ML Dengan Penumpang
Kulihat perempuan cantik itu melambaikan tangan di pinggir jalan.
Kulirik jam di dashboard, lewat 34 menit dari jam 1 pagi dan sekarang
juga bukan akhir pekan. Berbagai pikiran berkecamuk, namun kutepis
sejenak sambil menepikan taksi yang kukemudikan. Dia membuka pintu kiri
belakang dengan wajahnya yang datar. Aku melirik spion saat dia duduk.
Kuperkirakan umurnya belum tiga puluh, tingginya sekitar 165 cm dengan
berat 50 kg, terlihat sintal banget.
Pakaiannya biasa saja, bukan mencerminkan seorang wanita karir yang baru
pulang lembur. Dia cuma memakai celana jeans ketat dengan blus tipis
yang membuat buah dadanya yang cukup besar membayang indah. Ah, lagipula
ini kan Kemang. Tak banyak kantor di daerah ini kecuali kalau itu
berupa rumah makan atau tempat hiburan. “Selamat malam. Mau kemana, bu?”
sapaan standar. “Hotel Muria ya, pak.” jawabnya datar. Pandangannya
menerawang ke luar jendela. Kebetulan saat itu sedang gerimis, mungkin
membuat hatinya galau. “Darimana tadi, bu? Kok jam segini belum pulang?”
tanyaku basa basi sekaligus ingin memuaskan rasa penasaran yang tadi
kupendam. “…” dia diam saja sambil tetap memandang ke luar jendela. Aku
memutuskan untuk berhenti bicara. Mungkin dia sedang tak ingin diganggu.
Tak lama kemudian, sampai juga di hotel Muria. Dia membayar dengan memberikan uang tip empat ribu
rupiah. “Terima kasih, bu.” jawabku sambil menerima uang itu. Tapi dia
masih tetap diam, hanya mengangguk pelan sambil meninggalkan taksiku.
Tanda tanya masih tetap bergelayut di pikiranku.
***
Dua hari setelah
itu, di tempat yang sama, perempuan yang sama. ”Selamat malam, bu.”
senyumku mengembang, berusaha menyapanya ramah. Pikiranku merasa bahwa
dia meminta diantar ke tujuan yang sama. “Hotel Muria ya, pak.” ujarnya
sambil kembali memandang ke luar jendela. Kucoba menganalisis sendiri
karena pikiranku semakin penasaran dengannya. Dari logatnya, sepertinya
dia bukan orang Jakarta. Ditambah fakta bahwa dia minta diantar ke Hotel
Muria, semakin menguatkan hal tersebut. Cuma yang masih menjadi tanda
tanya, mau apa dia di Kemang pada dini hari? Kutengok sekilas tempat dia
menunggu taksi, tak ada tanda-tanda klub malam atau tempat hiburan.
Hanya ada beberapa cafe yang sudah tutup dan sebuah rumah makan 24 jam,
serta dua buah mini market. “Dari mana tadi, bu?” tanyaku dengan suara
keras sehingga dia tak ada alasan untuk tidak menjawab. Demi memuaskan
rasa penasaran. “Oh, tadi... dari ketemu teman.” jawabnya singkat, masih
menatap ke luar jendela meski kali ini tak gerimis. “Sepertinya saya
tak melihat ada cafe yang masih buka, bu.” “Di restoran fast food, pak.”
“Oh begitu. Lalu temannya tadi sudah pulang?” “Pulang duluan, pak,
sudah ditunggu istrinya.” jawabnya datar, kali ini diakhiri dengan
embusan napas berat dan pandangannya beralih ke layar ponsel. Aku jadi
tak enak sering melirik ke spion. Konsentrasi lalu kukerahkan pada
kemudi saja.
***
Esok harinya, bagaikan deja vu, kembali taksiku
dihentikan olehnya, masih di tempat dan jam yang sama. Sebenarnya aku
sengaja lewat tempat itu di jam yang sama, ingin bertemu dengannya lagi.
Masih ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padanya. “Malam, mbak.
Hotel Muria?” aku beranikan diri memanggilnya ’mbak’. Tampaknya dia
tidak keberatan. “Iya, pak.” jawabnya, kali ini dengan senyum. “Mbaknya
bukan orang sini ya? Darimana, mbak?” “Semarang, pak.” “Mbaknya ke
Jakarta dalam rangka apa? Cuma ketemu teman atau ada urusan lain, mbak?”
tanyaku hati-hati. Tak ingin terkesan ingin tahu urusan orang, meskipun
kenyataannya memang begitu. “Iya, cuma ingin bertemu teman saya itu.
