Fitri, nama gadis itu. Pertama kali kami
berjumpa, ia nampak lugu, santun dan sederhana, baik dalam sikap maupun
kata-kata. Dia telah lulus SMA di kotanya Padang,
dua tahun sebelum tiba di Jakarta
untuk bergabung dalam sebuah program study-banding mengenai pengorganisasian masyarakat
di dalam dan di luar negeri. Selama itu ia hanya diam di rumah, meningkatkan
kemampuan komputer dan bahasa Inggerisnya.
Aku tak tahu persis apakah dia masih perawan
atau tidak. Yang aku tahu, dia anak tunggal, ayahnya bankir di kotanya, sedang
ibunya pernah bekerja sebagai pengacara selama 10 tahun. Usianya 21 tahun,
tinggi 168cm, dengan tubuh proporsional dan padat. Dadanya tidak besar.
Pinggangnyaramping sekali. Di kemudian hari ketika aku memeluknya, pinggangnya terangkul
habis hanya oleh pelukan satu lengan saja. Pinggulnya padat dan terkesan seksi
kalau ia mengenakan celana jeans yang selalu membungkus rapat belahan pantatnya
yang bercelah agak dalam. Kulitnya sawo matang tapi bersih. Itu membuatnya
parasnya manis apalagi mata hitamnya yang bulat itu selalu terlihat cerah.
Fitri bergabung ke dalam kelompok yang aku fasilitasi. Sebelum ke luar negeri,
semua peserta program ini berkumpul di Jakarta
untuk beberapa lokakarya bersama dan sosialisasi semangat kelompok. Sebagian
besar peserta belum pernah ke luar negeri sedang setengahnya baru untuk pertama
kali keluar dari kotanya. Tiga hari menjelang
keberangkatan kami ke Canada, ayah-ibu Fitri datang ke Jakarta. Setiap malam keduanya
datang menjenguk putri tunggalnya di pusat persiapan kami, sebuah gedung di
Cempaka Putih. Seluruh peserta dibagi dalam lima kelompok. Aku menjadi
fasilitator salah satu kelompok yang terdiri dari 7 orang; masing-masing 4
perempuan dan tiga laki-laki dengan usia sekitar 20 s/d 25 tahun.
Di kelompok ini Fitri memang tidak bisa menandingi kecantikan Shira (campuran
Bugis-Jerman), atau kelincahan Irma (puteri asli Timtim berdarah Porto), atau
wajah hangat Ratih (gadis periang campuran Sumba-Jawa). Tapi Fitri menarik
perhatian. Ia cerdas dan tekun. Kalau melihat punggungnya, pantatnya yang bulat
berisi itu selalu nampak merangsang. Sedang dari depan, matanya yang bulat dan
hitam ditambah warna kulitnya yang tidak pucat selalu membuat orang kerasan memandangnya
berlama-lama. Apalagi Fitri suka mengenakan kemeja dan blue-jeans dan selalu
melepas satu kancing bagian atas kemejanya. Gayanya tenang tapi penuh perhatian
jika bercakap-cakap dengan orang lain. Ia suka menatap mata lawan bicaranya
penuh-penuh.
Selama
dua minggu berada di Jakarta bersama-sama, kelompok ini kubina agar memiliki spirit sebuah keluarga. Aku sering mencari waktu berbicara dengan
mereka, orang-perorang atau orang tuanya yang menjenguk mereka untuk mengetahui
pribadi mereka masing-masing. Mungkin karena itu aku dianggap sebagai kakak
mereka yang paling sulung. Kami punya waktu sekali dalam dua hari, selama tiga
jam untuk bicara dari hati ke hati tentang hal-hal di luar fokus study banding.
Dalam banyak kesempatan Fitri membantu saya dalam pengorganisasian kelompok. Ia
cepat memahami apa yang harus dikerjakan, tanggap dan mampu melakukan persuasi
kepada anggota kelompok lainnya maupun kepada saya. Dari orang tuanya aku
mengetahui Fitri sebagai seorang yang dibiasakan menjadi penurut, disiplin dan
santun oleh ibunya.
Sedang dari ayahnya, Fitri berlatih menjadi seorang yang mengenal kehangatan
kasih-sayang dan perhatian. Tapi pengasuhan kedua orang tuanya menjadikan Fitri
seorang gadis belia yang tahu banyak dari buku, banyak membaca, cerdas, tekun
tapi berpengalaman sangat sedikit. Ia tahu banyak tentang USA, Italia dan
Australia atau suku Asmat di Papua tetapi inilah kesempatan pertama ia
meninggalkan kota dan lingkungan rumahnya yang hangat. Ia mengerti istilah
masturbasi, ejakulasi, penis, vagina, clitoris dan yang sejenis tapi belum
pernah tahu bagaimana nikmatnya jika clitoris mengalami kontraksi misalnya karena
rangsangan penis.
Kontingen kami (lima kelompok) berangkat ke Canada malam hari, November 1999..
Sangat kebetulan, perjalanan panjang itu kulewatkan di pesawat terbang dengan
duduk disamping kiri Fitri yang mendapat tempat dekat jendela. Ia nampak exited
memulai perjalanan ini. Sehingga kadang-kadang ia berbicara sangat banyak tapi
kadang-kadang juga diam tertegun lama. Karena kelelahan mengurus persiapan
kelompokku sebelum berangkat, aku tertidur ketika pesawat "take-off"
meninggalkan Cengkaren menuju Bangkok. Ketika makan malam dibagi pramugari,
Fitri membangunkanku dengan cara menggaruk-garuk dadaku. Setelah beberapa kali
dilakukannya, aku terbangun dengan rasa setengah terangsang.
Garukan lemah tangan kanan Fitri itu berkali-kali menyentuh puting susuku.
Fitri mungkin belum mengenal tubuh laki-laki dengan baik. Ia tak tahu akibatnya
kalau dada seorang laki-laki digaruki persis di bagian susunya. Selesai makan,
aku masih ngantuk tapi sebelum tertidur lagi, aku iseng memberitahu Fitri bahwa
garukannya tadi menimbulkan rasa enak pada syaraf-syaraf sensorisku.
