2. Antara Kenangan Dan Kenyataan : Far Beyond The Sun
Attention :
Cerita ini merupakan sekuel dari Antara Kenangan dan Kenyataan 2, atau bisa juga disebut Antara Kenangan dan Kenyataan 2 1/2.
Met baca, enjoy ajaa ^o^.
[Sambungan dari bagian 2],
Pagi itu, aku sibuk mengepak barang. Kami bertiga sepakat liburan untuk hilangkan stres di pulau Bidadari. Disana ada penginapan mewah milik Joyce, kami ingin gunakan kesempatan liburan pergi bersenang-senang sepuasnya. Aku menyiapkan pakaian renang minim, bisa dibilang hanya CD dan Bra sih. Kegiatan kami pasti akan penuh dengan berenang, disamping memang hobi. Oleh sebab itu, tidaklah heran jika tubuh kami bertiga tak ada yang pendek. Kukenakan tank top merah jambu. Joyce pasti warna favoritnya hitam, ciri cewek horny. Sedangkan Shekti biru muda kesukaannya. Tak lupa, kami lingkarkan syal di leher, bandana serta anting-anting bundar sewarna pakaian. Dipadu dengan bawahan rok jeans pendek abu-abu. Kekontrasan warna pakaian dan accesoris dengan kulit menambah pesona kami, membuat kaum pria menoleh hingga leher mereka keseleo ^o^.
Din, diiiinn !, klakson mobil memanggil.
“Oi, Nov…cepetan !” teriak Joyce.
Aku tahu dari suara cemprengnya, Shekti lebih lembut. Aku pamit pada kedua ortu, dari raut wajah mereka terlihat sedang kesulitan. Memang usaha Join Papahku dimasa transisi Pailit. Laba (keuntungan) perusahaan, tidak cukup menutupi hutang di Bank. Mamah menyapu air mata di pipinya. Kuusap-usap punggungnya, coba tenangkan wanita yang mengandungku itu. Seharusnya aku hanyut dalam derita keluarga, bukan berpesta pora tinggalkan mereka. (Maafkan anakmu Papah Mamah, aku anak yang tidak berbakti. Hanya bisa bersenang – senang, lupakan bakti diri terhadap orang yang bersusah payah membesarkanku sejauh ini), batinku menatap lautan, kini.
“Nov, hati-hati di jalan…jangan lama-lama ya, Mamah kangen” kata Mamahku ter-Cinta sambil menyium kedua pipiku, beliau meneteskan air mata, basahi pipi kami berdua.
Tak sanggup, air mataku pun ikut menitik. Aku hanya bisa membalas dengan ciuman panjang di pipi beliau, sebagai tanda sayangku padanya. Kukecup keningnya, Papahku pun juga kucium demikian. Setelahnya kulambaikan tangan sebagai tanda perpisahan, pergi tinggalkan mereka dalam kepusingan.
Lewat beberapa kilo, aku masih saja termenung di dalam mobil. Shekti dan Joyce yang tahu tentang keadaan ekonomi keluargaku memakluminya. Mereka coba menghibur agar suasana perjalanan tidak terganggu. Kadang mereka benar, jika terus dipikirkan tanpa solusi yang jelas hanya akan menyiksa diri, meski kami juga tidak membenarkan apa yang kami lakukan.
“Oi, ngomong-ngomong kita mau dientot siapa nih…ga ngajak bokin-bokin kita ?” kata Joyce asal sambil memutar kemudi, pecahkan suasana sunyi diantara kami. Aku tersenyum dengar kata-kata spontannya, mereka senang melihatku kembali cerah.
“Yaa, ‘nti juga dapet…masa sih ga ada yang mau memek gratis, cantik lagi yang punya” jawab Shekti narsis, mengibas rambut panjang indahnya kebelakang.
“Huuw, bolehnya GR !” sahut Joyce. Aku pun melepas tawa, larut dalam indahnya tali persahabatan.
“Abis, bosen gw dientotin Ismet gendut mulu…kenyang tiap hari disuruh nelen pejunya yang asin, Hueeekk !” kelakar Shekti.
Kami tertawa renyah, karena juga sudah terbiasa curhat seks bersama mereka, aku ikut berbicara tentang bagaimana Mang Udeng mengerjaiku. Joyce tak mau kalah, bercerita tentang Pak Martaba yang tergila-gila dengan toketnya. Tak terasa berbincang seputar seks, kendaraan kami tiba di Ancol. Siap menyebrang ke pulau Bidadari dengan Jetfoil mini milik Joyce. Kami bertiga naik ke kapal itu, disambut sang Kapten dan beberapa ABK dengan ramah.
Semilir angin laut berhembus menerpa wajah, membelai lembut rambut. Aku termenung di sisi kapal. Menatap dalamnya laut dan cakrawala yang terhampar. Dataran tanpa ujung, lautan tak terlihat dasar serta langit yang tak bertepi.
“Nov, bejo lu ya hihihi” ledek Joyce.
Mereka berdua menghampiriku, sudah ganti celana dengan rok pantai warna putih corak kembang, tipis tembus pandang. Dimana belahannya jika tersingkap bisa terlihat celdam si pemakai. Atasan tetap tank top berdada rendah. Kaca mata hitam menghias wajah Indo mereka, makin memukau mata yang memandang. Harus kuakui kedua sahabatku itu memang luar biasa cantik, aku saja wanita terpesona dibuatnya.
“Heh, kenapa lu ngeliatin gw gitu ? jangan-jangan…”, Joyce curiga karena kutatap terus tubuh seksinya.
“Yee, enggak-lah yau…enak aja !” tepisku, dituduh lesbi.
Kami pun tertawa riang, menatap lautan bersama sambil berbincang. Canda tawa buatku terhenyak lupa akan masalah sejenak. Aku juga beranjak ganti pakaian agar seirama. Dalamannya kupakai CD dan bra renang. Agar saat tiba di lokasi dimana bisa berenang langsung bisa menyelam. Selesai berganti pakaian, kupamerkan pada mereka.
“Gimana Jo..Ti ?” tanyaku, gaya bekacak pinggang bagai Model catwalk.
“Wuiiiiizz…dahsyat !” ujar Shekti.
“Iya ya, keren abis…sumpah !” timpal Joyce.
“Ma’acih…”, aku GR dengar pujian mereka.
“Ada bakat Nov…” kata Joyce lagi.
“Model-kah ?”.
“Bukan, pemain bokep hihihi”.
“Huuh…nyebelin !”, aku gemas karena gagal GR, ternyata pujian palsu.
Langsung kucubit lengan Joyce, dia berlari kecil, aku mengejarnya. Kami tertawa-tawa berlari mengitari kapal. Para petugas Jetfoil yang diperkerjakan Ayah Joyce ikut tertawa lihat kelakuan gadis ABG anak majikannya. Shekti ikut mengejar dari belakang, hingga makin ramai saja permainan kejar-kejaran kami. Saat Joyce berhasil tertangkap, langsung kutindih dia. Kukelitik pinggang rampingnya, Shekti memperlakukan hal sama padaku, main kelitik-kelitikan deh ^o^. Setelah merasa lelah, kami tidur berderet di Palka kapal. Menatap langit biru dan indahnya iring-iringan putih awan.
“Eh…gw kok ngerasa, kita ini udah kayak sodara yah ?” tukas Joyce.
“Iya” sahutku dan Shekti bersamaan.
“Mana sama-sama anak tunggal lagi yah” kata Joyce lagi, aku dan Shekti kembali menyahut kompak.
“Mm, gimana kalo…kita kaya di film-film kungfu gitu ?” usul Shekti.
>“Film kungfu gimana ?”, aku tak mengerti.
“Yaa, kita bikin sumpah gitu…jadi sodara angkat, gimana ?”.
“Mm, boleh…lebih kentel dari sahabat, iya gw juga pernah lihat tuh di film Mandarin jadul di Tv ga sengaja” sahut Joyce.
“Ok deal, kalo gitu…kita mulai aja yuk ?”, Shekti bangkit dari rebahan.
Aku dan Joyce menyusul setelahnya, “Nah, kita orang berlutut…”. “Biar indahnya laut menjadi saksi atas sumpah kita !” lanjut Shekti.
“Ok !” jawabku dan Joyce serentak, kami melutut, bergenggaman jemari.
“Sip Jo, lu mulai duluan…coz lu yang paling tua diantara kita !” tandas Shekti.
