7. Eliza : Penderitaanku Di Hari Sabtu
Klakson mobilku kutekan kuat kuat ketika aku melihat di pinggir jalan ada anak SD yang sedang menangis, kelihatannya ditodong oleh seorang anak laki laki berseragam putih biru, anak SMP. Untungnya bunyi klaksonku cukup menarik perhatian orang orang di sekitar sini, hingga membuat anak SMP itu menghentikan aksinya dan segera kabur.
Anak SMP itu sempat memandangku dengan penuh ancaman sebelum menghilang di gang kecil itu, tapi aku tak memperdulikannya. Kulihat anak SD itu masih menangis ketakutan, maka aku keluar dari mobil dan mendekati anak itu, mencoba menenangkannya. “Titi, sekarang udah aman kok, nggak apa apa, jangan nangis yah”, kataku sambil berjongkok dan membelai rambutnya.
Anak kecil itu menghambur dan memelukku, kubiarkan ia menangis sampai akhirnya ia mulai tenang dalam pelukanku. “Titi, nama kamu siapa”, aku bertanya padanya. “Johan, cie”, katanya dengan suara sengau, wajar saja karena habis menangis. “Rumah kamu di mana? Cie cie antar ya?”, tanyaku. Ia menyebutkan alamat, yang aku kebetulan tahu itu ada di dekat sini. Kuantar dia pulang, dan kebetulan yang membuka pintu itu kelihatannya mamanya.
“Ai, tadi kebetulan aku lihat Johan lagi nangis. Takut kenapa kenapa, aku antar pulang”, kataku. “Aduh, maaf merepotkan ya nik, kamu baik sekali. Oh iya, Johan ini anaknya Ai. terima kasih ya.. mari masuk dulu, Ai buatkan minum dulu. Kamu belum makan kan nik? Ayo makan di sini”, kata Ai itu padaku. “Oh nggak usah Ai, terima kasih. Aku harus segera ke rumah teman, ada perlu Ai”, aku menolak halus.
“Oh ya sudah.. oh iya, aku Ai Linda. siapa namamu nik?”, tanya Ai Linda sambil mengulurkan tangannya. “Eliza, Ai”, aku menjawab sambil bersalaman. “Terima kasih Eliza, kapan kapan mampir ke sini ya”, kata Ai Linda. “Iya Ai, Eliza pergi dulu”, aku berpamitan, lalu aku kembali ke mobil dan melaju ke rumah Sherly, yang ada di 3 gang sebelah dari sini. Hatiku terasa senang, mungkin karena baru saja berbuat baik (duh.. narsis deh), tak terasa aku senyum senyum sendiri.
Tujuanku yang sebenarnya sebelum aku tadi terpaksa memberanikan diri menolong anak kecil tadi adalah ke rumah Sherly yang merupakan kost kostan itu. Yah, di hari sabtu ini, ketika jam istirahat ke dua tadi, Jenny mendadak sakit, dan terpaksa minta ijin pulang lebih cepat. Aku mengantarnya sampai ke mobil, dan sebelum pulang, Jenny menitipkan sebuah buku padaku, “El, tolong ya, kembalikan ini ke Sherly”.
Aku mengiyakan, “Beres deh Jen, cepat sembuh ya”. Jenny tersenyum lemah, dan setelah saling melambaikan tangan dengannya, aku masuk hendak mencari Sherly, tapi sayangnya bel istirahat berakhir sudah berbunyi. Dan waktu pulang sekolah aku mencari cari Sherly juga tak ketemu. Maka sepulang sekolah, aku segera menuju ke rumah Sherly, dan ketika aku hampir sampai ke rumahnya, aku melihat kejadian tadi itu. Kini aku sudah berada di dekat rumahnya.
Dan.. duh, hari ini tidak ada tempat kosong di dekat pintu rumah Sherly, maka aku terpaksa memutar dan parkir agak jauh. Tepat ketika aku mematikan mesin mobil, handphoneku berbunyi. Kulihat di layar handphone, nomernya Jenny. “Halo Jen.. ada apa?”, aku menyapanya. “El… gimanah… sudah kamu kembalikan… sama Sherly… bukunya…?”, tanya Jenny padaku. “Ini aku sudah mau turun ke rumahnya. Kamu..”, aku tak meneruskan, karena tiba tiba aku tersadar, suara Jenny tadi itu, pasti dia sedang dalam keadaan yang sama denganku dulu waktu menjawab telepon kokoku dan Wawan terus menggenjotku.
Teringat hal itu, mukaku tiba tiba rasanya panas, jantungku berdegup kencang. Aku tak tahu harus bagaimana. Jenny berkata lagi, “El.. nanti tolong.. sampaikan Sherly, thanks.. dan sori aku.. aku gak bisa datang sendiri.. aku lagi sakit.. HEI…”. Suara Jenny mendadak menjauh, dan tiba tiba suara di seberang berganti suara laki laki, “Non Eliza.. gimana kabarnya? Ini Supri. Kapan main ke sini lagi non? Sudah pada kangen semua nih sama non Eliza yang cakep, dan yang pasti memek non yang enak itu.. hahahaha”.
“Kurang ajar kamu. Kamu apakan Jenny?”, aku sedikit membentaknya. “Lho kok malah marah sih non Eliza? Ini non Jenny lagi asik kok sama kita kita”, kata Supri sambil cengengesan. “Dengarkan sendiri kalo nggak percaya non”, katanya lagi, dan dari seberang kudengar lenguhan Jenny yang makin jelas, rupanya handphone itu didekatkan ke arah Jenny. “Jen… Jen…”, aku mencoba memanggil, tapi yang kudengar malah erangan panjang, rupanya Jenny sekarang bahkan sedang mengalami orgasmenya.
“Gimana non Eliza? Masih nggak percaya kalo non Jenny juga suka? Nih anaknya sampai goyang sendiri lho. Terus non Eliza sendiri gimana? Apa nggak kangen dengan kita kita?”, tiba tiba kudengar suara Supri, yang masih cengengesan dari tadi. “Dasar kalian sakit semua!”, aku berkata dengan gemas dan aku segera memencet tombol end call. Kuletakkan handphoneku begitu saja di jok sebelah.
Aku duduk sebentar menenangkan diri, lalu membawa tas sekolahku turun dari mobilku. Setelah memastikan mobilku terkunci dengan baik, aku segera melangkah ke rumah Sherly. Sampai di pintu rumah Sherly, aku memencet bel itu. Entah kenapa pintu ini tak segera dibuka oleh orang yang ada di dalam, kira kira sudah lebih dari 10 menit aku menunggu. Dan selagi aku menunggu dan mencoba menekan bel lagi, aku mendengar deru sepeda motor dan menoleh ke arah suara itu.
Oh.. itu kan anak SMP yang tadi itu? Ia membonceng pada sebuah sepeda motor, yang dikendarai oleh orang yang berseragam SMA, putih abu abu. Dan mereka semakin mendekat. Anak SMP itu melihat ke arahku, membuatku sedikit gugup, dan mengalihkan pandanganku dari mereka ke pintu rumah Sherly. Aku agak tegang ketika kudengar deru sepeda motor itu melambat. Oh.. apakah anak SMP itu akan berbuat sesuatu karena aku tadi siang menggagalkan rencana jahatnya?
Aku tak berani melihat ke belakang, menahan nafas, dan berharap semoga Sherly segera membukakan pintu ini. Dan ketika aku mendengar deru sepeda motor itu meninggalkanku, aku segera bernafas lega. Apalagi sekarang pintu ini sudah terbuka, tapi aku jadi tertegun. “Hai Eliza.. tumben nih? Masuk yuk.. sori ya kelamaan”, sapa Sherly. “Hai.. juga.. Sherly. Nggak apa apa kok, thanks ya”, kataku.
Ya ampun, dalam hati aku bertanya tanya, Sherly masih memakai baju seragam, tapi baju Sherly begitu kusut, demikian juga rambutnya. Roknya juga lecek semua, sabuknya tak terpasang dengan benar. Dan mukanya Sherly itu merah sekali, nafasnya juga tak beraturan, tubuhnya basah oleh keringat, seperti habis berolah raga saja. Sinar mata Sherly juga seperti redup dan sayu. Melihat Sherly seperti ini, mukaku rasanya panas.
Entah kenapa, aku membayangkan olah raga apa yang mungkin saja baru dilakukan Sherly. Setelah menutup pintu, Sherly mengajakku masuk ke kamarnya, dan aku mengikutinya dari belakang. Sampai di kamarnya, aku melihat beberapa hal yang membuatku merasa dugaanku yang barusan tadi itu benar. Sprei ranjang Sherly terlihat awut awutan, dan yang lebih gawat lagi, aku melihat dua helai kaus tergeletak di bawah meja, yang bisa kupastikan kaus dekil yang menebar bau itu bukan kausnya Sherly.
Cukup lama aku memandang kaus itu, dan tiba tiba Sherly berkata, “Ya ampun, itu kan kausnya… mereka itu gimana sih? Tadi aku suruh dua pembantu untuk menggeser mejaku ke pinggir El. Mereka itu..”. Sherly tak meneruskan kata katanya, dan memungut dua kaus itu dan melempar keluar kamar. Aku memutuskan tak bertanya macam macam, walaupun dalam hati aku sudah menduga yang tidak tidak. Kukeluarkan buku itu dari tasku, dan kuberikan pada Sherly.
“Ini Sher, tadi di sekolah aku dititipin Jenny buku ini, Jenny sakit jadi pulang lebih cepat. Terus sepulang sekolah aku cari cari kamu nggak ketemu, jadi aku antar ke sini deh’, kataku. “Oh, mestinya biarin aja El, nggak apa apa, aku belum butuh juga. Jadi ngerepotin kamu nih. Thanks El”, katanya sambil menaruh buku itu di atas meja itu. “Kamu belum makan kan El? Kebetulan nih aku mau makan siang, bareng yuk? Tapi seadanya ya El”, katanya lagi.
“Duh, makasih deh Sher. Aku kalo makan nggak pilih pilih kok”, aku menerima tawarannya untuk makan bersama, dan aku sempat melihat jam, sudah jam 13:15. Pantas saja aku merasa agak lapar. Sambil makan siang, kami saling bercerita tentang kelas kami hari ini, dan juga soal Jenny yang pinjam buku, terus mendadak sakit perut. Setelah selesai makan, aku pikir lebih baik ngobrol sebentar dengan Sherly, maka aku membantu Sherly membawa piring kotor ke dapur, lalu aku menemani Sherly yang masuk ke dalam kamarnya.
Kira kira setengah jam lamanya kami mengobrol ke sana kemari, dan saat aku melihat jam, sudah jam 14:15. Aku berpikir, sudah waktunya aku pulang. “Sher, aku pulang dulu yah..”, kataku sambil mengambil tas sekolahku. “Iya deh. Eh tapi El, tas sekolahmu besar amat? Duh.. anak rajin deh. Pantas selalu ranking 1″, ledek Sherly. Aku agak malu juga dipuji oleh Sherly, dan berkata, “Duh, nggak rajin kok. Ini juga isinya baju, aku harusnya hari ini berencana menginap di rumah Jenny. Tapi…”.
Aku tak meneruskan kata kataku. Tentu saja jangan sampai aku menceritakan aku tak jadi menginap gara gara takut dikerjain buruh buruh yang sekarang sedang menggarap Jenny itu. Sherly agak heran sejenak, tapi mendadak ia seakan mengerti sesuatu, “Oh.. iya ya.. Jenny lagi sakit kan.. ya terpaksa lain kali deh”, katanya sambil tersenyum. “Tunggu bentar ya El, aku ada mau minta tolong sama kamu”, kata Sherly, sambil membuka laci mejanya, mencari cari sesuatu.
Aku menunggunya, sambil melihat ruang dalam dari jendela kamar Sherly, dan aku terbelalak karena pemandangan yang kulihat. Ya ampun, aku melihat ada salah satu cie cie penghuni kos di sini yang hanya memakai handuk, seperti sedang mengomeli seseorang. Kalau nggak salah orang yang dulu aku lihat keluar dari kamar cie Katherine, salah satu penghuni kos di sini. Dan orang itu tak memakai kaus..
Cie cie yang kulihat ini, putih sekali kulitnya. Tak terlalu tinggi, mungkin lebih pendek sedikit dariku. Rambutnya pendek dan dihighlight, membuat wajahnya yang sudah cantik itu terlihat semakin manis. Namun kali ini wajah itu diselimuti kegundahan, apalagi orang itu makin lama makin kurang ajar, mencoba menyentuh wajah dan tubuh cie cie itu, tapi cie cie itu terus menepis dan menghindar, sambil melihat sekelilingnya dengan wajah cemas.
Gilanya, orang itu tiba tiba dengan ganas melumat bibir cie cie itu, yang kelihatan meronta ronta dan berusaha melepaskan diri. Tepat ketika cie cie itu berhasil melepaskan diri dan berusaha menjauh, orang itu menangkap pergelangan tangan cie cie itu dan menariknya masuk ke kamar mandi, membuatku semakin terbelalak. “El, kenapa?”, tanya Sherly padaku. “Oh.. nggak apa apa Sher, aku cuma teringat kalo handphoneku ada di mobil”, aku mencari alasan, mencoba menutupi kekagetanku tadi.
“Ooo.. hihi kamu kalo bingung lucu deh. Oh iya El, ini, nanti tolong kamu berikan pada Jenny ya”, kata Sherly sambil memberikan sebuah album foto padaku. “Boleh kulihat Sher?”, tanyaku antusias. “Boleh aja kok El”, jawabnya sambil tersenyum. Aku melihat lihat sebentar, ternyata album foto liburan perpisahan kelas I mereka dulu. “OK deh Sher, tapi mungkin aku baru ketemu Jenny besok Senin ya”, kataku sambil memasukkan album itu dalam tasku.
“Thanks ya El”, Sherly tiba tiba memelukku dari belakang dengan erat. Awalnya aku hanya tersenyum, tapi cukup lama Sherly tak melepaskan pelukannya yang malah makin erat ini, hingga membuatku bertanya tanya. Ketika aku mencoba bergerak, Sherly tiba tiba meremasi kedua payudaraku dengan lembut. “Sher? Apa yang kamu lakukan..?”, tanyaku lemah, sambil berusaha melepaskan diriku. Sherly tak menjawab, malah menarikku ke tempat tidur hingga kami berdua terjatuh terguling ke atas ranjang.
Celakanya, kini Sherly sudah menindihku. Tatapan mata Sherly yang sayu membuatku makin tegang dan aku mencoba menyadarkannya, “Sherly.. sadar Sher, aku.. mmphh”. Sherly sudah melumat bibirku dengan penuh nafsu. Aku seperti tersengat listrik, dan jantungku berdetak kencang. Aku makin tak tahu harus berbuat apa, bahkan entah kenapa aku tak mampu menggerakkan tanganku. Kini bahkan Sherly menyibakkan rambutku, dan mulai menciumi leherku.
“Oh… Sher.. aku…ssshh”, aku mendesah tak karuan, tubuhku rasanya panas dingin. “Sher.. jangan begini Sher.. aku… ooooh”, tubuhku menggeliat lemah ketika Sherly terus merangsangku. Oh.. ini tidak benar, aku tak boleh larut dalam cumbuan Sherly. Tapi entah kenapa aku tak mampu berbuat apapun, hanya bisa meremasi sprei dengan kedua telapak tanganku, menahan rangsangan yang bertubi tubi ini sementara Sherly terus mencumbuiku dengan bernafsu.
Setelah kira kira 5 menit Sherly menggumuliku, akhirnya aku hanya bisa menyerah. Kubiarkan Sherly berbuat sesuka hatinya. Pikiranku sudah melayang layang. Desahan Sherly makin mengacaukanku, akhirnya tanpa kusadari aku membalas pagutan Sherly pada bibirku. Aku juga membalas pelukannya, dan tiba tiba saja Sherly menarik rok abu abuku sampai ke atas pinggang.
Aku belum sempat bereaksi ketika dengan cepat tangan Sherly sudah menyusup masuk melewati celana dalamku, dan jari tangannya mencari cari liang vaginaku. “El… kamu… masih perawan nggak..?”, tanya Sherly dengan lembut ketika akhirnya jari tangannya sudah ada di mulut vaginaku. Aku menggeleng lemah, dan tiba tiba aku terbeliak ketika dua jari tangan dari Sherly menusuk liang vaginaku yang sudah basah ini. Pelukanku lepas, kedua tanganku meremas sprei menahan nikmat yang luar biasa ini.
“Oh.. Sher…”, keluhku ketika jari tangan Sherly mulai mengaduk aduk vaginaku. Aku terus menggeliat dalam kepasrahanku, dan tak lama kemudian, aku mulai mengejang, dan adukan jari tangan Sherly pada vaginaku makin menghebat. Beberapa menit kemudian, “Nggghhh.. Sheeer… am… puuunnn…”. Aku melenguh lenguh, cengkeraman tanganku pada sprei makin kuat, sementara tubuhku menggelinjang keenakan. Kurasakan cairan cintaku membanjir keluar, nafasku tersengal sengal dan aku tergolek lemah.