Dia
agak terkejut. Semula dia merasa bahwa yang bisa bergairah kalau puting susu
disentuh berulang- ulang adalah perempuan. Karena itu sambil senyum-senyum ia
menggodaku dengan kembali mengaruk-garuk dadaku pada wilayah putting susuku
Lama- lama rasa kantukku lenyap. Aku kembali melayani obrolan Fitri tentang macam-macam
hal. Jelas sekali bahwa perjalanan pertamanya ke luar negeri ini membuat
perasaanya meluap-luap, dan aku menjadi sasarannya.
Aku
cerita tentang buruknya musim dingin bulan November di bagian tengah atau
pedalaman sebelah timur Canada. Tapi matanya bersinar-sinar
kalau aku ceritera tentang hangatnya dan indahnya kota Vancouver di pantai
barat Canada. Ia sendiri berceritea misalnya tentang Padang,
dan tentang percobaan pacarannya dulu yang menjemukan. Maklum pacarnya dulu adalah
jenis anak kompleks perumahan pejabat yang masih hijau tapi bergaya salon,
boros dan tak tahu cara berciuman yang menyenangkan. Sejak lulus SMA dua tahun
lalu ia tidak berhubungan lagi dengan pria itu.
Aku
dan Fitri kemudian ngobrol tentang pekerjaan-pekerjaan LSM yang kutekuni,
tentang kegiatan renangku, tentang pacar-pacarku, dan tentang pengalaman
seksualku yang dimulai sejak usia 14 tahun. Fitri
mendengarkannya dengan rasa ingin tahu yang besar.
Malam beranjak larut ketika lampu kabin pesawat mulai meredup dan layar
televisi menayangkan film Titanic. Perhatian kami berdua terfokus
ke layar sambil kadang-kadang bertukar kalimat-kalimat pendek. AC kabin pesawat
lama-lama menyemburkan hawa sangat dingin. Fitri tidak membawa satupun baju
hangat. Kemeja putihnya yang agak tipis membuat bahunya kedinginan. Lalu ketika
selimut dinaikkan ke bahu, kakinya kedinginan. Akhirnya selimutku kuberikan
untuk menutupi kakinya yang telah dilipat naik ke atas kursi. Lalu aku
tiba-tiba ingin merokok. Aku pamit ke kursi paling belakang meninggalkan Fitri.
Tapi lima belas menit kemudian ia menyusulku. Katanya ia tak mau tidur melewatkan
pengalaman terbang malam ini begitu saja karena itu ia ingin punya teman
bicara. Pembicaraan antar kami terjadi sambil berbisik karena di barisan depan
kursi kami ada sepasang kakek dan nenek serta sepasang muda-mudi bule yang
nampaknya ingin tidur. Karena berbisik, mulut kami sering
mampir dekat sekali ke kuping masing-masing. Ada saja yang ingin Fitri katakan
atau komentari.
Tiba-tiba
pasangan muda bule di depan kami nampak berangkulan sambil berciuman di bawah
satu selimut, sedang pasangan kakek-nenek itu mulai mendengkur. Ini jadi bahan
pembicaraan Fitri. Ia menyuruhku menebak apakah pasangan muda bule itu sekedar
berangkulan atau melakukan keintiman lain. Aku tak begitu tahu dan pantang mengintip
mereka.
Karena itu aku menjawab Fitri dengan membangun imajinasiku tentang mereka. Kataku, "Mereka pasti berciuman dengan bibir, saling memagut lidah,
kemudian saling menjilati kuping masing-masing."
Kata
Fitri, ia tak tahu kalau gairah bisa timbul kalau kuping dijilati. Karena itu aku
suka memberi penjelasan yang diikuti Fitri dengan serius. Kadang-kadang aku
melucu. Fitri gemas dan bergerak refleks menggaruk dadaku tepat di radius
sekitar puting susuku sebelah kanan kemudian bergantian ke kiri. Ia senang melihat aku menggelinjang. Baginya, aku berhasil dikerjain. Aku ingin membalasnya tapi sungkan melakukannya langsung. Terlalu kekanak-kanakan rasanya. Fitri tahu aku agak menjaga perilaku sebagai fasilitator kelompok. Karena itu Fitri tampak tidak waspada. Padahal aku sedang menunggu kesempatan yang baik.
Ketika
Fitri mencoba mengenakan penutup yang dibagi parmugari, aku gunakan kesempatan
itu. Setelah menunggu beberapa menit aku mencolek dadanya. Aku sengaja, dan
melihat gelinjangnya. Sejauh itu Ia tak marah ketika beberapa kali aku
menggodanya dengan cara itu.
Tiba-tiba
posisi duduk pasangan muda bule di depanku berubah. Kepala sang perempuan yang duduk
itu tampak lebih tinggi dari kepala pasangannya. Rupanya ia pindah duduk ke
atas paha laki-lakinya. Fitri menyuruhku menebak apa yang mereka lakukan.
Kataku,
mereka pasti sedang berpangkuan. Mereka "coitus".
Fitri
memaksaku menjelaskan arti "coitus". Aku bicara terus terang. Coitus
itu sanggama. Perempuan bule di depan itu sedang memasukan kemaluan
laki-lakinya ke dalam lobang vaginanya sambil duduk di pangkuan sang laki-laki,
kadang-kadang menegakan badannya, kadang-kadang menyandarkan punggungnya ke
dada sang laki-laki. Keduanya tetap menatap ke depan, tapi tangan sang
laki-laki berada di pangkal paha bagian dalam sang perempuan, mengusap-usap
pinggiran bibir kemaluan sang perempuan dan menimbulkan rangsangan tambahan
bagi sang perempuan.
Fitri
mendengarkan serius ketika aku mengatakan bahwa itu posisi yang enak bagi
keduanya. "Mengapa?" tanya Fitri polos. Dikiranya aku mengarang. Tapi
lama-lama suara lenguhan lembut sang perempuan terdengar. Lalu perempuan itu
bergerak antara duduk dan setengah berdiri. Kepalanya terdongak setengah ke
arah langit-langit kabin.
