Eksanti, The Next Sequel
Kejadian pertama di akhir Desember 1996 itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Sejak kejadian itu, hubunganku dengan Eksanti dalam suasana kerja formal tidak berubah. Ia memang masih tetap Eksanti yang dulu, yang cantik, cekatan dan pintar membawakan dirinya. Akupun walau jadi lebih sering memperhatikannya, namun sama sekali tidak pernah berusaha untuk memberi perlakuan khusus mengenai urusan-urusan kantor kepadanya. Aku memang selalu berusaha untuk memisahkan masalah pribadi dengan urusan kantor.
Sebenarnya aku juga tahu bahwa pada saat yang bersamaan Eksanti juga menjalin ‘affair’ dengan rekanku sesama manajer di kantorku. Aku sangat tahu hal itu, karena secara tidak sadar si manajer itu sering ‘berkonsultasi’ kepadaku mengenai ‘affair’-nya dengan Eksanti. Mungkin ia beranggapan bahwa aku berpengalaman untuk hal-hal seperti ini, dan karena ceritanya itu, aku jadi lebih banyak tahu mengenai Eksanti. Satu hal yang pasti, aku tidak pernah menceritakan hubungan khususku sengan Santi kepadanya, sehingga sampai detik ini ia tidak pernah tahu. Demikian juga aku juga tidak pernah menyinggung cerita manajer itu pada Santi, sehingga Eksanti tidak menyadari kalau aku mengetahui hubungan mereka.
Setelah kejadian pertama di ruang kerjaku itu kami harus berpisah sementara waktu, karena kantorku libur akhir tahun selama kurang lebih satu minggu. Sebenarnya aku merasa kangen sekali kepadanya, namun aku tidak berusaha ‘mengganggunya’. Kadang-kadang aku merasa cemburu dengan sikap Santi yang mendua, namun seperti prinsipku semula, aku tidak akan pernah mengganggu kehidupan pribadinya. Aku merasa bahwa Santi pun juga memiliki prinsip yang sama denganku. Hal inilah yang membuatku malah semakin ‘sayang’ kepadanya.
Hari pertama masuk kerja di bulan Januari 1997, cuaca masih tetap tidak bersahabat. Jakarta kembali hujan rintik-rintik, udara dingin sekali. Eksanti masih berada didepan komputernya, sementara aku sudah bersiap hendak pulang.
“Kok, Santi belum pulang?”, aku menyapanya.
“Saya nungguin hujan berhenti”, Eksanti menjawab sambil memandang lurus ke arahku
“Eksanti pulangnya ke arah mana sih”, aku melanjutkan bertanya
“Ke Selatan, Mas ke arah mana?”, jawabnya singkat sambil balik mengajukan pertanyaan.
“Ke arah Selatan juga. So, mau pulang sama-sama”, aku menawarkan diri dan Eksanti menjawab dengan anggukan kepala tanda setuju.
“OK, Santi tunggu di bawah yaa.. saya ambil mobil lalu kita pulang sama-sama”. kataku menutup percakapan kami.
Lalu kamipun turun bersama dalam satu lift, kami sama-sama terdiam. Sesaat mata kami beradu pandang, mata kami saling berbicara melebihi kata-kata.. ada secercah desiran menggelora dalam perasaan kami. Ketika lift berhenti di lantai dasar, Eksanti keluar menuju lobby depan dan aku bergegas mengambil mobil yang di parkir di belakang gedung kantor kami. Aku mempercepat langkahku menuju mobil, dan dengan agak terburu-buru aku membuka pintu dan setengah melemparkan tas kerjaku ke dalamnya. Setelah itu aku segera memanaskan mesin mobil sebentar, lalu segera memacu ke arah depan lobby ke tempat Eksanti sedang menungguiku. Aku menghentikan mobil tepat di sebelahnya sedang berdiri, lalu pintu sebelah kiri aku buka dari dalam, dan Eksantipun segera melangkah masuk. Sesaat mataku melirik ke arah kaki indahnya, darahku berdesir membayangkan peristiwa yang pernah aku alami bersamanya minggu lalu.
