watch sexy videos at nza-vids!
Download aplikasi gratis untuk Android
INDOHIT.SEXTGEM.COM

4. Dara - Dara Muda : Birahi Terbalut Ilusi


Gina masih terbaring lemah di atas ranjang. Gadis cantik itu masih terlihat terlelap dalam posisinya semula. Namun beberapa saat kemudian Gina tubuh molek itu terlihat sedikit bergeliat dan bergerak lemah di balik selimut. Kesadarannya nampaknya mulai bangkit secara berlahan. Suara nada sambung ponsel yang sedari tadi mengalun kencang diseluruh penjuru kamar, agaknya mau tidak mau membuat Gina menjadi tersadar dari tidurnya. Berlahan Gina bangkit dan terduduk di ranjang. Seketika itu pula selimut yang tadi menutupi sekujur tubuhnya menjadi tersingkap. Kini tubuh atas Gina menjadi terekspos dengan bebas. Bukit kembarnya nan padat dipenuhi oleh bekas-bekas cupangan berwarna kemerahan itu pun terlihat begitu menggoda.

Suara ponsel berhenti bersuara untuk beberapa saat. Gina terlihat masih berusaha untuk mengembalikan kesadarannya secara penuh. Sejenak ia memandang ke sekeliling tempatnya berada kini. Akhirnya memori otaknya mulai bisa menyadari kalau saat ini ia masih berada di kamar hotel tempat ia dan Om Herdi merengguk kenikmatan birahi. Ketika Gina hendak menggerakkan tubuhnya, rasa sakit dan perih kembali menderanya. Agaknya percintaan kasar yang dialaminya beberapa saat lalu masih menyisakan sedikit rasa sakit dan perih di beberapa bagian tubuhnya. Gadis cantik itu pun masih bisa merasakan rasa lengket bekas-bekas sperma yang melekat disekujur tubuhnya, walaupun sudah mengering.

“Eerrgg…”, Gina merenggangkan tubuhnya dengan susah payah.

Setelah jeda beberapa detik, kembali nada ponsel miliknya berbunyi. Kini mau tidak mau Gina harus beranjak berdiri dari atas ranjang. Ia merasa harus mengangkat ponselnya tersebut, karena bisa saja yang menelpon itu adalah sang mama yang ingin mengecek keberadaannya. Dililitkannya selimut untuk menutupi ketelanjangan tubuhnya dan juga melindunginya dari hawa dingin AC di kamar itu. Dengan berlahan ia beranjak turun dari ranjang dan berjalan pelan menuju meja kecil dimana ia meletakkan tas gendongnya. Suara ponselnya terdengar semakin kencang ketika gadis cantik itu mengeluarkannya dari dalam tas. Dilihatnya nama yang tertera di layar ponselnya. “Hanny”.

“Hai Han…”, ucap Gina serak.

“Hai Gin, sorry ganggu nih”.

“Nggak apa-apa Han, emang ada apa?”, sekilas Gina melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul tiga kurang beberapa menit.

“Gini Gin, gue mau ngomong soal kejadian tadi siang”.

Sejenak Gina mengerutkan keningnya berusaha mengingat kejadian yang dimaksud oleh sahabatnya tersebut. Karena kondisinya yang memang belum tersadar sempurna, Gina terlihat agak kesulitan mengingat kejadian-kejadian yang dialaminya hari ini.

“Yang mana ya Han?”.

“Hhhmm…”, terdengar gumaman di ujung telepon. “Yang di kamar Nietha…”.

Bayangan Gina pun langsung melayang ke tempat kejadian yang dimaksud oleh Hanny. Memorinya masih cukup segar mengingat kejadian tersebut. Kejadian saat ia “mengajari” Hanny kenikmatan bercumbu wilayah dada.

“Oh… emang kenapa Han?”, Gina merasakan kakinya masih terlalu lemas untuk berdiri terlalu lama. Maka ia pun berjalan kembali menuju ranjang dan kemudian duduk di pinggirnya.

“Tolong lu jangan cerita ama yang lain ya, sumpah gue malu banget…”.

“Ya ampun Han, emang lu pikir gue bakal cerita soal itu ke temen-temen? Lu tau gue kan Han? Gue sih emang cerewet tapi gue ini nggak ember kale”.

“Makasi ya Gin…”.

“Sama-sama Han, ntar kalo lu ada yang mau dicurhatin lu cerita aja ke gue, OK?”.

“Iya… emang lu dimana nih? Tadi lu buru-buru banget sih ngilangnya”.

Gina sedikit tersentak dengan pertanyaan Hanny. Ia agak bingung untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tentunya tidak mungkin ia menjawab sedang berada di hotel, karena itu pastilah akan menimbulkan kecurigaan. Kecurigaan yang tentunya akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang kemungkinan akan membuka aibnya sendiri.

“Gue… gue… sedeng di jalan nih, gue tadi ke rumah bibi gue, disuruh nyokap ngambil barang titipan…”, ucap Gina sekenanya sambil sedikit tergagap.

“Bibi lu yang mana? Bukannya bibi lu udah pindah?”.

Kembali Gina tersentak. Memang benar bibinya, adik dari mamanya, sudah pindah dari kota ini lebih dari sebulan yang lalu. Hanny, Karen dan Nietha memang turut diundang sewaktu sang bibi mengadakan selamatan kepindahannya. Wajar sekali kalau Hanny masih ingat kejadian tersebut, karena tidak banyak orang diundang saat itu, hanya keluarga dan teman-teman dekat.

“Hhhmm… ini… ini bibi gue yang lain, saudara jauh dari bokap gue, kebetulan minggu ini dia lagi liburan disini”.

“Oh gitu ya?”.

“Emang temen-temen nanyain gue tadi ya?”, dengan cepat Gina mengalihkan arah pembicaraan mereka dengan mengemukakan tema obrolan lain.

“Iya sih, tapi mereka kan udah terbiasa ama kebiasaan lu yang suka ngilang tiba-tiba gitu hehehe…”.

“Hehehe… iya ya”.

“Eh Gin, besok gue boleh curhat lagi nggak?”.

“Oh… boleh aja, oya ntar malem gue mau nginep di rumah Karen nih, lu mau ikut sekalian?”.

“Nggak ah, gue disuruh bantuin nyokap buat kue di rumah, abis pesenan lagi rame sih”.

OK deh, kalo gitu ntar kalo lu mau ketemu lu telpon gue aja ya”.

“Iya deh Gin”.

“Oya, tolong tu kue disisain buat gue ya, itung-itung ongkos konsultasi sama dokter Gina hehehe…”.

“Hehehe… dasar…. “, keduanya lalu terdengar tertawa. “Gitu aja dulu ya Gin, thanks banget ya, sory sekali lagi nih kalo gue ganggu”.

“Nyante aja kale…”.

Gadis cantik itu menghembuskan nafas panjang, begitu percakapan mereka berakhir. Hampir saja ia ketahuan oleh Hanny, beruntung ia cukup jago untuk mencari-cari alasan. Gina langsung membaringkan tubuhnya kembali di ranjang. Tubuhnya masih terlalu lelah untuk bisa ia gerakkan dengan sempurna, maka kembali beristirahat adalah pilihan terbaik saat ini. Dan benar saja, tak perlu waktu lama gadis cantik itu sudah kembali terlelap dalam tidurnya.

********

Sementara itu di tempat lain.

Seorang gadis berperawakan tomboy terlihat sedang berlari sambil men-dribble bola basket. Gadis itu terlihat lincah meliuk-liukkan tubuhnya menghindari hadangan beberapa gadis lain yang mencoba menghadangnya. Dalam sekejap gadis itu sudah berhasil melewati semua hadangan tersebut dan melakukan shoot dengan gaya lay up. Dengan mulusnya bola basket itu masuk ke dalam keranjang dan terdengarlah tepuk tangan dari beberapa orang di pinggir lapangan. Gadis itu terlihat tersenyum bangga. Gadis itu adalah Karen.

“Gile lu Ren, makin jago aja lu”, seorang pemuda mendekati Karen dan menepuk bahunya.

“Hehehe… biasa aja kale, kakak terlalu memuji nih”.

“Beneran nih, kalo lu kaptennya tim basket putri sekolah kita pasti juara hehehe”.

Pemuda berperawakan tinggi tegap itu adalah Nico, pelatih tim putri di sekolah Karen. Nico adalah seorang mahasiswa yang diminta bantuannya untuk melatih basket putri menjelang kejuaraan antar sekolah, dimana kebetulan pula Nico adalah alumnus dari sekolah tersebut. Tak lama Karen sudah dikerubuni oleh anggota tim basket putri lainnya yang berada di lapangan. Satu persatu mereka menyalami tangan Karen dan mengucapkan selamat.

“Mantap Ren, sekali-kali ajarin gue juga gaya macem gitu”, seorang gadis berambut pendek sebahu, berwajah manis. Dia adalah Erin.

“Gampang…”, sahut Karen singkat.

Saat ini di lapangan hanya tersisa tim basket putri inti. Mereka ini harus mendapatkan porsi latihan tambahan, karena pertandingan perdana akan dimulai beberapa hari lagi. Latihan tambahan biasa diberikan menjelang tim ini menghadapi pertandingan yang dinilai akan berlangsung ketat. Kali ini tim basket Karen dijdwalkan akan bertemu dengan tim juara bertahan di semifinal. Selain Erin, di samping Karen juga berdiri 5 gadis lainnya, yaitu Lisa, Diena, Ella, Sisi dan Prita. Hari sudah menjelang sore dan shoot terakhir yang dilakukan oleh Karen tadi merupakan penutup sesi latihan tambahan hari itu.

OK girls, kita kumpul…”, teriak Nico.

Para gadis yang semula masih saling berkerumun kini berjalan mendekati sang pelatih. Tanpa perlu dikomandoi lagi mereka semua kemudian membuat barisan dan siap menerima instruksi dari pemuda tersebut.

“Latihan hari ini kita akhiri, besok kita break satu hari setelah itu jadwal latihan kembali kita lanjutkan seperti biasa”, Nico memberikan instruksi sambil memegang bola basket di tangannya.

“Kak, kapan kita bisa uji coba lapangan?”, Karen mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan.

“Mungkin tiga hari lagi, sepertinya tim lawan kita yang dapat kesempatan tes lapangan pertama kali”.

“Uh… selalu mereka yang dapet prioritas, curang nih panitia!”, nada protes terdengar dari mulut Ella yang berdiri di samping Karen.

“Nyante aja lah La, justru itu kita yang musti buktiin kalo mereka itu cuma pecundang yang doyan main curang, kita pasti bisa menang”, ucap Karen.

“Iya sih, tapi kan kesel juga Ren kalo gini terus!”.

“Pokoknya kita pasti menang deh, kan sekarang gue kaptennya hehehe…”.

Ucapan Karen tadi langsung disambut teriakan “Huuu…” dari gadis-gadis lainnya, dan kemudian disusul oleh jitakan dan dorongan oleh semuanya. Karen pun hanya bisa melindungi diri dari keroyokan teman-temannya tersebut sambil tertawa cekikikan.

Nico sebagai satu-satunya lelaki di lapangan itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah anak asuhnya. “Udah… udah… hari sudah hampir sore nih”.

Gadis-gadis itu pun kemudian menghentikan “serangan” mereka ke arah Karen.

“Ada pertanyaan lagi sebelum kita bubar?”, lanjut Nico.

Para gadis terlihat saling pandang tanpa suara.

OK, kalau tidak ada pertanyaan lagi kita bubar, sampai jumpa dua hari lagi”.

Semua peserta latihan tambahan hari itu pun bubar dan mengambil barang mereka masing-masing di pinggir lapangan. Beberapa dari mereka nampak bercanda dan saling tertawa. Beberapa lagi nampak saling berbicara serius. Akhirnya satu persatu dari mereka menuju ke kendaraan masing-masing dan meninggalkan tempat lapangan tersebut.

“Lu dijemput Andre, Ren?”, tanya Erin begitu selesai mengepak segala perlengkapannya ke dalam tas.

“Iya nih, kenapa?”.

“Ngga apa-apa seh, cuman kayaknya cowok lu blom dateng tuh, nggak apa-apa nih gue tinggal lu sendirian?”.

“Halah nggak apa-apa kale, gue kan mantan preman, sapa seh yang berani ganggu hahaha…”.

“Hahaha… OK deh, kalo gitu gue tinggal ya…”.

“Sip… hati-hati ya Rin”.

Keduanya saling melambai dan Erin pun melangkah menuju mobilnya yang terparkir di dekat sana. Kini tinggallah Karen di pinggir lapangan menunggu jemputannya datang. Beberapa menit kemudian nampak sebuah motor mendekati tempat dimana Karen berdiri. Pengendara motor tersebut kemudian membuka kaca helmnya. Rupanya itu adalah Nico.