Sherly tersenyum dengan pandangan sayu padaku, dan kini dengan lembut ia mulai melepasi kancing baju seragamku. “Sher.. jangan Sher… Nanti ada yang lihat…”, aku mencoba mengingatkan Sherly supaya ia membatalkan niatnya menelanjangiku, tapi aku sama sekali tak menahannya. “Sudah aku kunci pintunya El..”, kata Sherly dengan nafas memburu. Oh.. memang harus kuakui, tadi itu amatlah nikmat, tapi aku tak mau begini.. ini sudah melewati batas, aku tak mau jadi suka bermain seks dengan sesama…
Untungnya, ketukan pada pintu kamar Sherly menyelamatkanku dari prosesi penelanjangan ini. Keadaanku sudah tak karuan. Kancing bajuku sudah terbuka semua, braku sudah tak karuan letaknya,dan celana dalamku sudah akan ditarik oleh Sherly. “Siapa sih…”, guman Sherly. Tampaknya gairahnya meredup, ia melepaskan diriku, dan setelah sedikit merapikan keadaan dirinya yang awut awutan, Sherly segera menuju ke pintu kamarnya itu.
“Sher… tunggu Sher..”, bisikku. Sherly menoleh ke arahku, dan tersenyum aneh, tapi aku tak memperdulikannya dan aku cepat cepat membetulkan bra dan celana dalamku yang sedikit basah oleh cairan cintaku tadi. Lalu aku mengancingkan baju seragamku yang sudah lecek lecek ini. Demikian juga rok seragamku yang jatuh ke lantai kupakai kembali. Setelah merapikan rambutku ala kadarnya, aku mengambil tas sekolahku, bersiap pamitan pada Sherly, karena tampaknya akan tidak baik buatku kalau aku berlama lama di sini.
Aku menunggu Sherly selesai urusannya dengan cie cie yang mengetuk pintu tadi, yang dari pembicaraan mereka yang kudengar ternyata urusan pembayaran kos. Selagi Sherly menulis sesuatu, cie cie itu berbisik, “Sher, hayo kamu tau nggak siapa yang lagi beruntung ngerjain Monika di kamar mandi..”. Sherly langsung memotong, dengan berbisik bisik pula, “Cie Vivi.. jangan sekarang, ada temenku tuh..”
“Hah?”, bisik cie Vivi itu terkejut. Ia menoleh ke seluruh ruangan dan pandangannya berhenti ke arahku, dan cie Vivi dengan tergagap menyapaku, “Hai, aku Vivi.. kamu siapa”. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum dan menjawabnya, “Hai cie Vivi, aku Eliza, temen sekolahnya Sherly”. Lalu kami berdua terdiam, dari aku sendiri aku tak mau terlalu banyak bertanya tanya, dan cie Vivi sendiri mungkin merasa canggung atau malu karena tadi aku mendengar pembicaraannya dengan Sherly.
Aku sempat memperhatikan cie Vivi ini. Wajahnya cantik khas oriental dan mulus tanpa jerawat, kelihatan sekali sangat terawat. Kulitnya juga putih mulus, badannya ramping ideal, dan rambutnya yang panjang sampai siku tangannya dibiarkannya tergerai indah. Aku berpikir, hal tadi itu, dimana ada cie Monika yang dikerjain di kamar mandi itu, dianggap cie Vivi bukan hal yang luar biasa. Mungkin saja cie Vivi paling tidak juga sudah pernah dikerjain oleh orang yang tadi menarik masuk cie Monika ke kamar mandi itu.
“Ini cie, thanks ya”, kata Sherly yang menyerahkan semacam tanda bukti pembayaran mungkin. “Iya, thanks ya Sher. Eh Eliza, duluan ya.. see you”, katanya sambil tersenyum manis padaku. “Oh iya cie Vivi… see you”, kataku dan membalas senyumannya itu. Waktu cie Vivi baru keluar dari pintu, aku mendengar cie Vivi mengguman, “Ow.. that Eliza.. very beautiful..”. Mukaku rasanya panas, senang juga mendengar pujian dari cie cie yang cantik itu, sehingga aku sempat tersenyum sendiri. “Sher, aku pulang dulu yah”, kataku. “Iya El, ayo aku antar keluar”, kata Sherly. Kini ia sudah terlihat normal dan tak menakutkan seperti tadi. Maka aku mengikuti Sherly keluar.
Kami melewati kamar mandi itu, dan kudengar jelas desahan dari cie Monika dari dalam kamar mandi, membuatku agak canggung juga dan melihat ke Sherly. Sherly juga terlihat agak canggung, dan cepat cepat melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar, tapi tiba tiba aku mendengar dua suara yang mengaduh. Ternyata di pertigaan itu Sherly bertumbukan dengan cie Katherine, yang sedang membawa setumpuk baju yang kelihatannya sudah bersih. Baju baju itu bertebaran ke lantai, dan Sherly langsung membantu memungutinya.
“Sorry cie Katherine, nggak keliatan nih”, kata Sherly. “Nggak apa apa Sher, nggak usah repot repot, biar cie cie ambil sendiri”, kata cie Katherine. Ketika aku juga akan membantu, tiba tiba muncul seorang laki laki yang bertelanjang dada, kira kira umurnya 30 tahunan. Ia juga ikut membungkuk memunguti baju baju cie Katherine, yang dengan halus menolak, “Pak, nggak usah, biar saya sendiri”. Tapi orang itu terus memungut sambil berkata, “Nggak apa apa non, ini kan sudah tugas saya”. Sherly pun terlihat canggung, dan ketika semua baju sudah dipungut, orang itu meminta baju yang ada di tangan Sherly,
“Non Sherly, biar saya yang bawa”. Dengan enggan Sherly memberikan baju itu padanya, dan orang itu mengikuti cie Katherine yang melangkah ke kamarnya. Gilanya, orang itu ikut masuk, dan pintu itu ditutup. Aku sempat melongo melihat kejadian itu, tapi kemudian aku berpikir, lebih baik tak usah bertanya yang macam macam pada Sherly, karena aku semakin merasa banyak yang tak beres di sini. “Aku pulang dulu Sher, see you…”, aku berpamitan pada Sherly. “See you Eliza”, jawab Sherly dengan senyum penuh arti, membuat aku merasa jengah, teringat aku tadi bahkan akhirnya sempat balas memeluk dan mencium Sherly ini.
“Hai Eliza”, sapa seseorang, dan aku segera mengenalnya. “Hai Vera”, aku balas menyapanya. “Tumben kamu ke sini El? Kamu memangnya kenal Sherly?”, tanya Vera padaku. “Oh, iya, aku kebetulan kenal dari Jenny. Ini juga aku tadi abis balikin bukunya Sherly yang dipinjam Jenny”, jawabku. Aku agak terpukau oleh penampilan Vera yang sexy abis ini. Ia mengenakan top tank dan hot pant saja, dan hak sepatu yang tinggi itu membuatnya tampak semakin langsing. Rambutnya sedikit basah, menambah kesexyannya saja.
“Kok buru buru pulang El?”, tanya Vera lagi. “Oh.. aku agak ngantuk Ver, mau cepat cepat istirahat. Ok deh aku pulang dulu Ver, bye bye”, kataku sekalian berpamitan padanya. “Bye bye Eliza”, kata Vera dan ia segera masuk. Aku berjalan ke arah mobilku, kira kira hampir 500 meter dari sini, tapi baru aku berjalan beberapa langkah, sempat kudengar suara laki laki, “Halo non Vera.. apa kabar nih?”.
Dan yang membuatku agak tertegun, suara Vera yang menjawab itu terdengar akrab, “Halo pak Subur. Gimana aku hari ini? Sexy nggak? Cakep nggak?”. Dan kudengar suara yang tadi itu, yang berarti suara pak Subur, “Non Vera sih selalu cakep, cuma hari ini memang non Vera sexy. Sudah kangen sama kita ya, sudah hampir sebulan lho non nggak ke sini”. Vera tertawa, tawa yang membuatku makin risih, “Ah bapak, nggak cuma saya kali yang kangen sama bapak bapak, kalian pasti juga pada kangen sama saya kan?”
Ya ampun… Vera sampai bisa seakrab itu dengan pembantu di kos kosan ini? Jangan jangan Vera sudah biasa diperlakukan seperti beberapa cie cie yang kos di sini ini. Sambil terus berjalan kea rah mobilku, aku melamunkan Vera. Tiba tiba dikejutkan oleh benda keras yang menempel di perutku. “Jangan teriak, dan jangan macam macam kalo elo mau selamat!”, kudengar suara, bukan suara orang dewasa. Aku menoleh, dan jantungku serasa berhenti ketika aku mengenali penodongku. Ia adalah anak SMP yang tadi itu.
Sebuah sepeda motor yang dikendarai seseorang, laki laki tentunya, karena ia bercelana panjang abu abu, dan baju aatasannya baju seragam sekolah. Aku tak bisa melihat wajahnya karena ia mengenakan helm yang ada kacanya itu, tapi bisa aku pastikan, anak yang masih SMA ataupun STM itu, adalah paling tidak teman dari anak SMP ini. Jadi tak mungkin aku mengharapkan pertolongan apapun dari dia, dan dengan keadaan jalan yang sepi ini, bisa dikatakan aku tak ada harapan lagi untuk lolos dari mereka.
Ketika sepeda motor itu sudah berhenti di samping kami, aku gemetar ketakutan. “Naik!”, bentak anak SMP itu. “Iya..”, kataku dengan tak yakin. Aku melangkah ke sepeda motor itu dengan panik, dan agak bingung bagaimana menaikinya. Selama ini aku tak pernah menaiki sepeda motor, dan aku menjerit kecil ketika tiba tiba anak SMP itu menaikkan rokku sampai ke pinggang hingga celana dalamku pasti kelihatan. Tapi kurasakan tekanan pisau itu makin keras, dan aku takut sekali kalau sampai pisau itu melukaiku.
“Ayo cepaaat”, bentak pengendara sepeda motor itu, dan aku tanpa berani membantah, mencoba menaiki sadel belakang sepeda motor itu. Memang dengan rok yang sudah terangkat sampai ke pinggang ini, menjadikanku lebih mudah naik ke sadel sepeda motor itu. Setelah aku berhasil duduk, mendadak kurasakan badanku tertekan ke depan, rupanya anak SMP itu ikut naik di belakangku juga, sehingga sekarang aku terjepit di antara dua orang ini.
Sepeda motor itu melaju, entah akan membawaku ke mana. Tapi aku sudah tahu aku akan mengalami nasib buruk. Sekarang saja, anak SMP itu sudah meremasi kedua payudaraku dari belakang. Teringat pisau tadi, aku hanya bisa diam saja, tak berani melawan, selain itu aku takut jatuh dari sepeda motor ini. Dan ternyata mereka berhenti di sebuah rumah kosong yang tak jauh dari tempat aku memarkirkan mobilku tadi. Aku mulai membayangkan, akan seburuk apa nasibku hari ini…
Aku tercekat melihat sudah ada delapan anak yang bahkan masih berseragam putih biru, yang sudah menunggu di tempat itu. Ya ampun, masa aku akan digangbang anak anak yang masih SMP ini? Rupanya mereka sudah merencanakan ini semua. Mereka yang sudah menunggu di tempat ini bersorak ketika melihatku yang sudah menjadi tawanan ini.
“Wah gile Rud, loe beneran bisa dapet amoy abu abu nih, hebat juga loe!”, kata salah seorang dari mereka. Sialan, aku dikatakan amoy abu abu. Mereka ini benar benar kurang ajar. Tapi aku hanya bisa menahan rasa jengkel meskipun dilecehkan seperti ini, toh apa yang bisa kulakukan? Pujian bahwa diriku cantik tadi sama sekali tak membuatku senang, malah membuatku mengutuki nasibku yang malang ini. yang entah disebabkan wajahku yang cantik atau karena tadi aku menolong Johan itu.
“Iya dong Sul, bukan Rudi namanya kalo gak bisa”, kata anak SMP yang masih saja menggerayangiku ini dengan nada bangga. “Tapi loe tadi gagal gara gara amoy cakep ini Rud hahaha…”, salah seorang dari mereka tertawa keras, dan tiba tiba kurasakan remasan yang amat kasar pada kedua payudaraku oleh Rudi ini, membuatku menggeliat dah mengaduh. “Aduh.. sakit…”, aku mengeluh.
“Eh gila.. memang bener loe Rud, cakep abis nih amoy! Seleramu tinggi juga Rud”, kata seorang lagi yang memandangiku seolah ingin menelanjangiku. “Iya bener Har, asli cakep”… “Bening lagi”… “Ayo cepet bawa ke tengah sini”.. “Balas dendam Rud”.. “Nggak sia sia juga kita kita menunggu dari tadi”.. Demikian seruan seruan yang kudengar, selain itu tentu saja tawa kegirangan dan tawa yang melecehkan.
“Turun!”, bentak pengendara sepeda motor itu setelah membuka helmnya. Begitu aku turun, anak SMP yang ternyata namanya Rudi ini segera menyeretku ke arah teman temannya yang tertawa tawa. Aku hanya bisa mempercepat langkahku supaya tak jatuh terseret oleh Rudi ini, dan berikutnya aku sudah berada di tengah kerumunan mereka, sembilan anak SMP yang melihatku dengan pandangan penuh nafsu.
“Jangan… tolong lepaskan aku”, aku mulai mencoba memohon pada mereka. “Kalian mau uang kan? Kalian boleh ambil uangku, kalian boleh minta berapa saja, tapi tolong lepaskan aku”, kataku lagi, mencoba menawarkan kompensasi pada mereka supaya aku dibebaskan. Aku berharap semoga saja mereka bisa berubah pikiran.
“Jangan mimpi loe!”, bentak Rudi. “Gue gak butuh duit. Berani beraninya gangguin acara gue tadi, loe nurunin harga diri gue. Gue diketawain sama mereka ini karena gak berhasil dapetin duit dari anak tadi. Sekarang gue mau loe bayar pake tubuh loe! Pake harga diri loe! Loe harus puasin kami semua!”, Rudi berkata sambil memandangiku, entah dengan penuh kemarahan atau penuh nafsu birahi, yang jelas pandangannya itu amat menakutkanku.
Aku bergidik menyadari keadaanku sekarang ini. Mereka makin mendekat, dan aku hanya pasrah ketika tiba tiba tanganku sudah terentang, kedua pergelangan tanganku dipegangi oleh orang di kanan kiriku. Seseorang dari mereka mendekapku dari belakang, menghirupi rambutku yang tergerai bebas dengan nafasnya memburu, kurasakan sekali kalau ia begitu bernafsu. Dua dari mereka, yang tadi sekilas kutahu namanya Sul dan Har itu, mendekat dan meremasi kedua payudaraku.
Mendapat perlakuan seperti ini, aku semakin lemas, tubuhku rasanya panas dingin. Apalagi ketika orang yang mendekapku dari belakang itu menyibakkan rambutku, dan menciumi leherku dengan nafas memburu. Kini keadaanku sudah tak jauh beda dengan waktu aku dipermainkan Sherly tadi. Aku memejamkan mata dan menyerah pasrah, membiarkan sembilan anak SMP ini berbuat apa saja yang mereka inginkan terhadap tubuhku.
“Siapa namamu, amoy cantik?”, tanya salah seorang dari mereka. “Aku.. aku Eliza..”, jawabku lemah. “Kelas berapa sekarang di sekolah, amoy sayang?”, aku mendapat pertanyaan lagi. “Aku… kelas dua…sss”, jawabku sambil mendesis, ketika kurasakan banyak sekali telapak tangan yang merabai pahaku. “Kami juga kelas dua non amoy, tapi dua SMP.. hahaha”, ejek salah seorang lagi.
“Enak ya non? Suka ya main rame rame gini?”, entah siapa lagi yang bertanya, aku tak tahu karena aku sedang memejamkan mataku, dan dera kenikmatan yang melanda tubuhku ini makin bertambah ketika kurasakan kedua payudaraku kembali diremas lembut entah oleh siapa, dan mendatangkan perasaan nikmat yang amat sangat yang menjalari sekujur tubuhku.
“Aku… aku… nngghhh…”, aku tak tahu harus menjawab apa, dan malah melenguh menahan nikmat ketika kurasakan sebuah tangan menyusup masuk ke celana dalamku dan dengan cepat vaginaku sudah ditusuk dan diaduk aduk oleh jari tangan itu, membuat kakiku mengejang, jelas sekali aku sedang dilanda kenikmatan. Kudengar sorakan norak dan beberapa dari mereka menirukan lenguhanku, bersahut sahutan. Mukaku rasanya panas dilecehkan seperti ini, tapi aku tahu penderitaanku baru akan dimulai.
“Lho, non Eliza, ternyata celdam punya loe ini sudah basah dari tadi”, kudengar suara Rudi. Aku membuka mataku, dan memang ternyata Rudi yang sedang mengaduk aduk vaginaku. “Wah kita keduluan nih, amoy kita yang cakep ini di dalam kos kosan tadi sudah ada yang nggarap.. basah amat nih memeknya”, kata Rudi pada teman temannya. Kembali kudengar sorakan bernada melecehkan dari teman temannya.