Mobil segera meluncur ke luar dari kompleks perkantoran kami. Jakarta macet sekali, apalagi di tengah gerimis di saat jam pulang kantor begini. Tidak ada pilihan lain kecuali mobil harus segera berjalan menuju ke arah kemacetan itu. Di dalam mobil kamipun ngobrol kesana kemari, dan akupun merasa beruntung ditemani mengobrol oleh seorang bidadari cantik di sebelahku di tengah-tengah kemacetan yang menjemukan ini.
AC di dalam mobil bertambah dingin oleh cuaca di sore itu, sementara minimnya sirkulasi udara membuat harum bau parfum tubuhnya semakin menggoda perasaanku. Aku sendiri sudah lupa kami mengobrol apa saja waktu itu, ketika tiba-tiba ditengah obrolan itu, aku memegang jemari lentiknya dan aku angkat ke arah hidungku. Aku mencium lembut jari-jari itu, dan aku hisap-hisap ujungnya sehingga Eksanti bisa merasakan desiran-desiran hangat dalam darahnya.
“Mas, jangan nakal aacchh..”, begitu katanya manja seolah-olah Eksanti tidak menginginkan rasa itu muncul dari dalam dirinya.
“Nggak apa-apa, yang penting Santi bisa menikmati ‘kan?”, begitu jawabku.
Eksanti duduk gelisah di sampingku ketika akhirnya kami bisa melepaskan diri dari kawasan macet di jalur lambat dan kini meluncur menuju ke arah kota. Sengaja aku tidak mengambil putaran terdekat untuk menuju arah selatan, karena aku ingin berputar-putar kota sejenak sebelum membawa Eksanti pulang ke rumahnya. Aku mengerti perasaan gelisahnya, mungkin ia sedikit khawatir aku akan berbuat ‘nakal’ lagi. Aku mencoba menghiburnya dengan mengelus-elus pundaknya sambil tetap berkonsentrasi dalam menyetir mobil. Jalanan ramai, sehingga mobil harus berjalan perlahan dengan gigi 3. Untunglah kaca jendela sedan kami dilapisi film cukup pekat, sehingga kalau aku ingin menyentuh dirinya, orang luar tak akan bisa melihat.
Belaian jemariku memberi rasa damai dihatinya dan kini Eksanti merapatkan duduknya, sambil memindahkan tanganku dari punggungnya. Tangan itu kini mendarat di paha kanannya, dan ia mengelus-meremas dengan sayang. Ketika aku sedikit mengerem mobil, payudara kanannya terhenyak di lenganku. Aku menggesek-gesekkan lenganku untuk menggodanya, dan ternyata godaanku menimbulkan rasa hangat menggairahkan di dalam tubuhnya. Putingnya cepat sekali menegang, dan seluruh bulatan kenyal payudaranya cepat sekali terasa gatal-geli. Aku merasakan Eksanti mulai terangsang oleh ‘kenakalanku’. Pastilah keteringatannya pada peristiwa dua minggu lalu juga memberikan andil pada rangsangan itu.
Lalu aku meletakkan tangannya di pangkuanku, sementara tangan kiriku masih tetap berada di atas pangkuannya. Tangan kananku tetap mencoba berkonsentrasi pada stang stir mobil. Aku melirik sebentar kearah wajahnya, Eksanti tersipu-sipu, dan matakupun beralih sesaat ke kaki indahnya. Achh.. aku semakin tidak tahan menahan gejolak batinku yang semakin menggelora menikmati pemandangan indah itu. Lalu dengan sedikit keberanian yang tersisa aku singkapkan sedikit ke atas rok yang Eksanti kenakan, sebuah rok span warna hitam dengan bunga-bunga kecil berwarna coklat. Tanganku menyingkap roknya, yang memang tidak terlalu panjang itu.
“Kakimu indah yaa..”, begitu kataku, dan Eksantipun semakin tersipu.
Degupan jantungku yang kian bertambah kencang, menambah rasa keberanianku. Jemari tanganku mulai membelai-belai dengan lembut kaki bagian atasnya yang telah tersingkap. Eksanti mendesis lirih, “Achh.. Mas..”, dan desisannya itu membuat aku semakin berani untuk merayapkan jemariku menuju pangkal atas kakinya. Lalu Eksanti membukakan pangkal atas kakinya, dan tangan kirinya membibing tanganku menuju ke arah daerah sensitifnya.