“Ok, gw mulai !”, genggaman mengeras, jantung berdegup kencang.
Entah kenapa terasa seperti itu, kurasa bukan hanya aku yang mengalaminya. Joyce dan Shekti pasti merasakan hal yang sama, karena tangan terasa erat tapi bergetar. Menanti moment sebuah ikatan suci, tanggung jawab yang lebih dari persahabatan, Kakak beradik.
“Wahai lautan…di hadapanmu, kami ingin utarakan sebuah hal. Aku Joyce, disebelah kananku Shekti, dan di kiriku Novy…bersumpah untuk mengikat tali persaudaraan. Berharap engkau menjadi saksi. Dimana pun kami berada, walaupun jarak memisahkan kami bertiga…andaikan pula kami tidak berada dalam satu tempat yang sama…kami tetap Kakak ber-Adik. Aku, Joyce Johansen…bersumpah setia menjadi kakak pertama, bagi Shekti Oktaviana dan Novy Andiny. Terima semua keluh dan kesah mereka…siap membimbing dan dibimbing !” sumpah Joyce.
“Aku, Shekti Oktaviana…bersumpah setia untuk menjadi adik bagi Joyce Johansen, dan kakak bagi Novy Andiny. Terima semua bentuk keluh dan kesah mereka, siap dibimbing dan membimbing !” sumpah Shekti.
“Dan aku Novy Andiny…bersumpah setia untuk jadi adik mereka, Joyce Johansen dan Shekti Oktaviana. Terima semua bentuk keluh kesah mereka, siap untuk dibimbing dan membimbing !” sumpahku.
“Kami bersumpah, mengikat tali persaudaraan…bersama dalam suka dan duka !” ucap kami serentak.
Rasa canggung pun menyelimuti, terasa sekali formalnya. Kubuka pembicaraan berusaha alih kembangkan perasaan.
“Mm terus…gimana manggilnya ?” kataku memulai, tampaknya dipertanyakan juga oleh mereka.
“Yah gimana, kalo menurut gue sih kaya biasa aja…yang penting sumpahnya khan ?” kata Joyce.
“Ya udah boleh manggil De or Kak kalee, musti direalisasiin dong…khan itu bukti rasa sayang. Ibarat peraturan cuma dibuat tapi ga dijalanin percuma juga Kak !” ujar Shekti, kusetujui dengan anggukan.
“Ok deh, apa tadi barusan…kata lu ‘De ?”.
“Apaan Kak ? yang mana ?”.
“Itu tadi, bukti rasa sayang ?”.
“Mmm, iya ?”, Shekti menjawab singkat karena tidak mengerti maksud Joyce.
“Sayang kaya gini, MmCuph !”
>Joyce menyium pipi Shekti penuh kasih sayang, Shekti tidak mengelak dicium Kakak angkat barunya. Pemandangan itu buatku iri, wajahku merengut berat karena ingin di sayang dan dicium juga oleh mereka.
“Uuuh, mauuuu !” manjaku, bibirku manyun dengan kedua tangan mengepal.
“Ade mau juga ?” ledek mereka, aku mengangguk.
“Ya udah, niih.MmCuph !”. Mereka mencium pipi kiri dan kananku bersamaan, (Uuh senangnya ^o^).
“Ciuman buat Kakak mana ?”, todong mereka, akupun langsung cekatan menyium pipi mereka berdua.
“Wah-wah, mau dong ikut cium-ciuman hehehe”, ledek sang Kapten yang tampan.
“Weeek !”, Joyce meleletkan lidah padanya, disambut gelak tawa semua orang yang ada di sekitar kapal. Dia menarik lenganku dan Shekti ke kabin dalam dimana terdapat kasur empuk untuk rebahan.
“Kak, petugas di kapal ini ganteng-ganteng yah” kata Shekti.
“Mm, gitu deh…kenapa, mupeng ya dientot mereka hihihi”.
“Iiiih, ga-lah…enakan sama orang kaya Pak Ismet, lebih brutal hihi”.
“Iya, lagi juga pada hormat banget sama Bokap…jadi pada ga berani macem-macem gitu sama Kakak” terang Joyce.
“Yaah, kasian…berarti Kakak mupeng juga tuh, dimacem-macemin sama mereka hihihi” aku meledeknya.
“Nakal ya Adeku satu ini, Awas !” ancamnya, pinggangku digelitiknya.
Aku langsung tertawa kegelian, kubalas dia, Shekti pun ikut dalam permainan itu, main kelitik-kelitikan lagi deh ^o^. Lelah bercanda, kami bertatap-tatapan. Tiba-tiba aku dikagetkan jari-jari Joyce yang menangkup daguku. Dia menariknya hingga wajah kami berdekatan, adu mulutpun terjadi. Kupagut bibir Joyce, kami bertukar liur, telusuri panjang bibir dan saling emut-emutan lidah. Shekti yang iri ingin bergabung, mencucup pertemuan lidahku dengan lidah Joyce.
“Mmh, Aahhhh !” desah Joyce, saat kugigit kecil lehernya.
“Emmfhh…!”, aku bergumam, Shekti mencupang leherku.
Desahan Shekti menyusul setelah Joyce mencupang lehernya. Kami saling menggigit dan menjilat lembut. Variasi yang buat leher merah terbasuh ludah, sebuah moment yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Lidahku berpetualang ke leher Joyce, menuju wajah Indonya lalu kembali adu mulut. Dia mengemut daguku, kubalas dengan kecupan di hidung mancung khas Eropanya, dia balas cium pipiku. Shekti membaur dengan bibir tipisnya yang selalu terlapis lipgloss pink. Nafas kami sudah tidak teratur. Dengan nafsu yang menggelora, aku dan para sahabatku yang sudah resmi jadi Kakak adik itu menelanjangi diri sendiri. Secara, kami memang sudah sering telanjang bersama saat seks party. Nuts !, we’re naked !! three Angles in Love desire. Payudaraku dilahap Joyce, aku mendesah, mendesah dan terus mendesah. Lidah nakal Joyce yang bisa membuat pria tergila-gila lewat oralnya itu menggelitik putingku. Mulutku beradu dengan mulut Shekti, mata kami berdua bertatapan dengan seksi. Aku menggeser kepala menciumi payudaranya yang berfisik panjang, sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi. Dia sendiri tenggelam diantara belahan dada bulat Joyce. Jari-jari lentik kami yang terhias kutek berwarna favorit, ikut ramaikan rangsangan dengan rabaan dan pijatan di sekujur tubuh. Erangan mengeras dikala kami saling menancapkan jari pada liang vagina lawan tanding. Sampai-sampai berhenti mengemut. Mata sudah demikian sayu lantaran horny. Seandainya ada yang masuk, siapapun, mau memperkosa, pasti kami pasrah. Joyce menancapkan jarinya dalam-dalam pada vaginaku, aku menatap melas agar tidak terlalu dalam. “Aahhhhh…!” sekujur tubuhku bergetar merasakan nikmat.
Jariku mengusap-usap bibir kemaluan Shekti, kulampiaskan balasan padanya. Kutancapkan dalam-dalam jari di vagina, Shekti mengerang panjang. Dia balas perlakuanku pada vagina Joyce, menusuk dalam-dalam vaginanya, lidah Joyce terjulur mendesah lirih. Kami lakoni Lesbian seks berantai.
“M.Aahhhh, Yess…Kak Joiii.ii.i.i.icee, Ngghhh…jangan dalem…dalem, Plisshhh !” mohonku pada Joyce.
“Em.Aahhhh, De…a.ampunhh…jangan terla.lu…dalem.Aaaawh Sssh !” iba Joyce pada Shekti.
“De.Ahhhh…Ssshh, udah De.Aahhhh…udaaahhhh !” pinta Shekti padaku.
Semakin lama, tarik ulur jari semakin cepat, juga tertanam makin dalam.
“Hahhhh….Hahhhh…Hahhhh, Iyaa.ah…Iyaaaaaaahhh !”, kami orgasme bersama.
