan gerakan kaku dan sedikit dipaksakan, Jarwo mulai menggoyang.
”Baru pertama kali ini ya kamu main?” tebak Lidia.
Jarwo tidak menjawab. Tapi pertanyaan Lidia itu sudah cukup untuk
membuat pemuda itu memperbaiki goyangan pinggulnya. Jarwo kini
melakukannya dengan konstan dan sedikit berirama. Gerakannya juga sudah
lebih lihai, tidak lagi kaku kayak tadi. Lidia jadi tersenyum dibuatnya.
Dia kini bisa menikmati tusukan Jarwo sepenuhnya. Rasa sakit yang
timbul di selangkangannya, perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh
rasa nikmat yang amat sangat. Inilah yang dia cari: rasa nikmat
persetubuhan akibat gesekan kelamin dari dua orang manusia yang
berlainan jenis.
”Kamu cantik, Lid.” bisik Jarwo di sela-sela goyangannya yang binal.
Pemuda itu menunduk untuk mencium bibir Lidia yang tipis. Lidia
menyambut ciuman itu dengan melumat bibir tebal Jarwo penuh nafsu.
”Ahhhh,” Lidia merintih keenakan sambil memejamkan mata. Sambil
menggoyang, tangan Jarwo juga tak henti-hentinya meremas dan
memijit-mijit payudaranya yang besar. Jarwo memegangi benda bulat empuk
itu, menjaganya agar tidak bergerak kemana-mana setiap kali dia
melakukan sodokan di tubuh Lidia yang sintal.
”Enak, Wo?” tanya Lidia sambil merem melek.
”Enak.” Jarwo mengangguk. ”Kalau kamu?”
”Enak juga.” Lidia berkata jujur. Dia memang merasakan kenikmatan yang
amat sangat sekarang. ”Jangan keburu dikeluarin dulu, aku ingin lama
main sama kamu.” Lidia tidak ingin kenikmatan ini cepat berakhir.
Jarwo mengangguk. Dia memang tidak ada rencana untuk keluar lebih cepat.
Dengan semangat ’45, pemuda itu terus menggoyang dan menghantam tubuh
Lidia. Setiap tusukan dan serangannya membuat Lidia merintih dan
menjerit makin keras. Jarwo yang mendengarnya jadi semakin bergairah.
Pemuda itupun menggoyang pinggulnya lebih cepat, lebih brutal, dan lebih
keras. Akibatnya bisa diduga, tak lama kemudian, Lidia menggeram dan
mengelinjang penuh kenikmatan. Dari mulutnya yang seksi, keluar
serangkaian sumpah serapah yang menunjukkan kalau dia sedang merasakan
kenikmatan yang amat sangat.
”Shit, aku keluar. Ooohhh, nikmat sekali. Ohhhhhh!” tubuh Lidia bergetar
beberapa kali saat cairan kewanitaannya muncrat tumpah membasahi
rahimnya.
Jarwo yang mengetahui hal itu segera mendekap dan memeluk tubuh sintal
Lidia dengan mesra. Dia mencium bibir mungil Lidia untuk ikut merasakan
kenikmatan yang sedang dialami gadis itu.
”Aku keluar.” bisik Lidia.
”Ya, aku tahu.” jawab Jarwo sambil terus menggoyang.
Sebenarnya Lidia berkata begitu agar Jarwo menghentikan sejenak
goyangannya dan memberi Lidia waktu untuk menikmati orgasmenya dan
memberi gadis itu jeda untuk untuk memulihkan diri. Kan tubuh capek
banget kalau habis ’keluar’. Tapi dasar Jarwo yang tidak pernah
bercinta, tentu saja dia tidak tahu akan hal itu. Pemuda itu terus saja
menggoyang, bahkan kini makin keras dan cepat, membuat Lidia mau tak mau
harus menyesuaikan diri. Meski capek, dalam hati Lidia girang juga.
Inilah laki-laki yang dia cari: seorang pejantan tangguh yang sanggup
mengantarkan dia pada orgasme berkali-kali, dan memberinya kenikmatan
persetubuhan yang sebenarnya. Sepertinya sore ini akan terasa panjang
karena masih tidak ada tanda-tanda Jarwo akan keluar dalam waktu dekat.
Pemuda itu malah mencabut penisnya dan menyuruh Lidia untuk mengulumnya
lagi.
”Hisap, Lid!” Jarwo mengarahkan penis hitamnya yang mengkilat ke mulut gadis itu.
Tanpa rasa jijik sedikitpun, Lidia melakukannya. Dia menjilat dan
mencucup penis itu dengan rakus, lidahnya bergerak berputar, bibirnya
naik-turun, sementara tangannya mengocok dengan pelan, membuat benda
yang sudah basah itu menjadi semakin basah. Jarwo yang merasakan
kenikmatan yang amat sangat pada kemaluannya, mendesah penuh kepuasan.
”Aaahhh, terus, Lid. Enak, enak banget. Terus!”
Bibir Lidia sudah agak keluh ketika Jarwo menarik penis itu dan kembali
menyuruh Lidia untuk berbaring. Langit disekitar mereka sudah mulai
gelap. Serangga-serangga malam yang tadi bersembunyi di balik dedaunan,
sekarang satu-per satu mulai muncul. Binatang-binatang kecil itu
bergerombol sesuai jenisnya, menonton tanpa suara ketika penis besar
Jarwo masuk dan menusuk, menjelajahi vagina Lidia untuk yang kedua
kalinya.
”Uuhhhh,” Lidia merintih sambil memejamkan matanya saat Jarwo mulai menggerakkanpinggulnya.
”Enak banget, Lid.” Jarwo berbisik di telinga gadis itu. ”Tubuhmu nikmat
sekali.” pemuda itu menunduk dan menciumi payudara Lidia yang
bergoyang-goyang indah di depannya.
Jarwo mencucup dan menjilati putingnya yang tegak kemerahan. Lidia cuma
bisa mengangguk sambil memejamkan mata. Dia begitu menikmati saat-saat
itu, saat dimana penis besar Jarwo menggesek dinding rahimnya dengan
keras. Baru saja tubuh gadis itu melayang, ketika didengarnya Jarwo
menggeram dengan tiba-tiba.
”Jangan dikeluarin dulu.” Lidia berusaha mencegah. ”Kita keluar sama-sama.”
Lidia memegangi penis Jarwo yang terasa berkedut-kedut keras di
kemaluannya. Tapi terlambat! Dengan satu erangan lirih, tubuh Jarwo
mengejang dan dari dalam penisnya, tersembur berjuta-juta sperma yang
langsung memenuhi vagina hangat Lidia.
”Ahh,” gadis itu mendesah kecewa. Padahal kalau ditahan sebentar saja, mereka bisa keluar sama-sama.
Jarwo yang keenakan, segera mencabut penisnya dan memberikannya pada
Lidia. Gadis itu menerimanya dengan malas dan membersihkannya dengan
asal-asalan.
”Aku belum puas, Wo.” sambil mengulum penis itu, Lidia berterus terang.
Jarwo menatap gadis cantik itu. ”Kamu mau lagi?”
Lidia mengangguk.
Jarwo tersenyum, ”Ya, ayo kalo begitu.”
Lidia melongo. “Kamu masih kuat?”
Jarwo memperlihatkan penis hitamnya yang masih menegang. “Tiga kali lagi
juga ok.” kata pemuda itu sambil menggerak-gerakkan benda itu di depan
Lidia.
”K-kamu hebat, Wo.” Lidia menatap tak percaya.
Inilah untuk pertama kalinya dia menemui penis yang tetap tegang meski
sudah ejakulasi. Lidia memegang penis itu dan membelainya dengan mesra,
ukurannya memang agak mengecil, tapi ketegangannya masih tetap terjaga,
masih cukup kuat untuk digunakan mengaduk-ngaduk vaginanya yang gatal.
Dengan disaksikan bulan purnama di langit, Jarwo membaringkan tubuh
mulus Lidia, dan kembali menindih gadis itu untuk yang ke-tiga kalinya.
***
”Heri kemana, Fir?” tanya Rudi pada seorang anak bermata juling yang sedang asyik bermain gitar.