Eksanti merebahkan sedikit sandaran kursinya, memajukan duduknya. Nah, kini dengan mudah tangan kiriku bisa mengelus-elus daerah kewanitaannya, yang tentu saja masih terbungkus celana dalam satin putih halus. Eksanti mendesah dan menggigit pundakku ketika aku mulai menggunakan jari tengahku, menelusup di antara celah kewanitaannya yang sudah mulai lembab itu. Aku berkonsentrasi ke jalan, tetapi jariku juga tidak pernah luput menemukan titik-titik rangsang di sela pahanya. Untuk hal yang satu ini, aku merasa sudah sangat ahli. Jangankan sambil menyetir, sambil berlari pagi pun rasanya aku selalu bisa merangsang dirinya.
Eksanti merenggangkan kedua pahanya. Jemariku membuatnya kegelian, sekaligus membuatnya ingin bertambah geli lagi, bertambah gatal lagi, bertambah basah lagi. Eksanti mengerang dalam bisikan, merasakan cairan hangat mulai muncul di bawah sana. Pelan-pelan merayap turun, membasahi liang kewanitaannya, menimbulkan noda di celana dalam satin warna putihnya. Posisi duduknya kini sudah terlalu maju ke depan, sehingga hampir tak bertumpu di kursi. Hanya sepertiga dari buah pantatnya yang menyangga tubuhnya. Sandaran kursi semakin diturunkan, sehingga Eksanti sudah setengah terlentang. Kedua lututnya terangkat dan semakin terpisah, memberikan lebih banyak keleluasaan kepada tanganku yang cekatan.
Tanganku merasakan lembutnya daerah pangkal pahanya, dan aku juga merasakan adanya bulu-bulu lembut yang menyeruat dari balik celana dalam satin berenda yang membalut erat kewanitaannya. Aku semakin tidak tahan, lalu aku semakin berani menyelipkan jari tengahku melalui belahan samping celana dalamnya menuju bibir kewanitaannya. Eksantipun semakin mendesis, “Ughh..”, sembari tangannya memegang erat jok mobil disisi kanan kirinya. Terasa olehku lembutnya bibir kewanitaannya dan lelehan air wangi yang mulai mengalir deras dari dalam lubang bibir kewanitaannya. Aku mengusap-usap lelehan air wangi itu dengan ujung jariku, lalu kutarik sesaat jariku dari balik celana dalamnya, kulumat pelan-pelan jariku dengan mulutku, pelan.., pelan sekali, lalu jemariku yang basah oleh ludahku merayap kembali ke pangkal pahanya. Eksanti tampak sangat menikmati permainanku, dan mulai mendaki puncak orgasmenya..
Tiba-tiba lampu lalulintas menyala merah! Aku cepat-cepat menekan rem. Ban mobil berdenyit. Aku melihat ke spion, takut ada mobil yang terlampau dekat di belakang. Ternyata tidak. Mobil berikutnya cukup jauh, dan segera mengurangi lajunya ketika melihat lampu rem mobil kami menyala. Tak urung, mobil itu tersuruk ke depan, hampir saja melewati batas lampu merah. Eksanti kaget, tersentak dan meluncur ke depan. Tanganku terlepas dari selangkangannya. Eksanti jatuh terduduk di kompartemen depan, lalu tawanya meledak!
“Sorry, Santi..,” ucapku sambil ikut tertawa.
Eksanti bangkit, dan kembali ke posisi duduknya. “Ach.. sialan, tuh, lampu merah!” sergahnya masih tertawa. Buyar sudah pendakian orgasmenya yang sudah hampir meledak. Rasa nikmat segera diganti rasa lucu.
Lalu lintas terhenti di lampu merah. Aku melihat kiri kanan, takut ada orang iseng yang memperhatikan aktifitas kami berdua. Tetapi tampaknya tak seorang pun bisa tahu apa yang terjadi di dalam sedan hijau gelap itu. Terlalu gelap. Hanya tampak bayangan dua orang duduk. Satu di belakang setir, dan satu agak tertidur. Itu saja.