Eh, sebetulnya pacar sih, pak, bukan teman.” Aku mencoba menggali
ingatanku. Kalau tak salah kemarin dia bilang bahwa ‘temannya’ itu sudah
ditunggu istrinya. Apakah… “Temannya, eh pacarnya itu, sudah punya
istri ya, mbak?” Oke, ini sudah keterlaluan dan aku tak tersinggung jika
dia minta turun. Tapi nyatanya tidak, dia masih tetap tenang di jok
belakang taksiku. “Iya, pak. Kami sudah berhubungan dari lama. Rumah
tangga mereka bermasalah dan katanya mereka akan segera bercerai. Tapi
entah, sampai sekarang masih seperti ini. Pertemuan-pertemuan kami tak
diketahui istrinya, pak.” “Mbak bahagia dengan hubungan itu?” Entah
kenapa aku malah bertanya hal seperti ini. Rasanya ingin menampar mukaku
sendiri. “Sebenarnya sih enggak, pak. Saya sudah menyakiti banyak
orang, termasuk diri saya sendiri. Namun rupanya ada satu sisi saya yang
bahagia karena bisa bersama dengan orang yang saya cintai, meski tak
bisa memilikinya dengan utuh.” Sampai di lobby Hotel Muria, dia
menyerahkan sejumlah uang. “Pak, ini malam terakhir saya di Jakarta.
Besok saya pulang. Terima kasih sudah menjadi teman mengobrol saya dua
hari ini. Saya sangat menghargainya, pak.” dengan mata berkaca-kaca.
”Iya, sama-sama, mbak.” kukira dia akan langsung turun seperti biasanya,
tapi ternyata... ”Pak,” dia memanggil. ”Iya, mbak.” kupandangi wajahnya
yang cantik, juga tubuhnya yang sintal. ”Emm, boleh saya minta tolong?”
tanyanya. ”Silahkan, mbak. Kalau memang bisa, pasti saya bantu.” ”Bapak
nggak keburu pulang ’kan?” Kulirik jam di dashboard, jam 2 lewat 5
menit. Sudah larut, istriku pasti sudah menunggu di rumah. ”Nggak, mbak.
Memangnya kenapa?” tapi demi wanita ini, aku rela menundanya. ”Bapak
mau menemani saya?” tanyanya lirih, campuran antara rasa marah dan
takut. Aku tak langsung menjawab, kucoba untuk mencerna perkataannya.
”Menemani gimana. Mbak?” kutanya balik. Aku butuh kepastian. Apa ini
sesuai dengan bayanganku? Tidak menjawab, wanita itu malah
menyeberangkan tangannya melewati pinggulku untuk meraih setelan jok
tempat aku duduk. Jok itu langsung bergerak ke bawah dengan aku tergolek
di atasnya. Dan yang kurasakan berikutnya adalah bibir basah wanita itu
yang langsung mencium mulutku dan melumatnya rakus. Uh.. uh.. uh.. Aku
tergagap sesaat, sebelum akhirnya aku membalas lumatannya. Kami saling
memagut melepas birahi. Bisa kurasakan lidahnya yang runcing menyeruak
masuk ke rongga mulutku. Dan reflekku adalah segera menghisap dan
mencucupnya. Nikmat sekali rasanya saat lidah itu menari-nari di
mulutku. Bau harum perempuan itu juga menyergap hidungku. Beginikah
rasanya bau tubuh wanita macam ini? Bau alami tanpa parfum sebagaimana
yang sering dipakai istriku. Bau seorang wanita muda yang selama 3 hari
ini sanggup membuatku penasaran. Bau yang bisa langsung menggebrak
libidoku, sehingga nafsu birahiku lepas dengan liarnya saat ini. Sambil
melumat, jari-jari lentik perempuan itu juga merambah tubuhku. Dengan
lincah dia melepasi kancing-kancing kemejaku. Kemudian kurasakan remasan
jari halus pada tonjolan penisku. Uuiihh.. tak tertahankan rasanya. Aku
menggelinjang. Menggeliat-geliat hingga pantatku naik-turun di jok yang
sedang aku duduki. Sekali lagi aku merasa edan. Aku digeluti seorang
wanita muda cantik yang bahkan namanya saja aku tak tahu! Bibir manis
perempuan itu terus melumatku, dan aku menyambutnya dengan penuh