Tanpa menoleh, anak yang dipanggil Fir itu menunjuk tenda besar warna
merah yang ada di ujung lembah. Rudi mengangguk sebagai rasa terima
kasih dan segera berlalu menuju tempat itu. Begitu tiba, dengan tak
sabar, Rudi menyibak pintunya.
”Her, ayo i...” pemuda itu tidak bisa meneruskan kata-katanya. Apa yang dia lihat terlalu mencengangkan untuknya.
Disana, bergumul di atas matras, tampak Heri telanjang dengan ditindih
seorang gadis cantik: Monika, nama gadis itu, kalau tidak salah. Rudi
ingat karena tadi dia menolong gadis itu saat kakinya terkilir diatas
puncak Gumarang. Heri yang melihat kedatangan Rudi, menoleh dan
menyapanya dengan nafas ngos-ngosan,
”A-ada apa, R-rud.” tangan Heri yang tadi bergerak-gerak di dada Monika yang besar, sekarang diam.
”Ah, tidak. Sepertinya kamu sedang sibuk sekarang.” Rudi menatap tak berkedip tubuh Monika yang duduk telanjang membelakanginya.
Gadis itu menunggangi Heri, menggoyang tubuh pemuda itu seperti koboi
Rodeo yang menunggangi kudanya. Melihatnya membuat Rudi jadi bergairah.
Adik kecilnya yang tadi diam, sekarang perlahan mulai menggeliat
terbangun.
”Kamu mau ikut bergabung?” tanya Heri saat melihat Rudi mengelus-elus tonjolan daging di selangkangannya.
”Ah, tidak-tidak.” Rudi menggeleng.
”Beneran? Kita nggak keberatan kok kalau kamu ikut bergabung.” kata Heri
di sela-sela desahannya. ”Benar kan, Mon?” pemuda itu bertanya pada
gadis cantik berkulit mulus yang ada di atas tubuhnya.
Monika cuma mengangguk sambil terus menggoyang tubuh sintalnya. Rudi
menahan nafasnya saat tiba-tiba gadis itu vaginaik dan mengejang
beberapa kali.
”Her, dia orgasme,” celetuk Rudi.
“I-iya, aku t-tahu.” balas Heri dengan muka merah seperti kepiting
rebus. Sepertinya, tak perlu waktu lama bagi pemuda itu untuk menyusul
Monika.
Sebenarnya Rudi tergoda juga untuk ikut bergabung dengan mereka.
Kemulusan tubuh Monika, bulatan di dada dan pinggul gadis itu yang
besar, dan juga jeritannya yang manja, semua itu dengan mudah membuat
Rudi tertarik. Kalo saja tidak ingat dengan Jarwo dan Lidia yang sampai
sekarang belum kembali, pasti pemuda itu akan langsung mencopoti bajunya
dan memeluk tubuh sintal Monika dari belakang. Rudi menghela nafas
panjang.
”Sebaiknya aku pergi. Sudah 2 jam Jarwo dan Lidia belum balik.” pemuda
itu pamit dengan enggan. Tapi sebelum pergi, Rudi meyempatkan diri untuk
mengelus paha dan payudara Monika yang putih mulus. Monika yang sudah
kelelahan cuma diam saja menerimanya. Tapi baru beberapa langkah
meninggalkan tenda itu, dari dalam hutan, Rudi melihat Jarwo dan Lidia
yang berjalan gontai beriringan. Sepertinya mereka sangat kelelahan.\
”Darimana saja? Kukira kalian sudah mati dimakan macan.” semprot Rudi
kesal. Sebagai ketua rombongan, dia memang harus bertanggung jawab atas
keselamatan seluruh anggotanya.
”Santai aja, bro. Yang penting kan kita sudah balik.” jawab Jarwo santai.
”Kalian tersesat.” tanya Rudi.
Jarwo mengidikkan bahu. ”Aku sudah mengenal hutan ini seperti aku menganal rumahku sendiri, mana mungkin aku tersesat.”
”Lalu kemana saja kalian dua jam ini? Bikin orang bingung saja.”
Lidia yang dari tadi cuma diam, sekarang ikut angkat bicara. ”Kalau
tersesat sih tidak. Hmm, apa ya sebutannya, sengaja menyesatkan diri,
mungkin lebih tepat. Hehehe...” gadis itu tertawa.
”Ya-ya, dia benar.” Jarwo menyetujui.
Beberapa anak yang mendengar pembicaraan itu ikut tertawa. Rudi yang masih kesal, dengan muka ditekuk, pergi dari tempat itu.
“Gak tahu orang khawatir, malah ketawa-ketawa,” sungut Rudi dalam hati.
Aline yang sedang duduk sendirian di depan tendanya, menatap pemuda itu
dengan senyum dingin, seperti mengejek. Hal itu tentu saja membuat
perasaan Rudi jadi makin mangkel. Tapi, ah, gadis secantik dia terlalu
sayang untuk diumpat. Entahlah, setiap menit pembawaan gadis itu semakin
menarik saja di matanya. Padahal selama ini ia tak pernah memendam
perasaan yang seperti itu kepada setiap kawannya sesama pencinta alam.
Kalaupun ia mengagumi Widya atau Eveline, misalnya, itu hanya sebatas
perasaan kagum semata. Kagum karena mereka cantik dan memiliki tubuh
yang sangat indah, dan Rudi sudah merasakan kehangatan tubuh mereka.
Hubungan mereka cuma sebatas itu: bercinta dan selesai, tanpa
embel-embel khusus lain. Tidak ada perasaan yang terlibat, semuanya cuma
untuk pelampiasan nafsu, tidak lebih. Tidak ada yang terlalu mendalam.
”Rud, kau mau kopi?” terdengar tawaran Aline kepadanya.
”Ah, ng-nggak usah.” Rudi selalu tergagap menghadapi gadis itu. ”Terima
kasih.” ucapnya lirih dan dia segera mempercepat langkahnya agar Aline
tidak melihat mukanya yang sudah merah padam.
Dari kejauhan, dengan ditutupi bayang pepohonan, Rudi memperhatikan
gadis pujaan hatinya itu. Di saat semua orang tertawa mengejek Jarwo
yang telah berhasil melepas keperjakaannya, gadis itu hanya diam saja.
Aline asyik duduk di luar tenda sambil menghadap ke kompor dan
mengusap-usap rambutnya yang hitam panjang. Hanya sekilas-sekilas saja
senyum terukir di bibir tipis gadis itu. Ah, seperti air di daun talas,
hilang tak berbekas. Rudi tersenyum masam, teringat dengan tatapan Aline
yang tajam dan dingin. Setiap kali mata mereka bertemu, bukan gadis itu
yang tersipu. Sebaliknya, Rudi-lah yang menundukkan kepalanya,
menghindar dari Aline. Sungguh aneh sekali. Entahlah, berhadapan dengan
gadis itu, tiba-tiba keberanian Rudi sebagai cowok selama ini hilang
begitu saja. Apakah ini karena cinta? Pemuda itu tidak tahu. Malam yang
semakin larut membuat udara di lembah itu jadi begitu dingin. Sebagian
besar anak sudah masuk ke tendanya masing-masing, begitu juga dengan
Aline. Ketiadaan gadis itu membuat Rudi jadi merasa sendirian. Akhirnya,
sambil menguap lebar, pemuda itupun ikut menyusup ke dalam tendanya.
***
Hari masih gelap ketika Rudi keluar dari tendanya. Pemuda itu melirik
jam tangannya, baru pukul empat pagi, pantas masih belum ada yang
bangun. Brrr... Rudi cepat-cepat mengenakan jaketnya. Di timur, fajar
baru saja menyingsing. Sinarnya yang lembut keemasan menghiasi langit,
memberi sedikit terang di tempat Rudi dan teman-temannya berkemah. Di
dekat api unggun, dilihatnya seorang gadis yang sepertinya sudah bangun
lebih dulu. Gadis itu sedang sibuk memasak sesuatu sekarang. Dilihat
dari ukuran payudaranya yang super besar, sepertinya itu adalah Atika.
Bau harum kuah mie rebus membuat Rudi tanpa sadar melangkahkan kakinya
kesana. Dengan tertatih-tatih, pemuda itu mendekati Atika.