Erangan demi erangan berkumandang. Kenikmatan melanda, selubungi tubuh telanjang kami bertiga. Kejatan badan bagai tersengat listrik ribuan Volt, kami menjerit dengan jari masih menancap. Tubuh telanjang kami bertabrakan. Sebuah ledakan orgasme yang dahsyat. Untung saja ruangan privacy, sehingga suara yang menggelegar tidak terdengar keluar. Sehabis orgasme kami kelelahan, tidur bertumpuk badan dengan nafas tak beraturan. Aku memandangi jariku yang belepotan, kaget karena Joyce tiba-tiba mengemutnya. Dia jilati Jus cinta Shekti di jariku. Shekti meraih jari Joyce, mengemut Jus cintaku. Agar kompak, aku pun menjilati jari Shekti yang terselimut Jus cinta Joyce. Kami mirip bayi dengan dot botol susunya. Nafas mulai kembali teratur, Joyce mengatur posisi tubuh.
(Oh, no…not again !), keluhku.
Sahabat sekaligus Kakakku ini betul-betul hypersex, padahal mereka masih terlihat lelah dari mata. Dia mengambil posisi wajahnya ke vaginaku, siap menjilat dengan penuh kasih sayang agar aku meraih kepuasan. Shekti mengambil posisi di selangkangan Joyce, sedangkan aku ke milik Shekti. Kami saling menjilat untuk memberi kepuasan. Bersama menuju surga dunia, terbang melayang melalui lengkingan nikmat orgasme. Lelah bercinta, kami tidur berdekapan, dilengkapi dengan senyuman.
***
Tok ! tok ! tok !, pintu kabin diketuk.
“Non Joyce, maaf…saya hanya ingin sampaikan pesan kalau kita sudah sampai !” kata orang di balik pintu.
Kami terbangun senang, meski masih ngantuk dan Waaw…! masih telanjang pula. Joyce yang paling bersemangat tadi tampak loyo, dengan jahil kukelitik pinggangnya agar dia bangun. Joyce kegelian, memejet hidungku sebagai buah kenakalan. Kukucek mata dan meregang, keluar dari kapal untuk menginjak daratan. Akhirnya, tiba juga kami di pulau Bidadari. Sangat indah, surga dunia. Udaranya alami dan segar, jauh dengan udara kota Jakarta yang penuh polusi. Kami melangkah ke penginapan milik Joyce. Disana pun disambut ramah oleh Manager dan staf penginapan, dibawa ke tempat istirahat khusus Owner (pemilik) yang telah disiapkan. Langsung showeran dan berendam di bath tub guna hilangkan bekas adegan, tentu sedikit lesbian karena telanjang tiga-an. Makan kue Tart sedikit, lantas keluar penginapan untuk jalan-jalan.
Pulau Bidadari
“Mas, kalo mau ke pulau itu gimana caranya ?” tanya Joyce pada salah seorang staf, menunjuk ke sebuah kecil yang hampir tak terlihat kasat mata.
“Oh, musti nyebrang pakai perahu…biasanya ada Bapak tukang perahu yang nyebrangin, tamu penginapan juga sering minta dianter keliling pulau sama dia. Tunggu aja, sebentar lagi mungkin dating…” jelas pria itu, senyuman memperlihatkan giginya yang tonggos.
“Iya deh, makasih Mas…”.
“Sama-sama. Maaf, ini…Non Joyce yah, anaknya Mr. Johansen majikan kami ?”.
“Ya iyalaah…”.
“Wah, dulu masih kecil pernah kesini…SD kalau ga salah, saya masih seumuran Raffi Ahmad waktu itu” kata Mas-mas tonggos itu buat kami tersenyum.
“Oya, udah lama dong Mas kerja disini ?”.
“Ya lumayan…”.
“Nama Mas siapa ?”, Joyce mengibaskan rambut mulai TP, jangan-jangan dia horny mau dientot si tonggos. Shekti *ehem-ehem* mengingatkannya agar jangan gila, coz kita juga bisa ikut nanti ^o^.
“Brandon !”.
“Puff !”, kami menahan tawa mendengarnya, takut dia tersinggung. (Brandon ? plis deh).
“Canda Non, hehehe…Badongo nama saya”.
“Hihi, kirain Mas serius ?”.
“Emang ga pantes yah ?”.
“Kurang masuk Mas sama mukanya hihihi”, si mas-mas tonggos tertawa, berarti dia tidak marah diajak bercanda meski dihina.
“Kalo gitu, aku panggil Bang Dongo aja ya ?”.
“Yah, jangan dong Non !”. “Abang dongoo…abang dongoo hihihi” ledek Joyce.
“Lho, kalo Mas Badongo khan aneh…kepanjangan…”.
“Iya deh, terserah…namanya juga majikan hehehe”.
“Berarti, kita nunggu disana ya Bang ?”, tunjuk Joyce ke pinggir laut.
“Iya Non, sebentar lagi kayanya si Bapak datang”.
“Ok deh, dah Bang Dongo…”, Joyce mencubit pipinya lalu kissbye.
Mas-mas tonggos bernama Badongo itu kaku tak bergerak, belum pernah seumur-umur diperlakukan seperti itu, apalagi oleh gadis Indo secantik Joyce. Waktu kami berjalan meninggalkannya, terasa sekali pantat dipelototi dari belakang. Sampai di tepian, kami sempat menunggu sekitar 5 menitan, BT juga sih. Namun tak lama, terlihat sebuah perahu beserta seorang Bapak-bapak di dalamnya. Pria berusia kisaran 35-40 tahun, tubuh gempal, memiliki kumis serta bibir tebal. Bapak itu terus-terusan memandangi kami meski perahu telah sampai di tepian.
‘Kak-kak, lihat deh kumis si Bapak…De’ bayarin hihihi’ bisikku pada Shekti dan Joyce, mereka tutup mulut menahan tawa.
“Pak, kita mau ke pulau seberang…anter dong, bisa ? nanti kita bayar deh…” kata Joyce.
“Pulau yang mana Non ? disini banyak…”.
“Yang itu tuh…”, Joyce menunjuk ke salah satu pulau kecil.
“Oo, itu sih kosong Non…ga ada yang bisa dilihat”.
“Terus, apa isinya itu pulau ?”.
“Yaa, paling…hutan kecil, tanah kosong sama rumah Bapak hehehe”.
“Bapak tinggal disitu ?”.
“Iya Non gubuk, mending ke pulau sebelahnya aja” saran si Bapak.
“Owh, emang ada apa Pak disitu ?”.
“Ya mirip pulau ini, yang jelas berpenghuni…ga seperti pulau yang Bapak tempati itu” jelas si Bapak mengenai Pulau Sawi.
“O, ya sudah…kalo gitu…ke pulau Bapak aja !”. Aku, Shekti dan Bapak tukang perahu terkejut mendengarnya. Kukira Joyce akan bilang ke pulau satunya.
“Mau ngapain Non di sana ?”.
“Mau tahu aja Pak, kayak apa sih pulau tak berpenghuni itu” ungkap Joyce.
“…………”, si Bapak terdiam, lalu berkata.
“Kalau memang itu mau Non…mari saya antar”, Joyce berjalan menghampiri perahu, Aku dan Shekti bertatapan sesaat, mau tak mau ikuti kemauan Kakak angkat kami itu. Bapak tukang perahu menyalakan mesin. Wrrr, wrrrrrrrrrr…!!, dan perahu pun berangkat.
“Ini dayung buat apa Pak ? khan udah ada mesin pendorong ?” tanya Joyce terheran.
“Oh itu, bisa aja kan sewaktu-waktu mesin berhenti di tengah jalan, jadi ada dayung untuk giring perahu ke daratan” jelasnya, kami bertiga mengangguk.
Sesampainya di dekat pulau yang kami tuju, air terlihat jernih. Tidak terlalu dalam, pas untuk berenang. Joyce membuka rok pantai corak kembangnya, pamerkan tubuh indah sexy yang terbalut pakaian renang minim. Bapak tukang perahu mupeng melihat pemandangan yang tersaji cuma-cuma di hadapannya. Joyce telah terbiasa dengan ekspresi laki-laki seperti itu, cuek bebek memasang kacamata renang, lalu bertingkah gila membuat kaget kami semua.
“Bapak ngeliatnya nafsu amat…mau ini Pak ?”, Joyce menggeser bagian depan celana renang, tukang perahu sontak melotot.
Seusai pamer kelamin, dengan santainya dia terjang lautan, nikmati keindahan bening air. Aku dan Shekti hanya menggeleng kepala atas kenakalan Kakak angkat kami itu, lepas pakaian siap menyusul. Wajah si Bapak bagai anak kecil minta dibelikan mainan, ingin kami berlaku sama seperti Joyce tadi. Kami jadi iba, terpaksa mengabulkannya.