Fitri
mengintip dan ia sempat melihat pinggang perempuan bule itu telanjang sampai ke
kaki, ketika selimut yang tak kuasa melindungi gerakan mereka tersibak. Pas di
bawah paha dan pantat perempuan bule itu terlihat bagian pinggang laki-laki
yang juga telanjang hingga ke kaki. Fitri menggambarkannya kepadaku, lalu aku
menafsirkannya sebagai senggama dengan kenikmatan terbanyak pada laki-laki.
"Bagaimana
enaknya, Mas?" tanya Fitri.
"Ya,
karena batang kemaluan sang lelaki yang keras itu diayun ke arah bawah lalu ke
atas lagi. Sedang tangan sang laki-laki bebas meraba-rasa puting payudara
perempuan dan mengusap-usap pinggir kemaluannya."
"Terus,
Mas?" tanya Fitri lagi.
"Akibatnya, penis laki-laki yang diayun itu bertambah keras dan terasa dibelit-belit
vagina perempuan yang pasti hangat. Sementara sang perempuan
menerima banyak rangsangan luar pada payudara maupun pada bibir kemaluannya."
Fitri
nampak kurang mengerti sehingga aku mencontohkan posisi penis dalam kemaluan
perempuan itu dengan menggunakan jari-jari kedua tanganku, kemudian menunjukkan
bagaimana dengan posisi duduk berpangkuan, tangan sang laki-laki leluasa beroperasi.
Ia senyum-senyum sambil sekali-sekali melipat kedua tangannya dengan ketat ke
dada. Atau bersikap hendak tidur tapi ketika sudut mataku melihat mata Fitri
terpejam, aku menggodanya dengan menyentuh puting susunya dengan garukan lemah.
Ia menggeliat, mencubit pangkal lenganku, kemudian pahaku.
Beberapa
kali itu terjadi sehingga aku merasa terangsang; bukan karena cubitannya,
tetapi karena jariku mendapati puting susunya mengeras. Untuk menghindari
godaanku, Fitri melipat tangan kursi yang memisahkan "seat" kami,
lalu menyandarkan dadanya rapat-rapat ke lenganku. Aku tahu, bahwa posisi ini
lebih memudahkan aku menggodanya. Apalagi kemudian posisi pasangan bule di depan
kami berubah lagi.
Sang
perempuan kembali duduk lalu berbaring di kursinya, sedang sang lelaki
menundukan kepalanya agak dalam ke arah selangkangan perempuan itu. Tak
terlihat apa-apa kecuali kepala sang laki-laki yang bergerak naik-turun. Tapi
suara lenguhan mereka yang tertahan dan sengaja dipelankan itu tetap terdengar.
Nampaknya
Fitri bergairah ketika mendengar penjelasan imaginatifku tentang apa yang
mereka lakukan. Ia bersandar lebih rapat ke lenganku sehingga aku merasa
kekenyalan bukit payudaranya yang tidak besar itu, tepat tersandar di lenganku.
Aku heran, payudaranya kecil tetapi putingnya agak gede dan berdiri tegak
meninggalkan tanda bulat di dada kemejanya. Tapi aku tahu persis bahwa semua
cerita intim dan gesekan tubuh kami merupakan fore-play yang effektif.
Di
kemudian hari Fitri bercerita bahwa akulah lelaki pertama yang bicara padanya
terus-terang mengenai hal-hal yang membuat jantungnya berdebar, perutnya menegang,
puting susunya mengeras dan selangkangannya dibasahi oleh cairan kental vagina
yang hangat. Akulah lelaki pertama yang digaulinya tanpa rasa kuatir atau perlu menutup diri. Tapi dia merasa aku tidak
agresif dan itulah yang membuatnya amat penasaran. Puting susunya selalu aku
sentuh pada saat yang tepat dan antara sengaja dan tidak sengaja; sehingga rasa
takut atau malunya berganti dengan rasa gatal yang menebar diujung-ujung syaraf
tubuhnya.
Malam terus mendaki, sementara lengan tangan kananku telah berada di tengah-tengah
susu Fitri. Kepalanya bersandar di bahuku, setengah tertidur. Lalu jari-jari
tangan kananku sering hinggap mengelus rambut di atas dahi atau keningnya.
Berat badannya Fitri hampir jatuh seluruhnya di lengan kananku sehingga ketika
bagian bawah lengan kananku bergerak ke atas mengusap rambutnya, lengan kanan
bagian atas akan menggeser buah dadanya.
Kalau
aku agak menekan-nekan buah dadanya, jari-jari tangan kiri Fitri meremas paha
kananku. Aku tahu, Fitri sedang menikmati susunya terusap-usap. Aku mencoba
melakukannya dengan sangat lembut sehingga Fitri tidak menolak. Nampaknya Fitri
memilih menikmati perasaan gairah dan gatal, ketimbang menyingkirkan lenganku
dari bidang dadanya. Gesekan itu terus kulakukan berulang-ulang dan semakin
terasa tekanan dada Fitri semakin rapat ke lenganku.
Kugamit tangan kanannya yang semula disandarkan ke lututnya yang sedang ditekuk
di atas tempat duduk, kugenggam dengan jemari tangan kiriku, kemudian secara
refleks kubawa ke bibirku, kukecup lembut lalu kusandarkan kembali di dadaku.
Beberapa kali jari-jari Fitri kutarik masuk dan menggeser perlahan puting
susuku. Ia hanya mengikuti tutunan tangan kiriku saja. Lalu aku menggelinjang.
Fitri
berbisik, "Rasanya seperti apa, Mas?"
Aku
tak menjawab tapi aku menggeser lengan kananku persis di atas puting susunya.
"Seperti
ini, Mas?" tanyanya sambil senyum.
Wajahku
menoleh ke kanan, mendekat ke kupingnya, lalu aku berbisik beberapa milimeter
dari daun kupingnya, "Rasanya merangsang." Nafasku terasa menggelitik
di rongga kupingnya tapi karena lengan kirinya berada di balik lengan kananku
sedang lengan kanannya berada di dadaku dan didekap tangan kiriku, Fitri tak
bisa menghalangiku dengan tangannya, sedangkan badannya tak juga bisa digerakan
bebas.