”Kenapa, Rud?” tegur Atika saat melihat cara berjalan Rudi yang aneh
”Biasa, penyakit cowok di pagi hari.” jawab Rudi sambil memperbaiki posisi penisnya yang terjepit celana jeans ketat.
Atika tertawa, ”Dasar cowok, bangun lebih cepat burungnya daripada orangnya.”
Rudi ikut tertawa mendengar guyonan Atika. ”Tapi itu tandanya penis kita
sehat, masih jrengg, masih kuat untuk digunakan.” pemuda itu membela
diri.
”Eh, kamu kan sudah nggak perjaka, kok masih bisa ’bangun’ pagi-pagi?” tanya Atika.
Gadis itu memang tahu kalau Rudi sudah tidak perjaka, bahkan dia sudah pernah tidur dengan pemuda itu.
”Hmm, mungkin karena lagi dekat sama kamu.” Rudi memancing.
”Ah, kamu bisa saja.” Atika menoleh. ”Mau mie nggak? Nih sudah matang.”
gadis itu menyodorkan sepiring mie campur nasi yang masih mengepul pada
pemuda itu.
Rudi menggeleng, ”Tidak, terima kasih, aku masih kenyang.”
“Mau kubuatkan yang lain, kopi mungkin?” tawar Atika.
Rudi langsung nyeletuk tanpa berpikir. ”Susu aja. Aku mau susu.”
payudara besar Atika yang bergoyang-goyang membuat pemuda itu tak tahan.
”Susu apa? Kamu cari sapi dulu sana, peras sendiri.” sahut Atika asal.
”Ini ada susu.” Rudi menyambar payudara Atika dan meremasnya keras.
“Auw! Rud, apa-apaan sih?” Atika menjerit kaget, tapi tidak marah. Sudah
biasa Rudi berbuat seperti itu, apalagi ketika berdua seperti saat ini.
”Katanya tadi disuruh meres sendiri.” kilah Rudi tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Senyuman Atika membuat pemuda itu jadi berani. Gairahnya yang datang
pagi ini sudah tidak bisa ditahan lagi. Dia butuh pelampiasan. Dan Atika
adalah satu-satunya pilihan yang ada di pagi yang dingin itu. Pilihan
yang tidak terlalu mengecewakan.
”Ooo, dasar bocah sableng.” rutuk Atika sambil nyengir. Tapi dia
membiarkan saja tangan nakal Rudi meraba-raba dan menjamah payudaranya
yang besar.
”Bener nggak mau mie?” Atika kembali menyodorkan piring yang ada di
tangannya saat tangan Rudi menyelusup ke balik celah jaketnya.
”Selain mie, apa nggak ada service tambahan untuk ketua rombonganmu yang
lagi pengen ini?” tanya cowok itu sambil menunjukkan tonjolan penis di
selangkangannya.
Atika tersenyum, ”Kamu bener-bener pengen ya?” tanyanya.
Rudi mengangguk. ”Pengen banget.” dan sambil berkata begitu, cowok itu
membuka celananya dan mengeluarkan penisnya yang sudah menegang dahsyat.
”Wow,” Atika menelan ludah saat melihat benda hitam panjang itu. ”Tambah
gede aja nih burung.” gumam gadis itu sambil tak berkedip mengamatinya.
”Kocok, Tik.” Rudi memohon.
Malu-malu, tapi tak urung, gadis itu mengulurkan tangannya juga dan
memegangnya. Rudi mendesah saat jari-jari mungil itu mulai mengurut
penisnya pelan.
”Ahh, nikmatnya.” gumam cowok itu.
”Yang mana,” Atika bertanya. ”Mie-nya apa penisnya?”
”Dua-duanya,” Rudi menjawab sambil tertawa. Mie bikinan Atika memang
enak, Rudi menyantap makanan itu dengan lahap, sementara di bawahnya,
kocokan Atika di kemaluannya membuat pemuda itu mendesah lebih enak
lagi. Rudi sampai menggigil dan mengeliat-geliat dibuatnya.
”Enak, ya?” Atika bertanya.
Rudi mengangguk mengiayakan.
”Ayo, sambil dimakan tuh mie-nya, jangan ah-uh ah-uh terus, ntar nggak
habis-habis lagi.” kata Atika penuh pengertian sambil terus mengocok
penis hitam pemuda itu. Suasana sekitar yang masih gelap membuat apa
yang mereka lakukan tidak mudah untuk dilihat orang lain.
”I-iya,” Rudi melahap sisa mie-nya cepat-cepat.
Setelah suapan terakhir, cowok hitam kurus itu langsung melempar piring
plastiknya begitu saja ke tanah. Dia sudah tak tahan untuk menjamah dan
merasakan lagi kelembutan buah dada Atika yang bergoyang-goyang indah di
depannya.
”Ahhh,” Atika merintih saat Rudi meremas-remas tonjolan daging itu dengan kasar.
”Besar sekali susumu, Tik. Aku suka.” gumam pemuda itu sambil memilin-milin dan memijit-mijit puting Atika yang mungil.
Rudi sudah menyingkap kaos dan jaket gadis itu, membuat payudara Atika yang bulat menggoda terpampang keluar.
”Aiihhh,” hanya itu yang keluar dari mulut Atika sebagai jawaban. Gadis
itu sekarang menunduk, sibuk mengulum dan menciumi penis hitam Rudi yang
terasa makin besar dalam genggamannya. Hisapan Atika yang cepat dan
mantap, membuat cowok itu merintih dan berkeringat dalam waktu singkat.
Nafas Rudi yang memburu dan pendek-pendek menunjukkan kalau pemuda
sedang mengalami kenikmatan yang amat sangat.
”Ahhh, terus, Tik. Enak sekali. Terus!” rintih pemuda dengan tangan
terus menggelayut di dada Atika yang besar. ”Sebentar lagi. Sebentar
lagi aku keluar.”
Atika yang mendengar hal itu segera mempercepat sedotan mulutnya. Dia
bahkan menggunakan sepasang payudaranya yang empuk dan besar untuk
menjepit penis Rudi dan mengocoknya naik turun. Sementara batangnya
dijepit, Atika menciumi ujungnya yang mencuat dari tengah-tengah
belahannya. Atika tahu, kalau dijepit susu seperti itu, cowok itu tidak
akan tahan lama. Dan benar saja, sambil memilin-milin puting Atika yang
mungil kemerahan, Rudi menjerit tertahan saat spermanya yang kental
muncrat membasahi muka, bibir, dan dada gadis itu. Atika cuma tertawa
menerimanya, sementara Rudi langsung ambruk di tanah karena keenakan.
”Uhh, terima kasih ya.” bisik cowok itu saat Atika membersihkan sisa-sisa spermanya dengan kain lap.
”Iya, sama-sama.” balas Atika sambil memasukkan kembali burung hitam panjang yang sudah bersih itu ke dalam celana Rudi.
”Terima kasih apa? Kan cuma aku yang enak. Kamu belum.”
”Tidak usah. Aku memang lagi nggak ingin main. Aku capek, semalaman
Arman menggarapku habis-habisan.” terang gadis itu dengan muka merona
merah.
”Ah, benarkah? Kalo capek, kenapa pagi-pagi gini sudah bangun?” tanya Rudi.
”Siapa yang bangun! Aku malah belum tidur sama sekali. Baru saja aku selesai saat kamu keluar tenda.” sungut Atika.
”Wah-wah, benar-benar bekerja keras rupanya. Hehehe...” Rudi tertawa.
”Sudah ah,” Atika memasukkan kembali payudaranya yang bulat ke balik
baju, karena sambil ngobrol, tak henti-hentinya Rudi meremas dan
memegangi buah dada itu. ”Aku mau tidur. Aku ngantuk.” Atika berdiri dan
berjalan ke tendanya.
”Eh, apa tidak ada babak kedua?” Rudi menunjukkan selangkangannya yang kembali membesar pada gadis itu.
”Kamu ini,” Atika melempar jidat Rudi dengan sendok. ”Sudah ah, sebentar
lagi terang, anak-anak bangun.” gadis itu masuk ke dalam tendanya dan
meninggalkan Rudi sendirian.