“Belum pulang Ren? Mau pulang bareng?”.

“Nggak usah Kak, makasi, ini lagi nunggu jemputan”.

“Oh gitu, mau ditemenin?”.

“Makasi, tapi nggak usah deh Kak ntar juga jemputan dateng kok”.

Benar saja, beberapa detik kemudian sebuah mobil sedan berjalan pelan mendekati mereka berdua.

“Oh itu dia dateng”.

OK deh, kalo gitu gue tinggal dulu ya”.

“Iya Kak”.

Kemudian sepeda motor Nico pun melaju meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu mobil sedan itu sudah berhenti tepat di depan tempat Karen berdiri. Tak lama keluarlah seorang pemuda bertubuh tinggi berambut cepak. Pemuda itu mengenakan pakaian resmi, kemeja, jas dan celana panjang necis. Pemuda itu adalah Andre, kekasih Karen. Usia mereka berdua berselisih 7 tahun, dimana Andre baru saja lulus dari universitas dan kini ikut mengelola bisnis keluarganya.

“Lo kok rapi banget? Emang mau kemana?”.

“Mau ketemu sama klien nih soal tanda tangan kontrak”.

“Lo kemarin kan lu janji hari ini menemin gue nyari seragam basket?”, Karen mengerutkan keningnya. Terlihat gurat kekecewaan di wajah gadis manis tersebut.

Sifat egois Andre memang sudah berkali-kali membuat Karen kesal. Kekasihnya ini memang kerap selalu merubah rencana tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kadang-kadang Andre juga sering melupakan janji yang telah mereka sepakati bersama sebelumnya. Seolah-olah Karen ibarat boneka yang wajib menyetujui apa pun yang direncanakan Andre, tanpa sama sekali memiliki hak untuk menolak. Ia pun selalu menjadi “korban” apabila tiba-tiba Andre harus merubah rencana secara sepihak. Mungkin perbedaan usia yang relatif jauh membuat semua ini hampir selalu terjadi.

“Aduh gue lupa banget nih, tapi pertemuannya dua jam lagi nih, gimana dong? Seragamnya nggak dipake besok kan?”.

“Iya, tapi kan kemarin lu udah janji?”.

“Besok aja deh gue nemenin lu, nggak apa-apa kan?”.

Tanpa menjawab Karen pun langsung melengos kesal dan berjalan menuju mobil. Andre pun nampak bingung melihat tingkah kekasihnya dan segera mengikutinya dari belakang. Dengan gaya gentleman pemuda itu membukakan pintu mobil untuk sang kekasih, walaupun gadis itu endiri masih terlihat manyun. Karen lalu masuk ke dalam mobil dan menghempaskan tubuhnya dengan keras ke jok. Andre masih tidak mengeluarkan kata-kata apapun. Ia tahu benar sifat Karen, yang suka meledak-ledak kalau sedang emosi. Ia pun menyusul masuk ke dalam mobil. Tak lama setelah itu, mobil berwarna silver itu pun berjalan meninggalkan tempat tersebut.

“Jangan cemberut gitu dong, jelek tau keliatannya”, setelah sekian lama berada dalam kebisuan, akhirnya Andre mencoba membuka percakapan.

“Biarin…”, sahut Karen singkat.

“Ih kok jadi ngambek sih?”.

Karen tidak menjawab. Ia masih menyilangkan kedua tangannya dengan sorot mata penuh kekesalan.

“Maaf ya sayang, gue nggak bisa nolak waktu klien ngajak ketemuan hari ini, abis klien ini penting banget sih”, ucap Andre dengan nada sesal.

Karen masih tidak menjawab.

“Ren lu ngomong dong, jangan diem aja…”.

Kembali suasana membisu untuk beberapa saat.

“Ren?”.

“Terserah lu deh!”, akhirnya sepatah kata keluar juga dari mulut Karen.

“Maaf ya, lu mau kan maafin gue?”.

Kembali Karen membisu. Wajah manis sang gadis masih terlihat memancarkan kekesalan.

“Ren…?”.

“Apaan sih?”, kembali terlontar ucapan singkat dari gadis manis tersebut.

“Maafin gue ya…”, ucap Andre lagi. Karen sendiri terlihat tidak bergeming. Gadis manis itu masih tetap memandang ke depan dengan tangan tersilang. Melihat sang kekasih tidak memberikan respon atas perkataannya, Andre akhirnya memilih untuk diam dan berkonsentrasi mengemudi. Selama sisa perjalanan keduanya pun terlihat saling membisu tanpa kata.

Akhirnya mobil sedan itu berhenti di sebuah rumah, di sebuah perumahan sederhana. Walau luas tanah dan bangunannya tidak cukup besar, namun penataan yang minimalis dan elegan membuatnya terlihat elit. Sampai mesin dimatikan oleh Andre, kedua insan itu masih tetap tidak saling berbicara. Andre pun kemudian harus kembali mengambil inisiatif membuka percakapan.

“Ren, masih marah ya?”.

Karen masih terdiam.

“Sayang jawab dong… masih marah ya?”.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, gadis tomboy itu hanya menggelengkan kepala pelan.

Thanks ya…”.

“Udah ah, gue capek, gue mau mandi dulu”, tanpa menunggu jawaban, Karen melepas seat belt, membuka pintu dan langsung keluar dari mobil. Andre terlihat terkejut. Setelah mengambil beberapa barang yang ditaruhnya di jok belakang, ia pun menyusul keluar dari dalam mobil. Karen yang sudah selesai membuka kunci pintu gerbang langsung masuk ke pekarangan dan menuju pintu utama. Tak beberapa lama Andre sudah menyusul Karen masuk ke dalam ruang tamu.

“Ren… tunggu bentar…”, Andre memegang lengan kiri Karen sehingga langkah sang gadis terhenti. Karen memalingkan wajahnya dan menatap tajam ke arah kekasihnya.

“Ada apa?”.

“Gue tau gue salah Ren, tapi tolong dong jangan bertingkah seperti ini, gue yang jadi bingung kalo lu udah kayak gini”.

“Gue kan udah bilang gue nggak marah lagi ke lu”.

“Iya… tapi kalo tingkah lu kayak gini, apa nggak marah namanya?”.

“Gue cuma capek Dre, selama kita pacaran selalu aja lu yang mutusin harus kemana, lu juga yang mutusin kita musti ngapain, terus lu anggap gue apa? Patung?”, ucap Karen kesal.

Andre tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Ia pun hanya terpaku menatap Karen. Tapi paling tidak ia bersyukur kalau saat ini kondisi rumah dalam keadaan sepi, sehingga kekasihnya ini bisa mengeluarkan uneg-unegnya. Jika saja tidak demikian berarti ia harus bersiap menerima perang dingin, alias berdiam-diaman seharian ini.

“… gue juga manusia Dre, gue juga boleh dong sekali-sekali didenger pendapatnya? Gue juga mau dihargai, iya gue emang masih SMA, tapi gue rasa gue udah cukup dewasa buat lu ajak sharing…”, lanjut Karen lagi.

Andre tiba-tiba memegang tangan Karen dan memandang sang gadis dalam-dalam. “Sekali lagi maafin gue ya, mungkin gue sedikit egois selama ini, kayaknya gue memang musti harus banyak belajar buat ngertiin lu”.

Sebuah kecupan kemudian mendarat di bibir Karen. Karen hanya bisa terdiam menerima kecupan tersebut. Memang usia pacaran mereka sudah berjalan setahun lebih, namun intensitas pertemuan mereka bisa dibilang sangatlah jarang. Hal ini akibat kesibukan Andre yang mulai intens mengurus bisnis keluarganya. Pertengkaran agaknya memang sesuatu yang wajar dalam sebuah hubungan guna mencari kecocokan antara mereka. Pikiran itulah yang selalu bisa membuat amarah Karen mereda dan akhirnya mengalah.

“Udah nggak marah lagi kan?”, Andre tersenyum.

Karen menganggukkan kepalanya.

“Senyum dong…”.

“Apaan sih!”.

Please… kalo lu udah nggak marah lagi, senyum dong buat gue”.

Setelah beberapa kali memohon, akhirnya Karen pun mengembangkan senyumnya walaupun masih terlihat dalam keadaan setengah terpaksa. Tapi agaknya senyuman itu sudah cukup untuk Andre.

“Gitu dong! Hehehe…”, Andre pun balas tersenyum. “Oh ya, hari ini gue ada kejutan buat lu”.

“Apa?”, Karen mengerutkan dahinya.

Andre lalu berjalan menuju meja kecil di ruang tamu, tempat ia menaruh barang-barang yang dibawanya tadi. Ia lalu mengambil sebuah tas berbahan kertas berukuran sedang dan kembali berjalan mendekati Karen. “Ini kejutannya…”.

“Apa ini?”, Karen mengamati tas yang dipegang oleh kekasihnya tersebut.

“Buka aja…”.

Karen pun mengambil tas tersebut dan mengeluarkan isinya. “Gaun?”, ucap Karen penuh keheranan.

“Iya gaun, gue tau lu marah kalo gue mutusin segalanya sendiri, tapi dua hari lagi gue dapat undangan acara gala dinner di hotel sekalian pertemuan bisnis antar pengusaha muda, gue mau lu dateng buat nemenin gue make gaun itu”.

“Gila ya lu Dre, lu lagi sakit ya? Lu kan tau…”.

“Ssstt…”, Andre meletakkan telunjuknya di bibir Karen. “Iya gue tau bener kalau lu nggak suka pakaian-pakaian feminim seperti ini, tapi undangan ini adalah undangan formal, nggak mungkin dong lu nemenin gue make jeans dan sepatu kets? Itung-itung biar sekalin lu bisa belajar tampil feminim”.

“Nggak mau ah…”.

Please sayang, acara lusa ini penting banget buat gue”.

“Lu berangkat aja sendiri!”.

“Semua pasti dateng dengan pasangan mereka masing-masing, masa gue dateng sendirian sih?”.

“Biarin aja!”.

“Ayo dong Ren, mau ya?”.

“Nggak!”, Karen berucap tegas sambil memalingkan wajahnya. Apa yang diminta oleh Andre, sungguh sebuah permintaan yang sangat berat untuk dipenuhinya. Memang sifat tomboy sudah terlanjur melekat sejak kecil dalam diri Karen. Bahkan ia sendiri mungkin sudah tidak ingat kapan terakhir kali mengenakan pakaian “normal”, seperti gadis-gadis lain seumurannya.

Andre memegang kedua tangan Karen dan berucap memelas, “Please sayang, aku mohon banget, sekali ini aja deh…”.

Akhirnya Karen terdiam. Agaknya ia hatinya mulai luluh melihat sang kekasih yang terus saja memelas dan memohon kepada dirinya. “Liat ntar aja ya”, jawaban singkat itu pun meluncur dari mulutnya.

“Lo kok gitu sih jawabnya? Bilang iya dong”, kembali Andre memelas dan memohon.

“Iya…! Udah puas?”.

“Makasi banget say…”, Andre tersenyum senang.

“Iya, gue mandi dulu ya, gerah banget nih”.

Andre mengangguk. “Tapi ntar lu pake gaunnya ya…”.

“Maksud lu?”.

“Maksud gue, ntar habis mandi lu coba bentar gaunnya pas apa nggak”.

“Ah ntar malem aja gue cobanya…”.

“Aduh, masa coba bentar aja nggak mau sih? Coba bentar aja, siapa tahu nggak pas jadi kan gue bisa tuker lagi hari ini, please…”,

“Iya… iya… ntar gue coba, bawel amat sih!”.

Karen pun kemudian berjalan menuju televisi dan menghidupkannya. Sedangkan Andre hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah keras sang kekasih.

“Lu nonton TV aja deh biar nggak bosen, soalnya gue mandinya lama…”.

OK, tapi apa nggak sekalian gue aja yang mandiin lu? Hehehe…”.

“Apa tadi? Lu mau gue tonjok nih?”, Karen mengacungkan kepalan tangannya ke arah Andre.

Dengan sigap Andre lalu meralat ucapannya tadi. “Ampun… ampun… gue nyerah deh hehehe…”.

“Udah duduk sana, jangan macem-macem lagi”.

“Siap komandan!”, ucap Andre sambil tersenyum lebar.