kerelaan total. Akulah yang sesungguhnya menantikan kesempatan macam ini
dalam banyak khayalan-khayalan erotikku. Tangan gemetar. Lututku
gemetar. Kepalaku terasa panas. Darah yang naik ke kepalaku membuat
wajahku seakan bengap. Dan semakin kesini, semakin aku tidak bisa
mencabut persetujuan atas ajakan 'temani saya dulu ini'. ”Kita turun
yuk, pak. Kita masuk dulu.” wanita itu menghentikan lumatannya dan
mengajakku memasuki hotel. Mobil segera kuputar ke palataran parkir dan
kutinggalkan disana. Setengah berlari, kubuntuti wanita itu masuk ke
dalam kamarnya. Begitu masuk, kudengar telpon berdering, rupanya dari
front office hotel. ”Bapak mau minum apa,” tanya wanita itu, telepon
berada dalam genggamannya. ”Tidak usah,” aku sudah tak sabar ingin
merasakan tubuh sintalnya, tidak ada waktu untuk minum-minum. ”Atau
makan mungkin?” dia kembali bertanya. ”Tidak usah repot-repot.” aku
kembali
menolak. Ayo cepat, kita main, setelah itu aku segera pulang biar istriku tidak curiga.
Tapi tampaknya keinginanku itu memang harus ditunda dulu.
”Sebentar ya, pak. Saya ke kamar mandi dulu. Sudah kebelet dari tadi.”
pamit wanita itu sambil buru-buru masuk ke kamar kecil yang tersedia di
dalam kamar. Mengangguk mengiyakan, aku segera
mencopoti seluruh bajuku saat wanita itu sibuk di dalam. Tak menunggu
lama, aku sudah telanjang bulat. Tubuh tuaku yang berlemak tampak
menyedihkan, tapi tidak dengan burungku. Meski sudah lebih 50 tahun,
tapi penisku itu masih bisa berdiri tegak. Begitu besar dan panjang.
Dengan benda inilah aku dulu menaklukkan puluhan wanita sebelum akhirnya
aku takluk pada istriku yang sekarang. Wanita itu terlihat malu-malu
saat melihatku sudah telentang telanjang di atas ranjang. Padahal tadi
dia yang mengajak, dan dia juga yang paling agresif saat di mobil. Dia
menatapku dengan ekor matanya, kemudian tersenyum. ”Sudah nggak sabar
ya, pak?” tanyanya. ”Untuk orang secantik, mbak. Siapapun pasti tak
sabar.” jawabku diplomatis sambil memamerkan penisku yang sudah tegang
penuh. Dengan ujungnya, kupanggil dia untuk mendekat. ”Ayo, mbak, sini.”
Wanita itu mengangguk dan berjalan menghampiri. Aku bisa merasakan
betapa sangat terangsang seluruh syaraf-syaraf libidoku. Aku, laki-laki
tua gendut yang sudah lama tidak main dengan perempuan lain selain
istrku, hari ini dengan edannya berada di kamar hotel dengan seorang
wanita muda cantik yang bertubuh padat sentosa, yang umurnya bahkan
belum setengah dari umurku. Sungguh sangat beruntung sekali. Wanita itu
menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, tepat di sisiku. Serta merta aku
langsung menyambutnya dengan dekapan dan rengkuhan hangat. Kulingkarkan
tanganku yang keriput di buah dadanya yang besar.
Dia cuma tertawa saat aku meremas dan mengelus-elusnya pelan dari luar baju. Aku
sudah tidak ingat lagi akan keberadaan anak istriku di rumah, bayangan
mereka seakan lenyap. Yang ada sekarang adalah aku benar- benar
tenggelam dalam pesona dahsyatnya penyelewengan singkat, yang pasti akan
dipenuhi kenikmatan dan gelinjangan dahsyat. Apalagi mengingat lawan
mainku yang sangat cantik dan seksi. ”Pak, bantu saya melupakan sakit
hati saya ya?” bisik wanita itu mesra. ”Saya yakin, meski bapak sudah
berumur, bapak bisa muasin saya.” dia memegang penisku dan mulai
mengocoknya pelan. ”Gede banget, pak. Nggak salah saya milih bapak.”