Sambil menanti pergantian arus lalu lintas, aku semakin berani. Aku menelusupkan tangan ke dalam celana dalamnya. Hangat sekali tubuhnya di bagian bawah itu. Sudah basah pula di sana-sini. Jari tengahku menemukan tonjolan kecil-kenyal di lepitan atas kewanitaannya. Aku mengelus pelan tonjolan itu. Eksanti mengerang, menggeliat kecil, memejamkan matanya. Sentuhan pertama di bagian itu selalu menimbulkan rasa campuran: enak dan mengejutkan. Seperti disengat lebah, tetapi tentu tidak sakit. Sengatan yang justru memberikan nikmat. Apalagi kemudian aku memutar-mutar ujung jariku di situ, perlahan saja, seperti seseorang sedang meraba-raba di dalam gelap. Ahh.., Eksanti semakin merasakan rasa nikmat merayapi tubuhnya.
Kembali aku menarik jariku dari balik celana dalamnya, lalu aku melumat pelan-pelan jariku dengan mulutku.
“Achh.. harum sekali..”, begitu kataku. Namun Eksanti semakin tidak sabar, ia menarik lagi tangan kiriku dan kembali diarahkan ke daerah sensitif itu. Sementara tangan kanannya, mencoba menurunkan celana dalamnya.
Ketika lampu kembali menyala hijau, kami masih saling menikmati aktifitas percintaan itu. Pengendara mobil belakang tak sabar, menekan klakson keras-keras. Aku cepat-cepat menekan gas, membuat sedan kami melesat cepat dengan suara ban berdenyit. Masih dalam posisi gigi 2, aku menekan pedal gas. Sebetulnya, ini praktek yang tidak sehat untuk mobil. Tetapi tangan kiriku masih sibuk, maka aku memaksa mobilnya bergerak walau mesinnya terdengar menggerendeng seperti memprotes. Untung saja sedan ini masih baru, sehingga tak berapa lama jalannya pun sudah lancar. Aku mempertahankan gigi 2 karena lalulintas toh masih tersendat.
Kini celana dalam Eksanti telah turun sampai ke lututnya, sehingga bibir kewanitaannyapun telah terbebas. Tanganku semakin beraksi masuk kedalam lubang bibir kewanitaannya, aku sentuh pelan-pelan lipatan-lipatan bibir kewanitaannya. Jariku menggelincir turun. Eksanti menggeliat, mengangkat pantatnya, bergeser ke kanan. Jari tengah itu pun masuk, menyelinap ke liang kewanitaannya. Licin sekali di bawah sana, hangat dan berdenyut pula. Ohh,.. Eksanti menggeliat lagi. Jari nakal itu seperti sedang menggoda dengan gelitikan-gelitikannya. Menimbulkan serbuan-serbuan geli-nikmat yang memenuhi sekujur tubuh. Eksanti segera tenggelam dalam lautan birahinya sendiri, sejenak ia lupa bahwa dirinya masih berada di mobil yang sedang merayapi kemacetan ibukota.
“Achh.., Santi enak sekali Mas!!”, Eksanti menjerit pelan, sementara air wanginyapun semakin deras mengalir. Kini jari tengahku telah terbenam sebagian di dalam lubang bibir kewanitaannya, dan Eksantipun beringsut sesaat dari tempat duduknya mencoba untuk memberi jalan masuk jemariku lebih dalam lagi.
“Teruss.. Mas.. teruskan Mas.. jangan berhenti”, Eksanti mengerang-erang kenikmatan.
“Yaa.. sayang.. lepaskan emosimu.. berteriaklah, Mas sangat ingin mendengarnya, berteriaklah yang keras..”, aku berbisik. Jemariku telah terbenam seluruhnya ke dalam lubang bibir kewanitaannya, aku menarik dan menusukkannya pelan-pelan, lembut.. lembut sekali.
Jalan di depan kini semakin lancar. Tak mungkin mobil dijalankan tetap dengan gigi 2. Lalu bagaimana caranya?