Ketika
Fitri tak bisa menghindari semburan nafas hangatku yang mengusik rongga
kupingnya, kepalanya ditekan ke bahuku, Aku tahu, gairahnya muncul dari puting
susunya yang ketekan dan keusap-usap oleh lengan kanan-ku bagian atas. Sebelum
kepalanya tiba di bahuku, kupingnya bersentuhan bibirku. Lidahku kujulurkan ke
arah telinga Fitri lalu kujilat dua kali.
”Aakh,”
suara Fitri tertahan. Tangan kanannya bereaksi meremas dadaku, menggeser puting
susuku kembali.
Malam
terus merangkak naik. Tangan kananku berpindah ke lutut Fitri sambil bergerak
turun membelai paha bagian dalamnya. Fitri terpejam. Aku terus melakukannya
dengan sangat lembut. Dan ketika tangan kiriku yang mengenggam tangan kanannya
kubawa turun hingga punggung jari-jari tangan kanannya berhenti tepat di atas selangkanganku,
Fitri yang setengah tertidur agak tersentak. Bersamaan dengan itu jari-jari
tangan kananku mengelus pahanya hingga turun menyentuh bagian atas vaginanya
dari luar celana panjang.
Fitri
secara refleks merapatkan jarak pahanya sambil menggumam lemah, "Mmmm, Mas
nakal ya"
Aku
lebih menekan punggung tangan Fitri ke atas posisi penisku yang semakin
mengeras, menegang. Dan reaksi Fitri terasa pada bagian atas lengan kananku
yang menyandar di buah dadanya. Ia terkadang menjepit bagian bawah lengan
kananku yang kini bertumpu di atas posisi vaginanya, dengan pahanya. Aku agak
terkejut ketika ruas jari tengahku terasa menyentuh satu titik yang basah di
celana panjang Fitri, tepat di daerah mulut kemaluannya.
Sementara
itu film di layar televisi telah berakhir, cahaya dalam kabin semakin meredup.
Perempuan bule di depan tempat duduk kami kini nampak duduk mengangkang di atas
paha lelakinya sambil menekuk lututnya yang bertumpu ke atas tempat duduk sang
lelaki. Mereka nampak sambil saling melumat bibir. Fitri menangkap pandanganku
dan menuruti arah tatapanku ke pasangan bule itu. Sementara itu aku menekan
permukaan celananya dengan telapak tangan kananku. Fitri meremas dadaku sampai
hampir seperti mencubit.
"Mas.."
Katanya. Aku menolehkan kepala hingga mulutnya sangat dekat ke pipiku. Lalu ia berbisik, "Aku belum pernah begini, Mas. Malu, aku."
Aku
lalu memindahkan tanganku dari permukaan jeansnya di tengah selangkangannya
lalu tanganku berpindah ke rambutnya. Aku ingin menenangkan dirinya sambil
mengusap rambutnya. Tapi beberapa menit kemudian tanganku kembali ke selangkangannya.
Aku menekan perlahan sambil mengusap.
"Kamu
mau ke toilet, Fit?" tanyaku.
Ia
menggeleng, "Sebentar lagi, Mas."
Aku
tahu Fitri hendak menikmati suasana ini yang baru pertama kalinya dirasakannya.
Lalu aku terus memijat sambil merasakan reaksinya dari tangan kanannya yang
mencubit dadaku dan pahanya yang menjepit-jepit tanganku. Tanganku lalu naik ke
arah retsleiteng celananya memberi isyarat. Ia tidak bereaksi apa-apa lalu
tangan kiriku bergerak cepat membantu menemukan retsleitingnya. Dari posisi restleiting,
tangan kiriku langsung ke kancing celananya. Sambil mengangkat kepala menoleh
kiri-kanan, Fitri menurunkan kakinya yang semula melipat ke atas kursi. Good...
Lalu
aku berbisik, "Fit, aku ambil selimut ya !"
Ia mengangguk.
Aku
pun berdiri. Fitri berkesempatan merenggangkan tubuhnya. Aku pikir itu baik
sebagai selingan. Aku mengambil dua selimut di kursi kami. Kutebar pandanganku ke sekeliling dan mendapat semua penumpang sedang
tertidur. Hanya satu-dua orang yang sedang membaca dengan bantuan lampu baca di
atas tempat duduknya. Kedua selimutnya kami pakai menutupi bagian bawah tubuh
kami. Ketika tanganku menebar selimut di atas paha Fitri, aku mendapati kancing
dan retsleiting celananya telah terbuka. Fitri menyambut ujung selimut dari
tanganku dan menariknya ke arah perutnya.
Aku menangkap moment itu lalu jari-jari kananku yang terlepas dari selimut
singgah di permukaan celananya yang telah terbuka. Jari tengahku menangkap
permukaan celana dalamnya yang halus. Kulebarkan jari-jariku dan mulai mengusap
bagian rambut kemaluan Fitri. Usapan itu tidak langsung menyentuh vaginanya
sehingga tubuh Fitri tidak menegang, tapi ia nampak menunggu.
Lalu
setelah lima menit jari tengahku turun bebera senti ke arah klitorisnya. Kedua
tangan Fitri saat itu memeluk bagian atas lengan kananku. Payudaranya terasa menekan
lenganku. Rupanya ia hanya memakai semacam singlet, tanpa kutang sehingga
bentuk payudaranya yang asli dan belahannya terasa langsung di lengan kananku.
Jari tengah tangan kananku lalu menekan klitorisnya dengan tekanan lemah tapi
aku sudah merasa denyut klitorisnya satu-dua kali. Fitri betul-betul
terangsang.
Jariku
kemudian bergeser agak kebawah. Klitorisnya terusap tapi tidak kutekan. Ujung
jari tengah tangan kananku meluncur hingga ke bagian bawah kemaluan Fitri yang masih
terbungkus celana dalam. Terasa basah di bagian ini. Aku memainkan ujung jariku
sejenak dengan gerakan memutar. Akibatnya, cairan kemaluan Fitri tersapu agak
merata di bagian bawah vaginanya, mendekat ke wilayah sempit antara vagina dan
anus.
