Malam Pertama Yang Tertunda
Kami bisa menikah karena aku dijodohkan dengannya, Meyda
adalah anak dari teman karib ayahku. Kalau tidak, bagaimana mungkin Meyda yang
sudah jadi artis, mau sama aku yang pegawai biasa ini. Ayah Meyda banyak
menolong keluargaku ketika keluargaku mengalami kesulitan, tentu dengan alasan
balas budi kedua orang tuaku memaksaku untuk menyetujui perjodohan ini, apalagi
yang mencetuskan ide itu adalah ayah Meyda. Ia percaya kalau aku bisa
membimbing dan menjadi imam yang baik bagi anak gadisnya yang cantik ini.
Akhirnya jadilah
kami menikah, diam-diam tanpa banyak publisitas. Hanya dihadiri oleh sanak
saudara dan keluarga dekat, Meyda tidak ingin karirnya di dunia hiburan jadi
terhambat karena pernikahan ini. Ok, aku bisa mengerti.
Yang jadi masalahnya
adalah ketika kami sudah resmi menjadi sepasang suami-istri. Meyda selama
seminggu ini menghindariku ketika berada di tempat tidur, tepatnya dia
menghindar untuk melakukan hal yang lumrah dilakukan oleh sepasang suami-istri.
Apalagi kalau bukan bersetubuh !
Tiga hari awal dia
beralasan datang bulan, itu masih aku terima karena dia memang tidak melakukan
sholat. Hari berikutnya dia sholat, ketika aku utarakan hal itu, dia beralasan
masih belum bersih, capek, sakit perut, dan alasan lain yang mampu membuatku
terdiam. Aku memang tidak suka memaksa pada seorang perempuan, tapi apakah dia
tahu kalau aku sangat tersiksa dengan perlakuannya itu. Bayangkan, tidur berdua
dengan salah satu perempuan tercantik di negeri ini, tapi tidak bisa
ngapa-ngapain, sungguh sangat membebani pikiran.
Ketika aku tanya
lebih jauh, dia hanya diam tidak menjawab, dan ujung-ujungnya menangis. Aku
jadi makin tidak tega memaksanya.
"Mungkin... dia laki-laki," ujar temanku setelah merenung lama.
Aku langsung batuk-batuk mendengarnya, segera kubuang rokok di tanganku ke
taman di sebelah rumah temanku itu.
"Seperti berita
di tv," lanjut temanku, tidak peduli dengan keterkejutanku.
"Itu tidak mungkin, kau tahu sendiri kan bagaimana dia. Wajahnya manis dan
sikapnya feminis. Kau juga sempat terpana ketika melihatnya untuk pertama kali,"
sergahku.
>"Bisa saja dia operasi plastik ke Korea... kau lihat’ kan, aktor dan
aktris Korea wajahnya sama-sama cantik, sulit dibedakan mana laki-laki dan mana
perempuan," temanku meminum kopinya sebelum melanjutkan. "apalagi,
orang tuanya kaya raya, itu mudah dilakukan. Artis-artis kita juga banyak yang
melakukannya."
"Itu tidak
mungkin, aku kenal Meyda sejak kecil," bantahku. Memang benar, aku kenal
istriku sejak dia baru lahir. Dulu kami tinggal bersebelahan. Setelah aku lulus
SMA, keluargaku pindah ke kota ini, sementara Meyda masih kelas 2 SMP saat itu.
Aku bisa melihat tonjolan di tubuhnya yang mulai tumbuh, bahkan aku pernah
merasakannya saat dia lewat di sebelahku dan tanpa sengaja dadanya menyenggol
lenganku, rasanya kenyal dan lembut. Setelah aku tinggal disini, kami jadi jarang
sekali bertemu, hanya pada saat lebaran saja kami bisa bertatap muka.
"Kalau dia bukan laki-laki..." kata temanku menggantung
kalimatnya, dia berlagak seperti detektif sebelum melanjutkan, "berati dia
tidak perawan, dia takut kamu kecewa nantinya."
Lagi-lagi temanku ini memberikan fakta yang tidak mungkin. Aku kenal betul
sifat Meyda, dia gadis sholehah, selalu berkerudung dan berpakaian rapi untuk
menutupi semua auratnya. Bahkan saat bermain film-pun, ia tidak mau
menanggalkan identitasnya itu. Aku bangga kepadanya. Apalagi kata orang tuanya,
dia tidak pernah pacaran, semua pria yang menyatakan cinta padanya ditolak
mentah-mentah. Ada lagi kata-kata orang tuanya yang membuatku sangat senang
luar biasa, cinta pertama Meyda adalah aku!!
"Itu tidak mungkin," kali ini bantahanku mengandung sedikit keraguan.
Sudah banyak artis melakukan perzinahan, khususnya para pendatang baru. Mereka
melakukannya demi sebuah peran, bukan tidak mungkin Meyda adalah salah satu
dari mereka.
Gadis berkerudung belum menjamin akhlaknya suci, bisa
saja gadis yang tidak berkerudung namun berpakaian sopan akhlaknya lebih suci
dari mereka yang berkerudung. Bukan memvonis atau apa, tetapi aku pernah
melihat kenyataannya. Di dunia yang sudah 'edan' ini, apapun bisa terbalik
dengan mudahnya.
"Kamu sangat yakin?" tanya temanku yang menyadari ada keraguan di wajahku.
"Aku yakin," kataku.
Lagi-lagi temanku
merenung, seperti mencari kata-kata yang dapat merontokkan kepercayaanku
tentang kesucian Meyda.
"Bisa saja dia tidak mau tapi dipaksa," ujar temanku, tepat disaat
aku hendak mengambil satu batang rokok. "dia diperkosa," nada temanku
sedikit berbisik ketika mengatakannya dan mampu membuat satu batang rokok di tanganku
lepas jatuh ke lantai.