ujarnya. Telingaku merasakan seperti tersiram air sejuk pegunungan,
berbunga- bunga mendengar pujian macam itu. Aku bagai dilempar ke masa
25 tahun yang lalu, saat aku masih muda dan gagah. Semua wanita yang
kutiduri pasti akan bilang begitu. ”Sesuai permintaan, mbak, akan
kupuaskan mbak malam ini.” sahutku sambil membalik dan menindih
tubuhnya. Langsung kulahap mulutnya yang tipis kemerahan dan kulumat
dengan penuh nafsu hingga membuat dia gelagapan kesulitan bernafas.
Kumasukkan tanganku ke blusnya. Saat kuremas payudaranya, wanita itu
mendesah lirih sambil mencakari tubuhku, dia menekan bibirnya agar lebih
kulumat lagi. Segera kusedot lidahnya. Sekaligus juga air liurnya.
Semakin basah, aku jadi semakin bergairah. Mulutnya seperti kujadikan
tempat minumku. Sungguh, aku sangat menikmati kegilaan ini. Setelah
seperempat abad berlalu, akhirnya aku merasakannya kembali. Tanganku
tidak kualihkan, sambil terus melumat bibirnya, aku juga tak henti
meremasi kedua susunya yang kurasa sangat padat dan kencang. Seperti
milik perawan saja layaknya. Atau kalaupun tidak perawan, minimal dia
masih belum pernah punya anak. Aku bisa membedakannya. Tak puas cuma
dengan tangan, segera aku singkap blus yang dipakainya ke atas. Juga BH
merah kekecilan yang membungkusnya.
Saat benda itu sudah terburai keluar, aku memandanginya sejenak, mengagumi
betapa kencang payudara itu meski ukurannya begitu besar. Kulit
permukaannya terlihat mulus dan licin, tampak bersinar di kamar yang
tidak begitu terang ini, bagai dua bulatan semangka yang ditempeli
puting merah keras. Melihatnya membuatku tak tahan. Aku
segera menunduk dan mengganti usapan tanganku dengan bibir. Kujemput
payudara bulat itu penuh nafsu. Kujilat dan kusedot putingnya
habis-habisan. Di permukaannya yang
halus dan licin, kutinggalkan banyak cupang kemerahan. Sementara remasan
tanganku yang masih menyertai, membuat benda yang aslinya berwarna
putih itu, berubah menjadi kemerahan. Tapi bagiku, jadi tampak makin
indah. “Aaghhhhh.. Ssshhhhh.. Oughhhhh..” pemiliknya yang tidak mampu
melawan cuma bisa menggelinjang sambil merintih-rintih saat saraf-saraf
erotisnya yang sensitif terus kurangsang. “Auw, ampun, pak… geli!
Argghhhh…” desahnya penuh nikmat. Tanganku yang tidak bisa diam kini
turun untuk meraih celana jeansnya. Kulepas kancingnya dengan cepat dan
kubuka resluitingnya tidak sabar. Dengan jari-jariku yang besar dan
kasar, kudorong benda itu hingga merosot ke bawah, sampai ke mata kaki.
Setelah mengusap-usap sebentar pahanya yang putih mulus, merasakan
betapa halus dan licinnya benda itu, aku kemudian merogoh celana
dalamnya. Aiihh... tak terperikan kenikmatan yang kurasakan saat bisa
meraba kemaluannya yang licin tanpa rambut. Bisa kupastikan kalau benda
itu masih begitu sempit. Membayangkannya saja sudah membuatku tak mampu
menahan getaran jiwa dan ragaku, apalagi pas merasakannya nanti, bisa-
bisa aku kejang duluan. Dengan jari- jari kasarku, terus kuraba
permukaannya yang makin lama terasa semakin basah. Sasaranku adalah
kelentitnya, saat sudah kutemukan bulatan mungil kaku itu, langsung aku
menjepit dan menyerangnya bertubi-tubi. “Auuoogghhhsss..” wanita itu
memekik panjang saat menerimanya. Tubuhnya langsung melengkung dengan
cengkeraman jarinya di kemaluanku terasa semakin erat. Aku sampai
kesakitan. Segera kubalas dengan menusukkan jari-jariku ke lubang
vaginanya dan mengocok cepat disana. Ayo, sekarang siapa yang nggak
tahan! Menggelinjang keenakan, tubuh wanita itu terbanting keras ke
ranjang, lepas dari pelukanku. Menggeliat-geliat seperti cacing
kepanasan, dia merintih-rintih merasakan ujung-ujung jariku yang terus
bermain di lubang kemaluannya.