Ketika
tanganku kutarik lagi ke tas perlahan, jari tengahku dengan sendirinya mengusap
irisan vaginanya. Sementara jari telunjuk dan jari
manis-ku agak menekan pinggiran kemaluannya. Aku menarik jari-jariku ke atas sangat perlahan sehingga jari-jariku berkesempatan merasakan bentuk vaginanya hingga
ke pangkal selangkangannya. Lalu ketika jari tengahku tiba di atas klitorisnya,
aku kembali menekan tiga kali berturut-turut dan terasa clitorisnya berdenyut.
Fitri
bereaksi dengan menggigit bagian atas punggungku. Lalu ia berbisik, ”Mas, aku
nggak enak, rasanya penuh getah, antar aku ke toilet dong."
Aku
tidak menjawab tapi terus menekan-nekan klitorisnya beberapa kali. Fitri
kembali meggelinjang dan berbisik, "Mas, aku mau ke toilet."
Aku
tahu dia sukar menahan rangsangan vaginal yang meningkat itu, lalu aku menoleh kepadanya
sambil jari-jariku mengusap bagian atas kemaluannya yang masih terbungkus
celana dalam itu dengan empat lima kali usapan. "Ayo ke toilet, Fit."
kataku.
Aku
melepas tanganku, dan Fitri menarik retsleiteng celananya. Kemejanya dibiarkan
menggantung di luar celananya. Fitri berdiri lalu memeluk tubuhku dari
belakang. Kami berjalan perlahan menuju toilet yang jaraknya dekat dengan tempat
duduk kami. Seorang pramugari yang duduk di kursinya menatap kami lalu
tersenyum. Aku menjulurkan tanganku kepadanya. Ia berdiri dan menyambut
tanganku; kami bersalaman lalu aku memperkenalkan Fitri kepadanya, : "Ini isteriku."
Fitri
menjulurkan tangannya tanpa sungkan, lalu kembali mendorongku ke pintu toilet.
"Mbak,
punya pembalut?" aku bertanya kepada pramugari. Pasti
sang pramugari menduga, isteriku sedang haid. Fitri menggaruk punggungku.
"Ada,
Pak, dalam lemari bagian atas, di toilet." katanya. "Tapi tak tahu
cocok untuk ibu apa tidak," sambungnya.
Aku mengangguk dan langkahku bergerak memasuki toilet bersama Fitri yang masih
memeluk tubuhku dari arah belakang. Nampaknya lutut Fitri agak lemas. Dan itu
dikatakannya sambil tersenyum di dalam toilet. "Mas,
kakiku gemetar." ucapnya sambil tersenyum.
Aku
lalu menyandarkannya ke didnding toilet sambil meletakan jari telunjuk kananku di bibir. "Jangan keras-keras suaranya, Fit." kataku.
Aku
kemudian memeluk dan menyandarkan tubuhnya ke dinding ruang toilet. Kami saling
merangkul. Tangannya melingkar di pinggangku erat sekali, lalu kepalanya disandarkan
ke dadaku. Lengan kiriku melingkar ke bagian punggung atasnya sambil mengusap
turun-naik perlahan. Sedang telapak tangan kananku mengusap sisi kiri atas
kepalanya. Kami saling mengunci diri dengan rangkulan selama beberapa menit. Saat itu, hanya perasaan kami yang bicara.
Aku
merasa mulai terangsang. Ujung kemaluanku mulai basah. Setelah mengecup dahinya
agak lama, pelukanku kukendurkan. Entah mengapa, kepala Fitri kemudian
mendongak ke atas dengan mata terpejam. Aku tak membiarkan momentum ini
berlalu. Kutundukan kepalaku lalu bibirku mencari bibirnya. Dicium tiba-tiba
saat itu, bibir Fitri tidak bereaksi apa-apa, padahal saat itu aku telah mulai
mengecup dan mengulum bibirnya. Sambil mengecupnya kueratkan pelukanku sambil sekali-sekali
mengusap punggungnya.
Lambat-laun
Fitri bereaksi. Ia mengatupkan bibirnya lalu mulai mengisap bibir atasku. Ketika lidahku menyapu bibirnya, lidah Fitri terasa juga bergerak mengelus
bibirku. Tubuh Fitri yang merapat ke tubuhku memungkinkan dadaku merasakan kekenyalan
buah-dadanya. Lama aku mengisap bibir bawahnya dengan lembut, sambil menggeser
dadaku ke tonjolan buah-dadanya. Fitri pasti merasakannya
sebab kulihat ia memejamkan matanya.
Makin
lama kami saling memeluk dan mengulum bibir, makin terasa ada rangsangan
seksual tertentu yang menjalar di tubuh kami. Ketika
lidahku menggeser bagian dalam bibirnya, Fitri memberikan respons yang
seimbang. Sambil mereguk kehangatan sapuan lidahnya, telapak tanganku kugerakan
ke arah depan tubuhnya dan tiba di atas bukit payudaranya. Kurasa lidah Fitri menjilat cepat sambil sesekali menekan bibirku.
Mengetahui
ia terangsang, telapak tangan kananku bergeser ke bawah lagi hingga jari-jariku
tiba tepat di atas ujung puting susunya, Gesekan pada puting susunya membuat
Fitri menggigit bibir atasku. Mula-mula perlahan tetapi
lama-lama menimbulkan sedikit rasa perih. Lalu, ketika kedua jariku kembali
meremas puting susunya, Fitri menarik bahunya agak ke belakang. Mungkin dengan begitu rasa geli di ujung puting susunya dapat diatasi. Tapi
karena bibirnya masih dipagut bibirku gerakan itu tidak membuat dadanya
menjauh.
Setelah
telapak tanganku merasakan bentuk buah dadanya beberapa saat, kugeser tanganku
sedikit lagi ke arah bawah hingga ruas jari tengah tangan kananku tiba di atas
puting susunya. Fitri menggigit bibirku, lalu menggumam, "Mmh..." kemudian menghembuskan
napasnya.