”Kalo nanti siang?” tanya pemuda itu terus menggoda.
”Ya lihat nanti saja.” teriak Atika dari dalam tenda.
Rudi segera beranjak dari tempat itu ketika dilihatnya beberapa anak
mulai bangun dan keluar dari tendanya masing-masing. Ditatapnya langit
timur yang memerah, semburat kuning keemasan menyebar di atas sana,
sungguh indah sekali. Di atas sebuah batu besar, Rudi melihat Aline
tengah duduk memeluk kedua kakinya. Sejak kapan gadis itu bangun? Apakah
dia melihat perbuatannya dengan Atika barusan? Mudah-mudahan saja
tidak. Gadis itu menoleh saat Rudi berjalan mendekatinya.
”Indah ya?” Rudi membuka pembicaraan.
Aline cuma tersenyum dan kembali mengalih pandanganya ke matahari terbit
yang sekarang sudah semakin tinggi. Fuih, gila! Rudi memaki dirinya
sendiri. Mengapa gadis itu jadi begitu menggodanya? Gadis yang baru dua
hari lalu dikenalnya! Biasanya dia tidak seperti ini, secantik apapun
orangnya, Rudi tidak gampang tergoda. Pemuda itu terbiasa bergaul dengan
gadis-gadis cantik, dan semuanya cuma berlandaskan nafsu semata, tidak
ada perasaan yang terlibat. Tapi kini, di depan Aline, perasaan Rudi
seperti diaduk-aduk. Ada sebentuk cinta yang tumbuh subur di dalam
hatinya. Sesuatu yang misterius pada diri Aline telah menjerat perasaan
kasih pemuda itu. Rudi teringat hari itu, hari ketika Kelompok Mapala
merencanakan pendakian ke puncak Gumarang. Tanpa ada yang mengajak,
tiba-tiba saja Aline ingin ikut dan mendaftarkan namanya di sana.
Mulanya gadis tinggi semampai itu memang tidak mendapat persetujuan dari
anggota yang lain.
”Dia tidak pernah mendaki, nanti dia malah merepotkan kita.” Widya
memberi alasan saat rapat penentuan peserta. Sebagai seksi kesehatan,
gadis itu memang berhak untuk menentukan siapa-siapa saja yang bisa
ikut. Mereka ada di ruang Mapala saat itu, ruang mungil di pojok kampus
tempat mereka biasa berkumpul.
Tapi, Heri-lah yang keras hati untuk mengijinkannya, ”Kalau ada apa-apa, nanti aku yang tanggung jawab.” jawab cowok itu.
”Dia kan bukan anggota Mapala, Her?” sahut Eveline yang baru keluar dari
kamar mandi. Tubuhnya yang sintal cuma dibalut handuk putih tipis.
Rudi yang melihatnya tersenyum dan menyuruh gadis itu untuk duduk di
sebelahnya. ”Rambutmu wangi.” bisik pemuda itu saat Eveline
mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah.
Gadis itu tersenyum manis, ”Ihh, bangun lagi tuh.” Eveline menunjuk
penis Rudi yang perlahan-lahan menggeliat dan kembali tegak membesar.
Rudi memang telanjang pada saat itu, begitu juga dengan Heri dan Widya.
Mereka berempat telanjang, itu karena sebelum mengadakan rapat, mereka
sempat pesta sex sebentar, hal yang sudah biasa bagi anggota senior
Mapala itu.
”Eh, sudah-sudah, kita kan lagi rapat.” protes Widya saat melihat Rudi dan Eveline mulai berpelukan.
”Rapat kok telanjang, hehehe...” jawab Eveline sambil tertawa.
”Iya, bikin horny aja.” sahut Heri sambil mengurut penisnya yang juga kembali tegak membesar.
”Eh-eh, kamu mau apa?” teriak Widya saat Heri menarik tangannya.
”Kocokin dong.” pinta pemuda itu tanpa malu-malu.
”Nanti aja, kita selesaikan dulu soal Aline ini.” Widya menolak.
Dengan cemberut Heri melepaskan genggamannya. Tampaknya dia harus puas
ngocok sendiri sambil memandangi tubuh bugil Widya yang duduk
mengangkang di depannya.
”Aku tetap tidak setuju Aline ikut.” kata Widya sambil mengusap-usap
vaginanya. Heri yang melihatnya jadi tidak bisa konsentrasi untuk
membantah. ”Dia akan jadi beban buat kita.” tambah gadis itu.
”Lho, apa salahnya?” Heri menelan ludah, berusaha menyingkirkan bayangan
vagina Widya yang kelihatan begitu menggoda. ”Toh perjalanan kali ini
cuma sekadar pendakian biasa. Tidak ada acara khusus.”
”Kenapa kamu ngotot, dia pacarmu ya?” serang Widya.
”Bukan, bukan.” Heri menggeleng. ”Tapi kan lebih enak aja kalau ada tambahan cewek.”
Widya melotot, ”Kamu masih belum puas ya dengan tubuh kita-kita?” gadis itu menunjuk dirinya dan Eveline.
Eveline yang sedang mengocok penis Rudi, mengangguk setuju. ”Iya, Her, pake ngajak-ngajak cewek lain segala. Bikin repot aja.”
”Bukan begitu, Va. Bukan aku yang ngajak, cewek itu yang ingin ikut sendiri.” kilah Heri.
”Ah, alasan saja. Bilang saja kalau kamu sudah bosan dengan tubuhku dan pengen ganti yang lain.” sengit Widya.
”Siapa yang bosan? Dari tadi aku kan sudah ngentot sama kamu, bahkan
sekarang, aku juga mau lagi.” Heri memperlihatkan penisnya yang besar,
yang menegang, dengan sedikit cairan bening merembes mengotori ujungnya
yang gundul. ”Lihat kamu telanjang marah-marah gini aja sudah bikin aku
horny.” sambung pemuda itu.
Widya terdiam. Dia merasa bersalah karena sudah menuduh pemuda itu tanpa alasan yang jelas.
”Ayolah, Wid. Boleh kan dia ikut?” Heri mendekat dan mememeluk gadis itu.
”Hmm, gimana ya?” Widya masih bingung, tapi meski begitu, dia sudah
tidak menolak ketika Heri mengulurkan penisnya dan menyuruh gadis itu
untuk mengocoknya.
Rudi yang melihat perdebatan mereka hanya diam saja. Sudah biasa kedua
orang itu bertengkar, masalah kecil saja akan jadi besar di tangan
mereka. Tapi asyiknya, pertengkaran mereka tidak pernah berlarut-larut.
Hasrat yang menggebu membuat mereka cepat berbaikan.
”Terserah Rudi sajalah kalau begitu. Dia kan ketua rombongan kita.” Widya akhirnya menyerah.
Rudi yang sedang merem melek menikmati hisapan Eveline di penisnya cuma
mengiyakan, ”Bagiku tak jadi soal. Yang penting, dia tidak membebani
kita.”
Ikut atau tidaknya Aline dalam rombongan mereka, tidak menjadi soal bagi
Rudi. Terlebih ia belum kenal dekat dengan gadis yang sedang didebatkan
oleh Widya dan Heri itu. Kemarin ia cuma melihat sekilas saat gadis itu
mendaftar, cukup cantik dan lumayan seksi juga.
”Apa gadis itu nanti kuat, Her? Medannya cukup berat lo, kita akan naik
dan menuruni dua gunung sekaligus.” tanya Eveline di sela-sela
hisapannya.
”Pasti kuat, kan selama ini dia sudah latihan bawa-bawa dua gunung
kemana-mana.” jawab Heri asal-asalan, memancing Widya untuk menjewer
telinga pemuda itu.
”Nah, benerkan, kamu ngincer gadis itu?” tanyanya sambil pura-pura marah.
”Aduh, enggak. Sumpah enggak.” Heri memohon untuk telinganya yang kesakitan..
“Kalau begitu tak masalah, ajak sajalah.” kata Rudi sambil bangkit.
Rupanya dia sudah tak tahan lagi di emut terus-terusan oleh Eveline.