Cairan birahinya yang keluar semakin banyak, kuusapkan-usapkan ke
permukaaanya, kuratakan sebagai pelumas untuk memudahkan kocokan
jari-jariku. Sementara bibir dan tanganku yang nganggur, kugunakan untuk
kembali menyerang puting susunya dengan menghisap dan melumatnya rakus.
”Ooghhhhh.. ampun, pak.. geli banget! Aku nggak tahan.. ampun..
aahhhhh.. hentikan..” dia menghiba, tapi tidak kupedulikan. Terus
kuserang dan kugumuli tubuh sintalnya. Aku sudah terlanjur bergairah,
nanggung kalau harus berhenti sekarang. Blusnya yang sudah berantakan
memudahkanku untuk merangsek ke ketiaknya. Kujilat dan kusedoti kulit
mulus yang bersih tanpa bulu itu. Dia nampak sekali menikmatinya,
terlihat dari rintihannya yang semakin keras dan bertubi-tubi. Sementara
jari-jariku terus menusuki lubang vaginanya, menggelitik
dinding-dindingnya yang penuh saraf birahi dengan tanpa henti. Membuat
wanita berkulit putih itu serasa kelenger penuh kenikmatan. Dan tak
terbendung lagi, cairan birahinya mengalir semakin deras. Yang semula
satu jari, kini disusul lagi jari lainnya. Dua jari kini masuk, dan
mengocok semakin cepat. Kenikmatan yang kuberikan pada wanita itu
semakin bertambah. Dengan pengalamanku, aku tahu persis dimana
titik-titik kelemahan seorang wanita. Jari-jariku kuarahkan ke
G-spotnya. Dan tak ayal lagi, dengan jilatan di ketiak dan kobokan
jari-jari di lubang vaginanya, aku bisa menggiring wanita cantik itu
sampai titik dimana dia tidak mampu lagi membendung orgasmenya. Saat
rasa itu datang, perempuan itu merangsek balik kepadaku. Dengan
terkejang-kejang, dia menjatuhkan tubuhnya yang sintal ke atas tubuhku.
Segera kuraih kepalanya dan kuremasi rambutnya yang panjang. Dengan
sayang kupeluk tubuhnya yang montok itu erat-erat dan kuhunjamkan jariku
dalam-dalam ke lubang vaginanya, seperti ingin menyumbat celah sempit
itu agar cairannya tidak sampai tumpah keluar membasahi sprei.
”Aarrgghhhhhhh...” menjerit keenakan, wanita itu menarik apa saja yang
bisa ia raih. Bantalan ranjang teraduk, selimut tempat tidur terangkat
lepas dan terlempar ke lantai. Sementara kakinya menghentak-hentak
menahan kedutan vaginanya saat memuntahkan sperma. ’Sperma’ seorang
perempuan yang berupa cairan bening yang memancar keluar dari dalam
kemaluannya. Pahanya yang putih mulus menjepit tanganku, sementara
pantatnya yang bulat terangkat-angkat menjemput kocokan tanganku yang
mulai memelan. Dia tampak sedang menanggung kegatalan birahi yang amat
sangat. Kuusap keringat yang mengucur deras di mata, pipi dan bibirnya,
lalu kukecup dia sekali lagi, panjang dan mesra. Kusibakkan rambutnya
yang tergerai basah untuk mengurangi gerahnya di kamar yang ber AC ini.
Kuelus bulatan payudaranya, sambil kusisir rambutnya yang awut-awutan
dengan jari-jariku. Sementara di bawah, kuperhatikan cairan cintanya
merembes keluar dari celah-celah bibir vaginanya. Melenguh puas, wanita
itu menyandarkan tubuhnya dengan mesra di dadaku. Hawa dingin AC dengan
cepat meredakan orgasmenya, membuatnya kembali bisa bernafas normal dan
berpikir jernih. ”Ahh, bapak hebat banget, bisa ngantar saya cuma dengan
tangan. Sepertinya malam ini saya bakal puas sekali.” bisiknya lirih.