Semburan
keras nafasnya itu membuatku menahan sapuan jariku sejenak, tapi tak pindah
dari ujung bukit payudaranya. Bunyi hembusan nafas Fitri itu merangsangku
sehingga jempolku kugeser menuju puting susunya, menekan sisi kanan puting
susunya sementara ruas jari tengahku menahan sisi kiri.
Fitri
berhenti mengisap bibirku. Lidahnya seperti tertarik ke belakang, mulutnya
setengah terbuka, matanya terpejam. Aku membiarkannya menarik nafas dan sejenak
mengalami rangsangan yang terpusat di payudaranya. Sesudah itu jariku bergerak
kembali, memilin-milin ujung puting susunya. Nafas Fitri terasa memburu seiring
pilinan jariku di puting susunya.
"Mas...
akh!!" suaranya lirih. "Aku mau pipis," katanya.
Aku
mengerti rasa itu tapi kubiarkan Fitri mengetahuinya langsung. Kuhentikan
pilinan jari pada puting susunya. Kedua lenganku pindah melingkari punggungnya.
Fitri merapatkan tubuhnya ke tubuhku dengan melingkarkan kedua lengannya ke
leherku. Ia memelukku erat sekali, seakan berharap dengan begitu gejolak yang
memenuhi dada dan perutnya bisa teredam.
Beberapa
saat kemudian kuregangkan pelukanku dan bergeser sedikit ke kiri, memberi
isyarat agar ia ke toilet di sebelah kanan kami. Fitri melepas rangkulannya di
leherku lalu mengarahkan pandangannya ke tempat buang- air. Kesempatan ini
kugunakan sekaligus untuk memperbaiki posisi penisku. Kumasukan tangan ke dalam
celanaku, memegang kepala penisku dan menariknya ke atas, ke arah pusar, hingga
rasa perih yang dari tadi menyertai rasa nikmat di batang kemaluanku terhenti.
Kini hanya tinggal rasa nikmat di sekujur batang kemaluanku yang mengeras itu.
Sebetulnya terpikir untuk melucuti saja celanaku biar lebih enak. Tapi kemudian
aku berpikir, biarlah saja Fitri yang melakukannya jika ia mau. Sejenak, kedua
pikiran itu saling berlawanan. Bukankah kalau aku telanjang, Fitri bisa semakin
terangsang? Aku sendiri tak begitu pasti. Sebab sedari tadi ketika gairah
datang berulang melecut-lecut syarafnya, Fitri tak menunjukan tanda ingin
melepas bajunya, atau menuntun tanganku ke balik kemejanya yang masih utuh
terkancing. Ahirnya kuputuskan biarlah tangan halus Fitri yang melakukannya
jika ia mau. Dengan begitu, aku tentu akan lebih memahami apa yang sedang dialaminya.
Fitri bergerak mendekati toilet, tapi kemudian berhenti. Tubuhnya sedikit
membungkuk seperti ingin menahan sesuatu yang bergejolak di bagian bawah
perutnya. Aku tahu, tubuhnya baru mulai berlatih mengenal gejolak seksual yang
beberapa saat lalu sempat membuatnya melayang. Aku lalu memeluknya dari
belakang dan menariknya ke arah tubuhku. Bongkahan pantatnya lebih dulu tiba,
menekan batang penisku di balik celana yang telah mengeras. Lalu ketika
tubuhnya menegak, telapak tanganku kembali menjamah bukit payudaranya.
Ia
menyandar ke tubuhku dengan nafas terengah. Matanya terpejam. Bagian atas pantatnya kembali menekan penisku. Aku suka merasakan sensasi
yang ditimbulkan oleh tekanan pantatnya ke batang kemaluanku. Tak sadar aku
mendesah, "Aghhh..." ketika terasa ada gerakan kecil di balik kulit
bagian bawah batang kejantananku. Kelelakianku memang
mengeluarkan cairan yang terus membasahi bagian kepala penisku.
Inilah
saatnya bagiku untuk melakukan penetrasi ke dalam liang kewanitaan Fitri, jika
kami berdua telanjang. Tapi gerakan tubuh Fitri membuatku melepas lagi pelukanku.
Ia bergerak ke toilet. Lalu kubalikan tubuhku menghadap ke cermin. Dari cermin
kulihat Fitri membuka celana panjangnya, menurunkan bagian atas celananya
sekaligus dengan celana dalamnya hingga ke tengah pahanya.
Bukit
pantatnya yang putih terlihat pertama kali ketika celana diturunkan. Ada dua
tahi lalat terlihat di bongkahan kanan pantatnya. Satu yang agak besar terletak
agak ke atas mendekat ke garis pinggang. Sedang bulatan yang
lebih kecil dibawahnya, mendekat ke lekukan pantat. Fitri lalu membalikan badan
dan duduk di toilet. Aku membasuh tangan dengan air dingin tanpa tujuan;
seperti orang tolol. Melihat bagian bawah tubuh Fitri yang telanjang itu, aku
semakin ingin memasuki ruang kemaluannya yang pasti sedang basah itu dengan
batang kelelakianku.
Dengan
bantuan cermin, mataku bergerak menyapu sudut-sudut ruang sempit itu, seakan
mencari tempat yang memadai untuk melengkapi pikiranku tentang persetubuhan. Tanpa
sadar, Fitri mengamatiku. Lalu ketika melalui cermin mataku kembali hinggap
pada tubuh setengah telanjang di balik punggungku, Fitri menangkap pandanganku.
"Ha...
ngintip ya!" katanya.
"Nggak,"
jawabku, sambil senyum dan kembali membuka kran wastafel.
Hampir dua menit berlalu, aku tidak mendengar bunyi orang buang air kecil. Memang, Fitri tadi tidak sedang menahan rasa kencing. Ia sedang sangat
bernafsu. Pijaran nafsunya itu menjalari vaginanya, membangkitkan rasa gatal
yang disertai denyut-denyut pendek, yang dipahaminya sebagai rasa ingin
kencing. Vaginanya sebenarnya sedang mengalami rasa rindu dijejali batang penis
laki-laki yang belum disadarinya.