Lalu gadis manis itu pun berjalan dan masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Andre sendiri terlihat mengambil koran dan tabloid yang ada di atas meja, kemudian duduk di sofa dan mulai membaca. Beberapa lama asyik membaca, nampaknya rasa bosan mulai menghinggapi Andre. Pemuda itu kemudian mengambil remote televisi dan mulai mengganti satu per satu channel. Walaupun seluruh channel telah habis berganti, agaknya tak satupun acara yang menarik di hatinya. Ditengah rasa bosan yang melanda, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan keluarlah Karen dengan berbalut gaun pemberiannya. Mata Andre langsung terbelalak hebat melihat pemandangan luar biasa di hadapannya. Dihadapannya kini berdiri seorang Karen yang sangatlah berbeda dari Karen yang biasa ia kenal. Karen yang ini terlihat begitu anggun dan cantik terbalut gaun panjang berwarna merah pemberiannya. Andre benar-benar tidak percaya kalau kekasihnya yang sehari-hari selalu berdandan tomboy, bisa terlihat sedemikian mempesona.

“Gimana? Cantik nggak?”, Karen memutar tubuhnya dan kemudian tersenyum.

Andre tak menjawab, ia hanya berjalan pelan mendekati Karen.

“Jelek ya?”, dahi Karen berkerut karena sang kekasih tidak memberikan komentar.

Andre memegang pundak Karen. “Cantik… cantik banget!”.

“Boong ah…”, Karen tersipu malu.

“Sumpah Ren… lu cantik banget pakai gaun ini, nggak pernah gue liat lu secantik ini”.

Wajah Karen langsung memerah mendengar pujian dari sang kekasih. Tapi ia bisa melihat kalau Andre terlihat begitu jujur memuji dirinya. Mungkin memang ada baiknya juga sekali-kali tampil feminim di depan sang kekasih, pikir Karen dalam hati.

“Ya udah, kalo gitu gaunnya gue simpen dulu ya”.

Karen membalikkan tubuh dan masuk kembali ke dalam kamar, namun sebelum ia menutup pintu Andre mencegahnya.

“Tunggu Ren…”, Andre menahan pintu yang hendak tertutup.

Karen menghentikan gerakannya. “Ada apa?”.

“Ada yang kurang…”, pemuda itu kemudian mendorong pintu dan beranjak masuk ke dalam kamar. Karen sendiri hanya bisa melongo melihat tingkah kekasihnya tersebut.

“Kurang? Maksud lu?”.

Andre tak menjawab dan hanya menarik Karen masuk ke dalam kamar. Lalu tetap tanpa kata tiba-tiba pemuda itu memeluk tubuh kekasihnya. Tak lama sebuah kecupan mendarat di bibir Karen. Sang gadis terlihat terkejut ketika kekasihnya itu kemudian melumat bibirnya, namun begitu ia sama sekali tidak berusaha melawan. Ketika bibir mereka berpisah, Andre mendekatkan mulutnya ke telinga Karen dan berbisik.

“Ini seharusnya dilepas…”, tangan Andre bergerak menuju pundak Karen.

“Eh, lu mau ngapain sih?”, Karen berusaha menepis tangan Andre yang menjalar di pundaknya.

Kembali sebuah ciuman mendarat di bibir Karen.

“Udah dong, diem dulu”, ucap Andre.

Seperti tersihir Karen pun terdiam dan hanya merasakan apa yang dilakukan oleh kekasihnya tanpa penolakan. Gadis itu merasakan tangan Andre kembali menjalar menuju pundaknya. Disana tangan itu masuk ke balik gaun dan berlahan menjalar menuju kaitan bra yang dipakainya. Dalam sekejap kaitan bra tanpa tali pundak yang dipakai Karen terlepas, lalu dengan cekatan Andre menarik keluar sepotong pakaian dalam berwarna hitam itu.

“Dre, ngapain sih?”, gadis manis itu sempat berusaha menghentikan aksi sang kekasih, namun rupanya gerakan Andre jauh lebih cepat.

“Harusnya lu nggak make ini lagi Ren, biar tambah OK hehehe…”.

“Gila lu Dre, sini balikin bra gue!”, sengit Karen sambil berusaha merebut pakaian dalamnya dari tangan kekasihnya. Andre rupanya sudah menduga gerakan Karen. Dengan segera ia menyembunyikan pakaian dalam tersebut di belakang tubuhnya, sehingga usaha sang gadis pun kembali gagal.

“Eiiit… no bra! Hehehe…”, Andre menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tapi kan tali pundaknya udah gue lepas…”, Karen langsung protes.

“Iya, tapi kalo lu make bra itu kesannya tetep aja kurang sexy hehehe…”, Andre kemudian melempar bra milik Karen ke atas ranjang. Gadis manis itu pun hanya bisa menatap pasrah ke arah pakaian dalamnya yang kini tergeletak di atas ranjang.

“Oya, ada satu lagi yang kurang…”.

“Apaan lagi sih?”, ucap Karen dengan nada keras ketika kembali Andre mendekati dirinya, dan hendak merangkulnya.

Tanpa menjawab tiba-tiba saja Andre sudah meremas bongkahan pantat kekasihnya. Karen sontak berteriak pelan karena tidak siap menerima remasan tersebut. Ia pun berusaha menepis kedua tangan tersebut dari pantatnya, namun tidak berhasil. Justru dengan santainya Andre malah terus merabai bongkahan tersebut.

“Aduh lu ngapain lagi sih?”, gerutu Karen sambil terus berusaha menepis tangan kekasihnya.

Bukannya berhenti, Andre malah mulai nakal menaikkan ujung gaun panjang yang dipakai Karen. Otomatis ujung gaun itu semakin lama semakin naik sehingga mulai memperlihatkan betis sang gadis manis. Sedangkan di sisi lain Karen terus meronta berusaha menghentikan aksi nakal sang kekasih. Ditengah rontaan Karen, Andre mendorong terlahan tubuh kekasihnya sambil terus melanjutkan aksinya. Ujung gaun yang dikenakan Karen sudah terangkat mencapai paha ketika tubuhnya tertahan tembok kamar.

“Dre, udah dong… jangan gini ah… lepasin”, Karen terus berteriak-teriak ketika kini Andre sudah semakin bebas merabai pantatnya yang masih tertutup celana dalam. Merasa kalau bagian bawahnya semakin terekspos, gadis manis itu pun dengan keras berusaha untuk menurunkan ujung gaunnya.

“Dre, udah dong… aduh… Dre…”.

Setelah beberapa saat akhirnya Andre menghentikan juga aksinya. Gaun panjang Karen pun meluncur turun begitu pemuda itu menarik kedua tangannya. Karen langsung melengos kesal, sedangkan Andre nampak cengengesan.

“Sakit lu…!”, ucap Karen kesal.

“Hehehe… besok selain beli seragam basket, kayaknya kita musti beli g-string juga nih”.

“Apaan coba? Nggak lucu…”.

“Make gaun sexy kayak gitu, dalemnya musti sexy juga lo say hehehe…”.

“Udah ah, aku ganti aja!”.

Begitu Karen melintas melewati pemuda tersebut, tiba-tiba Andre memegang tangannya. “Tunggu say…”.

“Aduh apaan lagi sih?”, Karen semakin kesal dengan tingkah kekasihnya tersebut.

“Aku horny say…”, selesai berucap, Andre langsung menarik tubuh Karen. Pemuda itu langsung melumat bibir Karen dengan ganas. Karen kembali harus tersentak menerima lumatan bibir sang kekasih di bibirnya. Sang gadis manis tidak bisa melawan karena dekapan Andre begitu kuat pada tubuhnya. Akhirnya kini tak ada pilihan lain bagi Karen selain membalas lumatan sang kekasih. Ditengah lumatan bibir keduanya yang semakin mengganas, tiba-tiba Andre menghentikan lumatannya dan mengangkat tubuh Karen.

“Aaoo… mau kemana nih?”.

“Mau ke langit…”, sahut Andre singkat.

Sambil menggendong tubuh Karen, Andre berjalan menuju ranjang. Setelah sampai, Andre langsung membaringkan tubuh kekasihnya itu di atas ranjang. Pemuda itu tersenyum singkat melihat tubuh molek Karen tergolek di atas ranjang.

“Dre, inget ntar lu musti ketemu klien…”, Karen menyeret tubuhnya menjauhi Andre. Pemuda itu terlihat sangat bergairah. Pandangan matanya terlihat seperti seekor serigala yang menemukan mangsa yang sedemikian ranum.

Andre belum juga berkomentar. Ia hanya tetap menatap tajam ke arah Karen sambil menyeringai mesum. Pemuda itu terus mendekati sang kekasih sambil membuka jas yang dipakainya dan melemparnya ke pinggir ranjang.

“Dre… jangan sekarang…”.

“Tenang sayang, masih ada waktu kok, mumpung lagi sepi nih…”.

“Jangan Dre… ntar gaunnya kusut lho”, Karen masih berusaha menghentikan Andre yang sudah naik ke atas ranjang, siap untuk menindih tubuhnya.

Ternyata apa yang dikatakan Karen tadi sama sekali tidak merubah apa-apa. Bukannya menghentikan aksinya, Andre malah terlihat semakin bernafsu. Kini tubuh pemuda itu telah menindih tubuh Karen. Kedua tangan Andre kemudian dengan segera berusaha meloloskan tali bahu gaun yang dikenakan sang kekasih. Bagi seorang Karen yang memegang sabuk hitam karate, tentunya akan sangat mudah memelintir tangan Andre yang mulai nakal menelanjanginya. Bahkan tak hanya memelintir, membanting tubuh Andre pun bukanlah hal sulit jika ia memang ingin melakukannya. Walaupun dari mulut mungilnya terus keluar kata-kata penolakan, namun sama sekali tidak terlihat upaya nyata untuk mencegah perbuatan sang kekasih. Dalam sekejap tali gaun itu pun terlepas dari pundak Karen, sehingga kini tubuh atas gadis manis tersebut pun praktis terekspos dengan bebas.

“Sruup… Sruup… Sruup…”, payudara Karen kini sudah sepenuhnya berada dalam kekuasaan Andre. Dengan ganas pemuda itu menjilati, menghisap dan juga meremasi kedua bukit kembar tersebut.

“Dre… geli ah… stop!”, Karen terus merancau dan bergelinjang ketika Andre semakin ganas melakukan aksinya. Namun rancauan itu pun berlahan menghilang seiring nafsunya yang semakin meninggi. Kini rancauan itu berubah menjadi desahan pelan yang kian terdengar kencang. Suasana rumah yang sepi membuat Karen bebas mengekspresikan diri lewat teriakan.

“Sruup… Sruup… Sruup…”.

“Oooh… aah… aaah….”, Karen terus mendesah.

“Sruup… Sruup… Sruup…”.

Bagian atas gaun yang dikenakan Karen terlihat semakin turun. Hal ini membuat perut ramping dan pinggang Karen menjadi sasaran empuk untuk ciuman dan jilatan lidah nakal Andre. Gadis manis itu kian bergelinjang hebat menerima serangan gencar sang kekasih. Erangan dan desahan juga semakin keras terdengar dari mulut Karen. Gelora birahi sang gadis nampaknya mulai naik. Semerbak wangi tubuh Karen terasa begitu menggoda di hidung Andre. Entah sabun apa yang dipakai oleh kekasihnya saat mandi tadi, yang jelas wanginya mampu menstimulus birahinya.

Tangan Andre kemudian bergerak lincah menaikkan bagian bawah gaun, seiring ciumannya yang mulai menyerang kedua paha mulus sang kekasih. Ketika ujung gaun tersebut telah terangkat sampai ke pinggang, ciuman dan jilatan Andre pun mendarat di daerah selangkangan Karen. Semerbak wangi kewanitaan sang kekasih terasa begitu menggairahkan menyerang simpul-simpul syaraf otaknya. Wangi khas kewanitaan seorang gadis remaja yang masih segar. Tanpa ragu Andre kembali menjilati kedua paha padat nan mulus milik Karen, sebelum akhirnya lidah nakal itu menjilati permukaan kain mungil penutup wilayah selangkangan. Celana dalam itu sudah mulai basah dan kian menjadi basah akibat jilatan lidah Andre. Entah disadarinya atau tidak, Karen terlihat justru semakin membuka kedua pahanya dan memberikan akses luas kepada sang kekasih.

“Dre… Dre…”, tangan Karen berusaha menjangkau kepala Andre diselangkangannya. Rasa geli nan nikmat terus menjalar ke sekujur tubuh moleknya saat ini.