Pemerkosaan, bukan hal yang luar biasa di negeri ini. Setiap hari pasti ada
saja beritanya di tv dan di koran, dan masih banyak lagi yang belum diberitakan
atau mungkin belum terungkap. Pelakunya pun mulai dari berbagai kalangan, dari
anak-anak sampai kakek-kakek, dari orang miskin sampai orang kaya, dari penduduk
biasa sampai para pejabat. Bahkan ada pula dalam satu keluarga, dan yang paling
parah dengan hewan atau mayat.
"Kalau begitu
keadaannya, aku masih menerimanya," kataku lemah, seakan tidak rela hal
itu terjadi pada istriku. Bukannya lelaki yang baik itu akan mendapatkan
perempuan yang baik juga? Tetapi seingatku, aku belum pernah memperkosa, lalu
kenapa aku mendapatkan istri yang telah diperkosa. Apa ayahku yang melakukan
itu sehingga berimbas kepadaku? Atau kakek? Ah, entahlah... yang aku tahu
mereka orang baik, tidak mungkin melakukan hal tersebut.
Sepeti biasa, Meyda menyibukkan diri di dapur dengan mencuci piring setelah
makan malam. Sementara aku menunggunya di kamar sambil duduk
bersandar di sisi tempat tidur dengan buku di tangan. Setelah Meyda selesai,
dia masuk ke kamar dan langsung tidur di sebelahku dengan memunggungiku,
seperti biasanya.
"Mey..." ujarku pelan seraya meletakkan buku di atas meja kecil di sebelah
tempat tidur.
"Iya, kak," jawab Meyda tanpa merubah posisinya. Dia memang selalu
memanggilku dengan kakak, dan itu yang membuatku tidak tega memaksanya.
"Aku ingin bicara," setelah aku berkata demikian, Meyda bangkit dari
tidurnya dan duduk, tapi masih belum menatapku.
"kamu duduk
disini," aku meletakkan bantal di sebelahku agar dia bersandar disana.
"Kamu katakan sejujurnya, apa yang membuatmu menghidari hal yang lumrah
dilakukan oleh sepasang suami-istri itu?" aku tanyakan itu tepat setelah Meyda
duduk di sampingku. Dia masih menundukkan kepala, membuatku sulit melihat
ekspresi wajahnya karena tertutup rambut hitam panjangnya.
Dia masih terdiam,
hanya bunyi bibir terbuka saja yang terdengar. Aku yakin bibir mungil itu
pasti belum pernah tersentuh oleh laki-laki, masih terjaga untuk orang yang
sangat tepat, tetapi benarkah hal itu telah dirampas?
"Katakan saja yang sejujurnya, aku pasti akan menerimanya dengan
ikhlas," kataku lagi, aku sudah mempersiapkan diriku untuk mendengar
pengakuannya yang mungkin sangat menyakitkan.
Meyda mengangkat kepalanya, dia berusaha menatapku, tapi tidak bisa, dia
terlihat sangat takut. "Aku... aku... sebenarnya..." katanya
terbata-bata.
"Katakan saja," ujarku pelan.
"Aku tidak tahu cara melakukannya!!!" kata Meyda.
Aku tercengang, aku masih belum bisa menangkap maksud dari kata-kata Meyda
barusan.
"Aku takut kakak kecewa padaku karena aku tidak tahu betul tentang hal
itu, jadi aku..."
Aku menghentikan kalimatnya dengan menempelan jari telunjukku di bibirnya.
Perlakuanku itu membuatnya menatap lurus ke arahku. Polos sekali dia, karena
hal itu dia menghindariku. Betapa lugunya istriku ini, aku langsung mendekapnya
dalam pelukan. Aku rasa sekarang saatnya untuk membuktikan teori dari buku
Kamasutra yang pernah aku beli beberapa tahun lalu, tetapi belum pernah aku
praktekkan.
Kupandangi
wajah Meyda yang manis, juga kulit tubuhnya yang putih dan mulus, hidungnya
tampak kecil mancung lucu sekali, sedang rambutnya lurus panjang sebahu. Tubuhnya
walaupun agak kecil tapi tidak kurus dan keliatan seksi sekali, dan yang bikin
aku gemas adalah gundukan bulat di dadanya yang kelihatan agak besar dibanding
tubuhnya yang kecil sehingga sedikit mendesak belahan baju tidurnya.
Meyda
agak kaget waktu kupeluk, tapi kelihatan tidak menolak. Dia sedikit salah
tingkah sewaktu merasa dirinya kuperhatikan. Untung saja dia tidak tahu
pikiranku yang sudah ngeres, kalo tahu bisa-bisa dia lari terbirit-birit.
Tenang, aku harus sabar dan pelan-pelan.
Sambil
tersenyum manis kubisiki dia. "Kakak juga belum pernah,” kataku seramah
mungkin.
Meyda
mendelik kaget, mungkin tidak menyangka kalau aku akan berkata seperti itu. "Eeh...
i-iya, kak." sahutnya gugup.
"Kita
sama-sama tidak tahu caranya, jadi mari sama-sama belajar." kataku
pura-pura polos.
"Eh,
i-itu... i-iya, kak..." jawab Meyda makin gugup dan salah tingkah.
"Kakak
janji tidak akan menyakiti kamu.." kataku terus memanfaatkan kesempatan.
"Emm...
i-iya, kak." jawab Meyda sedikit malu. Wajahnya yang cantik sekarang jadi agak
memerah, namun jadi makin manis saja kelihatannya. Bibirnya yang merah dan
mungil tersenyum malu sambil memperlihatkan giginya yang putih sempurna.
"Kamu
kok kelihatannya malu-malu sih, memangnya tidak suka ya aku bicarain ini?"
pancingku.
"Ooh...
t-tidak kok, kak." jawabnya sambil tersenyum manis. Sudah makin berani dia.
’Bagus,’ pikirku.
”Mmm...
jadi mau dong kalau kakak meminta sekarang?" pancingku kemudian.
"Eee..."
dia tidak menjawab, tapi senyumnya jadi semakin manis sementara kedua tangannya
saling meremas dan diluruskan ke bawah, tersipu malu.
"Kok
cuma eee aja... ya udah kalau tidak mau, kakak tidak akan..."