Kukecup bibirnya yang mungil sebagai jawaban. Dia menyambut ciumanku dan
sekali lagi kami berpagutan mesra. ”Saya ambilkan minum dulu ya.”
kataku sambil beranjak dari tempat tidur. Dia sempat menggenggam
sebentar batang penisku yang masih ngaceng berat sebelum menepikan
tubuhnya, memberi jalan bagiku. Dengan tubuh telanjang, aku melangkah
menuju kulkas kecil di sudut kamar. ”Air putih atau soft drink?”
tawarku. ”Air putih aja,” dia menjawab dengan nafas masih sedikit
ngos-ngosan. Payudaranya yang putih terlihat semakin mengkilap karena
keringat yang menempel di permukaannya. Kuberikan air putih dingin di
tanganku kepadanya. Dia meminumnya sedikit sebelum menyerahkannya
kembali kepadaku. Kuhabiskan sisanya dan kutaruh gelas yang sudah kosong
di meja.
Lalu kembali aku naik ke tempat tidur. Wanita itu diam saja saat aku mulai
menciumi dan mengusel-uselkan hidung ke tubuhnya. Kuciumi perut, pinggul
dan payudaranya. Dia tidak merespon, hanya nafas panjangnya saja yang
terdengar. Mungkin dia masih kelelahan akibat orgasmenya barusan, dan
sekarang masih berusaha untuk mengumpulkan tenaganya kembali. Tidak apa,
aku bisa mengerti. Aku terus menciumi payudaranya yang bulat sempurna
itu, kuhisap dan kujilati keringat yang mengalir di permukaannya sampai
benda itu menjadi bersih. Sementara putingnya yang merah mencuat,
kugelitik dan kucucup berkali-kali dengan lidahku. Wanita itu mulai
sedikit mendesah, tapi masih terlihat pasrah. Bahkan saat tanganku mulai merabai paha dan
selangkangannya, dia tetap tidak melawan. ”Mbak capek ya, bagaimana
kalau kita berhenti dulu?” tanyaku. Tidak enak juga menggumuli perempuan
yang diam seperti ini. Kayak main sama gedebok pisang aja. ”Eh, nggak.
Nggak, pak. Terusin aja. Saya sudah lewat kok capeknya. Ini juga sudah
mulai terangsang.” wanita itu tersenyum kepadaku. ”Beneran?” kuelus
rambutnya yang panjang sepinggang. ”Saya cuma mikir, tadi kok bisa
nikmat banget ya, apa sensasi selingkuh memang seperti ini? Bapak belum
ngapa-apain, cuma pake tangan, tapi saya sudah kelabakan seperti ini.”
dia mengulurkan tangannya dan menggenggam penisku. ”Yang ini, pasti
bakal lebih hebat dong.” gumamnya sambil meremas-remasnya pelan. ”Pastinya,” aku tertawa menggoda. Dia ikut tertawa. ”Jadi tak
sabar saya, pak. Ayo, pak, cepat setubuhi saya.” wanita itu meminta. Aku
mengangguk, ”Saya juga sudah tak sabar mbak pengen ngerasaain tubuh
mbak yang montok ini.” sambil kujawil puting susunya. ”Ahh, montok
apanya, pak. Buktinya, pacar saya ninggalin saya.” katanya, wajahnya
tiba-tiba terlihat sendu. Mungkin teringat peristiwa yang baru
dialaminya. ”Ah, maaf, mbak.” aku buru-buru minta maaf. Aku tidak ingin
merusak suasana mesra ini. Jangan sampai gara-gara teringat sama
pacarnya, dia jadi mengurungkan perselingkuhan ini. Aku sudah telanjur
bergairah, bisa gila aku kalau diputus sekarang. ”Tidak apa-apa, bukan
salah bapak kok. Malah saya terima kasih banget karena bapak sudah mau
nemani saya. Siapa tahu dengan kenikmatan yang bapak berikan, saya jadi
bisa melupakan bajingan itu!” dia mengepalkan tangannya erat-erat,
tampak geregetan. Tapi didalamnya masih ada penisku. ”Auw!” tentu saja
aku langsung menjerit keras-keras. ”P-pelan-pelan, mbak. Sakit!”
rintihku. Wanita itu langsung melepaskan genggaman tangannya, ”Ah,
m-maaf, pak. Saya nggak sengaja.” dia memandangi dan membolak-balik
batang penisku, memeriksanya kalau- kalau ada yang terluka. Setelah tahu
tidak apa-apa, kami saling berpandangan dan tertawa berbarengan. ”Ayo,
pak. Katanya mau ngentotin saya,” wanita itu berkata genit. ”Eh, i-iya,
mbak.” mengangguk senang, aku segera menelanjangi wanita cantik itu.