Melihat selangkangan sang kekasih sudah sedemikian basah, Andre lalu menggapai ujung karet celana dalam Karen. Dalam sekejap kain berbahan katun itu pun melorot turun dari paha sampai ke ujung betis, dan akhirnya terlepas. Kini bagian bawah tubuh Karen pun terbuka tanpa pelindung apa-apa lagi. Sebuah vagina ranum, merah dan merekah milik seorang gadis muda terlihat begitu menggoda untuk dinikmati. Hanya gaun pemberian Andre saja yang masih melekat di tubuh Karen, dan itu pun dalam keadaan yang jelas tidak dapat menutupi kemolekan tubuhnya. Berbeda sekali dengan keadaan Andre yang masih nampak berpakaian lengkap. Nampaknya pemuda itu memang terlihat enggan untuk melepasnya, walaupun gelora birahi yang melanda membuat pakaian yang dikenakannya menjadi sedikit basah oleh keringat.

Sekilas Andre menoleh ke arah jam beker yang ada di atas meja. Masih ada sedikit waktu lagi, mungkin itu yang ada di benak Andre saat ini. Dengan terburu-buru pemuda itu membuka sabuk dan resleting celana panjang yang dipakainya. Dalam sekejap celana panjang berikut dengan celana dalamnya itu pun terlepas dan teronggok di bawah ranjang. Andre mengocok-ngocok sendiri batang penisnya yang terlihat sudah tegak dan mengeras. Pemandangan tubuh polos kekasihnya di ranjang membuat batang itu menjadi siap tempur dengan begitu cepat.

“Gila Ren, lu bener-bener menggairahkan hari ini…”.

Tidak ada tanggapan dari sang gadis. Ia hanya terlihat tergolek lemah sambil menatap sayu ke arah kekasihnya. Agaknya nafsu birahi telah mengalahkan sang “jagoan” wanita tersebut. Gadis yang kesehariannya terlihat macho dan garang itu kini terlihat bak gadis polos, lugu dan tak berdaya. Bahkan ketika Andre membuka kedua pahanya dan memainkan ujung penis di permukaan vaginanya, Karen juga tidak terlihat keberatan.

“Aaakkh…!!”, terdengar teriakan panjang Karen ketika batang penis Andre menghujam ke dalam dirinya. Lenguhan lemah juga terdengar keluar dari mulut Andre hampir berbarengan.

Seakan tidak ingin membuang-buang waktu Andre langsung menghujam-hujamkan batang penisnya. Awalnya secara perlahan namun semakin lama semakin kencang. Agaknya pemuda itu benar-benar sedang dikejar waktu, sehingga harus melewatkan fase foreplay dan langsung meloncat ke tahap penetrasi. Tapi rupanya sang kekasih sama sekali tidak keberatan dengan hal ini, walaupun terlihat sedikit tidak nyaman. Desahan kini berlahan telah berganti teriakan penuh kenikmatan, terutama yang keluar dari mulut Andre.

“Aaahh… aaakkhh… ooohh…”.

“Aaahh… aaahh…”.

Ketika Andre sibuk mengocok selangkangan kekasihnya dimana Karen terlihat berusaha mengimbanginya, keduanya tidak menyadari sepasang mata yang mengawasi dari balik tirai. Celah kecil di tirai jendela kamar yang tidak tertutup rapat, cukup bagi si pengintip untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar. Beberapa kali sosok misterius itu terlihat menelan ludah melihat pemandangan menggiurkan yang tersaji di hadapannya. Entah beberapa lama sosok itu telah berada di sana, namun agaknya sudah cukup lama untuk bisa melihat semuanya.

“Aaahh… aaahh…”.

“Aaahh… aaakkhh… ooohh…”.

Lenguhan, erangan dan teriakan kian kencang terdengar memenuhi ruangan kamar tempat keduanya memadu cinta. Baik Andre dan Karen kini sama-sama tidak malu lagi untuk mengekpresikan rasa nikmat yang mereka rasakan. Tubuh kedua insan yang beguncang-guncang berlahan membuat keadaan ranjang menjadi berantakan. Keringat yang mulai membasahi tubuh masing-masing juga menjadi bukti bagaimana suasana kamar mulai semakin memanas.

Keduanya terlihat lupa diri dan larut dalam birahi, sampai kemudian terdengar suara nada ponsel yang berasal dari saku jas Andre. Tanpa menghentikan genjotan penisnya, Andre menjangkau jas di pinggir ranjang dan buru-buru mengeluarkan ponselnya. Tergurat sedikit nada protes di wajah Karen melihat sang kekasih yang masih juga mementingkan bisnis di tengah percintaan mereka. Sebuah kebiasaan Andre yang sangat tidak disukainya.

“Halo…”, entah Andre melihat ekspresi Karen tadi atau tidak, namun ia tetap menjawab telepon tersebut. Walau terlihat kesal Karen sama sekali tidak bisa menghentikan genjotan penis Andre di vaginanya, karena intensitas genjotan tersebut sama sekali memang tidak berkurang.

“Sebentar lagi saya kesana… iya, suruh saja mereka menunggu kalau sudah datang…”, sahut Andre ditengah genjotannya.

Karen sendiri terlihat berusaha menahan erangan keluar dari mulutnya. Memang hal itu sulit untuk dilakukan ditengah hujaman penis milik kekasihnya. Akhirnya Karen harus menggigit telapak tangannya sendiri agar tak ada suara “aneh” yang keluar dari mulutnya. Tentunya akan sangat memalukan apabila siapapun yang berada di seberang telepon sampai mendengar erangan dirinya. Ia sendiri cukup kagum melihat Andre yang masih bisa mengatur nada suara, walaupun saat ini pinggulnya sedang bergoyang hebat menghujam-hujamkan penis miliknya.

“Pokoknya lu urus saja semuanya dulu, OK!”, Andre berkata tegas sebelum ia menutup ponselnya.

Begitu percakapan selesai, Andre langsung kembali tancap gas menggenjot vagina sang kekasih. Karen pun tersentak menerima serangan yang begitu tiba-tiba di selangkangannya. Gadis manis itu menjadi sedikit tergagap menerima hujaman demi hujaman yang menjurus kasar tersebut. Walaupun begitu, Andre sama sekali tidak terlihat berniat untuk mengurangi hentakannya.

“Dre… pelan-pelan… aakhh!”, teriak Karen ketika semakin lama genjotan kekasihnya justru kian terasa menyakitkan.

“Oohh… enak banget say…”.

“Aaakkh…!”.

Andre terus saja melanjutkan genjotannya, walaupun sesekali Karen melenguh dan berteriak menandakan rasa sakit yang dialaminya. Pemuda itu mengangkat pinggul Karen sehingga pantat gadis tersebut terangkat beberapa sentimeter dari ranjang. Hal ini membuat akses batang penisnya menjadi lebih dalam menghujam ke dalam lubang kenikmatan kekasihnya. Dalam posisi ini Karen merasa lebih baik. Rasa nikmat kembali bisa ia rasakan. Apalagi ketika Andre kian membuka lebar kedua pahanya, syaraf-syaraf tubuhnya pun seakan mulai kembali bergolak dan menyatu dalam gairah birahinya.

“Oh say…!”, kembali Andre melenguh panjang.

Melihat kekasihnya menengadahkan kepala dengan mata terpejam, Karen tahu kalau sebentar lagi Andre akan mencapai klimaks. “Tidak… jangan dulu…”, Karen membatin. Dirinya yang baru saja mulai kembali bisa menikmati permainan cinta mereka, tentunya masih sangat lama untuk mencapai puncak. Jika saja di awal tadi Andre tidak melewatkan foreplay, tentunya sekarang mereka akan bisa mencapai puncak permainan bersama-sama. Birahi yang tergantung tentu nantinya akan terasa sangat menyiksa.

“Oooohh… aaahh…”, agaknya harapan Karen tidak akan terwujud. Andre justru kian mempercepat genjotannya seperti berburu dengan waktu.

“Aaahh… ooohh…. aaahh…”.

“Aaahh… ooohh…. aaahh…”.

Seiring teriakan Andre yang semakin kencang, maka semakin kencang pula genjotan yang mendera vagina Karen. Ranjang tempat mereka memadu cinta pun semakin terguncang-guncang hebat. Tubuh keduanya pun tak kalah hebat mengalami guncangan. Namun walaupun begitu Karen rupanya masih belum juga bisa merasakan kalau puncak permainan akan segera datang.

“Oooh… say… aku sampai!!!”, teriak Andre lantang.

Dengan segera setelahnya, Andre langsung menarik batang penisnya dari dalam vagina sang kekasih. Sedetik kemudian beberapa kali cairan putih kental menyemprot keluar. Cairan itu mengenai paha dan juga perut Karen. Andre mencapai klimaksnya dengan sukses, namun tidak demikian dengan Karen. Ditengah gairahnya yang sedang memuncak, gadis manis itu justru harus menerima kenyataan kalau sang kekasih telah menghentikan permainan secara sepihak. Sungguh mengesalkan memang! Hal ini pun tergambar jelas di raut wajah cantiknya.

Bukannya memperhatikan ekspresi wajah Karen yang menahan kesal, Andre justru langsung beranjak turun dari ranjang. Kemudian dengan setengah berlari pemuda itu lalu berlari menuju ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Karen sendiri hanya bisa pasrah menahan gejolak birahinya yang tadi tiba-tiba saja harus terputus. Gadis manis itu kemudian melepaskan gaun yang masih melekat di tubuhnya dan beranjak turun dari ranjang. Dilihatnya Andre yang sedang membasuh dirinya di dalam kamar mandi yang pintunya terbuka. Dalam keadaan polos ia lalu beranjak ke meja kecil di dekat ranjang guna mengambil beberapa lembar tissue. Digunakannya tissue tersebut untuk membersihkan ceceran sperma yang melekat di perut dan pahanya. Setelah itu sang gadis pun menyusul masuk ke dalam kamar mandi.

“Gue langsung cabut ya Ren, gue musti ke kantor dulu soalnya”, ucap Andre sambil membasuh telapak kakinya yang berlumuran sabun.

“Terserah…”, Karen menyahut dengan ketus. Gadis manis itu kemudian berjalan pelan menuju shower.

Entah memang tidak menyadari kekesalan Karen atau memang tidak memiliki waktu untuk berdebat, Andre langsung berjalan keluar kamar mandi dan menuju ranjang. Di sana ia mengambil celana panjang dan celana dalamnya lalu mengenakannya dengan sedikit tergesa-gesa. Sekilas ia melirik ke dalam kamar mandi. Disana Karen masih terlihat sibuk membersihkan tubuhnya dengan shower.

“Ren, gue berangkat ya!”.

Tak ada jawaban dari sang gadis. Ia terlihat masih melanjutkan aktifitasnya di dalam kamar mandi. Akhirnya tanpa menunggu jawaban dari kekasihnya, Andre langsung bergegas keluar dari kamar. Tak beberapa lama terdengar dari luar sana nyala mobil dan berlahan kemudian suaranya pun sayup-sayup menghilang. Di dalam kamar mandi, Karen terlihat membasahi seluruh wajahnya dengan kucuran air yang keluar dari shower. Paling tidak Karen berharap ini dapat sedikit mengurangi rasa kesalnya dan juga gairah birahinya yang terasa masih menggantung. Berikutnya tubuh sintal polos itu pun akhirnya juga basah oleh guyuran air. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut sang gadis guna mengekpresikan kekesalannya. Dalam benaknya hanya bisa berkata kalau ia sudah terlalu lelah dengan semuanya ini. Terlalu lelah menerima keegoisan demi keegoisan sang kekasih. Terlalu lelah untuk terus mengalah. Maka untuk itu tekadnya pun sudah bulat. Semua ini harus segera di akhiri. Segera!

Sementara diluar sana, terlihat seringai licik tergurat di wajah si sosok misterius. Agaknya apa yang dilihatnya sedari tadi di dalam kamar membuat hatinya senang. Bahkan teramat sangat senang.

********

Suara ponsel di atas meja membuat Nietha menghentikan aktifitasnya di depan lemari pakaian. Saat ini sang gadis cantik terlihat dalam keadaan terbalut handuk berwarna putih dengan corak garis-garis pink. Rambut panjangnya yang basah menandakan kalau ia baru saja selesai mandi. Nietha kemudian berjalan menuju meja belajarnya dan mengambil ponselnya. Sejenak dahinya berkerut karena melihat nomor yang tertera di layar ponselnya ternyata belum terdaftar.

“Halo…”.

“Hai sayang…”.

“Reza? Kok pakai nomor beda?”.

“Iya nih HP-ku lagi eror Nit, tiba-tiba aja hang gitu, sekarang sih lagi coba diperbaiki sama si Roni”.

“Kok bisa sih? Emang kamu apain?”.

“Nggak diapa-apain kok, kata Roni sih kemungkinan kena virus waktu transfer lagu”.

“Moga-moga nggak apa-apa ya”.

“Iya, untuk sementara aku pake nomor ini dulu sampai HP-ku bener lagi”.

OK ntar aku save deh”.