Setelah membaringkan gadis itu di sofa, Rudi segera menindih cewek
cantik itu. ”Tapi, kalau ada apa-apa padanya, kau yang bertanggung
jawab, ya?” pesen Rudi sambil mengarahkan penis hitamnya tepat ke lubang
kencing Eveline.
”Auw!” Eveline merintih lirih saat penis pemuda itu melesak dan menerobos masuk memenuhi liang kemaluannya.
”Beres, Bos!” janji Heri pasti, sambil ikut menyusul membaringkan Widya di ujung Sofa yang tersisa.
Di sebelahnya, Rudi dan Eveline sudah bergoyang begitu panas, tubuh
sintal Eveline terlonjak-lonjak setiap kali Rudi menyodokkan penisnya.
”Siap, sayangku?” tanya Heri sambil mengarahkan penisnya ke vagina Widya.
Gadis itu cuma mengangguk mengiyakan, dan selanjutnya dia memejamkan
mata saat perlahan-lahan dirasakannya penis hitam Heri mulai menerobos
masuk menggelitik dinding-dinding kemaluannya.
”Kenapa sih kamu ngotot ngajak cewek itu?” tanya Widya saat Heri mulai menggoyangkan pinggulnya.
”Ehmmmm,” pemuda itu tidak langsung menjawab, jepitan vagina Widya yang hangat membuatnya terlena.
”Kenapa?” tanya Widya lagi.
“K-kamu penasaran ya?” jawab Heri sambil menciumi pipi dan leher gadis itu.
Widya mengangguk. ”I-iya, aaahhhh!” dia merintih saat tangan Heri yang
nakal merambat untuk menjamah dan meremas-remas payudaranya yang besar.
”Tidak ada apa-apa. Aku hanya berteman biasa saja dengan dia.” Heri membalik tubuh Widya.
Sekarang gadis itu menungging tepat di depannya.
”Kau tak usah berpikir macam-macam tentang dia, ya?" ujar Heri sambil
menciumi vagina Widya yang basah dari belakang. Gadis itu menggelinjang
saat merasakan bibir Heri yang kasap mengorek-orek liang kemaluannya
dengan buas.
”Ahh, geli, Her.” ratap Widya. Dan gadis itu menjerit tertahan saat tak
lama kemudian, Heri kembali menyerangnya dengan buas dengan penisnya
yang hitam panjang. ”Ahhhh... ahhhhh... ahhhhh!” Widya merintih setiap
kali penis cowok itu menerjang, menusuk vaginanya dari belakang.
”Auw, aahhhhhhhh... aaahhhhhh!!” jeritan panjang Eveline membuat Widya
berpaling. Disana, terkulai dipelukan Rudi, tampak tubuh sahabatnya itu
menggelinjang dan bergetar-getar beberapa kali. Dari geraman dan
desahannya, Widya bisa menebak kalau gadis itu sedang mengalami orgasme
yang teramat nikmat. Saat Rudi mencabut penisnya, dari vagina Eveline,
menyembur cairan bening yang sangat banyak, begitu banyaknya hingga
membasahi sofa dan karpet yang ada di lantai, bahkan ada beberapa yang
terlontar hingga ke tembok seberang.
”Hhh... hhhh...” Widya iri, dia juga ingin merasakan kenikmatan seperti
itu. ”Lebih keras, Her. Goyang pinggulmu lebih kuat.” bisiknya pada Heri
yang terengah-engah dibelakangnya. Widya merasa, beberapa detik lagi,
dia bisa menyusul sahabatnya itu.
Tapi bukannya memenuhi permintaan itu, Heri malah menggeram dan
menusukkan penisnya dalam-dalam. Dari benda hitam panjang itu, terlontar
berjuta-juta sperma yang langsung memenuhi liang rahim Widya.
”Ahh, jangan keluar dulu, Her.” ratap Widya penuh sesal.
Heri yang sudah tak kuat menahan, cuma bisa mengidikkan bahu sambil
mencabut penisnya yang basah, ”Maafkan aku, Wid. Tubuhmu terlalu nikmat,
aku tidak bisa menahannya lagi.”
Widya tidak menjawab. Dia begitu kesal karena Heri memutus begitu saja gairahnya yang sudah di ubun-ubun.
”Sini, biar aku gantikan.” itu suara Rudi, dan sebelum Widya sempat menoleh, cowok itu sudah memasukkan penisnya.
”Aaahhhhh!” gadis itu menjerit tertahan mendapat serangan yang tiba-tiba
dari Rudi. ”K-kamu masih kuat?” Widya bertanya di sela-sela goyangan
Rudi yang kasar.
”Aku masih belum keluar.” jawab pemuda itu sambil meremas-remas payudara Widya yang menggantung indah.
Oo, pantas saja masih keras, pikir Widya. Gadis itu menjerit senang
mengetahui kenyataan itu, mungkin dengan bantuan Rudi, dia bisa
mengalami orgasme dahsyat seperti yang diberikan pemuda itu pada
Eveline.
***
Perasaan Rudi pada Aline berubah begitu ia mengenal gadis itu lebih
dekat. Dia yang awalnya cuek dan tidak perduli, perlahan-lahan mulai
tertarik dan menaruh perhatian lebih pada gadis itu. Kecantikan Aline
yang natural memberikan suasana baru di hati Rudi yang sepi. Selama ini,
meski dikelilingi cewek-cewek cantik, Rudi sulit untuk membuka hatinya.
Hubunganya dengan Eveline, Lidia atau Atika, cuma sebatas teman tidur
saja, tidak lebih. Rudi tidak pernah menganggap gadis-gadis itu istimewa
meski dari tampilan fisik mereka menarik luar biasa. Ada sesuatu yang
tidak didapatkan Rudi pada diri gadis-gadis itu: mereka terlalu mudah
untuk takluk dan meyerahkan tubuh padanya. Beda dengan Aline yang cuek
dan misterius, Rudi harus bersusah payah hanya untuk sekedar mengajaknya
ngobrol. Aline seperti merpati, kelihatan jinak tapi tidak mudah untuk
ditangkap. Gadis seperti inilah yang dicari oleh Rudi. Kalau bisa
mendapatkannya, rasanya akan luar biasa.
“Kau suka bulan purnama?”
Rudi tersentak dengan pertanyaan yang halus itu. Di sampingnya, Aline
berdiri dengan jaket merah menyala. Ia tampak lebih menarik dengan
gayanya itu.
“Ya, aku suka bulan purnama. Tapi, itu jika aku sedang berada di sini.
Di rumah, aku tak dapat menikmati sinar bulan seindah sekarang karena
tertutup oleh gedung-gedung pencakar langit.”
Ini adalah malam kedua mereka berada di tempat itu, sekaligus malam
terakhir karena mereka sudah harus pulang besok. Rudi bertekad, malam
ini dia harus mengutarakan perasaannya, urusan diterima atau ditolak,
itu urusan nanti, yang penting dia sudah berusaha. Seharian tadi Rudi
sudah berusaha sebaik mungkin menarik perhatian gadis itu, dia mengantar
saat Aline ingin melihat air terjun. Rudi juga mengambilkan gadis
pujaanya itu anggur hutan yang tumbuh tinggi di atas pohon meski untuk
itu dia harus bentol-bentol digigit semut. Rudi tidak mempedulikannya,
demi Aline, apapun akan dia lakukan. Teman-temannya yang mengetahui hal
itu, memberi dukungan dengan selalu meninggalkan Rudi dan Aline berdua
saja sehingga memudahkan Rudi untuk melancarkan usaha PDKT-nya.
”Tidak sia-sia kan aku mengajak dia ikut?” celetuk Heri saat mereka makan malam.
Rudi tersenyum dan menepuk pundak sahabatnya itu, ”Trims ya, Sob, sudah membawa bidadari itu kemari.”
”No problemo.” Heri menyahut dengan gaya celetukannya yang khas. ”Eh,
bidadarimu kemari tuh, aku pergi dulu ya.” Heri segera beranjak.
Rudi menyambut kedatangan Aline dengan senyum lebar.