"Mau
kok, kak. Tapi..." ia memotong ucapanku, sambil tersenyum manis tentunya.
”Tapi
apa?” tanyaku sembari kupegang lembut genggaman tangannya, terasa halus dan
sangat mulus sekali. Saat kuremas-remas, terasa ia agak ragu, namun akhirnya membalas
pelan. Lumayan, mulai ada sedikit kemajuan.
"Nanti
kalau aku bilang sakit, kakak harus berhenti ya..." tanyanya makin berani.
"Iya,
tentu saja. Kakak janji!” sahutku.
Meyda
tersenyum, lalu kemudian mengangguk. ”Baiklah, kak, kalau begitu silahkan
lakukan!” katanya sambil tersenyum.
Melihat
ulahnya yang menggemaskan itu, aku segera memeluk tubuhnya yang mungil tapi seksi
dan dengan sedikit bernafsu segera kusosor pipinya yang putih mulus dengan
bibirku. Meyda sedikit terkejut melihat ulahku, ia segera menepiskan pipinya
dari bibirku. Aku jadi kaget.
”Kenapa,
Mey?” tanyaku tak mengerti.
"Kakak
kok gitu sih..." dia memandangku sambil melotot, seakan menghakimiku. ”katanya
tadi tidak nyakitin, tapi kok kasar gitu?” tuduhnya.
Aku
segera menarik nafas untuk mengendalikan diri, sambil tersenyum manis kuraih
tangannya dan kutatap wajah manisnya yang masih kelihatan cemberut. ”Maafin
kakak, Mey. Kakak tidak sengaja...” bisikku di telinganya. ”itu tadi wujud
kasih sayangku sama kamu...” lanjutku.
"Ini
pengalaman pertama bagiku, kak... jadi tolong buat agar jadi berkesan,"
kata Meyda, seakan tetap merajuk kepadaku. Ia menarik lepas tangannya dari
genggamanku dan berpaling ke kiri. Badannya yang hanya setinggi bahuku digoyangkan
kesal, membuat payudaranya yang bulat jadi kelihatan bergoyang indah.
”Iya,
Mey... maafin kakak,” sahutku sambil tak berkedip bentuk payudaranya yang
walaupun tidak seberapa besar namun terlihat cukup bulat, bentuknya seperti
buah apel tapi tentu saja berukuran lebih besar. Baju tidurnya yang tipis
membuat bh-nya yang mungil terpampang jelas, juga bawahannya yang ketat
berwarna putih. Pokoknya baju dan celana yang ia kenakan benar-benar seksi dan
terus terang justru sangat merangsang nafsuku.
Aku
segera merangkulnya kembali, kupandangi wajahnya dari samping. Seolah-olah
masih marah, Meyda mengatupkan bibirnya, tapi justru makin menambah keranuman
dan keseksiannya. Mm... ingin rasanya aku mengecup dan mengulumnya, tapi
mengingat ia masih cemberut, segera kuurungkan niatku. Aku tidak ingin membuat
Meyda jadi lebih marah lagi, bisa-bisa malam ini aku tidak dapat merasakan kehangatan
tubuhnya.
"Meyda
sayang..." rayuku kembali. "Kakak boleh tidak cium bibir kamu?"
tanyaku menggodanya.
"Iih...
kakak apaan sih," Meyda merajuk, tapi tidak kelihatan marah, membuatku jadi
makin berani, juga bernafsu.
"Meyda
sayang... terus terang, malam ini kakak kepingin banget. Kakak
pingin memberikan rasa kasih sayang kakak sama kamu... kamu mau kan?" tanpa
aku sadari, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Antara
kaget dan heran dengan ucapanku, mata Meyda membelalak kaget, mukanya yang
manis malah jadi kelihatan lucu. Bibirnya yang mungil merah merekah tampak basah
memerah. ”Kaakk...” hanya kata itu yang ia ucapkan, selanjutnya ia hanya
memandangku lama tanpa berkata apa-apa.
Aku
segera mengambil inisiatif dengan menggenggam erat kedua tangannya. "Mey, percayalah...
apapun yang kakak lakukan nanti, itu adalah bentuk rasa cinta dan kasih sayang Kakak
sama kamu..."
Selesai
berkata begitu, langsung kudekatkan mulutku ke wajahnya, dengan cepat kukecup
bibirnya yang mungil dengan lembut. Ah, terasa begitu hangat dan lembab, juga nikmat
dan sangat manis sekali. Hidung kami saling bersentuhan, bisa kudengar nafas
Meyda yang sedikit kaget, namun sama sekali tidak berontak. Segera kulanjutkan
dengan mengulum bibir bawahnya, kusedot sedikit. Mm... terasa sangat halus dan
mulus. Baru pertama kali ini aku mengecup bibir perempuan, yang asyiknya
perempuan itu sangat cantik seperti Meyda. Enak sekali ternyata...
Lima
detik kemudian, kutarik mulutku dari bibir Meyda. Aku
ingin melihat reaksinya, ternyata saat kukecup tadi ia memejamkan kedua matanya.
Dengan sorot mata redup Meyda memandangku, tatapannya sedikit aneh, namun wajah
manisnya kelihatan begitu mempesona. Bibir mungilnya yang tadi kukecup masih
setengah terbuka, terlihat begitu merah dan basah merekah.
"Bagaimana,
Sayang... mau dilanjutkan?" rayuku dengan nafas memburu akibat menahan
nafsu. Tanpa kusadari batang penisku sudah tegang tak terkira, terjepit di
celana. Mulai terasa sedikit sakit, tapi terpaksa kutahan sekuat tenaga.
Meyda
cuma terdiam. Kuberanikan
diri untuk menggerakkan tanganku, yang tadinya hanya meremas jemari tangan, kini
mulai meraba ke atas menelusuri pergelangan tangan, dan terus ke atas hingga
sampai di lengan. Bahu Meyda kuremas-remas lembut sambil kupandangi gundukan
bulat menantang yang ada di depan dadanya. Beha putih yang ia kenakan kelihatan
penuh terisi oleh daging lunak yang sangat merangsang.