Dengan
pikiran itu aku membalik tubuhku lalu bergerak menghampirinya. Fitri terkejut
mendapati diriku tiba-tiba jongkok di hadapannya. Ia sadar bahwa bagian bawah
perutnya yang telanjang itu kini terpampang di depan mataku... dekat sekali.
Dalam keadaan normal ia pasti merasa malu. Tapi gerakanku yang tiba-tiba itu
menghilangkan kesempatan munculnya rasa malunya.
Celana
panjang dan celana dalamnya masih diposisi tengah paha dan dari jarak dekat
kusaksikan pinggang dan pahanya yang telanjang itu benar-benar mulus. Tepat di
antara pangkal pahanya, bulu-bulu kemaluannya tampak lebat, hitam. Di bagian pahanya
nampak bulu-bulu panjang dan halus. Lalu, kedua telapak tanganku bergerak
menjamah kedua pipinya. Matanya memandangku. Bibirku maju mendekat ke bibirnya
lalu aku mengecupnya.
Kedua
lengan Fitri kembali melingkari leherku. Aku berhenti mengecup seketika lalu memandanginya
sambil tersenyum. Dan ketika aku kembali mengecupnya, tangan kiriku kutarik
dari pipi kanannya lalu kumasukan ke celah pahanya. Segera saja jari tengahku
telah berada pada irisan kemaluan Fitri. Kurasa bibirku diisap keras oleh Fitri. Pasti jariku merangsangnya.
Lalu
jari tengahku bergerak menekan klitorisnya. Fitri
menggeram panjang. Jariku terus menggosok klitorisnya. Pantat Fitri sedikit
terangkat dari dudukan toilet dan tangannya yang melingkar di leherku terasa
menarik kepalaku. Lalu dengan suara menggeram yang semakin keras, Fitri tiba di
puncak gairahnya.
Aku
menariknya berdiri, sementara jemari tangan kiriku masih tertempel di
vaginanya. Kulakukan gerakan menekan pada vaginanya,
tapi kali ini seluruh permukaan vaginanya mengalami tekanan. Aghhh... Fitri
kembali mengeluarkan suara tertahan. Aku terus mengecupnya. Tubuhnya masih
menegang ketika ia tegak dan merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Kukecup terus
kehangatan di bibirnya, sementara jemari lengan kiriku masih di jepitan bagian dalam
pahanya.
Fitri
tiba-tiba menarik kepala dengan keras ke belakang. Ciumanku terlepas. Lalu ia
memandangku dengan wajah yang tak bisa kumengerti. Aku memandangnya dengan rasa
tidak paham. Lalu ia mendorong kepalanya ke dadaku. Tangan kanannya mencubiti
lenganku keras sekali.
"Massss..."
hanya itu yang bisa ia katakan. "Aku nggak apa-apa
kan?" tanya Fitri sambil terus menyandarkan kepalanya di dadaku.
Aku
menjawab dengan memeluknya agak erat. Ia membalas pelukanku. Lalu kepalanya
menengadah, bibirnya mencari bibirku, kami saling memagut. Fitri mengisap bibir
bawahku sangat keras. Sementara itu celananya dibiarkan tetap di bawah lututnya.
Perut dan pahanya yang telanjang menempel di tubuhku, lalu pada saat yang sama
Fitri merasakan tonjolan batang penisku yang masih tetap berada di balik celanaku.
"Mmmmm..."
ia menggumam. Aku tak tahu artinya. Tapi suara itu membuat jemari lengan kananku
kembali mencari payudara kirinya. Fitri mendesah sebab aku kembali menekan
putingnya dengan keras. Kedua lengannya kemudian terjatuh ke kedua sisi
tubuhnya.
Kupindahkan
lengan kiriku dari vaginanya ke bawah ketiaknya dan kurasakan sebagian berat tubuhnya
menggantung di lenganku. Tapi bibirnya tetap mengulum bibirku. Lengan kananku
kemudian melepas payudaranya dan bergerak ke arah punggungnya, menggantikan
fungsi lengan kiri menopang sebagian berat tubuhnya. Kemudian lengan kiriku
secara refleks mencari jemari lengan kanannya.
Jemari
kami saling memagut lalu birahi kami menggerakkannya memasuki sedikit celah di
antara bagian bawah tubuh kami. Punggung jemari Fitri kini berada di depan
celanaku. Beberapa saat tangannya menetap di sana,
merasakan seluruh gejolak rangsangan yang tanpa henti menahan ketegangan
otot-otot kemaluanku.
Ketika
kutarik lengan kiriku aku merasa pangkal jemari Fitri bergerak menyapu permukaan
celanaku, ke kiri dan ke kanan. Setiap gerakan menimbulkan senggolan pada
batang kemaluanku. Oh nikmatnya gerakan itu. Lengan kiriku
bereaksi segera ke arah pantatnya dan bergerak menyapu permukaan bukit yang
padat itu beberapa kali sebelum kubiarkan berlabuh di sana dalam posisi
meremas.
Fitri kemudian berdiri tegak lagi di atas kedua kakinya, "Mas!" Aku memandangnya sejenak. "Itunya keras ya?!" kata Fitri.
"Mmm..."
hanya itu jawabku sambil terus memilin puting payudaranya.
"Mas,
boleh Fitri lihat?!" ujarnya dengan raut wajah ingin tahu.
Aku
mengangguk dan dengan segera kuturunkan restleting celanaku, kutarik celana
dalamku ke bawah sehingga seluruh batang kelelakianku menyembul keluar. Kuraih jemari Fitri lalu kutuntun ke arah kumpulan otot kelelakianku yang telah
sangat tegang itu. Fitri mengenggamnya. Rasanya sangat
enak.
Seluruh jari dan telapak tangan Fitri menggenggam erat batang penisku. Kupejam
mataku, biar sensasi ini tak lalu begitu saja. Kulit harus telapak tangan dan
jari-jari Fitri yang sedang menggenggam erat penisku terasa mengalirkan rasa
hangat. Mula-mula Fitri hanya menggenggam erat tapi kemudian ketika pantatnya
kuremas, genggaman jari-jari Fitri terasa berubah menjadi remasan
berulang-ulang di batang kemaluanku. Lengan kirinya
kemudian naik merangkul kembali leherku, lalu kami berciuman. Bibirnya masih
basah dan udara dari rongga mulutnya terasa hangat di ujung-ujung bibirku yang
dikulumnya.