“Pak, kita juga mau berenang sebentar…duaduaah, Muach !” saat berucap ‘muach’, kami pamerkan vagina kami, seolah vagina yang berkata demikian. Liur si tukang perahu netes tak terbendung, matanya melotot seakan ingin memakannya saja.
Kutinggalkan dia dalam kemupengannya. Aku dan Shekti terjun ke laut menyusul Joyce. Main ciprat-cipratan, nyanyi sambil joget di atas batu karang dan lomba adu kuat tahan nafas, yang kalah kena dicumbu. Tukang perahu makin nepsong lihat kami lesbian, Joyce mengerlingkan genit sebelah mata, aku dan Shekti mempertontonkan ciuman lesbi super HOT. Puas renang dan bersenda gurau, kami balik ke perahu. Namun dikagetkan dayung yang terbentang, menghalangi kami untuk naik.
“Apa maksud Bapak ?” kata Joyce ketus, si Bapak cengengesan.
“Bapak pasti mau memek kita-kita khan ? Minta aja yang sopan, ga perlu pake kekerasan !” tambah Joyce, aku dan Shekti mendukung dengan wajah kesal.
“Betul Non, Bapak memang pengen ngegituin Non bertiga…tapi untuk selama-lamanya hahaha” kata tukang perahu itu.
(What ?!? just one fuck sih oke…but, jadi Budak…!?), batinku.
Kami semakin benci padanya, padahal tadi berniat kasih dia sekali-dua kali kecrot gratis.
“Oh iya, tadi Bapak belum bilang…kalau fungsi dayung satu lagi…buat antisipasi Hiu !”.
“HIUUU…?!!”, kami bertiga serentak kaget.
“Iya, Hiu hehehe”.
“Jangan nakut-nakutin dong Pak !” kata Joyce dengan wajah pucat, kami bertiga celingak – celinguk kiri kanan, takut yang dikatakannya benar.
“Ya memang ga selalu ada, tapi bukan ga mungkin…kali aja ada yang nyasar hehe” kata si Bapak menyebalkan, berhasil menambah rasa takut kami.
“Tolong Pak, kasih kami naik…kita kasih apa yang Bapak mau…” tawar Joyce dengan suara bergetar, kami merapat berpelukan.
“Ya itu tadi Bapak bilang…Bapak mau Non semua jadi milik Bapak selama-lamanya !”.
“Ga mungkin Pak, kalo Orang tua kita nyari gimana ?”.
“Bapak bikin laporan kalau perahunya bocor dan karam di tengah-tengah, terus jadi kehilangan Non semua karena ombaknya besar waktu berenang nyelametin diri hehehe” terang si Bapak, bangga akan rencana cabulnya.
“Naah, kalau Non sekalian pada ga mau dimakan Hiu…mau naik ke perahu, musti patuh sama perintah Bapak…ngerti ?” lanjutnya.
“Baik Pak, cepet…” kataku, paling ketakutan diantara kami.
Bapak itu mencari sesuatu, sepertinya di karung yang sempat kulihat sekilas waktu tadi duduk. Tak lama, dia kembali dengan tiga utas tali tambang terpotong pendek. Dilemparnya ke Shekti seutas.
“Non, iket temennya !” si Bapak menunjuk Joyce, tampaknya dia dendam birahi terhadap Joyce, memang Kakak angkatku itu yang memulai godaan. Shekti cepat-cepat mengikat tangan Joyce ke sisi pembatas perahu.
‘Aduuh, pelan-pelan De’ !’ protes Joyce berbisik.
‘Maaf Kak, De’ ga punya pilihan…’ balas Shekti berbisik, Joyce tersenyum maklum.
Bapak tukang perahu melempar kembali seutas tali, kali ini ke arahku. Aku tahu apa maksudnya, yakni menyuruh untuk mengikat Shekti, Kakakku. Dengan sangat terpaksa, aku melakukan apa yang tak kusuka. Untung Shekti tersenyum saat kuikat, meringankan rasa tidak enakku padanya. Bapak tukang perahu cengengesan ke arahku, seakan berkata ‘baguus…baguuss’. Dia berdiri dan melepas seluruh pakaian.
(Shit tuh kontol !), batinku, melihat kejantanannya big size. Arti tatapan Shekti dan Joyce pun sama, (Bisa mati orgasme gw !).
Sambil menggenggam seutas tali sisa, si Bapak lompat sambil teriak ‘Cihuuy !’. JBUUR !!, air laut menyiprati wajah kami.
“Puaah, tinggal si Non ini ya ?” katanya mendekatiku.
“Pak-pak, Hiu-nya gimana ?”, Shekti masih ketakutan.
“Oo, tenang aja Non…ada Bapak, itu Hiu harus ngelangkahin mayat Bapak dulu !” sahut si Bapak angkuh. “Kan bukan cuma Hiu yang mau makan Non…Bapak juga, hehee Slurrp !”, dia menjilat bibir seakan melihat makanan lezat.
Aku hanya bisa pasrah melihat tali mengunci tangan, cukup sakit buatku miris. Selesai mengikat, si Bapak mengecek ulang ikatan Shekti dan Joyce.
“Naah, sempurna…Hm-hm, kalau begitu…kita mulai dengan ini *Breek !*,” Bra renang-ku ditariknya hingga putus, gunung kembarku terombang-ambing mengambang di lautan. Bapak tukang perahu tersenyum senang, langsung diremas-remasnya buah dadaku.
“Wah, anak-anak sekarang cepat berkembang ya” komentarnya, dilanjut dengan lahapan rakus.
“Pak, Ssshh…” aku mendesis nikmat, kepalaku terdongak menatap langit. Bibir tebal si Bapak menelan toket bulat-bulat, lidahnya mempermainkan puting, buatku ‘Ahhh Ahhh em.Ahhhh’ berkedut nikmat. Kumisnya menggesek dada, buatku geli-geli enak. Puas menyusu, dia beralih ke Shekti.
“Whuaa, yang ini mirip Pepaya heheh” ejek si Bapak, melihat bentuk payudara Shekti.
Nasib Shekti sama denganku, dadanya menjadi bulan-bulanan tangan dan mulut si Bapak. Sebelahnya merenggut Bra renang Joyce, *Breek !*. “Gilaaa, tetek paling montok diantara bertiga…pantes lebih perek !” katanya kurang ajar.
Payudara kedua Kakak angkatku kini jadi permainan. Diremas, dilahap, puting dipuntir, disentil lidah dan lain sebagainya. Wajah mereka berdua sudah demikian merah, si Bapak tertawa cekikikan melihat itu. Bangga pada keberhasilan memancing gairah korbannya.
“Bleb…”, si tukang perahu tiba-tiba menyelam, kami bertukar pandang, tak tahu dia akan melakukan apa selanjutnya.
“Kontol !” umpat Joyce buatku kaget. Mimik wajahnya seperti kehilangan sesuatu.
“Damn !”, umpatan Shekti menyusul, ekspresinya sama dengan Joyce.
(Apa yang terjadi…? Hiu-kah ?), aku bertanya-tanya dalam hati.
“Shit !” akupun refleks mengumpat, sama seperti mereka.
Rupa-rupanya, aktivitas si Bapak adalah menarik lepas CD renang dari bawah. Kini aku dan kedua Kakak angkat telanjang bulat di dalam laut. Bapak itu muncul ke permukaan.
“Puaah, akhirnya Bapak lihat juga memek Non pada hehee. Baru pernah ngelihat memek anak gadis, apalagi secantik Non bertiga. Nah, mari kita mulai…dari yang godain Bapak pertama kali dulu !” kata si Bapak sambil melempar pakaian renang kami ke perahu, setelahnya kacamata renang kami. Hingga tak ada lagi yang tersisa di tubuh, selain anting dan kalung emas 18 Karat. Dia kembali menyelam.
“Aahhhh, Ssss…Leehhh”, kulihat Joyce menganga dengan lidah terjulur, seperti sedang merasakan sebuah kenikmatan yang luar biasa.
Aku dan Shekti iri melihat itu, sepertinya nikmat sekali. Aku tahu apa yang dilakukan si Bapak, pasti dia jilmek. Rasa takut adanya Hiu sirna, kini berubah menjadi hasrat ingin di jilmek. Joyce menjerit histeris, wajahnya merah kelelahan, orgasme dikerjai si Bapak. Tukang perahu itu muncul ke permukaan, ambil nafas sebentar lalu kembali menyelam.