“Biar saya yang pegang persneling..,” tiba-tiba Eksanti berucap. Duh, Eksanti ternyata mengerti ‘perasaan’ mobil juga! Aku mengurangi gas, menekan kopling, membiarkan dirinya memindahkan persneling ke gigi 3. Mobil melaju dengan cepat
Jari tengahku kini sudah masuk setengahnya, berputar-putar perlahan menyentuh-nyentuh dinding kewanitaannya. Tubuh indahnya bergetar halus, bukan saja oleh getaran mobil, tetapi juga oleh birahi yang kini mulai mendaki puncak. Jalanan semakin lancar. Aku mengurangi gas, menekan pedal kopling. Eksanti cepat-cepat memindahkan persneling ke gigi 4, lalu menggeliat merasakan jariku menyentuh bagian dalam kewanitaannya. Ahh.., nikmat sekali dicumbu kekasih sambil menukar-nukar persneling! Mobil melaju menembus Jalan Sisingamangaraja yang mulai lancar. Lampu kebetulan selalu hijau, sehingga aku tidak perlu mengurangi kecepatan. Jariku kini keluar-masuk perlahan-lahan, sambil sekali-kali memutar. Eksanti tetap berpegangan di persneling, sementara tangan yang satu erat mencengkram meremas pinggiran jok.
Mobil berjalan lancar, sehingga persneling tidak perlu dikontrol lagi. Maka tangan Eksanti melepas handle persneling dan membuka kancing atas bajuku, satu-persatu dengan ketrampilan dan ketenangannya. Tak lama kemudian, dadaku yang bidang telah terbuka sebagian. Lalu Eksanti membungkukan badannya sedikit, dan .. aku menggeliat kegelian ketika bibir basah Eksanti tiba di putingku yang kecil. Rasanya seperti disengat kenikmatan dan aku mengerang pelan. Eksanti bahkan lalu mengulum dan menyedot, sehingga aku tak lagi hanya mengerang tetapi juga merintih. Enak sekali, ternyata jika seseorang bermain-main dengan puting susu! pikirku dalam hati.
Tiba-tiba Eksanti memeluk bahuku, lalu mencium leherku sedikit di bawah kuping. Aku menggeliat kegelian, lalu tangan kiriku balas memeluk pinggang Eksanti untuk merapatkan tubuhnya ke arahku. Kemudian aku mendengar ia berbisik dengan nafasnya yang hangat menyentuh tengkukku, “..sekarang giliran Mas juga, yaa..”
Tangan kecilnya yang semula mencengkeram erat sisi jok mobil itu, telah berpindah di atas resliting celanaku. Tangan Eksanti cepat sekali telah menurunkan resleting celanaku yang diam saja tak tahu harus berbuat apa. Lalu dengan lembut tetapi agak memaksa Eksanti meremas-remas dengan lembut kejantananku yang sedari tadi telah menegang keras sekali. Dengan tidak sabar Eksanti membuka celanaku, jari-jemarinya yang letik mulai mengelus-elus di atas celana dalamku yang telah menggembung dan agak basah di sana-sini. Ah, aku pun hanya bisa memejamkan mata, membiarkan apa pun yang akan terjadi berikutnya. Aku pasrah saja. tangan kecilnya mencoba meraup kejantananku dari balik celana dalam katun yang aku kenakan.
Tangannya kini telah menggegam kejantananku yang mencuat keatas, dan tangannya mencoba bergerak naik turun disepanjang kejantananku. Jemari itu lalu meremas pelan, mengelus dan menelusur ke atas ke bawah. Aku memejamkan mataku erat-erat, seakan memastikan bahwa ini adalah sebuah mimpi yang nyata, sebuah kenyataan yang aku impikan. Tubuhku meregang merasakan jemari itu melakukan sesuatu yang menakjubkan, membuat seluruh daerah di bawah perutku terasa tiga kali lebih besar dari biasanya.
“Achh..”, aku mendesis pelan, sembari tangan kiriku tetap menusuk-nusuk bibir kewanitaannya dengan irama yang semakin cepat dan semakin cepat. Eksanti semakin mengelinjang-gelinjang merasakan kenikmatan luar biasa.
“Mas.. makin dalam..Mas, makin cepat Mas.. please..”, Eksanti berteriak-teriak lirih. Nafasnya memburu, merasakan dirinya kini tengah mendaki menuju puncak asmara. Oh, mudah-mudahan tidak ada lampu merah. Mudah-mudahan mobil lancar terus sampai Radio Dalam.
Mulut Santi terus mengulum putingku yang kecil, tangannya terus menggosok-meremas. Dua sumber kenikmatan saling bertumbukan di tubuhku, menyebabkan badanku bergetar hebat. Sebuah desakan gairah mulai terkumpul di tubuh bagian bawahku, membuat kedua pahaku terasa berat untuk memainkan pedal gas dan kopling. Seluruh otot tubuhku seperti sedang bersiap-siap meledak, seperti seorang lifter bersiap-siap mengangkat barbel, seperti kuda yang berancang-ancang melompat, seperti burung garuda yang bersiap mengudara.