Mereka memang sudah lebih akrab sekarang. Dan disinilah mereka berada
sekarang, duduk berdua berimpitan memandangi sinar bulan. Sementara
suara gemericik air sayup-sayup terdengar dari sungai kecil yang
mengalir tak jauh dari mereka. Di sekeliling gelap gulita. Hanya
bunga-bunga Edelweiss yang nampak dengan cahayanya yang putih pucat
keperakan.
“Nama lengkapmu siapa?” tanya Aline, terdengar lembut di telinga Rudi.
”Rudi Widodo.” jawab cowok itu singkat, tak tahu harus berkata apa lagi.
Memang kalau dekat cewek itu, Rudi jadi tidak bisa berkata banyak.
Pikirannya seperti buntu karena dipenuhi rasa cinta.
”Kamu sudah tahu nama lengkapku?” tanya Aline lagi.
Rudi mengangguk. ”Alina Khaerani kan?”
Gadis itu tersenyum. Sinar bulan purnama yang memantul lemah, berkilau di mata gadis itu. Ah!
”Mengapa kau tertarik untuk ikut dalam pendakian ini?” tanya Rudi.
Aline diam saja. Matanya menatap lurus ke depan, seakan ingin menembus
kegelapan malam. Kemudian ia tersenyum, begitu dingin dan beku. Rudi tak
bergeming. Ia memang bukan termasuk cowok yang pintar memancing
pembicaraan; apalagi dengan seorang gadis yang sangat dicintainya ini.
“Kau ingin tahu mengapa aku tertarik untuk ikut bersama kelompokmu?”
gadis itu berpaling dan membuka suara, menatap Rudi dengan mimik serius.
“Ya, jika kau tidak keberatan menceritakannya padaku.”
Aline tertawa pelan. Jari-jarinya mempermainkan ujung-ujung rumput di dekat sepatunya.
“Karena ada Heri?” tebak Rudi digemuruhi rasa cemburu yang mulai membakar hatinya.
Mata gadis itu terbeliak sebentar. Kemudian terdengar lagi ia tertawa
pelan sambil kepalanya menggeleng-geleng. “Bukan. Bukan karena Heri. Dia
adalah sahabatku sejak SMA dulu. Kita teman baik.”
“Lalu?” Rudi mulai penasaran.
“Ini adalah pelarianku.”
”Pelarian?” Rudi mengernyitkan kedua alisnya. ”Pelarian bagaimana maksudmu?”
”Ya, pelarian. Aku lari dari keluargaku,” ujar Aline, ucapannya begitu tenang, tak ada gejolak di sana. Nadanya terlalu dingin.
“Hah, mana bisa aku percaya itu?” sentak Rudi.
Aline tertawa, kali ini terdengar agak keras. ”Terserah, tapi memang kenyataanya seperti itu.”
”Barangkali aku ini masih norak, tapi aku tetap tak percaya jika ada
seorang gadis yang lari dari rumah. Apalagi gadis seperti kamu, yang
sepertinya berasal dari keluarga kaya dan berkecukupan.”
Aline membisu. Ucapan Rudi memang terasa menikam jantungnya. Tapi, tidak
apa-apa. Kenyataannya toh ia memang lari dari keluarganya. Meninggalkan
kemelut dalam hidupnya. Namun, itu hanya karena ia ingin mencari
ketenangan semata.
“Kurasa kau benar, Rud. Memang tidak wajar jika ada anak gadis yang lari
meninggalkan keluarganya. Tapi, semua itu terpaksa aku lakukan karena
aku ingin hidup tenang dan damai. Selama ini, hal itu tak pernah
kudapatkan di rumah,” gadis itu akhirnya membuka suara, bahkan mulai
bicara banyak perihal dirinya. Dan Rudi pun mulai mengerti situasi
kehidupan Aline yang sebenarnya.
“Aku anak tunggal. Seharusnya aku hidup dimanja, bukan?” tanya Aline.
Rudi mengiyakan.
”Tapi nasibku malang. Orangtuaku sudah lama hidup berpisah, meskipun
tidak bercerai. Ayah sudah menikah lagi dan punya anak. Sedang ibuku,
hinggap dari laki-laki satu ke laki-laki yang lain, bahkan yang
terakhir...” Aline tidak meneruskan ucapannya.
”Ada apa dengan yang terakhir?” Rudi penasaran.
Aline menggigit bibirnya “Ah, sudahlah, sebaiknya tidak kuceritakan padamu tentang semua ini. Aku malu.”
“Kenapa mesti malu? Mungkin kamu bisa sedikit lebih tenang kalau sudah menceritakannya padaku.”
”Nggak, Rud. Sebaiknya tidak usah.”
”Kumohon, katakanlah kepadaku, ada apa?” Rudi memaksa.
”Kenapa kamu ngotot untuk mengetahuinya?”
”Karena aku mencintaimu!” akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut
Rudi. Mereka langsung terdiam berbarengan, tak tahu harus berkata apa
lagi. Mereka cuma saling memandang tak berkedip, berusaha menyelami
perasaan masing-masing.
”Benarkah, Rud?” tanya Aline memastikan.
Pemuda itu mengangguk. ”Karena itulah aku tidak ingin melihatmu bersedih.”
”Emm, sebaiknya kamu batalkan cintamu itu, Rud?”
”Kenapa?” Rudi bertanya tak mengerti. ”Kamu sudah punya pacar? Akan
kubuktikan kalau aku lebih baik dari pacarmu itu.” Rudi bersikeras.
”Bukan, bukan itu.”
”Lalu apa?” Rudi menuntut penjelasan.
Aline menunduk. Sambil menitikkan air mata, gadis cantik itu berkata lirih. ”Aku hamil, Rud.”
Bagai disambar geledek di siang bolong, Rudi menerima pernyataan jujur
gadis itu. Pemuda itu melotot dengan tatapan tak percaya. ”K-kamu tidak
b-bohong?” tanyanya gagap.
Aline mengangguk lemah.
”Yang menghamilimu adalah...”
”Ya, pacar mamaku yang terakhir. Seorang pengacara terkenal. Dia memperkosaku saat sedang mabuk.”
Rudi segera memeluk gadis itu dan melindunginya dalam pelukannya yang
hangat. Dia membiarkan Aline untuk menangis di dadanya dan melepaskan
beban hatinya yang berat.
”Menangislah,” bisik Rudi penuh cinta. ”Aku ada disini untukmu.”
Aline memandang pemuda itu lamat-lamat, pemuda jelek hitam kurus kering
yang lebih pantas menjadi supirnya daripada pacarnya. ”K-kau masih mau
menerimaku, Rud?”
Pemuda itu mengangguk.
”Meskipun tahu keadaanku seperti ini.” Aline bertanya lagi.
”Aku yang akan menjadi ayah buat bayi itu.” Rudi membelai rambut Aline dengan mesra.
”T-erima kasih, Rud.” bisik Aline.
”Kamu gak pa-pa kan punya suami jelek kayak aku ini?”
”Jangan berkata begitu, Rud. Kamu itu baik, hatimu bening seperti malaikat.”
Rudi menyeringai. Malaikat mesum, batinnya dalam hati. Ia teringat
bagaimana ia meniduri hampir seluruh cewek anggota Mapala. Dia tahu
kalau dosa-dosanya di masa lalu begitu banyak. Tapi sekarang dia ingin
bertobat, pertemuannya dengan Aline telah menyadarkan hatinya. Apalagi
setelah mengetahui kondisi Aline sekarang, Rudi akan berusaha menolong
gadis itu, melindunginya, menjaganya dari bahaya apapun. Itung-itung
sebagai penebus dosanya dimasa lalu.
”Lalu apa rencanamu dalam pelarian ini?”
”Entahlah, Rud.” Aline mengedikkan bahunya. ”Aku hanya ingin terlepas
dari segala macam beban yang selama ini kupikul,” resah gadis itu dengan
mata berkaca-kaca.
“Ikutlah ke rumahku, kita menikah.”
Aline menelan ludahnya dengan susah payah. Dia memandangi Rudi tanpa
berkedip. Gadis itu terdiam, berat untuk mengeluarkan kata-kata.
“Bagaimana?” Rudi mendesak. “Aku mencintaimu.”