Mmm...
jemari tanganku gemetar menahan desakan keinginan untuk menjamah dan meremasnya. Kulirik
Meyda, ternyata dia masih memandangku dengan penuh keraguan, namun kuyakin ia
tahu kalau aku sudah dilanda oleh nafsu birahi yang menggelora... siap untuk
menerkam dirinya... menjamah tubuhnya... meremas payudaranya... dan pada
akhirnya akan menyetubuhinya sampai puas...
”Mey,”
bisikku sambil berusaha tetap tersenyum, salah satu tanganku kuturunkan ke
bawah untuk menggerayangi pinggulnya yang padat menantang. Kususupkan ke
belakang lalu kuusap pelan belahan pantatnya yang bundar dan kuremas gemas. Wow,
begitu lunak dan hangat kurasa.
"Ahh...
kak," Meyda merintih pelan saat jemari tanganku bergerak semakin menggila,
kini aku menelusup ke pangkal pahanya yang padat berisi dan mulai mengelus-elus
gundukan bukit kecil yang ada disana... bukit kemaluannya.
Selama
beberapa saat kuusap-usap perlahan benda itu dari luar celana dalamnya, sebelum
dua detik kemudian kupaksa dua jariku masuk ke belahannya yang mulus dan indah.
Kini gundukan kemaluan Meyda telah berada dalam genggaman tanganku. Dia
menggelinjang kecil saat jemari tanganku mulai meremas perlahan, terasa sangat empuk
dan hangat sekali. sambil terus menggesek, kembali kudekatkan mulutku ke bibir
mungilnya.
”Aku
ingin tubuhmu, Mey...” bisikku diantara desahan nafas yang semakin memburu.
”Hhh...
lakukan, kak... tubuh Meyda milik kakak seutuhnya malam ini..." sahutnya.
Hatiku
bersorak girang seakan tak percaya, senang bercampur haru. Aku tak pernah
menyangka bahwa hari ini akan tiba, saat dimana aku memperawani seorang gadis. Bukan
gadis sembarangan, karena dia adalah Meyda Safira, salah satu artis tercantik
di Indonesia.
Secepat
kilat bibir mungilnya yang hangat kukecup kembali dan lekas kukulum nikmat.
Kuhayati dan kurasakan sepenuh hati betapa lembut dan nikmatnya daging merah
itu. Hidung kami bersentuhan mesra, kudengar dengus nafas Meyda yang kencang memburu
saat aku terus mengecup dan mengulum bibirnya cukup lama. Kuhisap habis bau
harum nafasnya yang begitu sejuk mengisi rongga paru-paruku.
Kujulurkan
lidahku dan kumainkan di dalam mulutnya, persis seperti yang diintruksikan oleh
kamasutra. Dengan mesra Meyda membalas, ia menggigit lembut dan mengulum lidahku
dengan bibirnya. Ah, terasa sangat manis dan begitu nikmat. Kedua lidah kami terus
bersentuhan, hangat dan basah. Tanpa bosan kukecup dan kukulum bibir atas dan
bawahnya secara bergantian. Terdengar suara kecipakan saat mulut kami saling
beradu, tak kusangka Meyda bisa membalas semua lumatanku dengan begitu bergairah
pula.
"Ah,
Mey... kamu pintar juga!" pujiku tanpa curiga.
Mukanya
yang manis kelihatan sayu dan tatapan matanya tampak mesra, sambil tersenyum
manis ia menyahut, "Mm... Mey hanya menuruti naluri,
kak." sahutnya polos.
"Tapi
kok pintar sekali?" godaku.<
Meyda
tersenyum malu, wajahnya berubah jadi merah. ”T-tidak tahu, kak...” ia
menundukkan mukanya.
"Tidak
apa-apa, itu tandanya kamu bisa menikmati." aku tersenyum lega karena
tidak perlu repot-repot membimbingnya nanti. Jemari tanganku yang masih berada
di selangkangannya mulai bergerak menekan gundukan bukit kemaluannya, kuusap-usap
pelan ke atas dan ke bawah.
”Auw,
kak!!” Meyda memekik kecil dan mengeluh lirih, kedua pelupuk matanya dipejamkan
rapat-rapat, sementara mulutnya yang mungil meringis lucu. Wajahnya yang manis
nampak sedikit berkeringat.
Kuraih
kepalanya dalam pelukanku dan kubisikkan kata-kata mesra di telinganya. Kucium
rambutnya yang panjang sebahu. "Enak, sayang, kuusap-usap begini?"
tanyaku penuh nafsu.
"Hhh...
i-iya, kak." sahutnya polos. Jemari tanganku yang nakal kini bukan cuma mengusap,
tapi juga mulai meremas gemas gundukan bukit kemaluannya. "Ahh... sakit,
kak... auw!" Meyda memekik kecil, tubuhnya terutama pinggulnya menggelinjang
keras. Kedua pahanya yang tadi menjepit pergelangan tanganku kini direnggangkan.
Kuangkat wajahnya ke arahku, kulihat matanya
masih terpejam rapat, namun mulutnya sedikit terbuka. Kurengkuh tubuhnya agar
lebih merapat ke badanku, lalu kembali kukecup dan kucumbu bibirnya dengan penuh
nafsu.
“Ehm… kak!” Meyda meraih pinggangku dan
memeganginya kuat-kuat. Kini jemari tanganku bergerak merayap ke atas, mulai
dari pangkal paha terus ke atas, menelusuri pinggangnya yang kecil ramping tapi
padat. Aku baru berhenti saat kurasakan ujung jemariku sudah berada di kaki bukit
buah dadanya. Dari balik baju tidurnya, bisa kurasakan
betapa padat gundukan daging itu. Kuelus perlahan, sebelum mulai
mendakinya tak lama kemudian.
”Uhh...
kak!” Meyda merintih saat kuremas pelan gundukan buah dadanya. Terasa sangat
padat dengan sedikit campuran rasa empuk dan kenyal yang sangat menggiurkan.