“eM.aAhhhh…Sssstt, yeahh…yeahhhh”.
Tampaknya mulut tebal si Bapak beralih ke vagina Shekti, karena Kakak angkatku yang berpostur tinggi ramping itu keenakan. Shekti mendesah kecil berulang-ulang, dugaanku si Bapak mengobok-obok vaginanya dengan jari.
(Kuat juga si Bapak tahan nafas, mungkin sudah biasa bertualang di laut…), pikirku.
“IYAAHHHHH !!” rintihku, saat kurasa sebuah jari gemuk menusuk memek.
“Yahhhh…yahhh…yess…yesss.hh”, aku mendesah seirama dengan jari tukang perahu yang keluar masuk vaginaku.
Aku dan Shekti berlomba merintih nikmat, tubuh telanjang kami sama kelojotan di dalam laut. Saling tatap satu sama lain untuk mengetahui keadaan dengan wajah sayu. ‘Noo, it’s comiing…! it’s comiing, Sssh !’ desisku. “Iyaahh, Iyyaaaaahhhh…!”, rintihan panjang itu menandai orgasmeku. Si Bapak menusukkan jarinya dalam-dalam, membuat tubuhku dan Shekti sedikit terangkat, barulah saat itu Shekti merintih panjang. Kakiku menendang-nendang tak jelas arah di dalam air, resapi kenikmatan jari yang menyumpal vagina.
“Puaahh, hehehehe…enak Non pada ?” ejek si Bapak disertai cengiran, saat muncul ke permukaan.
Kami berdua hanya terdiam, menerima cemoohan karena memang benar adanya. “Ronde kedua !” ujar si Bapak seraya melepas ikatan Joyce. Dibawa ke batu karang tak jauh dari kami. Mereka berdua naik ke atasnya, setengah tubuh mereka di atas permukaan air, jadi aurat telihat.
Si Bapak mengatur posisi berhadap-hadapan. Sebelum memulai, ia berikan sebuah jilatan telak di memek Joyce, buat Kakak angkatku yang cantik Indo itu mendesah keenakan. Tanpa membuang waktu lagi, si Bapak membimbing penis ke depan bibir vagina. Joyce pasrah gelayutkan tangan ke leher si Bapak. Dengan penuh nafsu dan rasa gemas, ia dorong penisnya hingga tertancap keseluruhan, Joyce mengerang panjang. Pastilah penis si Bapak bukan takaran memek ABG Joyce.
Sebaliknya, si Bapak melenguh lantaran jepitan memek terlalu liat. Kedua belah kaki Joyce dinaikan ke bahunya. Kakak angkatku yang berdarah Jerman itu pasrah digagahi, menyambut tiap sodokan dengan rintihan. Dengan mudah tukang perahu itu menaik turunkan Joyce lewat tangkupan dipantat. Acap kali rintihan Joyce terdengar keras saat pantatnya dilempar tinggi-tinggi, tentu vagina wajib menumbuk benda yang bersarang di dalam. Adapun vagina istirahat menumbuk, pantatnya tidak, harus siap diremas atau di tampar keras. Si Bapak tersenyum lihat ketidak berdayaan Joyce, lantas kembali menaik turunkannya sambil tertawa sinting.
Tak lama kemudian, Joyce didekap erat, si Bapak kulihat menggemeratakan gigi. Tubuh Joyce melengkung, entah dia orgasme atau tidak. Pastinya kulihat ada cairan putih pekat kental menjuntai waktu si Bapak mencabut penisnya dari vagina. Cengiran jelek tergores di wajah tukang perahu itu, puas berhasil tanamkan benih di rahim gadis ABG penggoda imannya.
Joyce digiring naik ke perahu. Giliran Shekti kena entot, si Bapak menggiringnya ke batu karang. Diperintah untuk memiringkan tubuh, sebelah kakinya diangkat, Shekti pun refleks melingkarkan tangan ke leher si Bapak lantaran takut jatuh. Namun si Bapak malah menyurukkan wajah ke selangkangannya, jilat-jilat memek sejenak. Shekti meracau tak karuan, rambut si Bapak dijambak keras. Rupanya jilatan si Bapak terasa lebih nikmat baginya di luar air. Si Bapak sendiri ketagihan akan rasa memek, tidak sebentar dia ciumi memek wangi Shekti.
Puas jilmek, ia arahkan penis ke sasaran tembak sambil mengocok. Sampai di bibir vagina, langsung ditekan hingga amblas. Shekti menjerit, tubuhnya serasa terbelah dua, dibelah melalui kewanitaan. Si Bapak merem melek menikmati kencangnya jepitan memek Shekti, langsung dipenetrasi saat itu juga. Posisi mereka agak sulit di laut, beberapa kali penis lepas dari vagina lantaran mereka tercebur.
Si Bapak pantang menyerah, kembali melesakkan penis meski berulang kali. Ia cekik leher Shekti perlahan sambil menyelupkan jarinya ke mulut, disambut Shekti dengan kuluman, begitu cara mereka bersetubuh. Selang beberapa detik, si Bapak menyentak kasar, ejakulasi. Mereka berdua tercebur ke laut, namun si Bapak terus mendekap Shekti. Iba aku pada Kakak angkatku itu, pasti dia mati-matian menahan nafas. Tubuh si Bapak mengejang beberapa waktu. Setelah kedutan berhenti, barulah Shekti dilepas olehnya, Shekti langsung megap-megap mencari oksigen.
Si Bapak kembali tersenyum puas, tubuhnya mengapung terlentang di air menatap langit. Dengan sisa tenaga Shekti berenang ke arah perahu, dia sempat menatapku sesaat seakan meminta maaf karena tak berdaya dan tak punya cukup tenaga untuk menolong. Selagi aku memperhatikannya naik ke perahu, sebuah jari menusuk telak vagina. “Ahhh.mMff !!”, si Bapak memagutku setelah jarinya menancap. Ia melecehkanku, keluar-masukkan jari sambil melihat ekspresi wajahku yang tentunya lagi ke-enakkan.
Puas mencemooh, tali ikatanku di lepas. Giliranku di garap, aku disuruh membalik badan. Ia memeluk, buah dadaku diremasnya sambil menggesek penis ke pantat, lama kelamaan penis itu mengeras. Bagai kerbau dicocok hidung, aku pasrah saat punggungku di dorong untuk nungging. Kakiku disepaknya lebar agar ia mudah memasukiku.
“Hngggh ! ini memek palinggh, legith..dari yang…lainh !” celoteh si Bapak, saat berhasil menanamkan kejantanannya di liang vaginaku. Rintihan nikmat keluar dari mulut karena penuh kurasa. Rintihan itu terus berulang tatkala penis membelah vagina berulang-ulang, kugoyang pinggul agar ia lebih bernafsu menyodok.
Kedua tanganku yang mengepal ditariknya kebelakang, dihentaknya berlawanan arah dengan sodokan seakan aku ini kuda dan ia kusirnya. Suara persetubuhan kami sangatlah ramai, tepukan pantatku dengan pinggulnya, kecipak air, di tambah dengusan berat nafas.
“Yes, Yess…Iyah, Iya-aaahhhhh !”, aku orgasme, kuku-ku mencakar lengannya. Syukur ia mengerti keadaan, sodokannya mereda, biarkanku nikmati klimaks sejenak.
Mendengar nafasku kembali normal, ia lanjutkan hujaman penis, sambil tertawa sinting pula. Sodokannya lebih brutal dari sebelumnya, kepala penis terasa menggedor dinding rahim. “Ooohh.Hngkkh !”, CROOOT !, semprotan mani dahsyat kurasa di liang vagina. Sedikit memang sperma yang muncrat, telah di-umbar habis di kemaluan kedua Kakak angkatku. Tubuh kami begitu lekatnya, kejangan tubuh si Bapak terasa hingga di tubuh.
Penisnya yang masih bersarang di vaginaku meng-kerut. Ia lepas cengkramannya di tanganku, aku pun tercebur ke laut. Sebenarnya aku lemas, namun dinginnya air kembali buatku segar. Tak ingin tenggelam, sebagaimana kedua Kakak angkatku, kupaksa tubuh lelahku berenang ke perahu. Untungnya mereka sudah siuman, jadi bisa bantuku naik, tak lama Bapak tukang perahu menyusulku naik.