Aline berusaha untuk meyakinkan hatinya, bertanya-tanya apakah pemuda
inilah yang tepat untuk dirinya, pemuda yang bisa menjadi ayah bagi bayi
yang sedang dikandungnya ini. Setelah beberapa detik berlalu dalam
keheningan, gadis itupun akhirnya mengangguk. “Aku mau, Rud.”
Rudi langsung memeluk dan mencium pipi gadis itu. “Terima kasih, Lin. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik buat kamu.”
Aline mengangguk dan membiarkan saja saat bibir Rudi bergerak merambat
menuju mulutnya. “Ahhh,” gadis itu mendesis saat Rudi mencucup dan
memagut bibrnya dengan mesra.
“Kamu akan selalu jadi satu-satunya wanita yang aku cintai.” dan sambil
berkata begitu, Rudi membaringkan tubuh sintal Aline di atas rerumputan.
Dia menindih gadis itu dan mulai mencopoti bajunya satu per satu.
Aline diam saja dengan perlakuan Rudi. Gadis itu pasrah dan tidak
melawan. Aline bertekad, malam ini dia akan mempersembahkan miliknya
yang paling berharga pada pemuda itu, meskipun benda itu pernah disentuh
laki-laki lain.
”Lakukan sesukamu, Rud. Nikmati tubuhku.” bisik Aline mesra. ”Anggap
saja ini sebagai tanda peresmian hubungan kita ” tambah gadis itu sambil
mengusap-usap tonjolan daging di selangkangan Rudi yang mulai mengeras.
Gadis itu mengerang saat Rudi dengan perlahan mulai meremas dan menciumi
payudaranya. Aline memejamkan matanya sambil tangannya terus
mencari-cari penis Rudi yang menegang. Saat pemuda itu mengeluarkannya,
Aline segera meremas dan mengocok benda hitam panjang itu.
”Ouhhhh!” Rudi mendesah merasakan pijitan jari-jari mungil Aline di atas
penisnya. Pemuda itu menggeliat dan merangkul Aline dalam pelukannya.
”Aku mencintaimu.” Rudi berbisik dan kembali mencium bibir gadis itu.
Mereka saling melumat dengan panas dan penuh gairah. Bibir mereka
bertemu tanpa ada niat untuk terlepas lagi. Dengan rakus, Rudi
menjelajah dan menikmati bibir tipis Aline. Gadis itu menyambut dengan
menjulurkan lidah dan membuka mulutnya, membiarkan lidah kasar Rudi
menjelajahi rongga mulutnya untuk saling menghisap dan bertukar air
liur.
”Aaahhhhhh!” Aline mendesah merasakan pijitan tangan Rudi yang semakin
liar bergeraki di atas payudaranya. Gadis itu merintih dan menggelinjang
tiap kali pemuda itu menarik dan memilin-milin putingnya.
”Pelan-pelan, Rud. Sakit.” bisik Aline.
Rudi mendongak. ”Maaf, aku begitu bergairah melihat tubuhmu.” memang,
siapapun akan bergairah melihat tubuh gadis itu. Aline tetap kelihatan
langsing meski sedang hamil, cuma pinggul dan payudaranya saja yang
sedikit membesar, menunjukkan kalau di dalam perut gadis itu ada sesosok
bayi yang sedang berkembang. Ditambah dengan wajah cantik dan kulit
yang putih mulus, siapapun akan tergoda karenanya.
”Berapa usia kandunganmu?” tanya Rudi sambil terengah-engah menahan gairah.
”Sudah 10 minggu.” jawab gadis itu.
Rudi mengelus-elus perut Aline yang rata. ”Pantas masih belum kelihatan.”
Aline mengangguk dan kembali mencium bibir pemuda itu. Dirasakannya
penis Rudi yang berada dalam genggamannya, terus membesar dan
membengkak.
”Mau segede apa ini?” Aline bertanya, takut membayangkan benda sebesar itu akan mengaduk-aduk vaginanya sebentar lagi.
Rudi tersenyum. ”Aku akan melakukannya dengan lembut. Aku tidak ingin kamu kesakitan.”
Aline mendesah lega. Selanjutnya, dia menurut saja ketika Rudi
menyuruhnya untuk berbaring dan membuka kakinya. ”Kamu mau apa?” tanya
gadis itu saat melihat Rudi berlutut di depan vaginanya.
”Dijilati dulu, nanti biar nggak sakit.” jawab pemuda itu sambil menunduk dan menjulurkan lidahnya.
”Auhhhhh!” jerit Aline kegelian saat merasakan lidah basah Rudi mulai
menari-nari di permukaaan vaginanya. ”Geli, Rud. Oohhhhh! Geli...”
rintih gadis itu.
Rudi yang mendengarnya, jadi makin bersemangat untuk menggerakkan
lidahnya. Dia cucup benda bergelambir itu, digerakkannya lidahnya
naik-turun, juga kekiri dan kanan, bahkan kadangkala ditusukkan ke
dalam, menjelahi rongga kemaluan Aline sedalam mungkin, hingga membuat
gadis itu menggelinjang kegelian.
”Sudah, Rud. Cukup. Aku nggak tahan, geli banget!” desah Aline.
”Tapi enak kan?!” goda Rudi sambil terus menggerakkan lidahnya. Bahkan
kini dua buah jarinya ikut masuk, menjelajahi dan mengorek-ngorek bagian
dalam benda hangat itu.
”Ahhhhh... auw!” jerit Aline saat Rudi menemukan dan mempermainkan
klitorisnya. ”Sudah, Rud. Geli banget. Aku nggak tahan.” pintanya.
Rudi nyengir, setelah beberapa kali jilatan dan kecupan lagi, pemuda itu
akhirnya berhenti. ”Vaginamu rapet banget, kayak perawan.” gumamnya.
”Memang aku seharusnya masih perawan.” tukas Aline ketus, merasa tersinggung.
”Eh, maaf-maaf, aku tidak bermaksud begitu.” Rudi buru-buru minta maaf.
Dia tidak mau gadis itu ngambek dan akhirnya batal memberikan tubuhnya.
Pemuda itu sudah terlanjur bergairah, tidak bisa kalau harus berhenti
sekarang.
”Cuma satu kali dia memperkosaku.” kata Aline dengan mata menerawang.
”Ssst, sudahlah. Lupakanlah itu. Yang penting sekarang, bagaimana kita
sambut masa depan kita.” hibur Rudi sambil memberikan penisnya. ”Jilati
ya, biar sama-sama basah.”
Aline mengangguk dan segera memasukkan penda hitam panjang itu ke dalam
mulutnya. Rudi mendesah menikmati jilatan gadis itu. Meski agak kaku dan
kesulitan, tak urung, gerakan lidah Aline tetap memberikan kenikmatan
yang amat sangat pada pemuda itu. Sementara penisnya dimandikan, tangan
Rudi bergerak menjelajahi tubuh gadis itu. Sasaran utamanya adalah
payudara Aline yang besar, yang putingnya tampak merekah menggairahkan
karena kehamilan gadis itu. Rudi memilin dan memijit-mijit benda mungil
itu, dua-duanya dia sambar. Pemuda itu meremas-remas payudara gadis itu
dengan lembut. Rasanya begitu lembut dan kenyal, membuat Rudi enggan
untuk melepaskannya.
”Auw!” Aline merintih di sela-sela jilatannya. Remasan tangan Rudi di
buah dadanya membuat gadis itu melayang. Ditambah sekarang salah satu
tangan Rudi sudah turun ke bawah untuk kembali menjamah dan
mengobok-obok vaginanya, membuat gadis itu tak tahan untuk tidak
mendesis dan menggelinjang. Siapapun orangnya, kalau diperlakukan
seperti itu, pasti akan takluk juga.
”Sudah, Rud.” akhirnya Aline menyerah.
Dia sudah tak tahan lagi ingin merasakan penis Rudi yang besar masuk
menjelajahi vaginanya yang sudah gatal. Vagina gadis itu sudah basah dan
merekah merah, tanda kalau sudah siap untuk dimasuki. Dengan kaki
terbuka lebar, gadis itu meminta Rudi untuk segera menyetubuhinya. Rudi
mengangguk dan segera memposisikan dirinya. Dia menindih gadis itu dan
mengarahkan penisnya tepat ke lubang kencing Aline yang mungil.