"Auw, pelan-pelan, kak...” bisiknya parau, bibirnya tampak basah akibat cumbuanku
tadi.
Kini
secara bergantian jemari tanganku meremas kedua buah dadanya dengan lebih
lembut. Meyda menatapku dengan senyumnya yang mesra. Ia membiarkan tanganku
menjamah dan meremas-remas kedua buah dadanya sampai puas. Hanya sesekali ia
merintih dan mendesah lembut bila aku meremas susunya sedikit keras. Kami saling
berpandangan mesra, kutatap sepuasnya wajah manisnya, sampai akhirnya aku sudah
tak kuat lagi menahan desakan batang penisku yang sudah ngaceng berat.
"Ughh..."
aku meloncat berdiri.
Meyda
yang tadinya sedang menikmati remasanku pada buah dadanya, jadi ikutan kaget. "Eh,
kenapa, kak?" tanyanya.
"A-anu,
punya kakak sakit nih..." sahutku sambil buru-buru membuka celana. Aku tak peduli meski Meyda kelihatan malu, toh dia akan melihat juga pada
akhirnya. Celana
panjangku melorot ke bawah, juga celana dalamku.
Meyda
yang tak menyangka aku akan berbuat demikian, hanya memandangku dengan
terbelalak kaget. Apalagi saat melihat batang penisku yang sudah ngaceng berat,
yang begitu tegang dan mengacung ke atas, dengan urat-urat di permukaannya tampak
menonjol keluar semua.
"Auw!
Kakak jorok!" dia menjerit kecil sambil memalingkan mukanya ke samping. Meyda
menutupkan kedua telapak tangan ke wajahnya yang cantik.
”Hehehe...”
aku terkekeh. Melihat tubuhnya yang masih memakai baju dan celana panjang, aku
jadi gemas pingin melucutinya sampai bugil. Ah, ingin rasanya segera menyetubuhinya,
tapi aku berusaha menahan diri. Itu tidak adil, kami harus
sama-sama menikmati permainan ini. Aku tidak mau Meyda merasa rugi, dan
ujung-ujungnya kapok tidak mau mengulangi lagi. Kalau begitu kan, aku sendiri
yang rugi.
Tugasku
sekarang adalah merangsangnya sampai siap. Karena bagaimana pun dia kan masih
perawan. Pasti sangat sakit saat melakukan untuk yang pertama kali. Aku harus bisa meminimalisir hal itu, ini adalah tantangan buatku, benar-benar
detik-detik yang mendebarkan dan menegangkan. Satunya
perjaka dan satunya perawan. Sama-sama belum punya pengalaman seks selain dari
buku kamasutra jadul...
"Mey,
takut apa sih... kok mukanya ditutup gitu?" tanyaku menggoda.
"I-itu...
p-punya kakak..." sahutnya lirih.
"Lho,
memang kenapa? Kamu tidak pernah lihat alat kelamin cowok?"
sahutku geli. Meyda
mengangguk. “Mey belum pernah, i-ini yang pertama." sahutnya masih sambil menutup
muka.
Gila!
Dia benar-benar lugu dan perawan. "Yah, tidak apa-apa. Ayo coba sini, punya
kakak kamu pegang. Ini kan milik kamu juga." kataku nakal.
"Ah,
tidak mau. Malu... jorok..." sahutnya.
"Tidak
usah malu, kakak yang telanjang aja tidak malu sama kamu. Tadi kakak sudah
pegang punya Mey, sekarang ganti giliran Mey yang pegang punya kakak..." sahutku
sembari kuraih kedua tangannya yang masih menutupi muka.
Pada
mulanya Meyda menolak, namun setelah kurayu-rayu dan sedikit kupaksa akhirnya dia
mau juga. Kedua tangannya segera kubimbing ke arah selangkanganku. Meyda memang
mau memegangnya, namun kedua matanya masih terpejam rapat, sama sekali tidak
mau melihat. Meski begitu, itu sudah cukup membuat jantungku berdegup kencang. Bagaimanapun inilah
pertama kali aku telanjang di depan perempuan sambil mempertontonkan alat
vital, apalagi sampai dipegang-pegang segala. Seperti mimpi rasanya, apalagi saat
tahu kalau yang melakukannya adalah Meyda Safira, salah satu artis cantik
berjilbab yang tubuhnya pasti diidam-idamkan banyak orang.
Meyda
mulai mengusap kepala penisku. Pada mulanya jemari tangannya hendak ditarik
lagi saat pertama kali menyentuh, namun karena kupegangi dengan kuat, akhirnya
ia hanya pasrah saja.
"Aah...
terus, Mey, pegang batangnya dengan kedua tanganmu!" rayuku penuh nafsu.
"Iih,
keras sekali, kak..." bisik Meyda sambil tetap memejamkan mata. Wajahnya
yang manis kelihatan tegang dan sedikit berkeringat.
"Iya,
itu tandanya kakak sayang sekali sama kamu. Aah..." aku mengerang nikmat saat
tiba-tiba saja Meyda meremas kuat batang penisku.
"Gimana,
kak, enak?" tanyanya dengan jemari tangan terus meremas kuat.
"Ohh...
jangan dilepas... terus seperti itu..." erangku lirih.
Meyda
yang semula agak gugup, kini mulai sedikit mengerti. Jemari tangannya yang tadi
merenggang, kini mulai bergerak pelan untuk mengusap batang penisku.
”Ahhh...”
aku melenguh nikmat. Kulihat Meyda sudah mulai berani menatap rudal saktiku
sambil terus meremas pelan, aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Dan aku
tak peduli, yang penting aku merasa nikmat dengan kocokannya. Dalam hati aku membatin,
pake tangan aja sudah begini nikmat, apalagi dijepit pake vagina, bisa-bisa aku
pingsan karena saking enaknya.