“Nah, istri-istriku….mari kita ke rumah kalian yang baru !” katanya, seraya menyeringai.
Aku, Shekti dan Joyce diam tak menyahut, sekelompok gadis tanpa daya dan upaya. Si Bapak menyalakan mesin, berangkatlah perahu kami ke pulau yang sudah terlihat itu. Sesampainya, kami yang masih telanjang bulat digiring paksa ke sebuah gubuk, yang tak lain adalah tempat tinggalnya. Kutapaki satu demi satu anak tangga yang sudah reyot itu kayunya. Sampai di dalam, si Bapak menyuruh kami duduk menunggu di dipan.
“Pak, tolong pulangkan kami !”, Joyce memohon.
“Pulang ?” sahut si Bapak, kami mengangguk.
“Boleh, tapi Bapak dikasih apa dong ?” kata si Bapak dengan wajah mengejek. Ia jongkok di depan Joyce persis.
Joyce yang mengerti langsung mengangkangkan kaki, vaginanya dipandangi si Bapak. “Coba Non kesini !”, ia menyuruh Shekti berdiri di sisi kirinya. Shekti menuruti perintah dengan segera, karena pikirnya setelah ini selesai akan di-izinkan pulang. “Yang si Non itu kesini !” suruhnya padaku, untuk berdiri di sisi kanan. Tukang perahu mencengkram kedua betis Joyce.
“Nah, Non pegang ini…si Non pegang yang ini. Terus angkat tinggi-tinggi !” kata tukang perahu itu, tentu saja aku dan Shekti bertukar pandang.
(Bagaimana ini ? Masa kami harus menghidangkan kewanitaan Joyce, Kakak angkat kami…pada orang yang baru kami kenal ?) batinku, Shekti pun kuyakin berpikiran sama.
“Lho, kok bengong ? Ayo…pada mau pulang ga ?” bujuk si Bapak. Joyce mengangguk pada kami, seakan dia mengerti aku dan Shekti ragu menjadikannya ‘umpan’. Entah dia ingin biar kami cepat pulang atau sudah tidak tahan dijilat melihat tatapan lapar si Bapak pada mekinya. Kami berdua melaksanakan perintah tanpa ragu.
“Tinggian lagi Non ! Terus…pegang di pangkal paha !” suruhnya, aku tak mengerti. Kuturuti perintah cabul itu, Shekti mengikuti. Tiba-tiba, tangan tukang perahu mencaplok buah pantatku dan Shekti. Mendorong hingga vaginaku, Shekti dan Joyce berdekatan.
#8220;YAHHHH”, kami mendesah berurutan. Lidah tukang perahu melakukan jilatan berantai dari memek Shekti, Joyce lalu ke memekku.
“Owh, Yesssshh…” Joyce berdesis, si Bapak melahap rakus vaginanya. Lahapan itu bergantian, kadang ke vaginaku kadang ke vagina Shekti. Yang pasti, kami bertiga keenakan dibuatnya. Jari besarnya menelusup dari belakang bawah, mencolok liang, korbannya adalah liangku dan Shekti. Mulutnya focus pada memek Joyce. Lidah kami bertiga sama terjulur, sebagaimana wanita yang mendekati puncak kenikmatan. Kepala si Bapak maju mundur, lidahnya mencolok-colok itil Joyce. Kakak angkatku yang liar itu mengerang keras, kakinya yang kami pegangi mengamuk. Di saat yang sama, jari si Bapak menusuk vagina dalam-dalam. Aku dan Shekti pun juga jadi mengerang panjang.
“IYAAAAAHHH…!”, Joyce melepas orgasme yang membelenggu, tubuhnya menggigil. Aku dan Shekti nyusul kemudian, tukang perahu cekatan merangkul pantatku dan Shekti, sehingga wajahnya terkurung oleh vagina kami yang sedang mengucur jus cinta. Ia telah menduga bahwa waktu orgasme peganganku dan Shekti pada betis Joyce akan melemah, jadi buru-buru ditangkupnya pantat Joyce agar tidak jatuh. Kemi berempat merapat. Mulutnya bergantian jilati jus memek yang dihasilkan tiga gadis belia.
“Muaah, seger-seger-seger hehehe” komentar tukang perahu itu, seraya merebahkan kami semua di dipan dengan gentle, seakan-akan kami ini istrinya. Ia pandangi kami bertiga, tersenyum sebentar lalu berkata.
“Nah, masih pada mau pulang ? enakan disini…Bapak bikin Non puas kayak tadi ga berhenti-berhenti huahaha” ejeknya keluar kamar. Rumah memang tak berpintu, tapi sepertinya ia merasa aman, berfikir kami takkan mungkin bisa keluar dari pulau dengan mudah. Di atas dipan kami berpandang-pandangan.
“Kak, gimana nih ?” tanyaku, mereka berdua hanya menggeleng, aku juga tak bisa menyalahkan mereka.
Setelah punya cukup tenaga, Joyce bangkit lebih dulu. Aku dan Shekti mengikutinya, ia bagai Kakak, juga bagai Induk. Kami jalan telanjang bertiga keluar rumah. Entah kemana tukang perahu itu, kami kembali ke tempat dimana kami pertama berpijak di pulau tak berpenghuni ini.
(Lho, kemana perahu yang kami naiki tadi ?), batinku, Joyce dan Shekti pasti berpikiran sama. Mungkin dia hilang saat ini sedang menyembunyikan perahu, who knows…
Aku celingak – celinguk ke kiri dan kanan, tak ada…? Kemana tukang perahu dan perahu miliknya ? haruskah aku dan kedua Kakak angkatku tinggal selamanya di pulau ini ? Tidak, pasti akan ada pahawan berkuda putih yang akan datang menyelamatkan kami. Tetapi saat ini harapan kami hanyalah ada perahu mendekat atau mampir, meski kecil kemungkinan.
TEPOKK !!, aku dan Joyce menjerit, sebuah tamparan keras mendarat di pantat kami berdua, Shekti..Joyce dan aku terbelalak kaget. “Lagi ngapain disini, hah ?” bentak si tukang perahu dengan mata melotot menyeramkan.
Lidahku serasa kaku untuk menjawab, Joyce sebagai yang tertua coba bernego. “Kita”, “KITA APA ?!” bentak tukang perahu itu lagi, kami berpelukan karena takut olehnya, takut dia menyakiti kami nanti.
“Ayo pulang ke rumah baru kalian !” kata dia seenaknya. Kami pun digiring kembali ke gubuk. Sampai di kamar, disuruh nungging di atas dipan, dari belakang ia tampari pantat kami hingga terasa perih. Pasti bilur kemerahan, aku tak sempat melihat karena kami kembali disetubuhinya, yang kali ini dengan bengis. Rintihan kami bukanlah rintih kenikmatan, namun kesakitan. Berkali-kali ia hujam keras penisnya, sampai-sampai tubuh terhempas bergantian. Aku bahkan disodoknya hingga tengkurap, terus dihujam sampai memekku terasa jebol. Shekti dan Joyce bernasib sama, mungkin maksudnya untuk memberi pelajaran agar tidak mengulang pelarian, Joyce yang bermulut comel hanya mampu memaki, “Kontol anjing ! gila tunge ! maniak memek ! dlsb. Namun suatu ketika, saat tukang perahu itu asyik menyodok sinting Shekti, aku dan Joyce sudah K.O tengkurap menahan perih di memek. BUGG !!, sebuah suara benturan dua benda keras.
Shekti ambruk tengkurap ditindih si Bapak, pikirku tadi ia baru selesai ejakulasi, ternyata tidak. “Ayo Non, bangun !” kata suara pria yang sepertinya kukenal. Pria itu mengangkat Joyce, menyingkirkan tubuh tukang perahu yang menindih Shekti lalu membangunkanku.
(Bang Dongo ?), aku tak pernah menyangka, tapi senang dengan pertolongannya.
Entah bagaimana cara ia kesini, karena memang Jetfoil Joyce sudah kembali ke perairan Ancol, janji jemput hari minggu. Di samping kapal tidak bisa ke pulau ini karena terlalu rendah, bisa menghantam dasar kapal.
“Makasih ya Mas…”, Joyce memeluk pria tonggos yang pernah di ledeknya. Badongo tersenyum senang dipeluk Joyce telanjang, aku dan Shekti ikut memeluknya. Badongo merobek sebuah kain usang yang ada disitu, memintalnya jadi pakaian ala kadar untuk kami bertiga, (serasa jadi ‘Jane’ Tarzan ^o^).