”Aku masukkan ya?” bisiknya.
Aline memejamkan matanya sebagai tanda persetujuan dan bersamaan dengan itu, Rudi pun mendorong penisnya.
”Aahhhhhhh!!!” Aline langsung menjerit kesakitan.
Rudi menarik kembali penisnya, padahal baru separo tadi yang masuk. ”Sakit ya?” tanya pemuda itu.
Aline mengangguk dengan mata berlinang.
Rudi sebenarnya tidak tega untuk meneruskan persetubuhan itu, dia tidak
mau menyakiti Aline. Tapi gadis itu mempunyai vagina yang begitu nikmat,
baru masuk separo saja sudah membuat Rudi melayang, apalagi kalau masuk
semuanya. Rasanya pasti begitu luar biasa. Pemuda itu tidak mau
menunda-nunda lain waktu. Dia harus mendapatkannya sekarang, meski itu
artinya dia harus menyakiti Aline, pujaaan hatinya.
”Kumasukkan lagi ya?” bisik Rudi.
”Iya,” Aline mengangguk. ”Tapi pelan-pelan ya.” dan gadis mengernyit
sambil memejamkan matanya saat dirasakannya penis Rudi kembali menusuk
membobol kemaluannya. ”Auhhhh..” dia merintih kesakitan.
Sementara di atasnya, Rudi menggeram keenakan. ”Ahhhhh!” penisnya sudah
terbenam seluruhnya sekarang, menembus vagina Aline, dan merasakan
kehangatan vagina gadis itu. Benar-benar nikmat rasanya, penis Rudi
seperti dijepit dan dipijit-pijit halus. Belum pernah dia merasakan yang
seperti ini. Apakah ini yang disebut vagina perawan? Sebelum
menggoyang, Rudi memperbaiki posisi tubuhnya. Dia ingin meminimalkan
rasa sakit yang dialami Aline saat dia mulai menggerakkan penisnya.
”Tahan ya, nanti juga akan enak sendiri.” bisik Rudi mesra.
Aline mengangguk pasrah. Dengan hati-hati, dan berusaha melakukannya
dengan sepelan mungkin, Rudi mulai menggerakkan pinggulnya. Dia menarik
penisnya maju mundur, pelan-pelan, untuk memberikan Aline kesempatan
untuk bernafas, agar gadis itu terbiasa dulu dengan kehadiran penisnya.
Saat jeritan pilu Aline tergantikan oleh geraman penuh kenikmatan,
itulah tanda bagi Rudi untuk memulai babak yang sebenarnya. Dengan satu
dorongan kuat, pemuda itu pun menjejalkan penisnya.
”Aaarrrggghhhhh!” Aline menjerit kencang sambil mencengkeram
payudaranya. Itu bukan jerit kesakitan, tapi jenis jeritan yang
disebabkan oleh rasa nikmat yang amat sangat.
Rudi tahu karena pemuda itu merasakan jepitan vagina Aline semakin
menguat dan rasanya benda itu seperti menyedot-nyedot penisnya,
menyuruhnya untuk menusuk lebih dalam dan lebih dalam lagi. Dan dengan
senang hati dia melakukannya.
”Uhhh... uhhhh!” Aline merintih tiap kali Rudi menyodokkan penisnya.
Gadis itu terpejam dengan muka merah merona, tampak menikmati sekali
persetubuhan itu.
”Sakit?” tanya Rudi sambil terus menggoyang.
Gadis itu menggeleng. ”Malah enak rasanya. Kalau kamu?”
”Enak banget. Tubuhmu nikmat sekali.” Rudi menunduk dan mencium kening gadis itu.
”Kita keluar sama-sama ya?” bisik Aline.
”Kamu sudah mau keluar?” tanya Rudi.
Gadis itu mengangguk.
”Baiklah, kalau begitu aku tidak akan menahannya lagi.” kalau mau, Rudi
bisa saja menahan spermanya agar tidak cepat-cepat muncrat. Dia tahu
caranya, cuma dengan berpikir hal-hal lain, soal kuliah misalnya, maka
dia akan bertahan cukup lama. Tapi Rudi tidak mau mengecewakan gadis
itu. Kalau nanti Aline orgasme, dia akan menyusulnya tak lama kemudian.
”Masih lama?” tanya Rudi setelah lima menit berlalu. Dia sudah mulai tak
tahan, tapi di depannya, Aline masih tidak ada tanda-tanda akan keluar
dalam waktu dekat.
”Entahlah, rasanya sudah di ujung, tapi sulit banget aku gapai.” jawab gadis itu.
Rudi tahu jawabannya. Mereka salah posisi! Pemuda itu segera menyuruh
Aline berbaring telentang di atas tubuhnya. Rudi di bawah sementara
gadis itu di atas, sama-sama telentang. Rudi memasukkan penisnya dari
belakang dan mulai menggoyangkannya. Dengan posisi seperti itu, tangan
Rudi bisa bebas untuk menjelajahi tubuh Aline yang sintal. Hasilnya
langsung kelihatan dengan cepat. Aline menjerit dan merintih-rintih
makin keras. Tubuh gadis itu menggelinjang dengan butiran keringat
membasahi seluruh tubuh sintalnya. Nafasnya memburu, dengan mata
terpejam rapat menahan gairah. Dan tak cuma itu, dari dalam kemaluannya,
terlihat merembes cairan bening yang sangat banyak, tanda kalau orgasme
gadis itu sudah semakin dekat. Rudi mempercepat goyangannya. Dengan
posisi seperti itu, dia juga merasakan kenikmatan yang berlipat. Dia
jadi bisa menusukkan penisnya dalam-dalam, menjelajahi vagina gadis itu,
dan mengorek-ngoreknya hingga ke dinding rahimnya yang paling dalam.
Sambil menggoyang, Rudi mengusap-usap klentit gadis itu yang menonjol.
Dia memijit-mijit benda mungil sebesar biji kacang itu hingga membuat
Aline merintih-rintih keenakan.
”Ohhhhh, Rud. Enak, Rud. Terus! Ohhhhh, terus!” ceracau gadis itu sambil
bokongnya bergerak liar mengikuti goyangan pinggul Rudi yang kian lama
kian cepat. Dan tak butuh waktu lama, saat-saat yang mereka tunggupun
tiba.
”AARRGGGHHHHHHH!” dengan diawali jeritan panjang dari Aline, tubuh gadis
itu mengejang dan tubuhnya bergetar-getar beberapa kali. Di bawahnya,
Rudi yang masih terus menggoyang, menggeram saat merasakan cairan hangat
menyiram ujung penisnya yang gundul. Begitu banyaknya cairan itu hingga
penisnya seperti direndam. Dan hebatnya lagi, bersamaan dengan itu,
vagina Aline seperti mengkerut dan berkedut-kedut, memijat ringan penis
Rudi, hingga membuat pemuda itu tak tahan untuk tidak menyusul tak lama
kemudian.
”Aku keluar, Lin. Arrggghhhhh!” dengan tubuh melengkung keenakan, pemuda itu menembakkan spermanya.
Aline bergidik merasakan betapa kencangnya semburan itu. Dia berpegangan
pada pinggang Rudi dan membiarkan pemuda itu mengejang-ngejang menguras
seluruh spermanya, menuangkannya di vaginanya yang basah, dan
mencampurkannya dengan cairan kewanitaannya yang hangat.
”Hhh... hhh.. terima kasih, Lin.” Rudi mengecup mesra bibir gadis itu.
Aline membalasnya. Dia memeluk pemuda itu saat merasakan penis Rudi yang
mulai mengkerut terlepas dari kemaluannya. ”Ahhh,” dia mendesah puas.
Baru sekarang dia merasakan nikmatnya bersetubuh. Rasanya begitu beda
dengan saat dia diperkosa dulu.
”Sudah malam, ayo kita kembali ke tenda.” Rudi bangkit dan memunguti
pakaiannya, begitu juga gadis itu. Setelah mengenakan bajunya kembali,
beriringan mereka kembali ke tenda.
TAMAT