Selagi jarinya mengaduk makin dalam, seolah hendak mengorek seluruh cairan cintaku, Rudi kembali melecehkanku, “Sama berapa orang tadi di sana, amoy cantik?”. Aku diam saja, sekali ini aku amat malu. “Ditanya kok diam saja? Jawab!!”, bentak Rudi, membuatku amat terkejut dan ketakutan, sehingga aku terpaksa menjawab, “Satu.. orang”. Terdengar tawa melecehkan di sekelilingku.
Aku hanya bisa menahan malu ini, sementara Rudi terus mengaduk aduk vaginaku dengan kejam. Rasanya amat sakit walaupun memang bercampur sedikit nikmat. “Loe baru lawan satu orang sudah basah gini, gue kok jadi pingin liat, loe lawan kami bersembilan nanti bakal basah kayak gimana”, kata Rudi dengan nada yang melecehkanku juga. Membayangkan diriku akan digangbang mereka bersembilan yang baru kelas dua SMP ini, entah kenapa, perasaanku seperti tersengat listrik.
Dipermalukan seperti itu, entah kenapa kurasakan adukan Rudi pada vaginaku tak terasa begitu sakit lagi, dan nikmatnya makin menjadi jadi. Walaupun aku berusaha bertahan supaya tak terlihat murahan di depan mereka, tapi lama kelamaan nikmat yang menderaku membuat aku tak bisa menahan diri lagi, tubuhku menggeliat hebat dan aku terus melenguh tanpa bisa kutahan, “Nggghhh.. ooohh… nggghhh….”
Kalau saja mereka tidak menahan tubuhku, aku yang sedang orgasme waktu sedang berdiri seperti ini, pasti sudah terjatuh. Sekarang ini aku merasa amat lemas, dan tak ada perlawanan apapun dariku ketika Rudi merenggut robek celana dalamku, juga ketika Sul dan Har merenggut baju seragamku hingga semua kancingnya putus dan terjatuh semua ke lantai, dan mereka tertawa tawa melihat kepanikanku.
Untungnya baju seragamku tak sampai robek. Baju seragamku lalu ditarik mereka ke atas hingga kedua tangankku terangkat. Akhirnya baju seragamku terlepas seluruhnya dari tubuhku. Tak lama kemudian braku juga direnggut putus, hingga kini aku tinggal mengenakan rok seragamku. Aku reflek menutup kedua payudaraku dengan kedua telapak tanganku, tapi aku malah makin dilecehkan mereka.
“Gak usah ditutup non, nanti semua pasti kebagian nyusu”, ejek Sul. “Tarik roknya. Kalo masih sok sokan nutupin teteknya, robek saja sekalian roknya”, perintah Rudi pada teman temannya.Aku terpaksa menurunkan tanganku, membiarkan payudaraku jadi tontonan sembilan orang ini. Tanpa perlawanan aku membiarkan rok seragamku dilucuti hingga jatuh ke bawah, dan aku melangkahkan kakiku ke belakang hingga mereka bisa mengambil rok seragamku itu.
Maka prosesi penelanjangan terhadap diriku sudah selesai, kini tinggal kaus kaki dan sepatu yang masih melekat di kakiku, sedangkan tubuhku dari lutut ke atas sudah tersaji polos di depan mereka. Mereka melempar lemparkan semua bagian pakaianku ke pojok ruangan ini, juga tas sekolahku. Tiba tiba aku teringat, tadi aku dibawa ke sini oleh anak SMA yang bersama Rudi tadi. Sekilas aku mencoba mencari dengan melayangkan pandanganku ke arah tadi pertama aku dibawa ke sini.
Setelah aku tak menemukan anak SMA itu, juga sepeda motornya, aku jadi berpikir, kemana dia, kok tidak ikut dengan sembilan anak SMP yang sedang asyik mempermainkanku ini? Ketika aku tersadar dari lamunanku, kesembilan anak SMP ini sudah telanjang semuanya. “Ok Rud, silakan loe yang pertama”, kata Sul. Rudi segera mendekatiku, dan aku sempat melihat penisnya yang ternyata sudah ereksi itu.
Tak terlalu panjang, mungkin hanya 12 cm. Diameternya pun cuma di kisaran 3 cm. Penis itu sudah tegak mengacung ke atas. Rudi ini tingginya sekitar 160 cm, sedikit lebih tinggi dariku yang memakai sepatu ini. Wajahnya hancur hancuran, agak bopeng, dan bau badannya agak tak enak. Aku harus bersiap, karena penderitaanku akan segera dimulai. Aku berusaha membiasakan diri dengan bau itu.
“Kalau sama amoy yang kayak gini, kita kita gak perlu pakai kondom seperti kalo lagi di Dolly. Gak perlu kuatir ketularan apa apa, dan pasti lebih enak tanpa kondom kan teman teman?”, kata Rudi sambil membelai rambutku. “Akuuur…”, mereka menjawab dengan senangnya. Sial deh, aku harus menyiapkan vaginaku untuk menampung semprotan sperma mereka semua. Aku tahu pasti, perkosaan ini tak akan hanya berjalan satu ronde saja.
Tapi aku berpikir, oh.. untung juga. Paling tidak meskipun selama ini mereka sudah pernah main di tempat pelacuran itu, tapi ternyata mereka menggunakan kondom waktu bersetubuh dengan PSK. Jadi paling tidak aku tak perlu kuatir dengan kemungkinan tertular penyakit kelamin, dan ini membuatku sedikit tenang. Tapi ada yang membuatku heran. Rudi yang sejak tadi bersikap kasar dan bengis, entah kenapa sekarang berubah lembut.
Rudi terus membelai rambutku dengan lembut, dan melihatku dengan tatapan aneh. Perlahan ia memelukku, dan kemudian mengecup bibirku dengan lembut. Aku diam saja, tak tahu harus bagaimana. Rudi terus mencumbuiku, menciumi bibirku, dan akhirnya ia melesakkan lidahnya ke dalam mulutku dan bibirku dipagutnya dengan ganas. Aku gelagapan, air liur Rudi terus membanjir masuk ke dalam mulutku, hingga mau tak mau aku terpaksa mengesampingkan rasa jijik dan menelannya kalau tak mau tersedak.
Lidahku dan lidah Rudi bersentuhan sesaat, dan Rudi ini, entah belajar dari mana, ia benar benar menaklukan aku sekarang ini, membuatku bereaksi di luar kesadaranku. Aku melingkarkan tanganku di lehernya, dan membalas permainan lidahnya. Kami seperti sepasang kekasih saja, hingga semuanya menggerutu dengan nada iri, “Rud, jangan lama lama!”. “Kami juga mau”. “Kapan giliran kami semua?”.
Rudi menghentikan cumbuannya padaku, hingga aku membuka mataku. “Oh.. kamu cantik banget..”, guman Rudi, membuatku tesipu malu dan memalingkan wajahku. “Sul, Har, Bantu aku”, Rudi memanggil mereka. Setelah mereka mendekat, Rudi menyuruh mereka berdiri di kedua sisiku, kemudian Rudi mulai mengatur, tangan kananku dilingkarkan di leher Sul, sedangkan tangan kiriku dilingkarkan di leher Har.
“Sekarang, angkat pahanya amoy ini, bikin yang lebar!”, kembali Rudi memerintah mereka. Tampaknya Rudi ini ketua gerombolan anak SMP yang bejat ini. Kini aku sudah dalam posisi yang tak berdaya, dimana kedua tanganku yang melingkar di leher Sul dan Har itu tak mungkin kulepas kalau aku tak ingin jatuh. Sedangkan kedua pahaku sudah terangkat dalam posisi melebar, hingga vaginaku sekarang sudah tersaji sempurna untuk Rudi, dan wajahku yang panas ini sama sekali tak bisa kusembunyikan.
Sul dan Har yang memegangi kedua pahaku dengan satu tangannya, menggunakan tangan mereka yang satunya, meremasi payudaraku. Selagi aku menggeliat lemah, Rudi mendekatiku. Aku agak tenang, mereka ternyata tak sekasar yang kuduga. Saat aku mempersiapkan vaginaku untuk menelan penis si Rudi ini, tak kuduga, Rudi berjongkok, dan kepalanya didekatkan ke vaginaku. Rudi mulai menjilati vaginaku yang pasti masih berlumur cairan cintaku.
“Ssshh.. ooooh…”, aku mendesah dan mengerang, kurasakan nikmat yang luar biasa saat cairan cintaku diseruput habis dan vaginaku disedot sedot oleh Rudi. Nafasku mulai tak beraturan, dan aku memandang Rudi dengan sayu, penuh harap ia akan segera memulai semua ini. Tapi dasar anak SMP, mana dia tahu aku sudah amat terangsang seperti ini? Aku juga tak bisa memintanya, bagiamanapun juga, aku tak ingin terlihat murahan di depan mereka.
Rudi masih terus mempermainkan vaginaku, kali ini dengan lidahnya. Aku memejamkan mataku, nyaris tak kuasa menahan gairahku ketika lidah itu melesak lesak ke bagian luar dari liang vaginaku. Tubuhku bergetar kecil, dan nafasku makin tersengal sengal. Sul dan Har tertawa mengejek melihat keadaanku, tapi aku sudah tak mampu mengontrol diriku, bahkan aku mencoba menggerak gerakkan pinggulku, mencoba mencari kepuasanku sendiri saat lidah Rudi terus mengaduk liang vaginaku.
Selagi aku dalam keadaan terangsang hebat seperti ini, tiba tiba kurasakan rambutku disibakkan dari belakang, dan kembali aku merasakan leherku dicium dengan lembut. Oh, kini aku sudah di ambang batas orgasme, dan aku mati matian bertahan supaya tidak cepat cepat orgasme. Setiap kali aku orgasme, itu berarti menguras staminaku, sementara aku kan masih harus melayani delapan orang lagi, dan juga entah berapa ronde lagi yang harus kulalui untuk memuaskan mereka bersembilan ini…
Tapi apa daya, dirangsang di beberapa tempat sekaligus, mulai dari ciuman pada leherku, belaian pada rambutku, remasan lembut pada payudaraku, dan adukan lidah Rudi pada vaginaku, akhirnya aku bobol juga. “Ngghhh.. nggghhh… auuugghh…”, aku melenguh dan mengerang, dan kudengar kembali suara menyeruput, kini memang cairan cintaku yang membanjir itu sedang diseruput habis oleh Rudi. Terdengar suara seperti orang yang menyeruput minuman yang hampir habis, dan ini amat membangkitkan gairahku.
Setelah beberapa detik tubuhku mengejang ngejang, akhirnya aku terkulai lemas. Kembali aku memandang Rudi dengan sayu, berharap ia mengerti keinginanku sekarang ini. Aku menjadi sedikit senang sekaligus tegang, saat Rudi tiba tiba berdiri, dan mengocok penisnya sebentar. Oh akhirnya ia akan memulai semua ini. Benar saja, sesaat kemudian, ia menggesek gesekkan kepala penisnya pada bibir vaginaku, dan ia mentatapku dengan pandangan yang aneh, kurasakan ia sedang amat bernafsu.
“Eliza… aku masukin sekarang ya”, ia bahkan sudah tak memanggilku non atau amoy, ia memanggil namaku begitu saja. Apakah ia jatuh cinta padaku? Yang benar saja, dia kan masih kelas dua SMP? Apa yang dia tahu soal cinta? Lagipula, mimpi kali dia. Mana mungkin aku mau membalas cintanya? Sekarang ini aku hanya terbakar nafsu dalam kepasrahanku, bukan karena yang lain. Tapi aku tak mengubah sikapku, aku hanya menatap sayu dan berbisik lemah, “Terserah kamu..”.
Perlahan Rudi melesakkan penisnya yang mulai membelah liang vaginaku. Sorakan dan ejekan teman teman Rudi sudah tak terdengar lagi, semua memperhatikan prosesi menyatunya tubuh kami berdua ini. Walaupun penis itu kecil, tetap saja ada sensasi tersendiri yang kurasakan ketika penis itu sudah tertelan seluruhnya di vaginaku. “Ngghh..”, aku melenguh pelan. “Enak ya, Eliza?’, tanya Rudi padaku, tapi sudah tak ada nada yang melecehkan seperti sebelum sebelumnya.
Aku mengangguk lemah, dan memejamkan mataku dan menunduk, rasanya malu juga tadi aku mengangguk begitu saja. Rudi mengangkat daguku, kemudian mencium bibirku, kurasakan kemesraan dalam ciuman itu. Aku mulai melayaninya, membalas ciumannya. Rudi pun juga mulai menggerakkan tubuhnya perlahan, hingga penisnya mulai menggesek gesek liang vaginaku. Rasanya nikmat sekali, sedangkan sakit yang kurasakan sangat sedikit, bahkan bisa dikatakan nyaris tak ada.
Hal ini mungkin karena aku sudah terbiasa dengan rasa sakit yang terjadi saat vaginaku menelan penis yang jauh lebih besar dan panjang dari penis anak SMP ini, walaupun harus kuakui penis Rudi ini amat keras, nyaris sekeras milik Wawan, pembantu di rumahku. Sementara itu, bagian tubuhku yang lain mulai menerima rangsangan kembali, membuat aku semakin tenggelam dalam nafsu birahi. “Oh.. seretnya memekmu.. Elizaaa…”, erang Rudi. “Oooh… enaknyaa..”, Rudi mulai meracau.
Aku cuma bisa mendesah dan mengerang lemah saat penis Rudi makin cepat mengaduk aduk vaginaku. Kudengar Rudi sendiri terus mengerang, dan erangannya itu makin keras. Tampaknya ia akan orgasme sebentar lagi. Benar saja, beberapa saat kemudian, penisnya berkedut dalam vaginaku, dan ia mengerang keras, “Oooh.. Elizaaa… aku keluarkaan.. di dalam yaaah…”. Berkata begitu, ia menyodokkan penisnya dalam dalam, dan sekali lagi ia mengerang panjang, mengiringi semburan spermanya ke dalam vaginaku.
Dasar, perlu apa dia tadi seolah minta ijin untuk mengeluarkan benihnya di dalam rahimku? Toh baru saja dia selesai bicara, spermanya sudah menyemprot deras membasahi relung vaginaku. Untung saja, tadi pagi aku sudah minum obat anti hamil, kalau tidak, amit amit deh harus hamil oleh benih anak SMP yang mukanya agak parah ini. Memang sejak aku jadi budak seks pak Arifin, Wawan dan Suwito di rumah, aku jadi rutin minum obat anti hamil di masa suburku, karena aku tak mau dihamili oleh mereka.
Rudi yang sudah mendapat jatahnya menikmati tubuhku, kini menarik lepas penisnya dari vaginaku. Aku tidak mengalami orgasme kali ini, tadi Rudi hanya menggenjotku tak sampai 5 menit. Mungkin karena ia sudah terangsang sejak dari awal ia meremasi payudaraku di sepeda motor tadi. Sul dan Har meletakkanku di atas selembar tikar butut, dan mereka bersama 6 rekannya itu berunding, pastinya menentukan siapa yang beruntung mendapat giliran selanjutnya untuk menikmati tubuhku ini.
Kini aku berbaring telentang di atas tikar butut ini. Selagi mereka berunding, Rudi mendekatkan penisnya ke mulutku. Aku tahu apa keinginannya, dan aku segera mengulum penis itu, memainkan lidahku menyapu seluruh lingkar penisnya, membuat Rudi mengerang ngerang keenakan. Kubersihkan seluruh sisa sperma yang bercampur cairan cintaku dari penis itu, sampai penis itu benar benar mengecil.
Rudi bergerak sedikit menjauh dariku, dan kini ia hanya diam saja, memandangiku dengan tatapan aneh. Dia sama sekali tak menyinggung tentang keperawananku. Aku makin yakin, Rudi ini tiba tiba sudah jatuh hati padaku. Aku berpikir untuk mempermainkannya, toh dia juga menyakitiku dengan membuatku menjadi budak seks dirinya dan teman temannya ini. Aku balas menatapnya dengan sayu, seolah aku amat menginginkannya, sampai ia mengalihkan tatapan matanya dariku, kulihat jelas ia tersenyum jengah. Dalam hati aku menertawakannya, mimpi kali aku bakal jatuh cinta sama orang seperti dia?
Tiba tiba kudengar suara, “Permisi Eliza, aku Darso. Aku mau nyobain memekmu ya”. Aku menoleh, dan kulihat Darso sudah berancang ancang menerjangkan penisnya ke dalam vaginaku. Dasar, mau memperkosaku saja pakai permisi segala. Biar aku nggak mengijinkan pun dia pasti tetap akan memaksaku melayaninya juga. Aku sempat memperhatikan penis itu, ternyata nyaris serupa ukurannya dengan milik Rudi. “Ssssh…”, aku mendesah ketika lagi lagi liang vaginaku harus menelan sebatang penis.