“Gimana cara mas kesini ?” tanya Joyce dengan mata berbinar haru, baru kali ini kami mengalami ancaman.
“Penjelasannya nanti aja Non, sekarang kita kembali ke penginapan…” sahutnya, kami bertiga mengangguk, terserah kepada si penolong saja.
“Bapak ini gimana Mas ?” kata Shekti.
“Biar nanti saya bikin perhitungan sama dia, sekarang Non bertiga harus selamat dan aman dulu !”. Tanpa bicara panjang lebar lagi, kami tinggalkan tukang perahu dalam keadaan pingsan. Sebelum pergi, Joyce sempat menendang kaki si Bapak sambil mengeluh, “Anjing lu…memek gw sakit tahu !” omelnya. “Biji bangsat, hampir aja lu berhasil ngancurin memek gw !”, Shekti menyusul. Aku pun ikut-ikutan, kuraih batang kayu yang digunakan Badongo untuk memukulnya tadi, kuayunkan ke tubuhnya sambil berkata, “Bandot sarap ! lu bikin memek gw kerasa hilang…tau ga, Hih !” omelku penuh emosi. Badongo meraih kayu yang masih kuayun, menarikku untuk segera pergi.
Sesampainya di pinggir, kami melihat perahu yang dipakai Badongp, ternyata hanya sampan kecil yang muatannya pas-pasan. Tak banyak pilihan, kami naik ke atasnya. Badongo mendorong sampan itu hingga meluncur ke lautan, baru dia naik ke atasnya mengayuh dayung.
“Kok perahunya kecil amat sih Mas ? kalo tenggelam gimana ?” kata Joyce cemas.
“Habis ga ada lagi Non, ini aja untung ada. Dulu punya si Bapak tadi, penginapan kita memutuskan beli untuk cadangan sewaktu-waktu perlu entah buat apa, ternyata kepake juga nih” jelasnya.
Selagi kami asyik berbincang, Shekti berteriak, “Mas, si Bapak kemarii !!”. Kutolehkan wajah ke pulau yang baru saja kami tinggalkan, (Aaargh, tukang perahu menuju ke arah kami !). Dengan perahu yang memiliki mesin meski ukuran sama kecil, begitu mudah ia menyusul sampan kami. Sesudah dekat, ia menyiapkan seutas tali tambang yang cukup panjang, di sambung ke sebuah jangkar kecil. Kami bertiga berpelukan takut melihatnya memutar benda itu bagai koboi memainkan tali laso. Badongo ke depan kami sebagai tameng untuk melindungi, dengan sebuah dayung senjatanya.
JDAAK !!, benda itu ternyata untuk dihantamkan tukang perahu itu ke badan sampan. CUUR…, air masuk ke sampan kami.
“Huahaha, rasain biar tenggelem !” ujarnya jahat. Badongo ingin menerjangnya andaikan dekat, sayang ia cukup pintar menjaga jarak, disamping takut jika tukang perahu itu malah melempar jangkarnya ke arah kami. Gilanya lagi ia tambah teror, mengiris jarinya sendiri dengan pisau kecil bergerigi khusus jaring.
“Ayo Hiu-hiu, makan siang sudah siap Huahahaha !”, kami semakin panik, jerit bernada tinggi keluar dari mulut kami bertiga. Badongo semakin kesal karenanya. Dengan gerak cepat ia patahkan dayung menjadi dua, dan dilempar ke arah tukang perahu. BUKK !!, kena tepat di kepala. Darah mengucur, ia mengaduh sakit. Tubuhnya limbung, perahu yang dinaikinya bergoyang, “Yah, yah, Yaaaaaah *JBUUR !*”.
Kepanikan kami pun klimaks saat seekor Hiu menyambar tubuhnya. Ternyata apa yang dikatakan olehnya benar, malang termakan kata-katanya sendiri. Hiu mencabik habis tubuhnya, air laut di sekitar tubuhnya berubah menjadi merah darah. Kami menyaksikan peristiwa itu dari dekat, karena sampan kami sebentar lagi karam.
Aku, Shekti dan Joyce menjerit-jerit, takut sasaran Hiu berikutnya adalah kami. Air mata menetes deras saat kulihat sirip yang mengambang semakin banyak. Kami berpeluk erat pasrah, kalau memang mati ya matilah bertiga disini, tubuh menggigil karena dinginnya air dan rasa takut akan kematian. Tangisan kami berhenti saat mendengar suara Badongo, “Syukurlah Tuhan, terima kasih !” ucapnya, aku belum mengerti. Kuperhatikan lagi, oh ternyata, sirip yang kulihat adalah makhluk jinak, sekelompok lumba-lumba. Kehadiran mereka buat hati kami semua lega.
Mereka mendekati kami, seakan menawarkan pertolongan, kupikir tadi gerombolan Hiu. Kupegang siripnya, kami ber-empat mengendarai lumba-lumba, meluncur menuju pulau Bidadari, meninggalkan Hiu bersama tukang perahu yang pasti sudah berubah menjadi bangkai. Pastilah lumba-lumba itu datangnya dari do’a kedua orang tua yang selalu menginginkan keselamatan, kapanpun dan dimanapun anaknya berada. (Makasih Papah, makasih Mamah J).
Sheckti,Joyce & aku.
Lumba – lumba itu mengantarkan tepat di depan pulau, sisanya kami berenang. Mereka bernyanyi meninggalkan kami, kulambaikan tangan ke arah mereka. Manager hotel sudah ada di tepi laut itu ternyata, ia panik dengan kehilangan Joyce sang Nona majikan yang seharusnya menyantap jamuan makan siang bersama kedua sahabatnya. Kami betiga berpelukan di sisi laut itu, menangis tersedu dan haru. Entah apa jadinya tanpa Badongo dan Lumba-lumba, kalau tidak jadi budak seks ya santapan Hiu. Badongo dan beberapa staf hotel memapah kami ke dalam kamar penginapan, tahu bahwa lutut kami sudah lemas dengan apa yang terjadi.
Aku, Joyce dan Shekti segera mandi, menghilangkan bekas pasir yang menempel juga lengketnya air laut. Selesai itu makan langsung tidur, rencana bersenang-senang kami batalkan. Seharian itu sampai dengan malam kami habiskan waktu di ranjang, berbincang tentang apa yang terjadi, terus itu-itu saja tanpa jemu.
Pihak hotel menangani permasalahan hilangnya Bapak tukang perahu atas konfirmasi Badongo, sebelumnya Joyce menyampaikan pesan bahwa kami belum sempat diperkosa, agar tidak terlalu ruwet dengan permasalahan, takut di visum segala, malu. Beberapa orang dari pihak Kepolisian datang menginterogasi ala kadarnya, karena sebelumnya Manager penginapan Joyce menyelipkan segepok ratusan ribu ke Kepala Bagian agar dibereskan. Kebetulan tukang perahu jahat itu tidak memiliki sanak keluarga, jadi tidak ada yang merasa kehilangan.
Ayah Joyce, Mr Johansen, sampai datang menjenguk di sela kesibukan pekerjaan, dengar khabar terjadi sesuatu pada anaknya. Sedangkan Ibu Joyce hanya telpon dari rumah, sibuk dengan Gigolo simpanannya. Setelah tahu kami baik-baik saja, dengan sedikit kebohongan yang diatur Joyce, Ayah Joyce kembali. Papah Mamahku dan orang tua Shekti belum tahu, jangan sampai juga karena bisa-bisa kami disuruh pulang lebih cepat dari jadwal. Bagaimanapun, kami masih ingin menghirup udara liburan.
Keesokan hari, kami masih saja mengurung diri di kamar, enggan keluar. Badongo membujuk untuk bersenang-senang, yang lalu biarlah berlalu. Kupikir-pikir benar juga, Joyce dan Shekti pun akhirnya berpikiran sama. Kami berlabuh ke pulau Sawi, pulau yang tak kalah indah dengan pulau Bidadari (masuk dalam hitungan kepulauan Seribu).
Agar kejadian buruk tak berulang, kali ini Badongo sendiri yang mengawal. Menggunakan perahu Boat milik Joyce yang dikirim dari perairan Ancol melalui staf Ayah-nya. Disana kami foto-foto, lempar-lemparan pasir, mengitari pulau dan masih banyak lagi. Banyak orang disana, mirip dengan pulau Bidadari, kaya aktivitas. Balik ke penginapan saat waktu menunjuk makan siang. Sorenya, kami kelilingi pulau Bidadari, tentu sambil foto-foto sebagai kenangan.