Meyda
memandangku sambil tersenyum, wajahnya tak lagi malu-malu seperti tadi. Bahkan
dengan penuh semangat ia mulai mengusap-usap penisku maju mundur... setelah itu
digenggam dan diremasnya seperti tadi, lalu dokocok-kocok kembali. Sepertinya
Meyda semakin bersemangat begitu melihatku melenguh nikmat, ia tertawa kecil saat
Kedua
tangannya bergerak maju-mundur makin cepat, membuatku jadi semakin tak
terkendali. Ini kalo dibiarkan bisa-bisa air maniku muncrat duluan, jadi aku
segera berbisik kepadanya, "Mey, hentikan... kakak tidak tahan, mau
keluar!"
"Iih..."
dengan kaget Meyda segera melepaskan remasan tangannya dan beringsut cepat ke sebelahku,
sementara pandangan matanya tetap tararah ke batang penisku yang masih menegang
penuh. Mungkin ia mengira air maniku akan muncrat membasahinya kalau dia tidak
cepat-cepat pergi.
Antara
geli dan nikmat, aku segera mengatur nafas agar birahiku sedikit menurun. Wuih,
hampir saja terjadi banjir lokal. "Tidak jadi, Mey, hehe..." bisikku
lirih sambil tersenyum.
"Kok
tidak jadi?" tanya Meyda polos.
”Buat
nanti aja,” Kuraih tubuh sintalnya yang berada di sampingku dan kupeluk mesra.
Meyda menggelinjang manja saat kurapatkan badanku ke tubuhnya yang mungil
sehingga buah dadanya yang bundar montok terasa menekan dadaku yang bidang. Hmm,
enaaak... Kepalaku
menunduk untuk mencari-cari bibirnya saat Meyda merangkulkan kedua lengannya ke
pundakku. Wajahnya yang amat manis terlihat begitu dekat, apalagi saat mulai
kukecup bibir mungilnya, Meyda membalasnya dengan begitu rakus. Kami mulai
saling melumat gemas, begitu lama dan panas hingga Meyda megap-megap tak lama
kemudian karena kehabisan nafas.
Sementara
bibir kami masih terus bertaut mesra, jemari tanganku kembali menggerayangi
bagian bawah tubuhnya. Kuremas gemas bulatan bokongnya sambil kuusap-usap
mesra, kurasakan betapa kenyal dan padatnya daging montok itu. Meyda merintih
lirih dalam cumbuanku saat kurapatkan bagian bawah tubuhnya ke depan, sehingga
mau tak mau batang penisku yang masih ngaceng berat jadi terdesak ke perutnya. Untung
saja Meyda memakai baju tidur yang lembut sehingga tidak sampai melukai penisku.
Mulai
kugesekkan-gesekkan penisku disana, tapi baru 10 kali gerakan, Meyda tiba-tiba tertawa
kecil. "Mey, apaan sih kok ketawa?" tanyaku heran sambil lidahku menjilati
bagian atas bibirnya yang basah oleh air liur.
”Habisnya
kakak sih... kan geli digesekin kaya gitu," sahutnya sambil terus tertawa
kecil.
Waduh,
dasar perawan tulen. Tidak tahu kalau aku sudah nafsu setengah mati, malah
ngajak becanda. Segera kurengkuh tubuhnya kembali ke dalam pelukanku, dan Meyda
pun tak menolak saat aku menyuruhnya untuk meremas alat vitalku seperti tadi.
Mulai kurasakan jemari tangannya mengusap dan mengelus-elus rudal patriot kejantanan
dengan lembut sambil sesekali diremasnya dengan penuh kemesraan.
Aku
menggelinjang nikmat, ”Arghh... terus, sayang!” bisikku mesra.
Wajah
kami saling berdekatan, Meyda memandangku sambil tersenyum manis. "Enak ya,
kak?" tanyanya penasaran.
Aku
mengangguk dan kukecup bibirnya yang nakal itu dengan penuh nafsu. Meyda
membalas sambil memejamkan mata, namun kurasakan jemari tangannya semakin gemas
saja mempermainkan batang penisku, bahkan mulai mengocok cepat seperti tadi. Aku
tak tahan, rasanya jadi pingin muncrat lagi. Saat
itulah, Meyda menyuruhku untuk membuka baju. ”Basah, kak, kena keringat.”
katanya. Segera kucopot kancing kemejaku satu persatu lalu kulemparkan baju itu
sekenanya ke samping, entah jatuh dimana. Kini aku benar-benar polos dan
telanjang bulat di hadapannya.
Kulihat
Meyda masih tetap mengocok batang penisku sambil wajahnya memandangku tersenyum
manis. Kini aku tahu caranya mengontrol nafsu, tanpa sengaja Meyda telah
menunjukkannya. Aku tidak boleh mengkonsentrasikan pikiranku pada kenikmatan
ini, aku harus memikirkan hal lain. Melepas baju seperti tadi misalnya,
terbukti sangat manjur untuk menunda ejakulasiku. Kini aku bisa memperlambat
permainan seks yang mendebarkan ini. Awas kau Meyda, aku sudah pintar sekarang!
"Mey,
suka tidak sama alat kelamin kakak?" tanyaku nakal. Sambil
tetap mengocok batang penisku, Meyda menjawab dengan polos, "Suka sih...
tapi pasti sakit kalau dimasukin ke punyanya Mey," ujarnya tanpa malu-malu
lagi.
”Tenang,
nanti kakak akan pelan-pelan.” sahutku. ”Ngomong-ngomong, boleh tidak kakak
melihat punya Mey?" kataku nakal.
Meyda
mendelik sambil melepaskan tangannya dari penisku, dia segera menutupi
selangkangannya dengan malu-malu. "Jangan, kak... Mey malu!" sahutnya. Tingkahnya
membuatku makin gemas dan bernafsu saja. "Ayolah, Mey... kakak penasaran
nih," desakku, lalu dengan cepat berjongkok di depannya. Kuraih pinggulnya
yang seksi dan kudekatkan ke mukaku.
Pada
mulanya Meyda agak memberontak dan menolak, namun saat kupandang wajahnya sambil
tersenyum tulus, akhirnya ia menyerah pasrah. Jemari tanganku segera bergerak menarik celana tidurnya hingga terlepas.