Perlahan Darso menggenjotku, dan makin lama makin cepat. Aku pasrah saja, membiarkan ia menikmati remasan otot liang vaginaku pada batang penisnya, dan aku merasa tak ada salahnya kalau aku menikmati saat saat vaginaku diaduk aduk seperti ini, toh percuma juga aku melakukan perlawanan. Daripada aku merasa menderita, lebih baik aku menerima semua ini dan kalau perlu menikmatinya.
Aku mulai memperhatikan wajah Darso ini, dan menurutku termasuk tak penting untuk dilihat. Memang ia tak bopeng, tapi udah deh, benar benar jelek. Untungnya Darso melakukan ini dengan terburu buru, ia tak mencumbuku sama sekali, keliatannya ia hanya sekedar ingin memuaskan dirinya saja. Baru beberapa menit, Darso sudah mulai mendengus dengus, dan kurasakan penis Darso sudah berkedut kedut. “Oooh… enaaak”, erangnya saat penisnya menyemburkan sperma berulang ulang membasahi vaginaku.
Darso langsung mencabut penisnya dari vaginaku, dan aku belum sempat berbuat apa apa ketika Sul mengambil gilirannya, tanpa ba bi bu ia langsung menerjangkan penisnya ke liang vaginaku. Aku sedikit terhenyak, kurasakan penis Sul ini agak panjang. Tak tahu berapa panjangnya, tapi pasti lebih panjang dari Rudi ataupun Darso. Aku menggeliat lemah, dan Sul tersenyum bangga melihatku bereaksi atas sodokannya, berbeda dengan serangan Darso tadi yang menurutku termasuk ringan ringan saja.
Sul merendahkan badannya, hingga ia bisa mengecup bibirku sambil menyetubuhiku. Aku memejamkan mataku, mencoba menikmatinya. “Eliza.. namaku Syamsul…”, bisiknya. Aku tak bereaksi, hanya sesekali menggeliat ketika tusukan penis Syamsul ini membuatku keenakan. “Enak ya.. Eliza?”, bisiknya lagi. Aku membuka mataku, mengangguk lemah. Kini kenikmatan sudah menderaku, membuatku tak bisa berpikir jernih lagi. Ketika ia mengecup bibirku, aku membalas ciumannya tanpa diminta.
Syamsul terus menyetubuhiku, sekali ini aku merasakan persetubuhan yang cukup lama. Mungkin sudah lebih dari 10 menit. Selama itu Syamsul tak henti hentinya mencumbuiku, kurasakan ia begitu mesra. Meskipun aku merasa hal ini aneh dan lucu, tapi aku pikir ada untungnya juga. Setidaknya kalau mereka semua begini, aku mungkin tak akan mendapatkan perlakuan kasar dari mereka, padahal tadi waktu pertama aku dikerumuni dan dibentak bentak serta dilecehkan oleh mereka, aku merasa amat takut.
Mungkin karena sudah cukup lama digenjot, kini kurasakan vaginaku mulai berdenyut denyut, jantungku mulai berdetak lebih cepat, dan nafasku juga mulai memburu. Remasan lembut pada payudaraku yang dilakukan Syamsul membuatku makin merasa melayang ke awang awang, dan aku merintih perlahan, “Oooh…”. Syamsul berbisik di telingaku, “Sakit ya Eliza?”. Aku spontan menggeleng lemah, mataku kembali kupejamkan erat erat, aku berusaha menikmati semua ini.
Kini ganti leherku yang diserang Syamsul dengan kecupannya, sedangkan genjotannya pada vaginaku tidak kendur sama sekali, membuatku menggelinjang tak karuan. Ketika Syamsul menarikku duduk di pangkuannya, penisnya menancap makin dalam ke liang vaginaku. Tanpa ampun lagi aku melenguh lenguh, “Ngghhhh… oooooh…. Ampuuuun”. Tubuhku berkelojotan, kakiku melejang lejang, sungguh aku nyaris tak kuat menahan kenikmatan ini, tubuhku rasanya hampir meledak oleh nafsu birahi ini.
Tapi Syamsul belum selesai. Selagi aku melingkarkan tanganku memeluk lehernya, ia terus menggenjot vaginaku. Gejolak orgasmeku belum selesai ketika Syamsul kembali mengecup bibirku, dan mendadak aku balas memagutnya dengan ganas, hingga Syamsul kewalahan dan roboh. Kini aku yang menindihnya, dan aku menaik turunkan tubuhku sendiri supaya liang vaginaku terus diaduk oleh penisnya Syamsul.
Membayangkan aku masih harus melayani lima orang lagi, aku malah makin liar meliuk liukkan tubuhku, mengendarai penisnya Syamsul yang kini mulai mengerang keenakan. Rupanya ia tak tahan juga, tak lama kemudian kurasakan penisnya berkedut kedut, tubuhnya bergetar getar dan seiring dengan erangan panjang dari Syamsul, kurasakan semprotan sperma dari penis Syamsul yang bertubi tubi, membuat vaginaku terasa hangat dan nyaman.
“Plop…”, demikian bunyi yang kudengar ketika aku mengangkat tubuhku sampai penis Syamsul terlepas dari vaginaku. Begitu aku tiduran, sudah ada teman Rudi yang mengambil posisi di selangkanganku, dan aku hanya bisa membuka pahaku lebar lebar, bersiap menerima sodokan pada liang vaginaku. “Hai Eliza, aku Rangga..”, katanya sambil membenamkan penisnya ke dalam liang vaginaku. Aku tak bereaksi, dan Rangga ini mulai menggenjot liang vaginaku dengan cepat.
Aku diam saja, mencoba menghemat tenagaku, kurasakan penis yang sedang menerjang vaginaku ini ukurannya termasuk kecil, harusnya lebih kecil dari punya Rudi. Masuk akal, karena memang Rangga ini tubuhnya pendek, lebih pendek dariku. Kini baru aku merasa disetubuhi oleh anak kecil, membuatku geli juga. Rangga terlihat keenakan selagi menggenjot vaginaku, matanya merem melek dan ia mulai meracau penuh kenikmatan, “Ohhh.. Elizaa… memekmu kok bisa enaak ginii…”.
Aku tak memperdulikannya. Memang aku merasakan penisnya lagi menyodok vaginaku dengan cepat, tapi mungkin karena ukurannya kecil, aku tak begitu terpengaruh. Kini aku kembali mencoba menggoda Rudi. Aku menatapnya sayu, seolah aku sedang menginginkannya. Dalam hati aku kembali tertawa melihat Rudi salah tingkah, ia tak kuat membalas tatapanku. Tiba tiba kudengar Rangga mengerang dan begitu penisnya berkedut, kurasakan kembali vaginaku harus menelan sperma, yang kali ini dari Rangga.
Ketika Rangga mencabut penisnya, kulihat memang termasuk pendek, kira kira tak sampai 10 cm, diameternya juga kecil, mungkin 2 cm lebih sedikit. Geli juga aku melihatnya, pantas saja aku tak terlalu merasakan rangsangan pada vaginaku tadi sewaktu aku disetubuhinya. Lagi lagi tanpa memberiku kesempatan untuk beristirahat, sudah ada lagi yang mengantri vaginaku. “Eliza.. aku Hendra”, seperti mereka yang sebelumnya menyetubuhiku, Hendra memperkenalkan dirinya.
Kali ini aku sempat melihat penisnya, dan aku kembali harus menahan geli. Hendra ini tubuhnya kecil, penisnya juga kecil. Mungkin cuma sekitar 9 cm panjangnya, dan diameternya pun tak lebih besar dari punya Rangga. Kembali aku hanya pura pura bereaksi ketika penisnya tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku. Tapi kemudian aku hanya diam, kubiarkan Hendra mencari kepuasannya sendiri. Dan memang sebenarnya Hendra sedang menggenjotku dengan sangat bernafsu, tapi aku tak begitu terpengaruh.
Aku berpikir, enak saja mereka stirahat. Kalau satu satu begini, memangnya mereka mau memperkosaku sampai berapa lama? “Rud, sini dong”, aku memanggilnya dengan suara yang kumanja manjakan. Rudi dengan disoraki temannya, berdiri dan berjalan medekat ke arahku. “Ada apa?”, tanyanya dengan ragu. “Aku mau oralin kamu… boleh ya?”, kataku sambil mencoba meraih penisnya. Rudi tertegun sejenak, tapi ia berlutut di sebelah kanan kepalaku, memberikan kesempatan padaku untuk mulai mengulumi penisnya.
Aku memperhatikan teman temannya yang lain, kulihat mereka memandang kami dengan tatapan iri. “Eliza, aku juga mau”. “Aku juga”. Mereka semua seperti anak kecil yang berebut es krim saja. Dengan suara yang lagi lagi kumanja manjakan, aku berkata, “Iya, tapi antri satu satu yah”. Lalu penis Rudi segera kulahap, aku mulai melakukan kuluman dan sedotan, selain itu aku juga memberikan gigitan kecil pada penis itu, membuat Rudi mengerang keenakan dan penisnya langsung ereksi sempurna.
Aku melakukan oral ini dengan bersemangat, berharap Rudi cepat ejakulasi, kemudian yang lainnya, jadi aku bisa memotong satu ronde dari rencana mereka. Kalau semua berejakulasi di vaginaku satu per satu, entah masih berapa lama lagi baru perkosaan ini selesai. Dan rupanya Hendra menjadi amat terangsang melihat adegan di depan matanya, dimana seorang gadis cantik dengan kulit yang putih mulus terawat, kini sedang mengoral penis temannya yang kulitnya hitam dan kasar.
Pemandangan kontras ini memaksa Hendra segera berejakulasi, Hendra melenguh dan menyemprotkan spermanya ke dalam liang vaginaku. Entah sudah berapa banyak sperma yang mengisi rahimku, tapi aku tetap tenang, toh aku sudah minum obat anti hamil. Aku tak bereaksi ketika orang berikutnya mengambil gilirannya menyetubuhiku. “Eliza, aku Reza nih”, kudengar yang namanya Reza ini berkata. “Mmm…”, aku dengan malas menanggapinya, aku cuma ingin cepat mengeluarkan sperma si Rudi ini.
Kurasakan Reza mengangkat salah satu kakiku hingga lurus ke atas, membuatku berbaring menyamping ke kanan. Yah, ini akan membuatku lebih mudah untuk mengoral penis penis mereka sih. Dan kemudian Reza segera menerjangkan penisnya ke liang vaginaku yang sudah penuh sperma ini. “Mmmhh…”, kurasakan cukup nikmat juga ketika vaginaku menelan penis Reza ini, dan tepat saat itu juga, Rudi yang sudah sejak tadi mengejang dan mengerang, menyemburkan spermanya ke dalam mulutku.
“Oooughh…”, erang Rudi keenakan. Aku menelan sperma itu, menjilati dan menyeruput sisa sperma pada penis Rudi. Rudi mengerang ngerang karena perbuatanku pada penisnya, dan begitu aku melepaskan kulumanku, ia terduduk lemas. Memang inilah tujuanku, dan sesuai rencanaku, aku segera memangggil salah satu dari mereka. Aku mengingat ingat, yang kedua tadi menyetubuhiku adalah Darso.
Maka aku memanggilnya dengan nada suara yang sama seperti aku memanggil Rudi tadi. “Darso… “, begitu aku menyebut namanya, Darso sudah berdiri dengan penuh semangat, ia setengah berlari ke arahku. Saat ini aku merasa selangkanganku makin nikmat saja, aku sempat menoleh memperhatikan Reza ini. Ow.. dia lumayan juga, bodynya atletis, wajahnya juga nggak terlalu jelek, cuman sayangnya kulitnya begitu hitam. Aku tersenyum padanya, dan membiarkannya memainkan vaginaku sepuas hatinya.
Kini Darso sudah menyodorkan penisnya di dekat mulutku, bahkan hampir menempel ke bibirku. Aku segera membuka mulutku, dan aku memberikan servis pada Darso, sama seperti yang kuberikan pada Rudi tadi. Darso segera melenguh dan meracau tak karuan, “Ooooh… enaaak…”. Sedangkan Reza terus memanjakan vaginaku dengan genjotannya yang kadang lembut, kadang menyentak, membuatku mulai menggeliat keenakan.
Aku sudah tak perduli jika karena ini aku dianggap murahan. Aku hanya berpikir supaya semua ini cepat selesai. Kuberikan vaginaku dan mulutku untuk melayani nafsu bejat mereka semua ini. Aku tak menawarkan anusku, karena bagaimanapun aku tak terbiasa dengan terjangan batang penis pada liang anusku. Lagipula sebenarnya rasanya tak terlalu nikmat, juga tak sebanding dengan pedih yang akan kudapat. Toh dengan mulut dan vaginaku, aku sudah dapat melayani dua orang sekaligus.
“Nggghhh… mmmphhh”, aku melenguh namun suaraku segera tersumbat penis Darso yang sedang kuoral. Tubuhku mengejang orgasme bersamaan dengan ledakan sperma Reza pada liang vaginaku hingga aku agak kurang bisa berkonsentrasi mengoral penis Darso. Reza pun mengerang keenakan, dan mencabut penisnya dari liang vaginaku. Tubuhku masih bergetar merasakan kenikmatan ini, dan kurasakan vaginaku sudah diterjang oleh penis yang lain, dengan posisi kakiku yang sama seperti tadi.
“Eliza.. aku Wahyu..”, kata pemilik penis yang sudah tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku ini. “Mmmhh.. mmmhh…”, aku mencoba melihatnya sambil melanjutkan mengoral penis Darso. Wahyu menggantikan Reza memegang pergelangan kakiku yang terangkat ini, dan ia mulai memompa vaginaku. Tak sehebat Reza memang, tapi ia juga mampu membuatku kembali melayang dalam kenikmatan, walaupun sebenarnya dalam hati kecilku aku tak rela tubuhku dinikmati banyak orang seperti ini.
Wahyu ini sebenarnya tampangnya lumayan, tapi rambutnya gondrong dan ia agak dekil, selain itu tubuhnya biasa saja, tak atletis seperti Reza. Dan kulitnya tentu saja hitam legam. Tiba tiba, semprotan sperma Darso di dalam rongga mulutku cukup mengagetkanku, aku hampir saja tersedak oleh cairan putih kental yang sudah mampir di tenggorokanku ini. Setelah kutelan semuanya, dan membersihkan penis Darso dengan lidahku, aku melepaskan penis Darso dari kuluman mulutku.
Ternyata Syamsul sudah mengantri di belakang Darso yang kini sudah terduduk lemas. Tanpa basa basi Syamsul segera menyodorkan penisnya, dan aku pun tak berkata apa apa, langsung mengulum penisnya. Syamsul mendesah dan mengerang keenakan ketika aku mulai menyedot dan menggigit kecil penisnya. Aku terus mempermainkan penisnya dalam mulutku sambil merasakan penis Wahyu yang terus mengaduk liang vaginaku dengan gencar.
Tiba tiba kurasakan remasan lembut pada payudaraku, aku mencoba melihat siapa pelakunya, ternyata si Rudi, yang menatapku lagi lagi dengan pandangan anehnya itu. Tapi aku memilih untuk berkonsentrasi mengoral penis Syamsul. Kubiarkan saja Rudi melakukannya, meskipun ini sebenarnya merugikanku. Dengan bertambahnya jumlah rangsangan pada tubuhku, mungkin aku akan lebih mudah diantar ke orgasme oleh mereka, dan ini berarti staminaku akan makin cepat terkuras.
Makin lama Rudi makin gencar merangsangku. Payudara kiriku diremasnya lembut dengan tangan kirinya, sementara rambutku dibelai mesra dengan tangan kanannya, seolah aku ini kekasihnya saja. Ia bahkan menciumi telinga kiriku, leherku, dan yang paling membuatku kelabakan adalah ketika Rudi mengulum puting payudaraku. Ini salah satu daerah yang paling sensitif untukku. Syamsul yang sedang kuoral, juga ikut membelai pipiku, mungkin karena ia juga ingin merasakan kemulusan kulit pipiku.
Tubuhku bergetar menerima rangsangan dari 3 orang sekaligus seperti ini. Aku mulai merintih, apalagi Hendra mulai merabai pahaku yang terangkat tegak ini. Aku mulai menderita, kenikmatan terus mendera tubuhku yang tak bisa banyak kugerakkan, hingga aku tak bisa menggeliat bebas melepaskan hasratku untuk menggeliat keenakan. Dengan mata yang serasa berkunang kunang aku hanya bisa pasrah melayani mereka bertiga ini.
Tak lama kemudian, tanpa bisa kutahan lagi, aku kembali merasakan otot vaginaku berkontraksi, dan tubuhku mulai mengejang ngejang. “Nggghhh… ngggghhh…”, aku melenguh panjang, tubuhku tersentak sentak dalam gumulan mereka bertiga ini. Apa yang kutakutkan terjadi juga, dengan mudah mereka bertiga mengantarku menuju orgasme. Aku mulai kelelahan, dan mereka tentu saja tak tahu, atau kalaupun mereka tahu, tentu saja mereka tak akan perduli dengan keadaanku ini.