“Oya, lagi ngapain nih sayang?”.

“Baru aja abis mandi nih…”.

“Oh berarti lagi bugil dong? Asyik… hehehe…”.

Nietha hanya tersenyum kecil mendengar pertanyaan kekasihnya. Ia kembali berjalan menuju lemari pakaiannya, kemudian berjongkok di depannya. Gadis cantik itu lalu membuka laci paling bawah dari lemari tersebut.

“Kira-kira gimana? Hehehe…”.

“Pasti lagi bugil, rambut kamu lagi basah, badan kamu basah, semuanya basah, oh so sexy! Hehehe…”.

“Ye mulai deh bayangin yang nggak-nggak, lagian sekarang udah kering dan udah pake pakaian nih”.

“Yah… kok udah pake pakaian sih?”, ucap Reza penuh sesal.

“Hehehe… belum pake sih, baru milih CD doang”.

“Oh… mau pake CD warna nih? Hehehe…”.

Kembali Nietha tersenyum. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Dasar fantasi laki-laki, demikian pikirnya.

“Belum tau, ni masih lagi milih-milih”.

“Pake yang pink aja say…!Ada nggak? Hehehe…”.

“Kenapa musti pink?”.

“Ya suka aja, bikin aku turn on! Gimana? Ada nggak?”.

“Hhmm… ntar aku cariin dulu deh”, ucap Nietha sambil masih terus memilih-milih diantara tumpukan celana dalam di laci lemarinya. “Ada…”.

“Kalo gitu yang pink di pake besok aja waktu aku kesana, sekarang terserah kamu deh mau pake warna apa hehehe…”.

“Ye… dasar… udah capek-capek juga”.

“Capek ya? Kalo gitu besok aku sembuhin deh…”.

“Sembuhin pake apa?”.

“Pake cinta! Hehehe…”.

“Halah… gombal!”.

“Jadi kan besok aku boleh main ke rumah?”.

“Hhhmm… gimana ya? Kayaknya aku besok sibuk deh”, Nietha mencoba giliran menggoda kekasihnya tersebut.

“Yah… kok malah jadi sibuk sih?”.

“Hehehe… becanda kok, iya… iya boleh…”.

“Nah gitu dong hehehe… kalo gitu sampai besok ya sayang”.

“Iya ampe besok”.

Percakapan pun selesai dan Nietha kembali melanjutkan aktifitasnya. Diletakkannya kembali celana dalam warna pink yang dipegangnya tadi. “Mungkin benar ini harus aku simpan untuk besok”, pikir Nietha membatin. Senyum kecil nakal pun tersungging di bibirnya. Ia seakan bisa membayangkan bagaimana reaksi kekasihnya, jika besok ia benar melihat dirinya menggunakan pakaian dalam mungil transparan tersebut.

********

Karen menghempaskan tubuhnya dengan kasar di atas sofa di ruang keluarga. Rasa kesal akibat gelora gairah yang tadi sempat terputus rupanya tidak bisa hilang begitu saja oleh dinginnya air shower. Masih teringang-ngiang di kepalanya bagaimana Andre tadi seenaknya pergi begitu saja tanpa memperdulikan keadaan dirinya. Rasa kesal itu bercampur begitu kuat dengan birahi yang tersisa yang kini masih bergejolak begitu hebat. Di satu sisi Karen bisa merasakan bagaimana syaraf-syaraf sensitif di tubuhnya bergolak hebat menahan amarah, sedangkan di sisi lain tubuhnya juga masih merindukan sentuhan. Sebuah sentuhan penuntas birahi.

“Oooh…”.

Sebuah lenguhan kecil terdengar keluar dari mulut Karen, ketika ia mulai meraba sendiri payudara kanannya. Gadis manis itu bisa merasakan kedua puting payudaranya berlahan mulai menegang. Kini rabaan tangan Karen mulai berubah menjadi remasan-remasan lembut di kedua bukit kembarnya. Tangan kanan Karen kemudian berlahan masuk ke dalam tanktop ketatnya yang berwarna hitam. Kini permukaan tangan sang gadis bisa merasakan lembutnya permukaan bra yang ada dibaliknya.

“Oooh… aaahh…”.

Desahan Karen terdengar semakin keras ketika tangan kanannya menjalar turun dan mulai menusap-usap daerah selangkangan. Birahi yang tak tuntas agaknya benar-benar menyiksa dirinya, sehingga self-service menjadi satu-satunya pilihan sarana penyaluran yang tersedia saat ini. Karen menyandarkan punggungnya di sofa. Kedua pahanya kini terbuka dengan lebar seiring aktifitas tangan kanan yang semakin intens di selangkangan. Belum lagi tangan kiri yang juga bergerak lincah menggeser bra dan meremas-remas gundukan padat yang ada disana. Berlahan-lahan tangan kanan Karen meraba perut rampingnya dan terus turun kemudian masuk ke dalam celana pendek warna biru yang dipakainya. Di dalam sana aktifitas meraba, menekan-nekan dan sedikit meremas pun juga terjadi.

“Oooh… ooohh… oohh…”.

“Oooh… aaahh…”.

Jari-jari mungil Karen kini telah menyusup masuk dalam celana dalamnya. Sambil memejamkan matanya, gadis manis itu seakan-akan menikmati benar apa yang dilakukan oleh jari-jari tangannya sendiri di dalam sana. Permukaan jari-jari tangannya bisa merasakan bagaimana lembutnya bulu-bulu tipis disekitar selangkangannya. Berlahan tapi pasti lubang kenikmatan sang gadis pun mulai membasah terlumasi cairan cinta. Merasa mulai enak, Karen lalu mengangkat pantat dan menurunkan sedikit celana pendek berikut dengan celana dalamnya sampai ke paha. Dengan begini ia bisa dengan bebas merabai kewanitaannya yang perlahan mulai berkontraksi.

“Eeeghh… aaakkhh…”.

Karen melenguh agak panjang ketika jari tengahnya menusuk masuk ke dalam lubang vaginanya. Gadis manis itu secara perlahan mulai melakukan gerakan menusuk-nusuk sambil sesekali menekan klitorisnya dengan ibu jari. Seandainya jari tersebut adalah penis laki-laki mungkin kenikmatan yang akan dirasakan sang gadis mungkin akan melebihi apa yang bisa ia rasakan saat ini.

“Trreeet… Trreeet…”, sedang asyik bermasturbasi, tiba-tiba bunyi bel rumah memecah konsentrasi Karen.

“Uughh…”, Karen mengumpat kesal. “Siapa sih mengganggu sore-sore gini?”, gadis manis itu membatin. Hari ini memang benar-benar terasa buruk baginya. Begitu banyak ganggungan dan hal-hal yang mengesalkan terjadi. Bahkan untuk sekedar menuntaskan birahinya sendiri pun tidak bisa ia lakukan dengan tenang. Ingin rasanya Karen berteriak sekencang-kencangnya guna mengeluarkan kekesalan yang mulai berakumulasi di dalam dirinya.

“Trreeet… Trreeet…”, terdengar suara bel yang kedua. Karen langsung bergegas berdiri dan mengenakan kembali celana dalam berikut celana pendeknya. Dengan cepat pula ia berusaha membuat dirinya serapi mungkin, walaupun rona merah di wajah manisnya akibat gejolak birahi masih terlihat begitu jelas. Karen langsung berlari menuju pintu depan begitu suara bel ketiga terdengar.

“Oh Pak Danung… ada apa ya Pak?”.

Terlihat berdiri di depan pintu rumah Karen seorang laki-laki paruh baya dengan perawakan semampai. Perutnya yang sedikit membuncit tidak membuat kesan kebapakan dari laki-laki itu menghilang. Potongan rambut pendek dan sedikit keriting bergelombang, menambah kesan formal dari dirinya. Terlihat sekali kalau laki-laki tersebut memiliki strata sosial yang cukup tinggi dan pasti juga memiliki kehidupan ekonomi yang berkecukupan. Jelas saja demikian, karena saat ini laki-laki yang disebut dengan nama Pak Danung oleh Karen tersebut adalah Ketua RT di lingkungan warga tempat Karen dan keluarga bertempat tinggal.

“Maaf nih Bapak mengganggu Neng, tapi Bapak ada perlu nih sama orang tua Neng Karen”.

“Kebetulan Bapak sama Ibu lagi keluar kota nih Pak”.

“Aduh, gimana ya? Soalnya Bapak perlu informasi nih buat ngelengkapin data kependudukan”.

“Memang buat apa sih Pak?”.

“Biasa Neng, sensus penduduk tahunan”.

“Nggak bisa besok ya Pak?”.

“Batas waktu pengumpulan datanya mepet banget nih Neng, gimana kalau Neng Karen saja yang jadi informan survey-nya?”.

“Saya Pak?”.

Karen sedikit agak heran dengan perkataan Pak Danung yang terkesan memaksa. Sedikit rasa curiga terbersit di dalam benak Karen. Kalau hanya soal urusan survey bukankah bisa saja ia menyuruh bawahannya untuk melakukannya dan tidak perlu datang langsung seperti ini. selain itu, seingat Karen kalau soal-soal administrasi kependudukan orang-orang kantor desa biasanya menitipkan lembar form-nya untuk kemudian diambil keesokan harinya setelah diisi lengkap. Selain itu suasana hati yang memang sedang bad mood, agaknya membuat Karen juga menjadi sedikit ragu untuk menerima tamu. Bagaimana pun gadis manis itu tahu benar kalau sedang dalam keadaan seperti ini maka emosinya cenderung menjadi labil.

“Iya Neng saja, gimana?”.

“Saya tidak berani Pak, bagaimana kalau nanti salah? Dititipkan saja ya Pak? Nanti biar orang tua saya saja yang mengisinya”.

“Kan tadi Bapak sudah bilang Neng, ini formulir survey musti dikumpul secepatnya, Bapak teh males kalau musti bolak-balik”.

“Nanti saya deh yang nganterin formulirnya ke rumah Bapak”.

Karen masih berusaha untuk menolak secara halus permintaan Pak Danung. Bagaimana pun saat ini ia sedang sendirian di rumah. Dengan banyaknya gosip-gosip miring yang beredar di kalangan warga tentang Ketua RT-nya ini, ia menjadi sedikit risih untuk musti berduaan dengan sang laki-laki paruh baya tersebut. Gosip miring yang mengatakan kalau Pak Danung adalah laki-laki tua yang doyan “menggarap” janda-janda dan gadis-gadis muda. Gaya Pak Danung yang memang agak pecicilan turut memperkuat gosip-gosip tersebut, walaupun memang sampai saat ini belum terbukti kebenarannya secara langsung.

“Sebentar saja lah Neng, Bapak janji nggak sampai lebih dari lima belas menit”.

Karen sedikit mengerutkan dahinya. Agaknya ia kehabisan alasan untuk menolak permintaan sang Ketua RT. Akhirnya ia pun tidak memiliki pilihan lain selain menerima permintaan Pak Danung.

“Iya deh Pak, kalau begitu silakan masuk”.

Senyuman langsung terbersit di wajah kebapakan Pak Danung. Walaupun berusaha untuk terlihat berwibawa, namun senyuman itu terlihat sekali memancarkan sebuah maksud tersembunyi. Pak Danung pun masuk ke dalam ruang tamu. Karen sengaja tidak menutup pintu depan guna berjaga-jaga terhadap hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Paling tidak sampai saat ini instingnya masih belum bisa mempercayai sepenuhnya maksud kedatangan laki-laki paruh baya tersebut.

“Silakan duduk Pak”.

“Makasi Neng”.

“Mau minum apa nih Pak?”, ucap Karen berusaha sopan.

“Hehehe… nggak usah repot-repot lah Neng, lagian kan saya cuman bentar”.

‘Nggak apa-apa kok Pak, teh atau kopi?”.

“Nggak usah Neng, cukup air putih aja deh”.

“Kalau begitu, tunggu sebentar ya Pak”.

Karen pun beranjak menuju dapur. Tanpa disadari oleh sang gadis sepasang mata nakal menatap bongkahan pantat dan paha mulusnya dari belakang. Mata jelalatan itu adalah milik Pak Danung. Laki-laki paruh baya itu meneguk ludah melihat kemolekan tubuh gadis remaja yang saat itu hanya terbalut tanktop dan celana pendek ketat. Syukur sosok Karen cepat menghilang di balik pintu, jika tidak mungkin mata Pak Danung bisa-bisa meloncat keluar. Namun godaan indah itu kembali muncul ketika Karen datang membawa sebuah nampan berisi segelas air putih.

“Silakan Pak, diminum dulu”.

“Makasi Neng hehehe…”.