Gerakan Santi makin cepat, dan sedotan mulutnya makin kuat memilin-milin putingku yang tentu saja tak pernah lebih besar dari semula. Tidak seperti puting payudara Eksanti. Tangan Eksanti naik-turun dengan bergairah, begitu cepat sehingga hanya tampak dalam bayang-bayang. Lalu, dengan tiba-tiba Eksanti merunduk, Eksanti mengarahkan mulut kecilnya menuju kejantananku yang sedari tadi menegang ke atas. Eksanti menciumi kepala kejantananku yang juga mengeras, Eksanti menjilatinya dan darahkupun mengalir deras ketika lidah lembutnya menyentuh lubang kecil kejantananku.
“Achh.. geli, tapi enak sekali..”, aku berkata lirih. Lalu mulut kecilnya mulai mengulum-ngulum kepala dan badan kejantananku, sementara tanganya tetap bergerak keatas kebawah seirama dengan gerakan mulut kecilnya itu. Semakin cepat, dan semakin cepat.., dan jantungkupun berdegup semakin keras. Jari tanganku juga semakin cepat menusuk-nusuk lubang bibir kewanitaanpun, seirama dengan gerakan mulutnya yang mengulum-ngulum kejantananku.
“Cepat, mass..” desahnya sambil menggeliat. Aku melihat spedometer, lho.. ini sudah 80 km per jam. Kurang cepat apa? “Cepat, Mas.. ” desahnya lagi. Ah, tololnya aku! sergahku dalam hati. Eksanti tidak menyuruhku menancap gas mobil. Eksanti menyuruhku mempercepat gerakan tanganku. Sambil menahan senyum, aku pun mempercepat gerakan jariku. Keluar-masuk. Berputar. Keluar-masuk. Berputar. Semakin lama, semakin cepat. Semakin membuat Eksanti menggeliat, mendesahkan erangan-erangan kecil, dengan nafas yang semakin memburu. Eksanti sedang menuju klimaks. Kedua kakinya semakin mengangkang. Punggungnya melenting, kepalanya mendongak dengan mulut setengah terbuka. Kedua tangannya erat mencengkram sisi-sisi jok. Oh, sebentar lagi. Sebentar lagi.., sedikit lagi..
Beberapa saat kemudian, “Oocchh..Mas, Santi nggak tahan..”, Eksanti menjerit sambil menggigit kepala kejantananku dengan lembut, sementara tangannya tetap mengocok-ngocok kejantananku semakin cepat. Aku mengerang panjang ketika akhirnya aku tak bisa lagi menahan serbuan puncak birahi menerjang mencari jalan keluar. Apalagi kemudian satu tangan Eksanti yang masih bebas, ikut bermain di bawah sana, memegangi kantong di bawah kelaki-lakianku yang seperti mengeras-membatu. Tangan Eksanti meremas pelan kantong kenyal itu. Pelan saja, tetapi sudah cukup membuat aku menggeramkan penyerahannya, mengerangkan kepasrahannya, ketika dengan deras cairan hangat kentalku hendak lepas dari tempat persembunyiannya, ingin menghambur keluar.
Sepuluh detik berselang, aku merasakan seluruh otot badanku menegang, dan akhirnya..”Oochh.. sayang.. Mas mau keluarr..”, aku berkata setengah berteriak dan Eksanti semakin mempercepat irama gerakan mulut dan tangannya. Kenikmatan yang aku rasakan semakin memuncak dan.. “Sayangg.. Mas keluarr..”, aku menjerit pelan, seraya mengeluarkan ledakan lava panas pertamaku di dalam mulutnya. “Ochh..”, Eksanti terkaget sejenak, tetapi tetap mengulum kejantananku. Kini yang aku dengar dari mulut Eksanti hanya suara “Aarrcchh.. aarrccrhh.. aarrcchh..”, sambil melepas kejantananku dari mulutnya dan membantingkan badannya turun dari atas pangkuanku.