Wahyu makin gencar menyodok vaginaku sambil mengerang, rupanya ia juga akan berejakulasi. Bersamaan dengan menyemburnya sperma Wahyu ke dalam liang vaginaku, aku juga harus menelan sperma Syamsul yang juga berejakulasi di dalam mulutku. Aku masih sedikit tersengal sengal ketika aku menelan sperma ini, dan menyeruput sisa sperma yang tertinggal pada penis Syamsul sampai penis itu benar benar bersih. Kulepaskan kulumanku dari penis si Syamsul yang kulihat tersenyum penuh kepuasan.
Wahyu juga melepaskan penisnya dari liang vaginaku. Kini kakiku dibiarkan tergeletak di lantai, dan hal ini membantuku mengurangi rasa pegal pada kakiku ini, walaupun kedua betisku rasanya capai sekali setelah orgasme beberapa kali tadi. Selangkanganku rasanya sudah basah tak karuan oleh lelehan sperma yang tertelan vaginaku, yang bercampur dengan cairan cintaku. Kenikmatan ini sulit kulukiskan dengan kata kata, yang jelas sekarang ini aku merasa seolah olah berada di awang awang…
Aku mengingat ingat, Rudi, Darso, Syamsul, Rangga, Hendra, Reza, Wahyu… sudah tujuh dari sembilan anak SMP ini yang mendapat jatah menikmati vaginaku. Tinggal dua orang lagi, dan memang salah seorang dari mereka sudah membuka pahaku lebar lebar, dan menerjangkan penisnya ke liang vaginaku. Aku merasa nyaman dengan adukan penis yang berukuran tanggung ini, juga Rudi yang masih menyusu pada payudara kiriku, membuatku kembali tenggelam dalam kenikmatan ini.
“Aku Anton, Eliza”, kudengar suara pemilik penis tanggung ini. “Mmm…”, aku masih malas membuka mata. Anton menggerakkan penisnya perlahan seolah ingin menikmati sempitnya liang vaginaku. “Oh.. hangatnya vaginamu, Eliza…”, bisik Anton. Aku hanya diam, sebenarnya aku tak begitu terpengaruh oleh adukan penis Anton ini, aku lebih merasa keenakan pada puting payudaraku yang kiri, yang terus dikulum dan disedot oleh Rudi.
Seolah membalasku, Rudi juga memberikan gigitan kecil pada putingku, membuatku mendesis merasakan kenikmatan ini. Tiba tiba kepalaku sedikit terangkat, dan saat aku membuka mata, kepalaku sudah ada di pangkuan Rangga. Ia membimbing dan mengarahkan kepalaku hingga penisnya yang sudah menegang itu melesak masuk ke dalam mulutku. Aku pasrah saja dan mengoralnya, dan tiba tiba aku terbeliak ketika kurasakan puting payudara kananku juga dikulum oleh salah satu dari mereka.
Aku mengarahkan mataku ke pelakunya, ternyata Syamsul. Maka kini aku dikeroyok oleh empat orang sekaligus, dan mungkin karena ingin menambah sensasi yang kurasakan ini, tiba tiba kedua tanganku direntangkan dan kedua pergelangan tanganku dicengkeram oleh Rudi dan Syamsul, hingga aku tak bisa bergerak lagi. Dan memang sensasi yang kurasakan makin menghebat, aku mengerang dan merintih tak kuasa menerima siksaan kenikmatan yang menderaku habis habisan.
Kini nafasku sudah mulai tersengal sengal ketika Anton mempercepat genjotannya pada liang vaginaku sambil mengerang penuh kenikmatan. Kurasakan kedutan penisnya, dan beberapa saat kemudian kurasakan vaginaku kembali dibasahi sperma hangat. Anton mengerang panjang sambil menarik lepas penisnya dari jepitan liang vaginaku. Aku tak bisa istirahat, karena aku harus terus mengoral penis Rangga yang masih belum mendapat jatah berejakulasi dalam mulutku.
Dan untuk lebih membuat diriku makin tenggelam dalam kenikmatan ini, Har yang mendapat giliran terakhir menerjangkan penisnya senti demi senti membelah liang vaginaku. “Mmmhhh…”, eranganku tersumbat oleh penis Rangga yang terbenam dalam mulutku. “Ohh.. akhirnya Kahar dapat giliraan…”, Kahar meracau keenakan ketika penisnya sudah tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku. Aku tak bisa bergerak sedikitpun, apalagi menggeliat untuk melampiaskan kenikmatan yang melandaku ini.
Kurasakan penis Kahar ini panjang dan besar, dan ketika aku sudah menyelesaikan tugasku mengoral Rangga sampai ia ejakulasi di dalam mulutku, dan tentu saja setelah aku menelan spermanya, aku menyempatkan diri melihat Kahar ini. Baru kusadari, Kahar ini tinggi juga, dan badannya cukup besar, walaupun tak atletis. Selain itu wajahnya juga sangat mengecewakan, tapi aku tak perduli dengan hal itu.
Kini aku tak bisa memikirkan apapun selain merasakan kenikmatan yang amat sangat yang melanda vaginaku. Setiap genjotan Kahar memaksaku merintih keenakan, apalagi kadang ia menyodok dalam dalam, membuatku melayang didera kenikmatan yang luar biasa. Sensasi ini masih ditambah dengan datangnya Hendra yang meminta jatahnya, dan dengan kepalaku yang masih dipangku oleh Rangga, aku membuka mulutku dan Hendra segera melesakkan penisnya untuk mendapatkan servis oral dariku.
Aku mulai mengejang perlahan, dan makin lama makin hebat. “Mmmmphh.. Nggghhhh… ooooghhh.. aduuuuhh…”, aku melepaskan kulumanku dengan mudah dari penis Hendra yang berukuran kecil ini, dan aku memejamkan mataku erat erat, kepalaku kugeleng gelengkan kuat kuat dan aku melenguh lenguh tak tahan diterjang badai orgasme ini. Tubuhku terus mengejang susul menyusul, vaginaku rasanya akan meledak saja. Dan mereka bertiga ini tak sedikitpun mengendorkan aktifitas mereka
Perbuatan mereka membuat orgasme yang melandaku ini terus meningkat, dan akhirnya mereka berhasil mengantarku menuju multi orgasme. Ada beberapa menit tubuhku terus tersentak sentak, keringatku terus membanjir deras, dan mereka seolah tak rela membiarkan orgasmeku ini reda. Kakiku terus melejang tanpa henti, dan ketika aku sudah mulai bisa mengontrol diri, Hendra kembali membimbing kepalaku seperti yang dilakukan Rangga tadi, dan mulutku kembali sudah dijejali penisnya Hendra ini.
Dengan lemas aku mengoral penis itu, dan kudengar Kahar melolong panjang, rupanya pijatan liang vaginaku pada batang penisnya ketika aku tadi mengalami multi orgasme, mempercepat Kahar mencapai puncak. Semburan penis Kahar dalam liang vaginaku mengakhiri ronde pertama ini, dan Rudi yang sejak tadi menglum dan menyedot payudaraku, sudah akan memulai ronde kedua. Ia sudah memposisikan dirinya di depan selangkanganku, dan aku agak panik juga.
Aku melepaskan kulumanku pada penis Hendra, dan dengan lemah aku memohon, “Rud, jangan sekarang Rud, aku capai… nggghhh…”. Rudi terlihat agak kecewa, tapi ia memenuhi permohonanku dan meletakkan pahaku yang tadi sudah dilebarkannya. Tapi tanpa kuduga sama sekali, Rudi tiba tiba merangsekkan kepalanya ke selangkanganku, dan mataku terbeliak ketika kurasakan ia mencucup bibir vaginaku. Cairan cintaku yang bercampur cairan sperma para pemerkosaku dalam liang vaginaku ini disedot oleh Rudi.
Hal ini membuatku menggeliat hebat. “Aaaaakh… Oooohhh…”, aku merintih dan mengerang, aku merasa seolah olah seluruh organ dalam tubuhku hendak disedot semuanya oleh Rudi. Pinggangku sampai terangkat angkat dan melengkung, aku memejamkan mataku dan menikmati semua ini sepuas puasnya. Tiba tiba Rudi menghentikan sedotannya. Aku mengeluh dan membuka mataku, dan aku melihat Rudi dengan mulut yang terlihat penuh, sudah akan mencium mulutku.
Aku melepaskan kulumanku pada penis Hendra. Rudi memagut bibirku, dan cairan cairan dari liang vaginaku yang tertampung dalam mulut Rudi segera berpindah ke mulutku. Aku menikmati rasa cairan itu, rasanya seluruh rongga mulutku dan lidahku sudah terlumuri cairan itu, yang tentu saja bercampur juga dengan air ludah dari Rudi. Tapi aku tak perduli, karena bagiku rasanya benar benar nikmat. Selagi aku menikmati semua ini, kurasakan telapak tangan kiriku digenggamkan pada sebatang penis.
Ternyata Hendra ingin aku mengocok penisnya. Perlahan kugerakkan tanganku mengocok penis dari Hendra ini, dan pemiliknya mulai mengerang keenakan. Dan sesaat kemudian kedua puting payudaraku sudah ada yang mengulum, ternyata Reza dan Wahyu yang sekarang ganti menyusu pada kedua payudaraku. Rudi yang sudah selesai melolohi aku dengan segala macam cairan dari mulutnya, kembali bergerak menuju selangkanganku, dan sekali lagi ia mencucup bibir vaginaku.
Untung saja aku sudah menelan semua cairan dalam mulutku, karena aku pasti sudah tersedak kalau mulutku masih terisi cairan tadi ketika aku kembali terlonjak lonjak keenakan seperti sekarang ini . Telapak tangan kananku digenggam lembut oleh Rangga yang masih memangku kepalaku ini. Ia juga membelai rambutku dengan mesra. Aku memandangnya dengan sayu, kini aku hanya bisa pasrah, aku sudah terlalu lelah untuk bergerak meskipun kenikmatan terus melanda selangkanganku.
Tiba tiba aku mendengar erangan Hendra dan aku menoleh. Aku melihat Hendra berkelojotan, dan ketika erangannya makin keras, ia buru buru menarik penisnya dari genggamanku dan aku hanya bisa membuka mulutku dengan pasrah dan membiarkan mulutku dijejali penis Hendra. Sambil mengerang panjang, Hendra langsung menyemburkan sperma hangatnya ke dalam mulutku.
Aku mengulum dan membersikan penis itu dan menelan semua sperma yang menggenangi mulutku. Akhirnya erangan Hendra berhenti, dan dengan lemas ia menarik penisnya lepas dari mulutku, kemudian ia roboh kehabisan tenaga. Nafasnya tersengal sengal, tapi ia tersenyum puas kepadaku. Aku memalingkan wajahku ke Rudi yang baru saja menghentikan sedotannya. Aku merasa vaginaku sudah bersih dari cairan cairan tadi. Rudi kembali mendekatkan mulutnya ke wajahku.
Aku membuka mulutku dan kembali aku dilolohi seperti tadi, cuma kini cairan yang mengalir ke mulutku tak sebanyak yang sebelumnya. Setelah selesai, tanpa memberiku kesempatan menelan cairan itu, Rudi langsung memagut bibirku dengan ganas. Aku kelabakan, dan cepat cepat berusaha menelan semua cairan dalam mulutku ini supaya aku tak sampai tidak tersedak. Setelah aku menghabiskan sperma yang bercampur cairan cintaku itu, kubalas pagutan Rudi sampai kami berdua sama sama kehabisan nafas.
Aku dan Rudi saling melepaskan pagutan kami. Kini aku mendapat kesempatan mengistirahatkan tubuhku. Kubiarkan Reza dan Wayhu terus menyusu pada kedua payudaraku sepuas hati mereka. Aku berusaha mengatur nafasku yang tersengal sengal, juga kubiarkan kepalaku tergeletak di pangkuan Rangga, yang terus membelai rambutku dengan lembut. Aku merasa nyaman dengan posisi ini, dan kubiarkan saja Rangga melakukan apa saja yang dia suka terhadapku.
“Capai ya Eliza?”, Rangga berbisik padaku. Aku mengangguk lemah. Aku hanya sempat beristirahat kurang lebih lima menit saja, dan kini aku kembali dikerubuti oleh mereka semua. Mereka mengajakku ngobrol, yang tak kutanggapi dengan lemas karena aku masih kelelahan. Walaupun begitu aku berusaha menjawab setiap pertanyaan mereka dengan sopan, karena aku tak mau mereka berubah menjadi kasar padaku nanti pada saat mereka menggilirku di ronde berikutnya.
Aku sempat memperhatikan, sinar matahari sudah mulai redup, entah jam berapa sekarang ini. Entah sudah berapa lama aku melayani mereka semua. Selagi mereka terus berbicara, kurasakan rabaan pada sekujur tubuhku oleh anak anak SMP ini. Kedua tanganku sudah terentang dan tak luput dari rabaan juga. Jantungku mulai berdegup kencang merasakan rangsangan yang bertubi tubi ini, apalagi ketika Rudi dengan nakal menjilati bibir vaginaku.
“Nggghh…”, aku melenguh dan tubuhku kembali bergetar, Rasanya vaginaku sekarang ini dalam keadaan sangat sensitif, dan sedikit sentuhan saja sudah amat merangsangku hingga gairahku langsung bergejolak. “Enak ya Eliza?”, tanya Rudi. Aku diam saja, mukaku terasa panas. “Kalau diam, itu berarti memang enak”, kata Rudi lagi. Ia lalu melanjutkan jilatannya, membuat tubuhku perlahan terasa makin panas.
“Oohh… tolong hentikan Rud… aku masih capai…”, keluhku. Tapi Rudi tak perduli, dan meneruskan jilatan itu. Sesekali lidahnya menusuk nakal, sedikit membelah liang vaginaku. Aku menggigit bibir dan memejamkan mataku erat erat. Lama kelamaan aku tak kuat lagi. Tubuhku sudah terlanjur merespon setiap rangsangan ini, dan perlahan aku menggeliat diikuti tawa mereka, tapi aku tak bisa menghentikan gerakan tubuhku yang sudah di luar kontrolku.
“Tadi minta berhenti… sekarang gimana Eliza? Yakin nih mau berhenti?”, tanya salah seorang dari mereka. Aku tak bisa menjawab, rasanya mukaku makin panas saja. Mereka tertawa tawa dan terus merabai setiap centi dari tubuhku. Akhirnya aku larut juga oleh sentuhan sentuhan itu, dan ketika Syamsul memagut bibirku, aku reflek balas memagutnya. Diiringi sorakan mereka, kami berdua berciuman dengan panasnya.
Akhirnya Syamsul melepas pagutannya dariku dengan nafas tersengal sengal. Aku bukannya baik baik saja, irama nafasku pun sudah tak karuan dan mataku sudah berkunang kunang. Sesaat kemudian, Kahar mendekat, rupanya ingin merasakan bibirku juga. Benar saja, Kahar segera memagut bibirku, membuatku kelabakan, dan aku merasakan tanganku yang terentang ini kembali dicengkeram di bagian pergelangan tanganku, ketika aku menggapai gapai berusaha mendorong wajah Kahar untuk melepaskan pagutannya.
Kedua pergelangan kakiku yang juga dalam keadaan terpentang ini juga dicengkeram entah oleh siapa. Maka aku hanya bisa menyerah pasrah membiarkan Kahar memuas muaskan dirinya memagut bibirku. “Mmmphh..”, aku hanya bisa merintih tak jelas, dadaku makin lama makin terasa sesak. Ketika Kahar melapaskan pagutannya, aku megap megap kehabisan nafas. “Oooh… sebentar… aku…”, aku mengeluh dan berusaha mengatur nafasku.
Tapi aku kembali harus tersengat oleh ulah Rudi yang kini malah mencucup bibir vaginaku. “Ngggh… Ruuud.. janganhhh.. ooooh”, aku melenguh lenguh. Anton mendekatkan bibirnya padaku, membuatku meronta panik. “Jangan… tunggu… oooh… mmpphh…”, kata kataku tersumbat ketika bibirku dipagut Anton dengan ganas. Aku terus meronta, tapi semuanya tak ada artinya. Setelah Anton puas memagut bibirku, kini ganti Darso yang menginginkan bibirku.
“Aggh.. tolong tunggu sebentaar…. Aku mmmppph….”, aku tak bisa meneruskan kata kataku karena Darso sudah melumat bibirku. Aku mulai lemas dan menderita karena tak bisa bernafas. Setelah Darso selesai melumat bibirku, aku langsung memalingkan wajahku ke perut Rangga, dan aku terbatuk batuk kehabisan nafas. Aku mulai menangis dan memohon, “Tolong jangan beginii.. biarkan aku bernafas dulu… aku udah nggak kuat lagi…”.