Sekilas mata nakal Pak Danung kembali beraksi. Sekejap ia melirik belahan dada Karen yang memang berukuran tidak besar, namun cukup padat menggoda ketika gadis itu meletakkan gelas di atas meja. Bukannya tidak menyadari hal itu, hanya saja Karen mencoba tidak menyinggung laki-laki paruh baya tersebut. Selain itu, perlakuan yang cenderung mengarah ke pelecehan seperti ini, sudah cukup biasa ia terima dari beberapa laki-laki sebayanya. Bahkan diantara laki-laki tersebut sudah ada yang menerima hadiah tinju di wajah oleh Karen atas perbuatan mereka.

“Mana formulir yang harus saya isi Pak?”.

“Ooh… ini Neng”, Laki-laki itu kemudian menyerahkan beberapa lembar kertas dan sebuah pulpen yang tadi ia keluarkan dari dalam tasnya.

Karen menerima lembaran formulir dan pulpen itu kemudian duduk di atas sofa. Gadis itu lalu terlihat sibuk mengisi satu demi satu data yang ada pada formulir. Pak Danung sendiri terlihat memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Karen. Tentu saja tidak memperhatikan apa yang dituliskan Karen, namun memperhatikan wajah dan tubuh sang gadis yang begitu segar menggoda. Kembali senyuman tersungging di wajah Pak Danung. Mungkin inilah saat yang tepat untuk melancarkan aksi, ucap laki-laki paruh baya itu di dalam hati. Entah aksi apa yang dimaksudkan olehnya.

“Bisa ngisinya Neng?”, Pak Danung sedikit menggeserkan posisi duduknya sehingga mendekati Karen.

“Bisa kok Pak”, sahut Karen singkat tanpa memalingkan wajahnya dari formulir yang dipegangnya.

“Loh, yang itu salah ngisi atuh Neng!”.

“Yang mana Pak?”, gadis itu menoleh.

Tanpa disadari Karen ternyata Pak Danung telah berada begitu mepet dengan dirinya. Sedetik kemudian sebuah tepukan mendarat keras di pundak Karen. Gadis manis itu pun langsung merasa tubuhnya lemas dan menjadi limbung. Seakan-akan detik itu juga ia tidak bisa menguasai tubuhnya sendiri. Pandangan mata Karen menjadi gelap. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Namun sayup-sayup ia bisa mendengar suara yang memanggil-manggil namanya. Suara seorang laki-laki. Suara itu adalah suara Pak Danung.

“Neng Karen?”, Pak Danung terlihat sedang memegangi kedua bahu Karen. Sang gadis terlihat sangat lemas. “Neng? Neng nggak apa-apa?”, kembali laki-laki paruh baya itu mengajukan pertanyaan. Tak ada jawaban dari Karen. Bukannya khawatir dengan keadaan Karen, Pak Danung justru terlihat tersenyum lebar melihat kondisi sang gadis.

“Neng Karen, kayaknya Neng perlu istirahat dulu, bagaimana kalau Bapak antar ke kamar?”.

Tak ada jawaban. Karen hanya menganggukkan kepalanya pelan.

Kembali Pak Danung tersenyum lebar. “Kalau begitu tunggu sebentar ya Neng, Bapak tutup pintu depan dulu hehehe…”.

Laki-laki paruh baya itu lalu menyandarkan tubuh Karen di sofa dan beranjak menuju pintu depan. Karen terlihat masih begitu lemas untuk menguasai tubuhnya sendiri. Ditutup dan dikuncinya pintu tersebut kemudian Pak Danung berjalan kembali menuju tempat Karen bersandar. Diangkatnya tubuh molek sang gadis dan memapahnya menuju kamar tidur. Entah mengapa laki-laki paruh baya itu bisa tahu yang mana yang merupakan kamar Karen tanpa perlu bertanya lagi.

“Nah Neng tiduran dulu sekarang”, Pak Danung merebahkan tubuh Karen di atas ranjang.

Pak Danung kembali tersenyum. Sebuah senyuman licik penuh maksud jahat. Laki-laki paruh baya itu bisa melihat kondisi ranjang yang terlihat sedikit berantakan. Terlintas dalam kepalanya bayangan sebuah pemandangan yang dilihatnya beberapa jam yang lalu di dalam kamar ini. Sebuah pemandangan indah sepasang muda-mudi yang sedang bercumbu ria. Memang yang tadi mengintip adegan percintaan antara Karen dan kekasihnya adalah Pak Danung sendiri. Tak heran ia terlihat begitu sumringah karena tubuh sang gadis yang tadi dilihatnya polos kini tergolek lemas di hadapannya. Gundukan di balik celana panjang yang dipakainya terlihat menegang membayangkan kenikmatan yang akan segera bisa ia rasakan. Kenikmatan seorang gadis muda tomboy, namun begitu cantik dan mempesona.

Laki-laki paruh baya itu lalu naik ke atas ranjang. Kemudian ia mendekatkan mulutnya ke telinga Karen. “Neng, sekarang ini Neng adalah istri muda Bapak, jadi sekarang Neng harus menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, Neng Karen mengerti?”.

Kembali Karen hanya bisa mengangguk mendengar kata-kata yang dilontarkan Pak Danung. Agaknya gadis manis ini telah sepenuhnya berada dalam kekuasaan sang laki-laki. Memang sebagai bekas jagoan desa, Pak Danung telah membekali diri dengan berbagai macam kesaktian. Salah satunya adalah ilmu gendam atau mirip ilmu hipnotis. Ilmu inilah yang kerap ia gunakan untuk menaklukkan gadis atau wanita muda yang diinginkannya. Sepanjang hidupnya telah berbagai macam wanita pernah dirasakan kenikmatan tubuhnya oleh Pak Danung. Namun ia tahu kalau ilmunya ini tidak bisa begitu saja ia gunakan sembarangan. Ilmunya ini hanya bisa digunakan di saat yang tepat. Sang korban harus berada dalam kondisi emosional yang labil adalah syarat utama agar kesaktiannya ini bisa digunakan. Saat emosi korban sedang labil maka psikologisnya akan rentan, sehingga pengaruh ilmu tersebut bisa menyusup masuk ke dalam otak.

“Badan Neng wangi banget sih? Bikin Bapak jadi tambah horny…”, Pak Danung menciumi sekujur tubuh Karen.

“Eerghh…”, lenguhan kecil keluar dari mulut Karen ketika laki-laki paruh baya itu mulai meremasi payudaranya. Nafsu birahi yang memang telah tertahan di dalam tubuh Karen, membuat rangsangan sekecil apapun mampu membuat syaraf-syaraf otaknya berstimulasi dengan cepat. Tubuh Karen bereaksi dengan refleks ketika Pak Danung mulai menciumi bibir, leher dan telinganya secara bergantian.

Pada saat pengintipannya tadi, Pak Danung tahu benar kalau gelora birahi Karen terputus di tengah jalan tanpa mencapai pelampiasan sempurna. Inilah yang membuat laki-laki paruh baya itu sadar kalau ilmunya pastilah akan mampu bereaksi dengan cepat. Hal ini pun terbukti saat ini. Disentuh sedikit saja tubuh Karen sudah memperlihatkan ciri kalau gelora birahinya sedang naik. Melihat kondisi sang gadis yang sudah bisa ia kuasai sepenuhnya, Pak Danung berlahan mulai mempreteli satu per satu pakaian yang dikenakan Karen. Diawali dengan membuka tanktop dan celana pendek sang gadis, laki-laki paruh baya itu berhenti sejenak untuk mengagumi keindahan tubuh molek Karen. Kemudian ia pun melanjutkan membuka bra dan celana dalam warna hitam yang menjadi penutup terakhir tubuh sang gadis manis.

“Oh… ternyata bener-bener cakep ni cewek kalo lagi bugil! Gue nggak nyangka bener kalo badan cewek tomboy bisa sebohay ini”, Pak Danung membatin, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengekspresikan kekagumannya.

Pak Danung kemudian kembali meremas dan memelintir puting payudara Karen. Kembali sang gadis melenguh pelan. Laki-laki paruh baya itu lalu mulai melakukan aksinya dengan menjilati, mengulum dan menyedot payudara Karen. Kedua payudara mungil namun sangat menggairahkan tersebut amblas ke dalam mulut Pak Danung. Kuluman demi kuluman itu pun mulai meninggalkan tanda-tanda kemerahan di sekujur permukaan bukit kembar tersebut. Beberapa menit kemudian kuluman dan jilatan laki-laki itu berlahan turun ke daerah perut, sampai akhirnya bermuara di vagina ranum sang gadis.

“Gile! Wangi banget sih ni memek…!”, seru Pak Danung kegirangan.

Sesungguhnya vagina gadis-gadis muda bukanlah hal baru bagi laki-laki petualang cinta seperti Pak Danung. Namun agaknya ada sesuatu yang berbeda yang ia rasakan ketika menciumi dan menjilati liang senggama milik Karen. Sesuatu yang menyegarkan yang mampu membangkitkan semangat mudanya kembali.

Memang sejak pernikahannya yang kacau balau, Pak Danung kerap berganti-ganti pasangan. Istri pertamanya menceraikannya karena saat itu Pak Danung berniat untuk melakukan poligami dengan seorang gadis berusia dua puluhan. Pernikahan keduanya pun harus berakhir dalam waktu relatif cepat, karena masalah yang sama yaitu ketidakmampuan dirinya untuk menahan nafsu birahi. Istri ketiganya pun tidak kuat untuk menerima kebiasaan Pak Danung yang doyan berburu cinta. Walaupun tidak sampai bercerai, namun istri ketiga Pak Danung lebih memilih untuk kembali pulang ke desa ke rumah orang tuanya. Kini di kota ini Pak Danung di temani oleh gadis simpanannya yang masih berstatus mahasiswi. Gadis itu disewakannya sebuah kamar kosan demi untuk menghindari pergunjingan warga, sebagai konsekuensi statusnya kini yang menjabat sebagai Ketua RT.

“Aaah… oooh…. aaahhh…”, lincahnya permainan lidah Pak Danung membuat cairan cinta semakin membanjiri vagina Karen. Diantara ketidak sadarannya akibat balutan ilusi ilmu Pak Danung, Karen rupanya masih tetap bisa merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Melihat vagina Karen yang sudah sangat basah kuyup, Pak Danung menghentikan aktifitasnya sejenak. Ia lalu turun dari ranjang dan mulai membuka sendiri pakaian yang dikenakannya. Begitu semua pakaian tersebut terlepas, mengacunglah sebuah batang tegak berukuran besar di antara kedua paha Pak Danung. Laki-laki itu kemudian berjalan kembali mendekati Karen.

“Kliik…!”, laki-laki itu lalu menjentikkan jarinya di telinga Karen.

“Ayo sayang, sekarang waktunya ngisep kontol hehehe…”.

Bak kerbau di cocok hidungnya, Karen membuka matanya dan beranjak bangun dari posisinya yang terbaring. Walaupun matanya terbuka lebar, terlihat pandangan mata Karen begitu kosong dan hampa. Ilusi yang diciptakan oleh Pak Danung agaknya benar-benar bisa menjadikan Karen menjelma dan menghayati perannya sebagai seorang istri muda yang penurut. Berlahan gadis manis itu turun dari ranjang dan berjongkok di depan Pak Danung.

“Sruupp… sruupp… sruupp…”.

“Sruupp… sruupp…”.

Dengan cekatan dan telaten Karen menjilati, mengulum dan mengocok batang penis sang Ketua RT. Dalam keadaan sadar tentunya Karen tidak akan mau melakukan hal memalukan seperti ini. Memasukkan penis, yang merupakan saluran kencing, ke dalam mulut adalah merupakan suatu hal yang sangat menjijikkan bagi Karen. Bahkan untuk kekasihnya sendiri Karen selalu menolak untuk memberikan pelayanan oral. Maka perlu kiranya diucapkan selamat untuk Pak Danung karena penisnya adalah merupakan penis perdana yang menghujam ke dalam mulut sang gadis manis.

“Ooohh… mantep bener sepongan istri muda gue!”, mulut Pak Danung megap-megap dan matanya merem-melek, menerima service oral dari “istri” barunya itu.

“Ayo sayang, jilatin telornya juga, sedot yang kuat aaah…! Kocok trus sayang!”, laki-laki paruh baya itu merancau hebat.

“Sruupp… sruupp… sruupp…”.

“Sruupp… sruupp…”.

Melihat gaya sepongan dan kocokan tangan Karen, sama sekali tidak terlihat kalau apa yang dilakukannya saat ini adalah pertama kali. Mungkin jauh di sisi terdalam Karen sebenarnya ia ingin sekali mencoba untuk melakukan oral seks, namun ego-nya agaknya menutupi keinginan tersembunyi tersebut. Kini dibawah ilusi, sisi tersembunyi itu terkuak dengan bebas tanpa harus malu dan ditutup-tutupi lagi.