# Menjelang malam.
‘Eh, masa kita ga ngasih hadiah sih…buat Mas Badongo ?’ Shekti berbisik saat kami Dinner di ruang makan.
‘Iya ya, iya deh…yuk’ sahut Joyce berbisik, Mas Badongo salting karena kami berbisik sambil melirik ke arahnya. Aku hanya tersenyum, ikut saja pada kedua Kakak angkatku yang hyperseks itu, disamping juga setuju sebagai ucapan terima kasih. Selesai makan, kami bertiga menghampiri Mas Badongo, Joyce membisikkan sesuatu ke telinganya.
‘Mas, nanti kalo udah sepi…dateng ke kamar saya yah ! ada perlu…’.
‘Mana berani saya Non…kalo keliatan Pak Sukarta gimana ?’
‘Ck, alaaah…ga usah takut, aku khan owner…siapa berani ganggu. Oke Mas, aku ada perlu nih…’, Joyce mengerlingkan mata genit, aku dan Shekti tersenyum nakal.
“Yuk daah, Muach !” kami bertiga kissbye ke arahnya, beberapa staf penjamu makanan melihati Badongo. Dia menelan ludah tak enak, takut dilaporkan macam-macam ke ortu Joyce dan dipecat.
***
Tok ! tok ! tok !, ‘Permisii…’.
“Yup, sebentar…!”, Joyce berjalan ke pintu, aku dan Shekti siap menunggu duduk di tepi ranjang.
“Masuk Mas…!” kata Joyce dengan senyum ramah, pria bergigi tonggos itu mengangguk sopan.
“Mau curhat lagi Non ?”.
“Gak ! Bukan lagi…”, Joyce menghampiriku dan Shekti yang bangun berdiri.
“Kita manggil Mas mauu…” kata-kata Joyce stop sampai disitu, kami bertiga berbarengan menelanjangi diri.
“Ne-ne-ne-ne-ne-ne-Noon…stop Non, jangan !!” kata Badongo ketakutan plus mupeng.
“Jangan apa, niih !” Joyce melempar C String hitam miliknya ke Badongo.
“La-la-la-la-lhaa…gi-gi-gi-gimana nih ?”, Badongo tergagap menggenggam celdam anak majikan yang sangat dihormatinya.
Setelah sempurna bugil, kami atur posisi. Joyce di tengah, jarinya seakan menggenggam pistol. Shekti di kiri menungging, aku di kanan merangkul Joyce, dengan sebelah tangan meniru pistol.
“Kami sluty angel’s…bertugas memuaskan nafsu lelaki baik hati !” teriak kami serentak ^o^. Selesai berkata demikian, kami bergerak mendekati Badongo. Si tonggos itu beringsut mundur, namun celana di bagian selangkangan memumbul tanda dia konak.
“Ne-ne-ne-neNooooon…!!”, Badongo pasrah kami telanjangi. Sehabis melucuti pakaian-nya, kami langsung jongkok berebut kontol.
“Minggir lu De” kata Joyce, “Lu dong Kak, ngalah sama Ade” sahut Shekti. “Gw dunk, yang paling kecil !” kataku, “Ini lagi, kecil-kecil doyan kontol !” sahut Shekti dan Joyce padaku. Badongo hanya melenguh-lenguh, keenakan penisnya kami hisap bergantian. Begitulah keadaan kami, sampai sebuah suara ketukan pintu yang cukup keras mengganggu.
Dok ! dok ! dok !, “Non Joyce…ada masalah Non ?!”.
‘Mati aku, suara Pak Sukartaah…’ bisik Badongo takut dipecat.
‘TE-nang aja…TA-kut banget’ omel Joyce, diawal kalimat ia sertakan tamparan di penis, Badongo mengaduh. Joyce berdiri, jalan ke pintu sambil rapikan rambut. Ia memutar gagang pintu sambil menyembunyikan tubuh telanjangnya.
“Malam Non, sepertinya Non sedang kesulitan ?”.
“Iya Pak, tolong cepat masuk !” kata Joyce pura-pura panik. Manager penginapan yang bernama Pak Sukarta itu lantas masuk.
“Whaaaa !”, mata Pak Sukarta melotot lihat Badongo anak buahnya sedang di-oralku dan Shekti yang tidak berpakaian. “M-Maaaahh !!” mulutnya ternganga melihat Joyce juga telanjang bulat saat menutup pintu. Dalam keadaan itu, dengan santainya Joyce berkata padaku dan Shekti.
“De’, kontol yang ini buat gw ya ?”.
“Ambiil…” sahutku dan Shekti ^o^.
“Ne-ne-ne-neNooooon…bisa dipecat sayah sama Bapak !!” kata Pak Sukarta beringsut mundur karena Joyce mendekatinya, tetapi matanya memelototi vagina Joyce. Aku dan Shekti memiringkan posisi oral agar adegan Joyce bisa kami lihat.
“Justru kalo Bapak ga ngelayanin saya dengan baik, saya laporin yang engga-engga biar Bapak dipecat !” ancam Joyce.
“Ja-ja-ja-ja-ja-Jangan dong Noon !”.
“Kalo ga mau dipecat, entot gw !” kata Joyce meremas baju Pak Sukarta.
“Baik kalo Non memaksa !”, Pak Sukarta langsung melahap dada Joyce yang bulat mirip bakpau. Joyce mendesah sambil terus lucuti pakaian Pak Sukarta, kini kami telanjang berlima. Badongo yang tadinya malu-malu, mulai berani setelah melihat atasannya berani menindih Joyce, sang Nona majikan di ranjang. Ia berdiri, menyuruh aku dan Shekti mengangkang di pinggir ranjang yang sama.
“Aahhhhhhhh, Yess…” desah Joyce, tanda dia dan Pak Sukarta mulai bersetubuh. Aku mendongak ke atas sambil di jilmek Badongo, melihat Joyce ditumbuk secara membabi buta oleh anak buah Papahnya.
“Gila Ngoo…memek Non Joyce enak banget. Ohh anak majikan gw…Ooh anak majikan gw !” celoteh Pak Sukarta.
“Doyan khan memek gw…enak lu hah ? entot gw Pak, ayo…jebolin memek gw sesuka lu Aaaahhh !” balas Joyce.
Badongo tidak tahan, ia menyodokku dan Shekti bergantian. Malam itu, malam terindah di penginapan. Kami berlima tukar pasangan, saling memuaskan satu sama lain. Hingga terbit fajar di ufuk Timur.
***
Esoknya, minggu, pagi-pagi kami telah lepas atas masalah. Mulai berani lagi menyelam, meski masih disertai pengawasan ketat oleh Badongo agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sorenya, kami siap-siap berangkat pulang. Badongo dan Pak Sukarta melambaikan sapu tangan putih kepada kami, sedih kehilangan vagina untuk dipakai buang sperma ^o^. Kami membalasnya dengan senyuman, berterima kasih atas pelayanan mereka. Pulang dengan sejuta kenangan.
***
Pulau Bidadari, banyak sekali yang terjadi disana. Bapak tukang perahu, perkosaan, Hiu, Mas Badongo, Pak Sukarta, lumba-lumba. Huuf…yang penting, aku puas liburan kesana, mendapat experience seks under water sea pula.
Terhibur mengingat hal-hal yang kami lalui bersama. Tetapi terpaksa harus kembali hampa, karena tak ada mereka di sisi saat ini. Hanya ada kilatan memori yang membekas, serta laut bisu. Deru ombak bergemuruh, seakan ingin mengajakku berbicara. Kukuatkan hati, kutegarkan diri. Sesuai janji, sebagaimana sumpah kami.
Dimanapun kami berada…
>Walaupun tidak dalam satu tempat yang sama…
Andaikan jarak memisahkan kami bertiga…
Mereka sahabat dan juga Kakakku, dalam suka maupun duka…
Untuk selama-lamanya.
Bagiku, kalian jauh di mata…namun dekat di hati. Walau jauh bagai matahari, bahkan melebihi. Far, far away from me, so far…Far Beyond the Sun.
Life is so empty and a big mistake without you two guys. Miss ‘n Love u always…
END.