Aku benar benar berharap mereka mengasihani aku, dan untungnya kelihatannya mereka iba melihatku menangis, dan aku dibiarkan istirahat beberapa detik, bahkan Rudi pun menghentikan ulahnya yang sangat merangsangku, hingga aku mendapat kesempatan memulihkan nafas yang sudah sangat tersengal sengal ini. Dan setelah aku terlihat agak enakan, Hendra segera menyerbu dan melumat bibirku habis habisan
Rudi pun kembali melanjutkan ulahnya menjilati dan mencucup bibir vaginaku, Setelah Hendra puas melumat bibirku, Reza melepaskan cucupannya pada puting payudaraku yang kanan, lalu ia sempat menunggu beberapa saat sebelum memagut bibirku. “Mmmmh…”, aku memejamkan mataku menikmati pagutan Reza, lidah kami saling bertautan hingga air ludah Reza mengalir cukup banyak ke dalam mulutku.
Setelah Reza puas, kami saling melepaskan pagutan kami, dan nafasku kembali tersengal sengal dan aku harus cepat cepat menelan air ludah Reza yang menggenangi rongga mulutku, juga mengatur nafasku. Kini ganti Wahyu yang melepaskan cucupannya pada putting payudaraku yang kiri, dan setelah aku kelihatan bisa bernafas, Wahyu segera memagut bibirku dengan ganas. Aku agak kelabakan, karena Wahyu cukup lama memagut bibirku dan keadaan ini kembali membuatku menderita.
Aku mulai meronta, tapi aku sama sekali tak bisa bergerak. Untungnya hal ini agaknya menyadarkan Wahyu, dan ia pun melepaskan pagutannya dari bibirku. Aku terbatuk batuk dan dan megap megap berusaha menghirup udara yang sama sekali tidak segar ini, tapi aku tak punya pilihan lain. Setelah keadaanku terlihat lebih baik, Rangga mengangkat kepalaku yang sejak tadi terbaring di pangkuannya, dan ia memagut bibirku sepuas puasnya.
Kini setelah semua mendapatkan kesempatan melumat bibirku, aku tahu ronde kedua sudah akan dimulai ketika kedua pahaku dilebarkan oleh Rudi. Mereka mengatur posisi mereka untuk bersama sama menikmati tubuhku. Rangga tetap memangku kepalaku dari sebelah kanan, dan ia terlihat senang sekali membelai kedua pipiku, mungkin karena kulit pipiku yang putih mulus ini. Darso kini mencucup puting payudaraku yang sebelah kiri, sedangkan Syamsul mendapatkan puting payudaraku yang sebelah kanan.
Dan untuk membuatku tak berdaya, pergelangan tangan kiriku dicengkeram oleh Hendra, dan pergelangan tangan kananku dicengkeram oleh Reza. Juga pergelangan kaki kiriku dicengkeram oleh Anton, dan pergelangan kaki kananku dicengkeram oleh Kahar. Wahyu menghirupi rambutku yang terurai ke sebelah kiriku, aku tidak mengerti apa asyiknya, tapi Wahyu kelihatan amat senang. “Eliza.. kita lanjutin ya…”, kata Rudi perlahan, ia menatapku penuh nafsu. Aku mengangguk perlahan dan menatap sayu pada Rudi.
Dengan perlahan Rudi membenamkan penisnya ke dalam liang vaginaku, dan aku kembali memejamkan mata, berusaha menikmati saat saat terbelahnya liang vaginaku ini. Setelah penisnya tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku, Rudi mulai memompa vaginaku, membuatku melenguh lenguh keenakan, “Ngghhh.. ohhh Ruuud… aaah…”. Rudi tertawa puas dan terdengar sekali kebanggaan dalam tawanya itu karena dia bisa membuatku keenakan seperti ini. Cairan cintaku sudah mulai keluar, melumasi liang vaginaku ini.
Sensasi yang kudapat kali ini bertambah dahsyat karena aku merasa sangat tak berdaya dengan kedua pergelangan tangan dan kakiku yang tercengkeram erat, hingga aku tak bisa menggeliat dengan enak dan bebas, hanya kepalaku yang terbaring di pangkuan Rangga yang bisa sedikit kugerakkan. Kurasakan remasan lembut oleh Darso dan Syamsul yang sedang asyik menyusu di kedua payudaraku, membuatku menggelinjang keenakan.
Selain itu, belaian tangan Rangga pada kedua pipiku dan ulah Wahyu yang menghirup hirup rambutku, semua itu makin dalam menengggelamkanku dalam kenikmatan. “Nggghhh… aduuuh….”, aku terus melenguh keenakan merasakan rangsangan bertubi tubi pada sekujur tubuhku ini. Gairahku terus naik, dan aku makin tak bisa mengontrol gerakan tubuhku, yang mulai mengejang tak karuan menahan siksaan kenikmatan birahi yang nyaris tak tertahankan ini.
Tapi sayangnya, Rudi tak butuh waktu lama untuk berejakulasi dalam liang vaginaku, ia menghunjamkan penisnya sekuatnya dan tubuhnya bergetar getar . “Ooohh… Elizaaa”, ia mengerang panjang meneriakkan namaku dan menembakkan spermanya, dan rasanya hanya sedikit sperma yang dikeluarkannya. Aku mengeluh pendek dan membuka mataku, menatapnya dengan pandangan kecewa. Sebenarnya kalau Rudi mampu menggenjotku beberapa lama lagi, mungkin saja aku juga akan menggapai orgasmeku.
Tapi aku tak berkata apa apa, dan begitu Rudi melepaskan penisnya dari jepitan liang vaginaku, Darso langsung mengambil posisinya di selangkanganku menggantikan Rudi. Puting payudaraku yang sebelah kiri ini tak menganggur lama. Mereka bekerja sama dengan kompak untuk membuatku terus menerus dalam keadaaan terangsang hebat dan tak berdaya untuk bergerak bebas.
Hendra langsung melahap puting payudaraku yang sebelah kiri. “Yu, minggir Yu. Mau ngerasain sepongan Eliza aku!”, Rudi menyuruh Wahyu memberikan tempatnya. Wahyu menghirup rambutku dalam dalam, kemudian beranjak memberikan tempatnya pada Wahyu dan menggantikan Hendra mencengkeram pergelangan tangan kiriku.
Darso sendiri mulai memompa vaginaku, dan aku terus mengeliat walaupun tertahan oleh mereka. Rudi menempelkan penisnya di bibirku, dan aku langsung melahap penis itu. Aku mengulum dan menjilati sisa sperma dari penis yang sudah melembek ini. “Aduh… enaaaaak…”, Rudi mengerang erang keenakan ketika aku menyeruput semua sisa sperma itu sampai bersih, dan ia ambruk di sebelahku. Tepat ketika ia tergeletak di lantai, Darso juga sudah berejakulasi. “Oooohh…. enaknya memekmu Elizaa…”, erang Darso.
Aku agak sebal dan kecewa karena tadi juga gairahku yang belum terlalu turun, sesungguhnya sudah naik cepat ketika Darso memompa vaginaku. Tapi lagi lagi aku tak sempat menggapai orgasmeku sedangkan pemerkosaku sudah orgasme duluan saat vaginaku baru mulai berdenyut denyut. Rasanya menjengkelkan sekali deh. Tapi aku cuma bisa diam saja. Yah, mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa pasrah dan diam saja memendam kekecewaanku.
Syamsul beranjak mendekati selangkanganku dengan langkah gontai. Meskipun kelihatan lemas dan lelah, tapi penis yang panjangnya kira kira 15 cm dan sudah ereksi dengan gagah itu tetap diterjangkan pemiliknya, mengoyak dan mengaduk aduk liang vaginaku, mendatangkan rasa nikmat yang luar biasa pada vaginaku. Dan Reza sudah menggantikan Syamsul mencucup puting payudaraku yang sebelah kanan ini, sedangkan Kahar menggantikan Reza mencengkeram pergelangan tangan kananku.
Rudi yang sedang tergolek lemas itu merayap mendekati pergelangan kaki kananku, dan mencengkeram ala kadarnya, tapi sudah cukup untuk kembali membuatku tak mampu bergerak bebas. Sementara itu, Hendra dan Reza makin bersemangat mencucup dan menyedot kedua puting payudaraku. Darso menagih jatahnya, memintaku mengoral penisnya yang masih belepotan sperma itu, dan aku segera melahap penis si Darso ini.
Keadaanku sudah benar benar tak karuan digangbang oleh anak anak SMP ini. Kesembilan anak SMP ini menguasai tubuhku sepenuhnya. Empat dari mereka mencengkeram kedua pergelangan tangan dan kakiku, yang satu memangku kepalaku, satu menyusu di payudaraku yang kiri dan satu lagi menyusu di payudaraku yang kanan. Dan yang pasti, satu lagi memompa liang vaginaku, dan satu lagi menikmati servis oral dariku.
Aku sendiri merasakan sensasi yang luar biasa diperlakukan seperti ini dan aku pasrah saja mengikuti kemauan mereka semua. Dan sekarang, seperti Rudi, Darso juga mengerang keenakan ketika aku membersihkan penisnya yang belepotan sperma. Tubuhnya sampai mengejang ngejang ketika aku mencucup dan menyedot penisnya, dan begitu kuluman itu kulepaskan, Darso langsung roboh, terlihat jelas selain keenakan ia juga kelelahan.
Ketika kulihat Rudi dan Darso yang sudah ambruk itu kelihatan malas bangun lagi, aku jadi punya harapan, ronde ke dua ini merupakan ronde terakhir dan aku segera bebas dari mereka. Kini perhatianku kembali terfokus pada Syamsul yang dengan menggebu gebu memompa vaginaku. “Ngghhh… Suull…”, aku melenguh dan menggeliat keenakan, apalagi ditambah gigitan kecil pada kedua puting payudaraku, membuat aku menggeleng gelengkan kepalaku kuat kuat, tak kuasa menerima segala rangsangan ini.
Tapi sayangnya, bahkan Syamsul yang tadi di ronde pertama cukup perkasa, kali ini hanya sekitar 5 menit saja ia sanggup memompaku, dan ia sudah berejakulasi. Kembali aku tenggelam dalam kekecewaan. Lagi lagi aku hampir menggapai orgasmeku, tapi gagal lagi karena Syamsul terlalu cepat berejakulasi. Kini Rudi menggantikan Rangga untuk memangku kepalaku, sedangkan Darso menggantikan Rudi mencengkeram pergelangan kaki kananku. Rangga sendiri beranjak ke selangkanganku.
Rupanya mereka sudah mengatur urutan mereka untuk menikmati liang vaginaku di ronde ini supaya sama persis dengan di ronde pertama tadi. Tak lama kemudian liang vaginaku segera terbelah oleh penis Rangga. “Ssshhh…”, aku mendesis, dan Rangga segera menggenjotku habis habisan. Sementara itu, Rudi yang sudah memangku kepalaku membelai rambutku dengan lembut dan mesra, membuatku sedikit merasa nyaman.
Dan di selangkanganku, setelah liang vaginaku beradaptasi dengan penis Syamsul yang lebih panjang dan lebih besar, sodokan penis Rangga yang lebih kecil dan lebih pendek dari milik Syamsul ini tak terlalu mempengaruhiku. Walaupun begitu aku sama sekali tak bisa beristirahat, karena sejak tadi Hendra dan Reza terus mempermainkan kedua payudaraku. Tak hanya menyusu, mereka berdua juga meremasi payudaraku dengan lembut, sehingga aku terus menerus berada dalam keadaan terangsang hebat.
Namun aku tak pernah mencapai orgasme, sejak tadi para pemerkosaku tak ada yang sanggup untuk cukup lama memompa vaginaku. Hal ini sebenarnya sangat menyiksaku. Baik dengan Rudi, Darso dan Syamsul tadi, sebenarnya vaginaku sudah berdenyut denyut, tapi sebelum aku mencapai orgasme, mereka sudah berhenti memompaku. Aku tahu mereka bukannya sengaja mempermainkanku seperti yang dilakukan pak Basyir penjaga vilaku dulu.
Mereka berhenti memompaku karena mereka memang sudah berejakulasi. Selain itu mereka pasti sudah sangat terangsang , karena sejak tadi mereka melihat tubuh indah seorang amoy cantik yang tersaji polos untuk mereka, yang kini sudah sama sekali tak berdaya dengan kedua pergelangan tangan dan kakiku yang dicengkeram erat oleh mereka, membuat mereka tak mungkin bisa bertahan untuk berlama lama memompa vaginaku.
Dan sekarang ini paling tidak sudah lebih dari 5 menit Rangga menggenjot vaginaku. Rangga tampaknya begitu menikmati jepitan liang vaginaku pada penisnya. Aku hanya menyandarkan kepalaku di pangkuan Rudi, membiarkan Rangga terus menggenjotku sampai ia mulai mengejang hebat.”Ohhh… Elizaa… enaaknyaaa….”, erang Rangga, dan ia menyemprotkan spermanya bertubi tubi, sedangkan aku hanya merasa nyaman dengan hangatnya sperma Rangga yang melumuri liang vaginaku.
Rangga menarik lepas penisnya dari vaginaku, dan segera memintaku mengoral penisnya. Mulutku kembali dijejali sebatang penis, yang kali ini cukup kecil dan memudahkanku untuk melakukan kuluman pada seluruh permukaan penis ini, dan Rangga mulai menggeliat keenakan dan sedikit menggerak gerakkan penisnya dalam rongga mulutku yang kini belepotan oleh sisa sperma yang masih melekat di penis Rangga.
Baru saja aku mulai mengulum penis Rangga, vaginaku sudah harus menelan sebatang penis. Aku sempat melihat, kali ini Hendra yang mengaduk aduk liang vaginaku. Seperti Rangga, Hendra sama sekali tak bisa membuatku tenggelam dalam kenikmatan. Penis mereka ini berukuran kecil. Sambil terus mengulum dan menyedot penis Rangga, diam diam aku merasa geli, tak pernah terbayangkan olehku aku akan diperkosa anak SMP, dan baru hari ini aku beberapa kali merasakan vaginaku diaduk oleh penis berukuran pendek.
“Ssshh..”, aku mendesah pasrah ketika Wahyu mencucup puting payudaraku yang kiri. Sedang Anton menggantikan Wahyu mencengkeram pergelangan tangan kiriku dan Syamsul mencengkeram pergelangan kaki kiriku. Sementara itu, Rangga terus mengerang keenakan, dan tiba tiba ia berkata setengah menjerit, “Sudaah.. sudah Elizaaa… ooooohh….”. Aku melepaskan kulumanku, dan Rangga langsung ambruk tak berdaya, ia terlihat sangat lemas.
Selagi Hendra masih menggenjotku, aku menggunakan kesempatan ini untuk mengistirahatkan mulutku, yang rasanya pegal juga karena sejak tadi kupakai untuk mengoral penis penis dari berbagai ukuran ini. Tapi aku tak bisa berlama lama, karena beberapa saat kemudian Hendra sudah mengerang panjang dan menembakkan spermanya di dalam liang vaginaku. Beberapa saat tubuhnya berkelojotan, kelihatan sekali ia merasakan kenikmatan yang amat sangat. (*)
Hendra mencabut penisnya dari jepitan liang vaginaku, dan ini berarti sudah ada tugas lagi untuk mulutku. Aku segera melahap penis Hendra, dan aku mulai mengulum dan menyedot penis itu kuat kuat hingga Hendra melolong lolong, “Oooohh.. Elizaaaa… huuuunnngggghhhh..” Selagi aku mengulum penis Hendra, kurasakan liang vaginaku diterjang sebatang penis, dan pemiliknya menyodokkan penisnya yang panjang itu dengan kuat, membuatku melenguh di antara kegiatanku mengulum penis milik Hendra.
“Nggghhh.. mmmm… mmmhh…”, aku melenguh keenakan sambil terus mengulum dan menyedot penis di mulutku ini, dan Hendra menggeliat hebat. “Ooooonggghhhh.. ampun Elizaaa…”, Hendra melolong keenakan ketika aku menyedot penisnya kuat kuat. Aku melepaskan kulumanku, dan Hendra segera ambruk, ia terlihat begitu malas untuk bangun. Dan kini, ketika kurasakan vaginaku dimanjakan sodokan yang kadang lembut dan kadang menyentak, aku sudah tahu, sekarang ini pasti Reza yang sedang menyetubuhiku.
“Oh.. Rezaa.. nggghh.. enaak…”, aku kembali melenguh. Reza memperlambat genjotannya, dan tubuhku bergetar hebat menahan nikmat ini. “Oooh.. terus Rezaa..”, nafsu birahi yang sudah menguasai diriku sepenuhnya ini membuat aku tak lagi malu malu untuk meminta dipuaskan oleh Reza. “Enak ya Eliza?”, bisik Reza yang sudah menindihku. “Iyaa.. oooh… aku… mmmppphh….”, Reza memagut bibirku dan aku balas memagut bibirnya sepenuh hati.
Memang di antara mereka ini, seandainya aku harus memilih, aku pasti akan memilih Reza. Walaupun kulitnya hitam, tapi ia tampan juga, selain itu tubuhnya atletis menggairahkan. Reza menyetubuhiku sambil terus mencumbuiku, membuat aku makin tenggelam dalam kenikmatan. Kahar sudah mencucup puting payudaraku yang kanan, sedangkan Darso mencengkeram pergelangan tanganku yang sebelah kanan. Rangga juga sudah mencengkeram pergelangan kakiku yang sebelah kanan.