“Cukup sayang… cukup… nanti keburu keluar, kan suamimu ini belum ngerasain memek legit punyamu hehehe…”.

“Ploop…!”, batang penis Pak Danung menampar pipi Karen begitu terlepas dari mulutnya. Jika Karen sedikit saja tersadar pastilah ia akan bergidik hebat melihat bagaimana besarnya batang penis yang akan segera mengoyak lubang kemaluannya.

“Ayo sekarang rebahan dulu sayang, aku akan menjalankan tugasku sebagai suami, memberikan kenikmatan yang luar biasa hehehe…”.

Karen menurut dan berlahan naik kembali ke atas ranjang. Di sana ia membaringkan tubuh moleknya menanti apa yang tadi dijanjikan oleh sang “suami”. Tak lama Pak Danung pun ikut naik ke atas ranjang dan berbaring di samping tubuh Karen.

“Kliik…!”, Pak Danung kembali menjentikkan jari tangannya. “Neng akan semakin horny, Neng akan merasakan memek Neng semakin berdenyut-denyut hebat merindukan tusukan kontol punya Bapak, memek Neng akan semakin basah dan basah…”.

Kembali Karen hanya mengangguk pasrah.

“Bagaimana sayang? Udah kangen sama kontol abang?”.

“Iya Bang…”, sahut Karen datar. Entah ia sadar atau tidak dengan jawaban yang meluncur dari mulutnya tersebut.

“Udah basah sayang?”

“Iya…”.

“Kerasa senut-senut?”.

“I… iya”, suara Karen mulai terdengar tergagap. Agaknya birahi yang melanda dirinya sudah sedemikian kuat menguasai dirinya.

Tangan Pak Danung dengan nakal menyapu permukaan vagina Karen. Ia sengaja membuat sentuhannya itu menyenggol klitoris sang gadis.

“Aaahhh…”, Karen melenguh.

“Mau apa tadi sayang?”, goda laki-laki itu sambil mengetes tingkat birahi sang gadis.

“Mau kontol… kontol Bang… kontol!”.

Pak Danung tertawa penuh kemenangan. Kini sang gadis tomboy telah sepenuhnya ia miliki untuk dinikmati. Laki-laki paruh baya itu lalu beranjak dan mulai membentangkan lebar kedua paha Karen. Terhamparlah kembali dengan bebasnya vagina merah merekah itu, siap untuk digarap. Pak Danung membasahi jari-jari tangan kanannya dengan ludah, kemudian dua jari tangannya ia hujamkan ke dalam lubang senggama Karen.

“Aakkkhh…”, Karen berteriak.

Pak Danung tetap melanjutkan kocokan jari-jari tangannya. Teriakan penuh kenikmatan pun terus keluar dari mulut Karen. Laki-laki itu sedikit menunduk dan langsung menjilati klitoris sang gadis bersamaan dengan kocokan jari-jari tangannya. Karen dibuatnya bergelinjang hebat dengan dua serangan bersamaan di dua titik sensitif tubuh bawahnya. Birahi Karen yang sebelumnya memang sudah sedemikian tinggi, kini berlahan mulai menemukan salurannya. Tak perlu waktu lama bagi Karen untuk mencapai klimaks pertamanya hari itu.

“Aaaakkhh…!!!”, pantat Karen terangkat beberapa centimeter dari ranjang. Mulut sang gadis menganga lebar dan teriakan penuh kepuasan keluar sedemikian keras. Karen benar-benar merasa ringan saat itu. Birahi yang sedari tadi terbelenggu di dalam dirinya akhirnya bisa keluar dengan sempurna.

“Crrtt… ccrrt… ccrttt…”, cairan bening mengalir deras keluar dari vagina Karen.

Dengan lahap Pak Danung menjilati cairan tersebut dan menelannya. Kemudian dengan jari tengahnya ia mengorek sedikit cairan yang tersisa. Ia lalu mendekati wajah Karen yang nampak memerah akibat klimaks yang baru saja dirasakannya.

“Istri gue ini ternyata kalo udah ngencret jadi tambah cantik ye? Hehehe…”, Pak Danung tertawa. “Nih sayang, rasain nih enaknya cairan memek lu sendiri, sumpah gurih banget sayang! Hehehe…”, laki-laki itu memasukkan jari tengahnya yang berisi cairan cinta ke dalam mulut Karen. Dengan pasrah Karen mengulum jari tersebut dan menelan cairannya sendiri.

Pak Danung menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan tak percaya kalau Karen yang dikenalnya selama ini sebagai gadis yang rada judes dan terkesan galak bisa sedemikian menggairahkan di atas ranjang.

“Wah… wah… belum di kasih kontol aja udah segini konaknya istri gue hahaha…”.

Diatas ranjang Karen terlihat terbaring dengan nafas tersengal-sengal. Irama nafasnya belum sepenuhnya teratur pasca klimaks tadi. Pak Danung sengaja membiarkan “istri”-nya itu untuk sejenak beristirahat, sebelum digarap kembali. Sambil duduk di samping tubuh Karen, Pak Danung mengocok-ngocok sendiri penisnya yang terlihat masih mengacung tegang. Memang saat ini sangat susah membedakan apakah Karen memang sepenuhnya ada di bawah pengaruh ilusi ilmu Pak Danung atau ia masih memiliki sedikit kesadaran untuk menikmati persetubuhan yang dilakukannya tadi.

Beberapa menit kemudian, Pak Danung kembali meraba-raba tubuh polos Karen. “Cukup istirahatnya sayang, kita lanjut lagi yuk hehehe…”.

Tak ada yang tahu apa yang sedang dirasakan Karen saat ini. Apakah saat ini dirinya sadar kalau sedang bercinta dengan seorang Ketua RT, bertubuh tambun yang bahkan berumur lebih tua dari ayahnya ataukah ia sedang merasakan bercinta dengan orang lain. Sungguh hal ini hanya bisa diketahui oleh Karen seorang, walaupun saat ini gadis manis itu menurut saja mengikuti segala kemauan Pak Danung. Bahkan kini dengan pasrahnya ia mengambil posisi menungging sesuai perintah.

“Plaak… plaakk…!!”, Pak Danung menampar-nampar pantat sekal Karen. Laki-laki tersebut lalu meremas bongkahan tersebut dan menampar-namparnya kembali dengan batang penisnya.

“Nggak nyangka nih pantat Neng se-sexy ini kalo telanjang hehehe…”.

Laki-laki paruh baya itu kembali menunduk dan menjilati kembali permukaan vagina Karen. Tak hanya itu, dengan lincah lidah Pak Danung juga menyapu lubang pantat sang gadis. Nampaknya semua bagian tubuh Karen terasa begitu menggairahkan dimatanya saat ini, sehingga ia sama sekali tidak risih untuk menjilati saluran pembuangan tersebut.

“Siap-siap sayang, sekarang giliran pentungan abang yang beraksi”.

Selesai berucap, langsung saja Pak Danung melesakkan batang penisnya dengan keras.

“Aaakkkh….!!!”.

Kembali Karen harus berteriak kencang. Walau sudah cukup basah terlumasi cairan cinta, namun ukuran penis Pak Danung yang sedemikian besar terasa begitu sesak di dinding vaginanya. Tak pernah sama sekali penis seukuran itu melesak ke dalam lubang kenikmatannya. Wajar sekali jika lesakan awal akan terasa sakit baginya.

“Oooh… ternyata memek Neng masih peret amat! Abang kira udah doer ditusuk ama kontol pacar-pacar Neng aaahh….”.

Sempitnya dinding vagina Karen membuat Pak Danung semakin semangat melakukan genjotan. Karen bisa merasakan bagaimana terasa maksimal lubang vaginanya berkontraksi ketika batang penis itu menghujam-hujam deras. Dinding vaginanya terasa begitu penuh sesak terjejali saat itu. Terasa sakit, sekaligus terasa nikmat. Sungguh posisi sempurna untuk merasakan kesakan penis besar milik Pak Danung.

“Ooohh… rela deh abang nyeraiin istri-istri abang kalo tiap hari dikasi memek peret kayak gini aaahh…”.

Tak ingin permainan segera usai, Pak Danung menarik batang penisnya dari lubang Karen. Kemudian ia membiarkan tubuh Karen ambruk di atas ranjang dalam posisi tertelungkup. Laki-laki itu lalu berbisik di telinga Karen, “Ayo sayang, sekarang saatnya ngasi suamimu ini goyangan pinggul yang paling OK”.

Selesai berucap demikian, Pak Danung mengangkat tubuh Karen dan kemudian ia sendiri mengambil posisi terlentang di atas ranjang. Ia lalu membantu sang gadis mengambil posisi mengangkang di atas tubuhnya. Laki-laki itu juga membantu memposisikan batang penisnya agar Karen bisa mengambil posisi woman on top. Begitu merasa posisi penis dan vagina mereka sudah pas, Karen langsung menurunkan pantatnya dan penis itu pun amblas ke dalam vaginanya.

“Aaakkh…!!”, keduanya berteriak kencang.

Desahan-desahan keluar dari mulut keduanya ketika Karen mulai menggoyangkan pinggulnya. Posisi ini adalah memang merupakan posisi favorit Karen dalam bercinta. Gadis manis itu memang sangat menyukai memegang kendali terhadap pasangannya. Hal ini memang cukup tercermin dalam keseharian Karen yang selalu ingin mendominasi dalam segala hal, terutama terhadap lawan jenis. Tak heran kalau keseharian Karen memang cenderung menyukai hal-hal yang bersikap maskulin. Posisi favoritnya ini membuat sang gadis bisa mengeksploitasi dirinya dengan baik. goyangan pinggulnya sambil menumpukan kedua tangannya di dada Pak Danung, membuat sang Ketua RT kewalahan sekaligus bahagia dalam kenikmatan. Apalagi dengan posisi seperti ini ia bisa dengan bebas meremas-remas kedua payudara Karen yang padat.

“Aakkh… aaahh… ooohh…”, teriakan demi teriakan terus keluar tak kalah keras dari mulut Karen. Tubuh kedua insan berbeda generasi itu terlihat berguncang-guncang hebat di atas ranjang, sehingga semakin membuat kondisinya berantakan. Keringat membasahi tubuh polos keduanya, menunjukkan bagaimana panas birahi keduanya saat ini.

Pak Danung agaknya tak ingin membiarkan Karen memegang kendali permainan cukup lama. Laki-laki paruh baya itu kembali merubah posisi tubuh Karen menjadi terbaring. Kini satu kaki Karen dinaikkannya di atas pundaknya. Kemudian tanpa ampun ia melesakkan batang penisnya dengan posisi menyamping. Dengan begini, Pak Danung dapat menikmati guncangan demi guncangan kedua bukit kembar Karen secara sempurna. Saat ini Karen terlihat benar-benar terbang ke langit ke tujuh. Sama sekali ia tidak pernah merasakan percintaan yang sedemikian dasyat dalam hidupnya. Aksi-aksi pacar-pacar yang pernah menyetubuhinya benar-benar terasa tidak sebanding dengan apa yang dirasakannya kini. Sungguh sebuah pengalaman persetubuhannya yang luar biasa bagi dirinya.

“Aakkh… aaahh… ooohh…”.

“Aakkh… aaahh… ooohh…”.

Beberapa menit kemudian, Pak Dandung kembali merubah posisi tubuh Karen. Kini masih dalam posisi terlentang laki-laki paruh baya itu mengangkat kedua kaki Karen keatas. Dengan sigap ia meletakkan sebuah bantal di pantat Karen sebagai ganjalan. Kemudian ia menghujamkan kembali batang penisnya. Dengan posisi variasi seks seperti ini jepitan dinding vagina sang gadis terasa semakin kencang. Terasa semakin sempit dan nikmat. Sebagai seorang laki-laki yang sudah banyak makan asam garam di dunia nafsu dan percintaan, Pak Dandung terlihat tahu benar bagaimana cara menyenangkan pasangannya di atas ranjang.

“Gimana sayang? Enak banget kan permainan “suami”-mu ini? Hehehe…”.

Karen tak menjawab. Ia terlihat begitu sibuk menikmati lesakan demi lesakan penis di vaginanya.

“Emang enak ngentotin cewek ABG, semuanya masih peret! Kayaknya si Neng baru aja abis diperawanin nih kayaknya…”.

“Aaakh… ooohh….”.