Mukaku yang persis berada di depan selangkangannya kini bisa melihat gundukan
bukit kemaluan yang masih terbungkus celana dalam putih bersih, tampak sangat menonjol
dan mumpluk sekali. Pasti bakal sangat nikmat sekali rasanya.
Meyda
menatapku sambil tersenyum, wajahnya tampak memerah menahan malu. Tanpa meminta persetujuannya, dengan gemetar kutarik ke bawah celana
dalamnya. Begitu terlepas, bau alat kelamin yang sangat harum langsung
menyergap hidungku. Alamak, indahnya bukit
kecil itu. Bentuknya menggembung sedikit memerah, dengan bagian tengah dibelah
oleh bibir tipis yang masih tampak rapat. Di bagian atasnya, semak belukar yang
tampak rimbun tampak tumbuh subur menyembunyikan biji kecil yang masih tidak
kuketahui dimana rimbanya.
Aku
hanya bisa melongo menyaksikan semua itu, tanpa terasa kedua tanganku gemetar
melihat pemandangan yang baru pertama kalinya ini. "Ohh, Mey... indahnya!!"
hanya itu kalimat yang sanggup kuucapkan untuk menggambarkan perasaanku.
Aku
baru tersadar saat kulihat Meyda mulai membuka baju tidurnya, ”Mey,” kupanggil
namanya, karena belum hilang rasa kagetku melihat keindahan selangkangannya, ia
sudah akan menyuguhiku keindahan lain dari tubuhnya yang sintal itu. Tersenyum
manis, Meyda terus mempreteli kancing bajunya dan melemparkan kaos itu begitu
saja ke lantai saat sudah terlepas. Selanjutnya ia meraih ke belakang untuk membuka
kait bh-nya, padahal masih terbungkus bh saja payudaranya sudah nampak begitu
indah, apalagi kalau sudah dilepas.
Jawabannya
kuperoleh tak lama kemudian saat bh-nya juga jatuh ke lantai, pukk... aku langsung
melongo dan jatuh terduduk menyaksikan sesosok bidadari yang telanjang di
depanku. Buah dada Meyda ternyata memang berbentuk bulat seperti buah apel,
besarnya kira-kira dua kali bola tenis, warnanya putih bersih dengan puting kecil
kemerahan menghiasi bagian puncaknya yang ranum. Aku tak pernah mengira kalau
kecantikannya akan ditambah oleh keindahan tubuh yang sangat sempurna, sungguh
sangat luar biasa.
"Mey,
k-kamu..." aku tak sanggup mengucapkan kata-kata, hanya batang penisku yang
semakin ngaceng berat yang menunjukkan kalau aku masih hidup.
Masih
tetap tersenyum, Meyda mengulurkan kedua tangannya kepadaku dan mengajakku
berdiri. Kini rasanya kami seperti Adam dan Hawa yang baru saja dipertemukan
setelah sekian lama berpisah, sama-sama telanjang dan sama-sama saling
menginginkan.
"Kak,
Mey sudah siap... Mey akan serahkan semua milik Mey sebagai bukti pengabdian
Mey kepada kakak." bisiknya di telingaku.
Aku
terharu, kurangkul tubuhnya yang telanjang begitu mesra. Badanku langsung seperti
kesetrum saat kulit telanjang kami saling bersentuhan. Apalagi ketika payudara
Meyda yang bulat dan padat menekan lembut permukaan dadaku. ”Aah...” tak terasa
aku jadi merintih nikmat.
Jemari
tanganku segera mengusap punggungnya yang telanjang, begitu halus dan mulus kurasakan,
membuatku jadi tak sanggup menahan gejolak birahiku. Dengan penuh nafsu segera kuraih
tubuh sintal Meyda dan kurebahkan diatas kasur. Suasana dalam kamar kelihatan
gelap karena memang aku sengaja menutup semua gorden agar tidak kentara dari
luar.
Jantungku
berdegup kencang saat mulai menaiki tubuh sintalnya, Meyda memandangku tetap
dengan senyumnya yg manis. Aku merayap ke atas tubuhnya yang bugil dan
menindihnya, tak sabar untuk segera memasuki lorong vaginanya.
"Buka
pahamu, Mey... kakak ingin menyetubuhimu sekarang." bisikku penuh nafsu.
Buah dadanya kelihatan sangat kencang dan bundar dengan puting mungil yang
berwarna coklat kemerahan. Aku segera menjamahnya sambil menusukkan batang
penisku ke celah bukit kemaluannya. Kurasakan liang vaginanya begitu hangat dan
lunak.
”Ahh...”
suaraku bergetar saat ujung penisku mulai mengelusi permukaannya, sebelum
selanjutnya menelusup diantara celahnya yang sempit. "Mey, kakak masukkan sekarang
yah... nanti kalo sakit, bilang..." bisikku sambil mulai mendorong pelan.
"Pelan-pelan,
kak..." sahutnya pasrah. Dia memeluk pinggangku sambil memejamkan kedua
matanya seolah menungguku.
Tusukanku
yang pertama gagal, aku tidak dapat melihat celah vaginanya karena posisi
tubuhku yang memang tidak memungkinkan untuk itu, tapi aku terus berusaha...
kucoba untuk menelusup lewat celah bagian atas, namun setelah kutekan, ternyata
jalan buntu.
"Agak
ke bawah, kak...” Meyda memberi petunjuk.
Kutekan
agak ke bawah, ”Disini?” tanyaku.
”Ahh...
kurang ke bawah dikit!” sahutnya.
Aku
turunkan lagi.
”Hmm...
yah disitu, tekan disitu, kak.” perintahnya. Akupun
mendorong. Benar, mulai terasa masuk sedikit.
”Auw! Pelan-pelan, kak... sakiiit!!!" Meyda memekik kecil sambil
menggeliat kesakitan.