Terangsang hebat dan rasa tak berdaya ini benar benar membuatku melayang dalam kenikmatan. Akhirnya orgasme yang sudah kunanti sejak tadi kudapatkan juga. Tubuhku mengejang hebat, kedua kakiku melejang lejang, pinggangku melengkung dan aku melenguh lenguh keenakan, “Ngggghhhh…. Nggghhh… aduuuuh Rezaaa.. ooooohhh….”. Cairan cintaku membanjir, membuat selangkanganku terasa amat nikmat. Aku ingin memeluk Reza, tapi kedua pergelangan tanganku yang terentang ini tak bisa kugerakkan, kedua pergelangan tanganku tertahan dengan erat.
Walaupun agak sebal, tapi perasaan tak berdaya ini malah menambah nikmat yang kurasakan. Beberapa kali tubuhku tersentak sentak. “Oohhh.. Elizaa… memekmu ini enaaaaak…..”, Reza mengerang panjang. Nikmat ini makin hebat rasanya ketika penis Reza berkedut keras dan spermanya yang hangat itu menyembur dengan deras membasahi liang vaginaku. “Ngghhhh… oooohhh…”, aku sendiri kembali melenguh keenakan, vaginaku berdenyut denyut dan kini aku terkulai lemas. Tenagaku sudah hampir habis rasanya, entah apa aku kuat melalui semua ini.
Nafasku tersengal sengal serasa hampir putus. Keadaan Reza sendiri tak lebih baik, keringat di tubuhnya membanjir deras dan bercampur dengan keringatku membasahi tubuhku. Nafas Reza masih terdengar memburu, tapi Reza masih ingin mencumbuiku, ia kembali memagut bibirku dengan mesra. Aku memejamkan mataku dan dengan penuh penyerahan kubiarkan Reza mencumbuiku sepuas hatinya. Air ludah Reza terus mengalir ke mulutku, dan aku tanpa merasa jijik terus menelannya supaya aku tidak tersedak.
“Gantian Rez!”, gerutu Wahyu yang sudah kelihatan tak sabar menanti gilirannya. Reza yang baru sadar kalau masih ada Wahyu, Anton dan Kahar yang menanti gilirannya, mencabut penisnya dari jepitan liang vaginaku, tapi ia menyempatkan diri untuk merangsekkan kepalanya ke selangkanganku. Dan aku segera dibuat Reza terbeliak dan melenguh keenakan ketika Reza mencucup bibir vaginaku kuat kuat. “Ngghhh.. aduh Reeezz….”, aku terus melenguh dan menggeliat sampai akhirnya Reza berhenti menyedot vaginaku.
Reza lalu dengan mulut yang agak menggembung, mendekati wajahku. Aku tahu apa maunya, kuterima ciuman Reza dengan senang hati, dan campuran segala macam cairan yang mengalir dari mulut Reza itu kutelan semuanya. Setelah cairan itu habis, aku masih saja memagut bibir Reza. “Mppphh…”, aku merintih tertahan ketika Wahyu melesakkan penisnya ke dalam liang vaginaku. “Ooohh.. memang enaaak…”, Wahyu meracau penuh kenikmatan merasakan jepitan otot vaginaku pada batang penisnya.
Anton sudah mencucup putting payudaraku yang kiri, sedangkan pergelangan tangan kiriku dicengkeram oleh Syamsul. Hendra menggantikan Syamsul untuk mencengkeram pergelangan kaki kiriku. Kini Wahyu mulai memompa liang vaginaku, dan aku merintih keenakan. Batang penis Wahyu ini hampir sama ukurannya dengan milik Reza, dan mendatangkan kenikmatan yang hampir sama pula. Aku terus menikmati sodokan penis Wahyu dalam liang vaginaku, sambil terus berpagut mesra dengan Reza.
Kedua payudaraku masih terus dipermainkan Anton dan Kahar. Perasaan terangsang hebat yang melanda sekujur tubuhku ini membuatku ingin menggeliat sekuatnya. Tapi tentu saja hal itu tak bisa kulakukan karena kedua pergelangan tangan dan kakiku dalam keadaan tercengkeram erat, dan aku hanya bisa memejamkan mataku menikmati semua ini. Kini perasaan tak berdaya yang kurasakan ini makin menambah sensasi kenikmatan yang menderaku.
Reza melepaskan pagutannya pada bibirku, dan ketika aku membuka mata, kulihat penis Reza yang masih belepotan sperma itu sudah berada di depan mulutku. Langsung saja aku melahap penis itu, dan aku mengulum dengan sepenuh hati. Kubersihkan seluruh batang penis itu dari sisa sperma, kujilati memutar dan kusedot sampai bersih. Pemiliknya sudah melenguh lenguh keenakan, “Sudah Elizaaa.. ampuuun…. enaknyaaaa….”. Aku melepaskan kulumanku ketika Reza menjerit minta ampun dan Reza langsung ambruk, tubuhnya bergetar getar merasakan sisa kenikmatan tadi.
Aku kembali tersenyum geli, dan kini aku menikmati genjotan Wahyu yang amat gencar ini. Tiba tiba aku mendapati Kahar menempelkan penisnya ke mulutku. Aku memandangnya heran, dan Kahar berkata, “Sekalian pemanasan, Eliza. Dioral ya..”. Gayanya itu seperti memerintah budaknya saja, membuatku sedikit sebal. Tapi aku membuka mulutku juga, dan Kahar langsung menjejalkan penisnya yang hanya basah oleh cairan bening.
Hal ini menunjukkan ia sudah amat terangsang hingga tubuhnya secara alami mengeluarkan cairan yang melumuri penisnya. Aku kini menjilati dan menyedot cairan yang tak terlalu banyak itu, sekaligus mencoba ketahanan Kahar ini. “Oooohh…. Oooooh….”, Kahar melenguh keenakan, bahkan ia menggerak gerakkan pinggulnya hingga penisnya menyapu seluruh rongga mulutku. Aku terus mengoralnya, dan vaginaku rasanya berdenyut kembali setelah cukup lama dipompa Wahyu.
Darso mencucup puting payudaraku yang kanan, sedangkan Rangga mencengkeram pergelangan tangan kananku. Reza yang baru saja ambruk merayap dan menggantikan Rangga mencengkeram pergelangan kaki kananku. Sementara itu Wahyu sudah mengerang ngerang. “Aaaah… Elizaaaa..”, erang Wahyu dengan penuh kenikmatan, ia menyodokkan penisnya dalam dalam, seolah ingin menyemprot bagian terdalam dari liang vaginaku dengan spermanya.
Mungkin denyutan otot vaginaku membuat Wahyu terangsang hebat dan tak kuat berlama lama menggagahiku. Kahar menarik penisnya dari kuluman mulutku, mempersilakan Wahyu untuk mendapatkan servis oral dariku. Bersamaan ketika Wahyu menjejalkan penisnya ke dalam mulutku, Kahar juga mengoyak liang vaginaku dengan penisnya. “Nggghhh..”, aku terhenyak dan melenguh, dan yang menguatirkanku, kini aku mulai merasakan sedikit sakit pada liang vaginaku.
Aku cepat cepat membersihkan sisa sperma dari penis Wahyu, yang kemudian langsung ambruk dan bertukar tempat dengan Anton. Untungnya Anton yang langsung menjejalkan penisnya ke dalam mulutku ini berkata, “Eliza, aku keluarin di mulutmu ya.. sudah gak nahan nih dari tadi liat pemandangan di selangkanganmu sana..”. Aku segera mengoral penis Anton dengan sisa sisa tenagaku, sementara kurasakan selangkanganku didera rasa sakit yang bercampur nikmat.
Beberapa menit aku melayani dua penis ini, akhirnya mereka berdua mulai berkelojotan. Aku berharap mereka segera ejakulasi, karena mulutku sudah sangat capai rasanya, dan vaginaku entah kenapa mulai terasa pedih. “Huuuungghhh… huoooooohhh”, beberapa saat kemudian baik Anton maupun Kahar melolong lolong, dan dengan bersamaan mereka berdua menyemprotkan spemma mereka berdua diiringi erangan panjang yang merupakan ekspresi kenikmatan mereka.
Tiba tiba Kahar mencucup bibir liang vaginaku, hingga aku terlonjak lonjak antara geli dan terangsang hebat. Cairan yang menggenangi liang vaginaku rasanya disedot habis oleh Kahar, dan Anton dengan penisnya yang sudah kubersihkan itu sudah terkulai lemas. Aku sudah sangat lemas, dan ketika Kahar memagut bibirku aku hampir saja terlambat menelan semua cairan itu, dan hampir saja aku tersedak.
Setelah Kahar selesai melolohiku dengan campuran sperma, cairan cintaku dan air ludahnya dia sendiri, ia tergeletak lemas, mereka semua juga melepaskan semua cengkeraman mereka padaku, dan kedua puting payudaraku yang basah tak karuan oleh air ludah mereka semua juga terbebas. Kami semua tergeletak lemas, tenaga sudah terkuras habis. Aku berusaha memulihkan nafasku yang tersengal sengal ini.
Melihat mereka kondisinya sudah kelelahan semua, aku makin yakin ronde ke dua ini sudah berakhir. Tapi rupanya aku terlalu cepat senang. Tiba tiba kudengar deru sepeda motor, dan ketika aku menoleh ke arah suara itu, bukan hanya satu, aku melihat tiga sepeda motor sekaligus, yang memasuki rumah kosong ini. Ketiga pengendaranya masih mengenakan seragam putih abu abu, seragam SMA. Satu di antara mereka adalah yang tadi siang bersama dengan Rudi saat membawaku ke sini.
Aku tak tahu sekarang ini jam berapa, tapi yang jelas sinar matahari sudah tak kelihatan lagi. Sembilan anak SMP yang tadi itu agak menjauh dariku, seolah olah hendak mempertontonkan tubuhku pada ketiga anak SMA yang kelihatannya senior mereka itu. “Wow.. amoy ini memang special Man”, kata salah seorang dari mereka, disambung yang satu lagi, “Gila Maman, hebat juga lu bisa dapat amoy kayak gini! Gak nyesel gue ke sini ikut elo Man! “.
“Boleh lah kita menikmati dia sebentar sebelum nanti malam beraksi di lapangan! Toh sepeda motor kita sudah selesai distel, tinggal tarik pedal gas saja”, kata yang dipanggil Maman itu, yang tadi bersama Rudi itu. Aku menggeleng gelengkan kepalaku kuat kuat, “Jangan.. aku sudah sangat capai, ampun…”. Aku memohon mohon, dan melihat mereka terus saja melepaskan baju mereka, aku makin panik, air mataku mulai membasahi mataku. Aku tahu ini hal yang tak mungkin, tapi aku terus mencoba memohon supaya mereka tak jadi ikut memperkosaku.
“Tolonglah, Maman, kita sama sama SMA, kalian jangan begini”, aku mengeluh. “Nggak, kita nggak sama. Kami anak STM… hahahaha”, jawab Maman sambil tertawa terbahak bahak. “Oh iya, ini Joko, dan ini Dimas”, Maman mengenalkan kedua rekannya, dan aku tak bisa berkata apa apa lagi, toh para bajingan ini sudah sangat menginginkan tubuhku. Mereka bertiga mendekatiku dengan pandangan bak serigala yang melihat daging mentah, mereka sudah seperti kerasukan.
Aku tercekat melihat ukuran penis mereka ini. Ketiga penis itu nyaris sama panjang, dan paling tidak 18 cm. sedangkan diameternya tak ada yang lebih kecil dari 4 cm. Aku menangis ngeri, dan kembali aku mencoba memohon pada mereka, “Tolong, aku sudah..”. Man langsung memotong, “Sudah kepingin main sama kami bertiga? Tenang saja, amoy cantik. Hahahaha, kami akan memuaskanmu sampai kamu nggak bisa bangun lagi”.
Aku berusaha bangkit untuk menjauh dari mereka, tapi aku makin ketakutan ketika aku mendapati kenyataan bahwa aku tak mampu berdiri. Rupanya gangbang tadi itu benar benar menghancurkanku, selain rasa sakit pada vaginaku, kedua kakiku juga serasa tak bertenaga sama sekali. Maka tanpa perlawanan sedikitpun, Maman sudah berhasil memeluk tubuhku, dan beberapa saat kemudian penisnya sudah membelah liang vaginaku.
“Ooooh… sakiiiit…”, aku mengerang kesakitan, tubuhku mengejang didera rasa sakit yang amat sangat ini. Tak ada rasa nikmat sedikitpun. Aku sudah berusaha untuk tak merasa diperkosa, paling tidak aku tak akan menderita luka batin. Tapi ketika Maman mulai memompa liang vaginaku, aku terus mengerang bahkan akhirnya aku menjerit kesakitan. Air mataku mengalir karena aku tak kuat menahan siksaan ini.
Bukannya kasihan, Maman malah menggenjotku dengan gencar. Ia hanya memandangku sebagai pemuas nafsunya saja, dan ini membuatku sakit hati. Lalu Maman sempat berhenti sejenak, dan pelukannya pada tubuhku makin erat. Ia membawaku berdiri dengan penisnya yang masih tertancap di liang vaginaku, dan walaupun rasanya sakit sekali karena penis itu makin dalam membelah liang vaginaku, aku terpaksa harus memeluk lehernya karena aku tak ingin jatuh terbanting ke lantai yang cuma beralas tikar ini.
Sekitar lima menit Maman menggenjotku dalam posisi ini, rupanya Maman sendiri kelelahan dan ia menurunkan tubuhku, penisnya sempat terlepas dari liang vaginaku. Aku sudah kesakitan sampai kepalaku rasanya mau pecah. Keadaanku sudah setengah sadar ketika kurasakan liang vaginaku kembali menelan penis Maman, dan beberapa genjotan keras diiringi erangan Maman, mengakhiri perkosaan Maman terhadap diriku.
Sperma Maman menyemprot liang vaginaku dengan deras, dan Maman langsung menarik penisnya. Aku sudah tak bisa mengerang lagi, tubuhku rasanya lumpuh, tak ada tenaga untuk menggeliat ataupun mengejang, walaupun kurasakan sakit yang amat sangat ketika lagi lagi liang vaginaku harus menelan sebatang penis, entah milik Joko atau milik Dimas. Tubuhku tersentak sentak mengikuti irama pemilik penis yang menggagahiku tanpa perlawanan sedikitpun.
Beberapa menit kemudian, aku kembali merasakan semburan sperma hangat di liang vaginaku. Ini sedikit mengurangi rasa sakitku, tapi penderitaanku kembali datang ketika penis yang ketiga ganti membelah liang vaginaku. Tapi bahkan aku tak sanggup menggenggamkan tanganku, padahal aku didera rasa sakit yang amat sangat. Tubuhku terus tersentak mengikuti irama sodokan pemerkosaku, sampai akhirnya semburan cairan sperma yang hangat kembali membasahi liang vaginaku.
Aku tak tahu harus berapa lama lagi aku menerima siksaan ini, liang vaginaku serasa jebol setelah menelan 20 batang penis secara marathon. Setelah jeda sekitar setengah jam, aku melihat sembilan anak SMP yang tadi tergeletak lemas semua itu kini sudah mengerumuniku. Aku menangis ketakutan, tak berani membayangkan aku harus melayani mereka bersembilan itu lagi.
Tapi tak ada yang mendekati selangkanganku, semua hanya megerumuniku sampai ke pinggang. Dan, mereka semua beronani bersama sama, mengocok penis mereka sendiri. Aku merasa udara di sini semakin pengap karena bau keringat mereka semua. Dan mereka terus beronani sambil tertawa tawa, sedangkan aku tahu aku akan segera menerima bukake. Setelah sekitar 5 menit, kulihat ketiga anak STM itu juga ikut berdiri dan beronani.
Tiba tiba aku mulai merasakan semprotan sperma mereka mulai menghujani tubuhku. Kedua mataku terkena semprotan juga hingga aku terpaksa menutup mataku. Beberapa saat kemudian, kedua telingaku, rambutku, kedua pipiku, leherku, kedua payudaraku dan perutku, kurasakan semuanya tersemprot cairan sperma. Aku seperti sedang mandi sperma saja. Lengkap sudah, 12 semprotan sperma pada tubuhku.
Entah siapa yang melakukan, tapi gumpalan sperma yang tadi menghujani tubuhku ini diratakan ke permukaan kulitku. Kemudian kurasakan pahaku diolesi sperma, mungkin yang menempel di telapak tangan yang meratakan cairan itu. Wajahku benar benar basah rata oleh sperma, demikian juga leherku, payudaraku, dan perutku. Pahaku sendiri terasa agak lengket di bagian depan, dan aku tak tahu keadaan rambutku, tapi pasti juga menyedihkan. Aku benar benar merasa terhina, dan aku menangis tanpa suara.
“Eliza.. kapan kapan kalo kangen kami, temui saja kami di sini. Kami juga senang kok main sama kamu… Hahahaha.. “, kudengar suara Maman, dan deru sepeda motor yang baru dinyalakan membuatku sedikit banyak merasa lega, gangbang ini sudah berakhir, dan mereka telah melepaskanku. Setelah mereka semua pergi, aku membuang genangan sperma yang membasahi mataku, aku mengelap dengan jari tanganku, maka aku bisa membuka mataku.