Karen semakin melayang. Ia sudah begitu dekat dengan puncak permainan keduanya hari itu. saat itu ia benar-benar membebaskan dirinya. ia berteriak, melenguh dan mendesah sekeras-kerasnya. Ia hanya ingin hari ini, saat ini, bisa memperoleh klimaks terdasyat yang hampir tak pernah dirasakannya selama ini. Setiap jengkal tubuhnya, setiap titik syaraf di tubuhnya benar-benar menginginkan hal itu.

“Gimana kontol abang Neng? Gede dan mantap kan sayang? Hahaha…”.

Perkataan demi perkataan laki-laki paruh baya itu terasa semakin menstimulasi sisi liar Karen. Pak Danung terlihat begitu bangga bisa membuat sang gadis bertekuk lutut di hadapannya. Begitu bangga karena sebentar lagi ia bisa mengantarkan Karen menuju puncak permainan.

“Ayo teriak yang keras sayang! Teriak yang keras!”.

“Aaaakkh… aaakkhhh… aaakhhh…!!!”.

Karen semakin menggila. Beberapa saat lagi ia tahu momen itu akan datang. Tubuhnya mulai menegang hebat, sementara di bawah sana kocokan penis Pak Danung sama sekali tidak menurun intensitasnya. Justru semakin lama semakin kencang. Penis besar itu benar-benar membuat Karen terbakar dan memanas.

Melihat tubuh Karen yang semakin menegang, Pak Danung sengaja menurunkan kecepatan genjotannya. Agaknya ia ingin sang gadis tidak mencapai klimaksnya secepat itu, atau ia ingin mencapai puncak permainan bersama-sama. Permainan ritme mulai dilakukan Pak Danung. Terkadang ia menghujamkan penisnya dengan kencang dan kasar, namun beberapa saat kemudian ia menghentikannya dan melakukan genjotan ringan. Dengan begini ia bisa menahan Karen agar tidak mencapai klimaks terlalu cepat, sekaligus memberikan waktu bagi dirinya sendiri untuk lebih lama menikmati kehangatan tubuh sang gadis manis.

“Aakkh… aaahh… ooohh…”.

“Aakkh… aaahh… ooohh…”.

Pak Danung akhirnya bisa merasakan sendiri kalau syaraf-syaraf tubuhnya mulai menegang. Ia juga bisa merasakan ledakan besar akan segera keluar dari dalam dirinya. Jepitan vagina Karen benar-benar memberikan sensasi yang begitu kuat bagi dirinya. Laki-laki itu pun mempercepat genjotannya. Tubuh keduanya pun kembali berguncang-guncang dengan hebatnya.

“Oooh… sayang… abang nyampe nih!”.

“Aaaakkh… aaakkhhh… aaakhhh…!!!”.

“Aaaakkkh….!!!”, Karen rupanya yang terlebih dahulu berteriak kencang. Tubuhnya benar-benar menegang hebat. Pak Danung bisa merasakan dinding vagina Karen menjepit hebat batang penisnya. Ia juga bisa merasakan lelehan cairan mulai keluar membasahi batang penisnya yang masih menghujam-hujam ke dalam vagina Karen. Sang gadis manis mencapai klimaks keduanya dengan sukses. Teriakan kencang akhirnya menyusul keluar dari mulut Pak Danung beberapa menit kemudian.

“Crroot… crroot… crroot…!!!”, Pak Danung sengaja tidak menarik batang penisnya dan membiarkan spermanya menyembur kencang di dalam liang senggama Karen. Saat ini Karen adalah “istri”-nya dan tentunya ia merasa berhak untuk menyiramkan benih miliknya ke dalam rahim sang gadis. Jika benih itu memang nantinya menjadi sebuah kehidupan, tentunya ia akan sangat senang untuk menjadikan Karen sebagai istri sahnya yang keempat.

Setelah semprotan sperma terakhirnya, Pak Danung mencabut penisnya dan ambruk di samping Karen. Sang gadis sendiri sudah terlihat lebih dahulu terbaring lemas di atas ranjang. Agaknya ia terlalu lelah untuk kembali membuka matanya. Entah saat itu Karen tertidur akibat kelelahan atau malah pingsan, namun yang jelas ia terlihat terlelap dengan nyenyaknya tanpa memperdulikan keadaannya yang polos. Cairan kental terlihat berlahan merembes keluar dari liang vaginanya.

“Hoooss… hoooss… hoooss…”, terdengar Pak Dadung mulai mengatur nafasnya secara berlahan. Dengan posisi terlentang dan mata menatap sayu ke langit-langit kamar, ekspresi kepuasan begitu jelas terpancar di wajahnya.

Hanya perlu beberapa menit untuknya memulihkan tenaga kembali. Tak lama ia sudah mengangkat tubuhnya dan bersandar di ujung ranjang. Laki-laki itu tersenyum puas melihat Karen tergolek polos di sampingnya. Sama sekali ia tidak pernah menyangka bisa menikmati tubuh Karen hari itu. Memang kecantikan Karen sempat membuatnya tertarik, namun ayah Karen adalah sahabat baiknya di daerah tersebut. Mereka berdua biasa bermain catur bersama di pos ronda. Tentunya kedekatan ini membuatnya berusaha membuang jauh-jauh ketertarikan untuk menikmati tubuh molek Karen. Kembali guratan rasa senang sekaligus bangga terpancar di wajah laki-laki tersebut.

Pak Danung menjulurkan tangannya ke bawah ranjang. Diambilnya celana panjang miliknya yang tergeletak disana. Dikeluarkannya sebungkus rokok dan sebuah korek gas dari dalam kantong. Sedetik kemudian laki-laki paruh baya itu telah terlihat menikmati kepulan asap rokok sambil bersandar santai di ujung ranjang. Sesekali ia memelintir dan mengusap-usap puting payudara Karen yang masih terlelap. Pak Danung juga membelai rambut Karen seolah-olah yang terbaring di sampingnya itu adalah benar istrinya.

“Benar-benar cantik, sungguh cantik…”, ucap Pak Danung dalam hati.

Laki-laki itu lalu menarik selimut dan menutupi tubuh telanjang Karen. Kali ini ia memang harus menggunakan ilmunya dan menciptakan ilusi untuk menikmati tubuh sang gadis. Otaknya langsung berpikir membayangkan alangkah nikmatnya jika ia bisa bebas menikmati tubuh Karen tanpa perlu menggunakan belenggu ilusi dari ilmunya lagi. Sederet rencana jahat pun langsung melintas di dalam otak mesumnya.

Setelah hisapan rokoknya yang terakhir, Pak Danung beranjak turun dari ranjang. Tanpa membersihkan diri terlebih dahulu, laki-laki paruh baya itu memungut satu per satu pakaiannya dan mengenakannya kembali. Ketika ia hendak mengancingkan kancing baju kemejanya, tiba-tiba ponsel milik Karen berbunyi di atas meja. Pak Danung langsung menoleh ke arah Karen. Gadis manis itu terlihat masih tergolek lemas. Agaknya gadis manis itu terlalu lelah untuk terjaga akibat bunyi ponsel tersebut. Sebelum keluar dari kamar laki-laki itu iseng mengambil ponsel dan melihat nama yang tertera di layar.

“R3g1na”, begitu nama yang tertera di layar.

“Hhhmm…”, Pak Danung bergumam. Diletakkannya kembali ponsel yang telah berhenti berbunyi tersebut. Laki-laki itu mengerutkan keningnya, seolah-olah berusaha mengingat sesuatu.

“Regina…”, Pak Danung berucap pelan.

Ia memang tidak tahu siapakah gadis yang bernama Regina tersebut, namun nama itu langsung mengingatkannya akan gadis-gadis yang kerap berkunjung ke rumah ini. Gadis-gadis yang merupakan sahabat-sahabat Karen. Mereka semua cantik dan memiliki tubuh yang tak kalah sintal. Kini Karen telah berhasil ia nikmati. Siapa tahu saja berikutnya ia juga bisa menikmati kehangatan tubuh dari sahabat-sahabat Karen yang lainnya. “Siapa tahu saja!”, Pak Danung membatin. Kembali rencana-rencana jahat terlintas di otaknya.

Setelah memeriksa kembali keadaan sekeliling kamar dan memastikan kalau Karen tidak akan ingat apa yang telah terjadi, laki-laki paruh baya itu langsung beranjak keluar. Pak Danung pergi dengan penuh kepuasan yang luar biasa di dalam dirinya. Laki-laki itu pergi meninggalkan sang gadis manis sendirian, terbaring polos dalam belunggu kepuasan birahi yang terbalut ilusi.

********

Di sebuah kamar.

Seorang pemuda terlihat sibuk di depan laptop miliknya. Ekspresi wajahnya terlihat begitu serius mengamati satu demi satu data yang tampil di layar. Gerakan tangan kanannya begitu lincah menggeser-geser mouse. Suasana kamar yang sama sekali tidak rapi, kalau tidak boleh disebut berantakan, sama sekali tidak mengganggu keseriusannya. Namun tak hanya suasana kamar tersebut yang terlihat tidak karuan, penampilan sang pemuda pun tak kalah tidak karuannya. Rambutnya yang gondrong dan kucel terlihat sama sekali tidak pernah tersentuh shampo. Kaos gomrong dan celana jeans pendek yang dikenakannya juga tak kalah kusam seperti sama sekali tidak pernah tersentuh deterjen. Sungguh sebuah penampilan yang layak untuk sosok seorang mahasiswa “abadi” bertipe kosan sejati.

“Tok… tok…”, ketukan di pintu mengalihkan perhatian sang pemuda.

Di ambang pintu yang terbuka ia bisa seorang pemuda lain sedang berdiri. Pemuda itu tersenyum ke arahnya.

“Eh elu Rez…”, ucap pemuda itu singkat.

“Helm gue masih di elu Ron?”.

“Masih, tuh di atas lemari”.

“Syukur deh, kirain udah lu jual hahaha…”.

“Geblek! Lu kira gue semiskin itu apa?”.

Reza tertawa mendengar protes yang dilayangkan sahabatnya tersebut. Pemuda itu kemudian melangkah masuk ke dalam kamar dan mengambil helm miliknya.

“Tu HP gue ya?”.

“Yoi, dari tadi ni gue utak-atik nggak nemu-nemu juga masalahnya”.

“Ya diusahain lah Ron, lu mantra-mantrain dikit kek biar bisa hidup lagi hahaha…”.

Sorry bro, praktek perdukunan gue udah lama gue tutup, lagian sekarang ini jaman hi-tech, udah lewat tuh jamannya jampi-jampi”.

“Sip dah, artinya HP gue sudah berada di tangan yang tepat”.

“Lu tenang aja, sampai detik ini belum ada alat elektronik yang bisa mengalahkan gue”.

OK gue percaya deh, sekarang gue cabut dulu ntar gue bawain lu makanan buat DP service tu HP hehe…”.

“Nah gitu dong! Kan gue juga semangat jadinya hahaha…”.

“Halah, gratisan aja doyan dah lu! Hahaha…”.

Reza kemudian melangkah keluar kamar dan Roni pun kembali melanjutkan kesibukannya yang tadi sempat terputus. Setelah beberapa jam tadi, sekumpulan file yang terhapus dari hard disk ponsel milik Reza berhasil ia upload kembali ke laptop miliknya. Beberapa file data, foto dan film satu persatu mulai bermunculan secara acak. Diantara file-file yang muncul satu persatu tersebut, sebuah file film berformat 3gp berukuran cukup besar rupanya sedikit menarik perhatian Roni. Tanggal pengambilan file tersebut hanya berselang beberapa hari. Berarti masih baru, pikir Roni. Tangan kanan pemuda itu kemudian meng-klik file tersebut. Beberapa detik film itu berputar sama sekali tidak ada yang terlihat aneh. Namun setelah beberapa menit, mata pemuda itu langsung membelalak. Ia seakan tidak percaya akan apa yang sedang dilihatnya kini.

“Nietha?”, ucapnya setengah berbisik. Roni mengusap-usap matanya seakan berusaha meyakinkan kalau apa yang dilihatnya tidak salah. Dengan segera tangan pemuda itu mengarahkan mouse ke tombol maximize. “Oh itu benar-benar dia, itu Nietha…”.

Film pun selesai berputar. Senyuman kecil langsung tersungging di wajah sang pemuda. Entah apa arti dari senyuman pemuda tersebut. Mungkin nanti hanya waktu yang akan bisa menjawabnya.

.



« Back

Download film langsung dari hape !
+ KISAH PANAS +
[01] | [02] | [03] | [04] | [05] | [06] | [07] | [08] | [09] | [10] | [11] | [12] | [13] | [14] | [15] | [16] | [17] | [18] | [19] | [20]
Home Home
Guestbook Guestbook

U-ON
388
INDOHIT.SEXTGEM.COM