Sementara itu semakin diremas, batang penisku semakin mengeras seakan hendak
meledak. Aku tak tahan lalu kutarik tubuhnya merapat ke tubuhku. Batang
kelelakianku terasa menyentuh bagian bawah pusarnya. Kulit ujung kemaluanku
seakan bisa merasakan kehalusan kulit perutnya. Buah pelirku juga terasa
menyentuh bulu-bulu kemaluan Fitri yang lebat. Aku kemudian menekan batang
kemaluanku ke perutnya sambil mempererat rangkulanku di pinggang Firi.
Tekanan
itu membuatku tubuhku bergetar, hangat dan rasa gatal di bagian dalam
kemaluanku bagai teratasi ketika batang kejantananku yang diremas jemari Fitri
itu kutekan-tekan ke perutnya. Jemari lengan kiriku kemudian berpindah dari bongkahan
pantatnya setelah kuremas beberapa kali dengan sangat bernafsu. Kini jemariku
meremas jemari Fitri sekaligus meremas batang kelelakianku. Aku berbisik,
"Fit, aku ajarin cara kocoknya ya!"
Ia mengangguk. Lalu aku menggenggam jemarinya yang melekat di batang penisku.
Kutarik jemarinya agak ke arah kepala kemaluanku sampai jarinya menyentuh
bagian tanpa kulit di ujung kemaluanku yang berbatas lekukan itu Aku merasa ada
cairan yang mengalir lagi keluar dari irisan mulut penisku oleh gerakan itu.
Lalu kugeser lagi jemari Fitri ke arah pangkal batang kelelakianku.
Fitri
menyandarkan kepalanya di dadaku. Ia nampak terangsang ketika kurasa dadaku
digigitnya. Tangan kananku kemudian meremas pantatnya,
beberapa kali, sementara Fitri mengocok kemaluanku perlahan. Agak kaku dan
lambat, tapi remasan jarinya yang keras di batang kemaluanku mampu mengirim
lebih banyak sinyal gairah keujung-ujung saraf tubuhku.
Ding-dong... ding-dong... tiba-tiba terdengar bunyi bel yang biasanya mengawali pengumuman pilot atau pramugari pesawat. Pelukan Fitri mengendor.
Ciuman kami terlepas tetapi jemari lengan kiriku segera membungkus jemari Fitri
yang sedang meremas batang kelelakianku. Aku memperkeras remasannya dan tak mau bagian ini terlepas dari tangannya sambil
mempercepat gerakan mengocok.
Kepalaku
mendongak ke atas merasakan gairah, lalu jemari kananku kembali mengusap pentil
susu Fitri. Secara perlahan genggaman jemari kami berdua yang sedang membungkus
batang kemaluanku itu bergerak menyapu bagian bawah pusar Fitri. Kulepas genggaman
jemari lengan kiriku dan kini Fitri yang menggeser penisku ke kulit bagian
bawah perutnya, sambil sesekali mengocok.
Lantai
pesawat terasa bergoyang. Tiba-tiba terdengar ketukan tiga kali di pintu
toilet.
"Mas..."
kata Fitri perlahan.
Aku
melepas jemariku dari puting susunya. Aku lupa bahwa kami berdua sedang di toilet
pesawat. Tanpa sadar Fitri telah melepas genggamannya dari batang penisku, yang otomatis mulai kehilangan ketegangan. Aku segera memasukkannya kembali, lalu menarik retsletingku ketika kulihat Fitri menunduk
dan menarik celana panjang dan celana dalam cream-nya ke atas. Kami berdua
merapikan pakaian lalu membuka pintu.
Pramugari
berdiri di luar pintu sambil memberi tahu cuaca buruk sehingga penumpang harus kembali ke tempatnya. Aku tak ingat lagi apakah tadi lampu
isyarat "fasten seat belt" menyala di toilet atau tidak. Aku tahu
pramugari menangkap air muka kami yang baru saja terlepas dari belitan gairah
di setiap sudut vital tubuh kami berdua. Untung cahaya lampu di kabin sangat
redup.
Aku
mengangguk kepadanya sambil mengucapkan terima kasih. Sudut mataku menangkap
wajah Fitri yang masih dipenuhi gelora birahi. Ia menunduk. Kugenggam tangannya
lalu kami berdua menuju seat kami di bagian belakang. Kami menebar selimut menutupi
tubuh kami berdua dari bawah leher hingga ke lutut. Aku duduk agak menyamping
ke arah Fitri lalu lengan kiriku kuselip ke balik kemejanya. Fitri merebahkan
kepalanya ke pundakku sambil terpejam. Tangannya kirinya baru tiba ke
selangkanganku, menemukan penisku yang tidak menonjol karena lemas, ketika
lampu kabin tiba-tiba menyala.
Terdengar suara pramugari, beberapa menit lagi kita akan mendarat di lapangan terbang internasional Honolulu, Hawai. Kami saling memandang dan
tersenyum. Gairah yang mengelegak itu baru saja kami bagi bersama menjelang
memasuki pintu gerbang USA. Aku membisikkannya ke Fitri lalu ia tersenyum,
sementara goncangan kecil terasa ketika roda-roda pesawat keluar secara
otomatis.
Aku
baru ingat, bahwa kami harus mengisi formulir keimigrasian. Aku duduk tegak,
melepas selimut dan merapikan bajuku, lalu mengajak Fitri mengisi formulir itu.
Sepintas lalu kulihat bajunya agak kusut terutama di bagian dada. Aku berbisik,
"Fit, maafkan aku!"
Ia
memandang tajam mataku langsung seperti biasanya, lalu mengalihkan pandangannya
kembali ke formulir imigrasi USA yang harus diisinya, sambil menggumam,
"Sekarang ajarin aku Mas, bagaimana baiknya mengisi formulir ini".