Dengan nafasku yang masih terengah-engah, aku memiringkan sedikit pinggang dan badanku, agar semprotan lava cintaku tidak mengenai muka dan rambut Santi. Kurasakan kenikmatan yang luar biasa pada ledakan-ledakanku berikutnya, geli.. tapi nikmat sekali.. Lava panas ledakanku yang pertama menetes deras dari mulut kecil Eksanti, membasahi badan kejantananku, licin dan nikmat sekali. Lalu Eksanti menyapu-nyapu kejantananku dengan lidahku mencoba menghisap kembali lava nikmat itu.. Lampu jalanan di luar kendaraan tampak memudar di mataku. Jok mobil yang aku duduki terasa seperti awan yang membumbung membawa tubuhku melayang. Jemari dan tangan Eksanti masih meremas menggosok. Mulutnya yang basah masih mengulum-menyedot. Dunia nyata seakan berkeping-keping. Meledak menghamburkan pijar-pijar pelangi di kepala ku. Sungguh menakjubkan!
Lalu sepi bagai turun dari langit. Aku tergeletak lemas. Nafas kami berdua masih memburu. Eksanti mengelap mulutnya yang penuh dengan ceceran cairan cintaku dengan tangannya, lalu memencet hidungku sambil berkata “Mas jahaat.. mau keluar tidak bilang-bilang, sampai ada yang sedikit masuk ke mulut Santi..”, sambil terus memelukku dan mencium pipiku. Aku membalas memeluk dan mencium bibirnya, seraya berbisik mesra. “Saayaang.. tidak apa apa, itu protein kok.., bukan cairan kotor..!”
Dua menit berlalu, lalu Eksanti mengelap kejantananku dengan tissue basah dan menutup kembali resliting celanaku dengan pelan. Sementara kejantananku masih tetap menegang. Eksantipun juga menaikkan kembali celana dalamnya, menutup bulu-bulu lembut di atas bibir kewanitaannya.
Tak terasa kami telah sampai di mulut jalan kecil menuju rumahnya. Tangannya masih tetap meremas jemariku, ketika mobil telah sampai di depan pagar rumahnya. Mobil kami berhenti dengan mesin dan AC yang masih tetap menyala.
“Sudah, ah.., nanti ketahuan orang di rumah!”, sergahnya ketika aku hendak mulai membelainya. Aku tertawa lagi.
Aku memeluk dan mencium dahinya seraya berkata, “Santi, terima kasih sayang..”
“Mas, udah lega belum..?”, ujarnya seraya matanya menatap sayu ke arahku.
“Tentu sayang.., kamu memang paling pinter membahagiakan mas”, pujiku tulus kepadanya.
“Santi juga puas Mas.., tapi kadang-kadang Santi takutt..”, Santi berkata pelan sambil menunduk.
“Takut..kenapa?”, aku sedikit kaget dengan pernyataannya.
“Takut kalau ada yang tahu.., terus juga takut ntar kalau Santi kepinginn.. jalan terus sama Mas, gimana?”
“Achh.., Santi kan tinggal bilang sama mas”, aku menjawab sekenaku sambil tersenyum geli. Aku memang tidak terlalu siap untuk menjawab pertanyaannya dengan serius. “..tapi kalau Mas yang ketagihan gimana?” aku balik bertanya penuh canda, mencoba menetralisir suasana.
“Achh.. nggak tahu achh.. Santi suka pusing kalau mikirin yang beginian”, jawabnya mengelak pertanyaanku.
“OK.., kalau begitu kita jalanin aja yaa.., nggak usah dipikir-pikirin. Ntar pasti juga ada jalan keluarnya. Sampai besok yaa..”, aku berkata pelan sambil sekali lagi mencium keningnya dan membantunya membuka pintu mobil dari dalam.
“Hati-hati yaa.. Mas, besok lagi yaa..”, ucapnya penuh arti sebelum menutup pintu mobil, mengakhiri perjumpaan kami malam itu.
Akupun tersenyum sambil mengangguk. Mobil berlalu, dan aku masih terbayang kenikmatan yang baru saja kami alami, aku meraba kejantananku.. achh.. dia telah terkulai kecapekkan. Segala imajinasi birahi lenyap dari kepalaku, seperti api yang padam disiram berember-ember air dingin. Mobil meluncur cepat, masuk ke jalan tol, melaju ke arah selatan, ke rumahku.
.