Segera
kupegangi pinggulnya agar tidak banyak bergerak. Dengan keberhasilanku
menemukan celah vaginanya, tugasku kini jauh lebih muda. Akupun
mulai menekan lagi, kali imi lebih pelan. Meski begitu, tetap saja Meyda
merintih kesakitan.
”Hhgg...
sakit, kak!” pekiknya. Tapi
aku tidak ingin menyerah, sambil mencium bibirnya agar ia terdiam, kupaksa
kepala penisku untuk menelusup lebih dalam lagi. Terasa sangat sempit dan basah
disana.
"Tahan,
Mey... kakak masukin lagi," bisikku penuh konsentrasi. Mulai kurasakan kenikmatan saat kepala penisku
berhasil menerobos masuk, dan langsung terjepit kuat di liang vagina Meyda.
"Auw,
Kak... sakiiiiit..." lagi-lagi Meyda menjerit, tubuhnya menggeliat penuh
penderitaan. Aku berusaha menentramkannya dengan mengecup kembali bibir mungilnya
yang basah memerah, kulumat dengan perlahan.
”Tahan,
sayang... baru kepalanya yang masuk,” jelasku. ”Kakak tekan lagi ya?" aku
bertanya, dan tanpa menunggu jawaban kutusukkan penisku lebih dalam. Jeleebb..
”Auw!”
Meyda berusaha menggigit bibir untuk meredam teriakannya.
"Tahan,
sayang..." bisikku. Meyda
hanya mengangguk perlahan, matanya lalu dipejamkan rapat-rapat sambil kedua
tangannya memegangi punggungku kuat-kuat. Agak kubungkukkan badanku ke depan
agar pantatku bisa lebih leluasa menekan ke bawah. Aku menahan napas sambil memajukan
pinggulku kembali, tapi mentok, aku seperti membentur sesuatu.
Semakin kutekan, semakin terasa menghalangi. Apakah ini selaput dara-nya?
Meyda
memandangku dan mengangguk, seperti membenarkan apa yang kupikirkan.
Kukecup
lagi bibirnya dan kudorong pinggulku semakin kuat. Ayo, aku tidak boleh kalah.
Setelah beberapa kali usaha, serta diiringi teriakan Meyda yang semakin keras,
akhirnya akupun berhasil. Creek... kurasakan seperti ada sesuatu yang robek di
liang vagina Meyda. Dan selanjutnya, seperti sudah bisa diduga, penisku pun
bisa meluncur masuk dengan begitu mudahnya.
”KAKAK!!!”
Meyda menjerit saat keperawanannya kurenggut, sementara aku melenguh nikmat
merasakan jepitan vaginanya yang begitu kencang dan kuat. Dinding-dindingnya terasa
hangat dan licin saat membungkus batangku, namun cengkeramannya begitu dahsyat,
seakan-akan tidak ingin punyaku keluar dengan utuh. Di sela-sela tautan alat
kelamin kami, kulihat beberapa tetes darah mengalir keluar membasahi sprei.
Aku
menarik sedikit batangku, lalu kembali menekan...
”Hhggh...
kak!!” Meyda kembali menjerit kesakitan, namun aku tak peduli. Aku sudah merasa
enak, tanggung kalau harus berhenti sekarang.
”Maafkan
kakak, Mey... tahan sebentar ya?” bisikku di telinganya.
Tidak
menjawab, Meyda memejamkan matanya semakin rapat. Sementara sebutir air mata
kulihat menetes di sudut kelopaknya. Aku harus cepat, kalo
tidak istriku yang cantik ini akan terlalu lama menderita. Maka segera kupegang
pinggul Meyda dan mulai kugoyang pinggulku perlahan-lahan.
"Ooh..."
aku merintih keenakan, mataku mendelik menahan jepitan ketat vagina Meyda yang
luar biasa. Sementara Meyda hanya merintih-rintih sambil memandangku sayu.
Bibirnya bergetar, seperti ingin berucap sesuatu, namun tidak jadi dan akhirnya
malah tersenyum kepadaku.
"Kak,
Mey sudah tidak perawan lagi sekarang." bisiknya lirih sambil tersenyum.
”Tidak
apa-apa,” kutatap dengan bangga istri tercintaku itu, ”Kakak sekarang juga tidak
perjaka lagi," balasku mesra. Kami sama-sama tersenyum. Kuusap
mesra wajah Meyda yang masih terlihat menahan sakit setiap kali menerima tusukanku.
"Gimana
rasanya, kak, enak?" bisiknya mesra, rupanya dia sudah mulai bisa menerima
kehadiran penisku di rongga vaginanya.
"Enak,
May... nikmat sekali... ouhh... selangit pokoknya," sahutku sambil mencium
bibirnya dengan penuh nafsu, dan Meyda membalas tak kalah nikmatnya. Kami
saling berpagutan lama sekali sambil pinggulku terus bergoyang pelan
menyetubuhinya.
”Kak,
ugh...” Meyda merintih dalam cumbuanku, beberapa kali ia sempat menggigit bibirku,
namun sama sekali tak kupedulikan. Aku hanya merasakan betapa liang vaginanya yang
hangat dan lembut itu menjepit kuat batang penisku, seakan mengenyotnya. Ketika
batangku kegerakkan semakin cepat, terasa daging vaginanya seolah mencengkeram lebih
kuat, nikmatnya sungguh sangat luar biasa. Aku sampai mendesis panjang karena saking
enaknya.
”Aaahhhhh..."
jeritku, air mani mulai kurasakan sudah mendesak ingin muncrat keluar.
Betapapun kutahan dan kualihkan, tetap tidak bisa. Terpaksa aku harus
merelakannya untuk menyemprot duluan.
”Mey,
kakak mau keluar...” bisikku di telinga Meyda.
Dia
membuka matanya dan menatapku, ”Keluarin aja, kak... di dalam punya Mey, tidak
apa-apa.” sahutnya.
Aku
pun tidak sanggup bertahan lagi. Dengan satu teriakan keras, aku meledak.
Spermaku menyembur berhamburan di liang vagina Meyda yang kini sudah tidak
perawan lagi.