Air mataku masih mengalir, selain merasa sakit secara fisik, aku juga merasa sangat terhina dengan semprotan sperma pada sekujur tubuhku ini. Perlahan aku mencoba bangkit dari tikar yang menjadi saksi penderitaanku ini, tapi ketika aku berdiri, kedua kakiku terasa gemetaran, vaginaku pun terasa amat sakit, membuatku langsung roboh. Aku harus beristirahat barang sebentar untuk memulihkan kondisiku.
Tiba tiba aku mendengar suara hujan, makin lama makin deras. Aku tahu aku tak boleh beristirahat di tengah ruangan ini dalam keadaan telanjang bulat dan tubuh penuh sperma seperti ini, karena bisa saja ada orang yang masuk ke rumah kosong ini untuk berteduh. Aku memaksakan diri untuk merangkak ke sudut ruangan rumah kosong ini, di mana mereka tadi melempar lemparkan bajuku. Tubuhku rasanya remuk semua, tapi aku harus segera menutupi tubuhku.
Akhirnya aku sampai ke tempat itu, dan kulihat bajuku masih lengkap. Aku tak perduli dengan keadaan tubuhku yang basah oleh sperma ini, kupakai baju dan rok seragamku. Kancing baju seragamku sudah tak ada semua, tapi aku tak terlalu panik, karena aku masih bisa menutupi tubuhku dengan tas sekolahku. Sedangkan bra dan celana dalamku yang sudah tak bisa kupakai lagi karena sudah robek dan putus, kumasukkan ke dalam tas sekolahku.
Setelah kurang lebih satu jam aku berdiam diri sambil menangis, aku menguatkan diriku untuk berdiri. Masih terasa sekali sakit pada vaginaku, kedua kakiku juga masih gemetar, tapi kini aku sudah mampu berjalan walaupun tertatih tatih. Aku perlahan terus melangkahkan kaki keluar, dan untungnya aku tahu kemana aku harus mencari mobilku. Setelah aku terus berusaha berjalan kurang lebih 5 menit di bawah guyuran hujan barulah aku sampai ke mobilku.
Untung saja tak ada yang melihatku selama aku mengarah ke mobilku ini. Aku cepat cepat mengeluarkan kunci mobil dari tas sekolahku, memencet tombol pembuka, dan aku segera masuk ke mobilku. Bajuku sudah basah kuyup tak karuan, untungnya jok tempat duduk mobilku ini terlapis kulit, jadi aku tak kuatir merusak bagian dalamnya. Tepat ketika aku menutup pintu, kudengar handphoneku berbunyi menunjukkan SMS yang masuk.
Aku mengunci pintu mobilku dan kuambil handphone yang tadi kuletakkan di jok sebelah itu. ada 9 missed call dari 2 nomer, mamaku dan Jenny. 2 SMS yang masuk juga satu dari mamaku, satu lagi dari Jenny. Aku masih terus menangis ketika aku membaca SMS yang dari mamaku, “Eliza, kamu ada di mana? Ini mama, papa dan koko harus pergi ke vila, soalnya koko mau pakai vila buat liburan minggu depan. Besok malam baru pulang, kamu kalau mau makan di luar, mama titipin uang di meja kamu ya”.
Kemudian kulanjutkan membaca SMS dari Jenny, “El, thanks ya udah nolongin aku balikin buku itu ke Sherly. Besok senin aku traktir kamu yah waktu istirahat ^^”. Aku membayangkan, rasa sakit yang kudapat hari ini sama sekali tak sepadan dengan traktiran dari Jenny. Tapi aku tahu, ini sama sekali bukan kesalahan Jenny. Aku masih tak tahu, apa ini gara gara kecantikanku atau karena kebodohanku tadi yang menolong Johan itu. Apakah ini yang harus kudapat setelah berbuat baik?
Aku menangis dengan kesal, dan kunyalakan mesin mobilku. Aku melihat jam di mobilku, sudah jam 21:30. Entah sudah berapa lama tadi aku digangbang di rumah kosong itu. Ketika aku baru menjalankan mobil melewati rumah Sherly, kulihat Vera dan cie Monika yang tadi diseret ke kamar mandi oleh orang yang kira kira pembantu di kosnya Sherly itu, berjalan menyeberang dengan om omAku menghentikan mobilku memberikan mereka kesempatan menyeberang, dan aku tertegun sejenak melihat om om Chinese itu membimbing Vera dan cie Monika masuk ke pintu belakang dengan mendorong pantatnya.
Ketika mereka semua sudah masuk ke mobil, aku segera menjalankan mobilku, aku ingin cepat cepat pulang. Dalam hati aku membayangkan, kehidupan seks dari Vera, cie Monika dan aku sendiri benar benar tak karuan. Tapi mungkin perbedaannya terletak pada situasinya. Vera ataupun cie Monika terlihat enjoy saat tadi masuk ke mobil. Aku tak tahu apa mereka memang suka, tapi tadi jelas sekali mereka tak terlihat terpaksa.
Sedangkan aku, setiap aku terlibat hubungan seks, semuanya berawal dari pemerkosaan terhadap diriku. Aku makin kesal, tapi aku tahu sebaiknya aku berkonsentrasi mengendarai mobilku. Setengah jam aku menyetir, air mataku sudah berhenti membasahi pipiku ketika aku sampai di depan rumah. Aku memencet remote pagar, lalu aku memarkirkan mobilku ke garasi. Setelah diam sejenak, aku memasukkan handphoneku ke dalam tas sekolahku, lalu kubawa tas itu turun.
Begitu aku turun dari mobil, dari belakang kurasakan dua tangan merayap ke payudaraku, yang ternyata tangan Wawan, lalu ia meremasi kedua payudaraku dengan lembut. Aku tak bisa memberikan perlawanan, aku terlalu lemas untuk itu. Dan kepasrahanku diartikan lain oleh Wawan yang terus membimbingku ke kamarnya. “Hmmm.. non Eliza habis pesta ya? Sekarang pesta sama saya ya”, kata Wawan yang menghirup rambutku yang pasti bau sperma itu.
Suwito yang sedang tidur tiduran langsung berdiri dan ikut mencumbuiku. Tak lama kemudian aku sudah dibaringkan ke ranjang mereka, mereka tak memperdulikan keadaanku yang basah kuyup. Baju seragamku yang tak berkancing sama sekali ini dengan mudah sudah dilepas oleh Suwito, sedangkan rok seragamku dilucuti oleh Wawan. “Wow.. nona kita sudah siap nih!”, seru Wawan yang amat bernafsu melihat tubuhku sudah tersaji polos. “Banyak pejunya nih, abis pesta sama berapa orang non Eliza?”, tanya Suwito. Wawan sudah mulai menjilati vaginaku, sedangkan Suwito mulai melumat bibirku.
Aku hanya diam saja, tapi perlahan air mataku mengalir, dan aku mulai menangis sesenggukan. Mereka berdua tertegun dan menghentikan aksi mereka. “Non.. kenapa non”, tanya Suwito dengan kuatir. Aku makin sesenggukan, dan mereka membiarkanku sampai aku lebih tenang. “Tolong biarkan aku istirahat… aku sudah capai…”, kataku pelan di sela isak tangisku. Aku beruntung, mereka ini masih memandangku sebagai majikan mereka, dan tak memandangku sebagai sekedar budak seks mereka belaka.
“Non, kami antar non ke atas ya”, kata Wawan. Kemudian Wawan menggendong tubuhku menuju kamarku, dan aku hanya pasrah, tanganku terjuntai ke bawah, tak ada kekuatan untuk sekadar melingkarkan tanganku ke leher Wawan, sungguhpun ini membuatku sedikit tersiksa karena kepalaku juga terjuntai dan mendatangkan sedikit rasa sakit di leherku. Tapi aku diam saja, dan kini aku sudah sampai di kamarku.
Wawan terus membawaku ke kamar mandi, kemudian ia mendudukkanku di pangkuannya. Suwito yang mengikuti kami menyalakan shower di kamar mandiku, kemudian setelah ia merasakan air shower sudah pas hangatnya, Suwito mulai memandikanku. Ia menyiram tubuhku perlahan, hingga aku mulai merasa nyaman. Dengan lembut Suwito berkata, “Non Eliza, tahan nafas ya, mukanya non mau saya bersihkan”. Aku berkata lemah, “Pakai sabun itu ya..”, kataku sambil menunjuk sabun cuci mukaku di wastafel.
Suwito membilas mukaku dengan sabun itu sampai bersih dari sperma yang lengket lengket di sekujur wajahku dan telingaku. “Non Eliza, saya keramasin sekalian ya”, kata Suwito. Aku mengangguk perlahan, dan Suwito segera membasahi rambutku, kemudian mengeramasi rambutku dengan kelembutan yang tak pernah aku bayangkan bisa dilakukan oleh orang seperti dia. Aku merasa seakan tubuhku kembali segar, tapi aku tak beranjak dari pangkuan Wawan. Aku merasa senang dimanja seperti ini.
Setelah Suwito selesai mengeramasiku dan membersihkan seluruh bagian kepala dan leherku dari bekas lumuran sperma itu, ia segera mengeringkan rambutku dengan handukku. Ia menyeka rambutku dengan lembut sambil berkata, “Non, ini gimana saya nggak ngerti, takutnya ngerusak rambut non Eliza yang indah ini”. Aku tersenyum kecil, kemudian meraih handuk itu dan mengeringkan rambutku sendiri.
Wawan dan Suwito menungguku dengan sabar. Setelah aku selesai, Suwito menggantungkan handukku di gantungan pintu, kemudian ia melanjutkan memandikanku. Kali ini Wawan mengangkatku berdiri, dan merentangkan kedua tanganku. Aku diam saja dengan senang, membiarkan mereka memanjakanku. Suwito membilas kedua payudaraku dengan sabun mandiku, ia melakukan dengan lembut. Tak ada rangsangan yang dilakukannya, dan aku merasa sangat nyaman.
Lalu Suwito melanjutkan ke punggung, kedua tanganku, perut, pinggang, kedua pantat, paha dan betisku. Kini aku sudah merasa tubuhku sudah bersih semuanya kecuali bagian vaginaku. Tiba tiba Suwito berjongkok dan mencucup bibir vaginaku, dan menyedot sekuat kuatnya. “Ngghhh.. aduuuh…”, aku melenguh, kali ini aku merasa keenakan dan sedikit menggeliat.
Beberapa kali Suwito menyedot vaginaku kuat kuat, seolah ingin mengeluarkan semua sisa sperma dan cairan cintaku yang masih ada di dalam liang vaginaku. Nafasku sedikit tersengal sengal ketika Suwito selesai menyedot vaginaku. Kemudian ia mengorek liang vaginaku dan menyemprot dengan air hangat, hingga aku mendesah keenakan. Ketika Suwito hendak menyabuni liang vaginaku, aku langsung menghentikannya. “Pakai sabun di botol kuning itu saja, Suwito”, kataku.
“Baik non”, kata Suwito, dan ia mengambil botol itu, mengeluarkan isinya di telapak tangannya, lalu membasuh liang vaginaku dengan cairan itu. Memang aku merasa sakit, mungkin karena vaginaku terlalu banyak menelan penis waktu aku digangbang tadi, tapi aku juga merasa sangat nyaman dan keenakan, entah apa aku masih bisa orgasme. Untungnya Suwito cepat juga membersihkan liang vaginaku, dan kini aku sudah merasa sangat nyaman.
Wawan melepaskan kedua pergelangan tanganku yang terentang sejak tadi, dan Suwito mematikan air shower, lalu menghanduki tubuhku sampai cukup kering. Lalu mereka membimbingku ke ranjang, dan membaringkanku dengan perlahan, menggeraikan rambutku ke belakang bantalku. Aku sungguh merasa nyaman dengan perlakuan mereka ini, ingin aku membayar mereka dengan memperbolehkan mereka menggumuliku sepuas puasnya, tapi aku tahu aku sudah terlalu capai untuk melakukan hal itu.
Lalu mereka menyelimuti tubuhku, menyalakan AC kamarku dan mematikan lampu. “Selamat tidur non Eliza”, kata Suwito, diikuti Wawan yang juga mengucapkan kata kata yang sama. “Terima kasih.. kalian baik sekali..”, kataku dengan terharu. Mereka keluar dari kamarku. Aku menutup mataku, berusaha memejamkan mataku. Ketika aku sudah hampir tertidur, Wawan dan Suwito masuk lagi ke kamarku, membuatku bertanya tanya. “Kalian kenapa?”, tanyaku mulai was was.
“Oh, non, kami sudah mandi, dan ingin menemani non tidur. Tapi kami nggak akan macam macam kok, kami cuma mau mijitin non. Non kelihatannya capai sekali”, kata Wawan. Suwito sendiri sudah membuka laci bajuku, mengambil bra dan celana dalam. Aku tersenyum dan mengangguk senang, kemudian membiarkan mereka memakaikan bra dan celana dalam untukku. Wawan membuka lemari bajuku, dan bertanya, “Non Eliza mau pakai baju tidur yang ini?”. Ia menunjukkan baju tidur satin kesukaanku, dan lagi lagi aku mengangguk senang sambil tersenyum.
Kini aku sudah memakai baju tidurku, tentu saja mereka yang memakaikan. Mereka sendiri sudah mandi dan masih berbau sabun mandi, maka aku membiarkan mereka naik ke ranjangku. Kini aku sudah terbaring lagi di ranjangku, dan Suwito kembali menggeraikan rambutku ke belakang bantal, hingga aku berbaring dengan nyaman. Wawan duduk di sebelah kananku, dan Suwito duduk di sebelah kiriku. Mereka mulai memijat lembut kedua tanganku, rasanya enak sekali. Aku makin mengantuk, dan akhirnya ketika mereka sudah memijat betisku, aku tertidur pulas.
—ooOoo—
Pagi hari aku terbangun dengan Suwito dan Wawan yang masih tertidur di sampingku. Aku berusaha mengingat mengapa mereka seberani ini tidur di ranjangku. Ketika aku sudah sadar dan ingat semuanya, aku tersenyum kecil. “Hai.. bangun kalian”, kataku pelan. Wawan dan Suwito terbangun, dan mereka segera turun dari ranjangku. “Pagi non”, kata Wawan dan Suwito. “Pagi juga”, kataku membalas sapaan mereka. Ketika mereka hendak keluar kamar, aku berkata, “Wawan.. Suwito.. terima kasih”.
Aku tersenyum kepada mereka dengan tulus, dan mereka juga tersenyum padaku lalu keluar dari kamarku. Aku memutuskan hari ini aku tidak ikut latihan balet dan beristirahat seharian di rumah. Setelah makan pagi, aku kembali tertidur sampai siang, dan aku dibangunkan Sulikah untuk makan siang. Aku turun ke bawah, dan sambil menikmati makan siangku di ruang keluarga, aku melihat siaran berita di TV, dan membuatku tertegun.
“… kebut kebutan itu menewaskan 3 anak STM yang sepeda motornya saling bersenggolan. Dari kartu pelajar mereka, identitas mereka adalah Maman, Joko dan Dimas. Sementara itu belasan anak SMP yang menonton terluka dan harus dibawa ke rumah sakit karena terhantam sepeda motor. Banyak yang menderita patah tulang…”
Aku melihat di TV, dan aku mengenali ketiga sepeda motor yang hancur itu. Itu memang milik Maman, Joko dan Dimas, para bajingan yang memperkosaku kemarin. Selain itu aku melihat wajah Kahar di TV, sedang dimintai keterangan di kantor polisi. Perasaanku campur aduk, antara ngeri, juga benci melihat mereka. Kini melihat kejadian ini, aku berkata dalam hati, “Kalian layak menerima ini semua, ini pasti balasan untuk kalian karena sudah memperkosaku dengan kejam”.
“Kok nggak dimakan non”, tanya Suwito membuyarkan lamunanku. Ia duduk di sebelah kiriku, dan Wawan menyusul duduk di sebelah kananku. Aku meletakkan makananku di meja, dan duduk diam sambil tersenyum senang. “Non Eliza lagi senang ya? Kok senyum senyum sendiri?”, tanya Suwito. Aku mengangguk kecil. “Kalo gitu boleh dong kami..”, Wawan berkata sambil meremas payudaraku yang sebelah kanan dengan pelan, dan Suwito juga ikut ikutan meremas payudaraku yang sebelah kiri dengan lembut.
Aku lagi lagi mengangguk, dan tak lama kemudian mereka sudah melucuti pakaianku. Di ruang keluargaku ini, aku menyerahkan tubuhku pada mereka berdua dengan sepenuh hati, toh tak ada siapa siapa di rumahku selain kami berempat sampai nanti papa mama dan kokoku yang diantarkan pak Arifin pulang dari vila. Selain itu aku merasa bisa membalas rasa terima kasihku kemarin pada mereka berdua dengan cara seperti ini…
Bersambung...