Celana jeansnya yang sedari tadi masih separoh di kaki, kutarik hingga
lepas. Juga blus serta kutang mungilnya, hingga kami sama-sama bugil.
Aku lalu rebah diantara pahanya dan menelusupkan kepala ke celah
selangkangannya. Dengan cepat lidah kasarku kembali menjilati lubang
kemaluannya. ”Auw, pak... Ampunn...” wanita itu langsung merintih dan
menggelinjang. Pelan-pelan nafsunya kembali terpancing. Lidahku yang
terus menusuk-nusuk lubang vaginanya membuat dia merasakan kegatalan
yang amat sangat. ”S-sudah, pak. Cepat setubuhi saya. Jangan siksa saya
seperti ini!” pintanya memelas. Tanpa dia sadari, tangannya telah
menyambar kepalaku dan jari-jarinya meremasi kembali rambutku yang sudah
acak- acakan sambil mengerang dan mendesah-desah menikmati rangsanganku
yang terus mengalir. Dia juga menekan-nekan kepalaku agar tenggelam
lebih dalam ke lubang selangkangannya. Pantatnya juga ikut naik
menjemput lidah dan bibirku.
Karena kasihan, dan juga karena tidak
tahan, aku menghentikan hisapanku. Kuganti dengan memindahkan dan
mengangkat kaki wanita itu untuk kutumpangkan ke bahuku. Perutku yang
buncit hanya memungkinkan posisi seperti itu saat menikmati tubuh
sintalnya. Itulah posisi yang paling mudah. ”Siap ya, mbak. Saya
masukkan sekarang.” kutuntun kontolku dan kuarahkan secara tepat ke
lubang kemaluannya yang masih tampak sempit dan indah. Hanya karena
jilatanku lah, benda itu jadi agak terbuka sedikit. ”Jarang dipake ya,
mbak?” aku mengomentari kemaluannya. ”Nggak juga sih. Tiap ketemu, kita
pasti main. Memang itu yang dicari pacar saya dari hubungan kami. Dia
cuma mau tubuhku. Ah, saya memang ******. Kenapa tidak menyadari itu
dari dulu.” dia melenguh, antara menyesali nasib dan gesekan ujung
penisku pada bibir kemaluannya. ”Nggak semua laki-laki seperti itu,
mbak. Saya yakin, mbak pasti bisa menemukan yang lebih baik dari dia.
Mbak cantik dan menarik, kalau saja saya masih muda, mbak pasti akan
kunikahi.” Aku sungguh sangat menunggu detik-detik ini. Detik-detik
dimana kontolku untuk pertama kalinya merambah dan menembusi memeknya.
”Terima kasih, pak. Ditemani seperti sekarang aja, saya sudah senang
kok.” sahutnya dengan tubuh kembali bergetar, saat aku mulai mendorong
batang penisku. ”Ughhh,” aku melenguh, tubuhku seakan terlempar
ke-awang-awang. Sendi-sendiku bergetar. Nikmat sekali rasa perempuan
itu. Campuran antara panas, lengket, sempit, dan menggigit. ”Auw!”
wanita itu menjerit kecil saat kepala tumpul yang bulat gede milikku
menyentuh dan menguak bibir vaginanya. Rasa kejut saraf-saraf di bibir
kemaluannya langsung bereaksi. Saraf-saraf itu menegang dan membuat
lubangnya menjadi menyempit. Seakan tidak mengijinkan kontolku untuk
menembusnya lenih jauh. Itu membuatku jadi penasaran. ”Santai aja, mbak.
Jangan tegang,” bisikku di tengah deru hawa nafsuku yang menyala-nyala.
”Ahhh... h-habisnya, kontol bapak gede banget sih. Jauh sama punya
pacar saya. Saya jadi takut.” Sahutnya terus terang. Aku tersenyum. “Kok
takut, harusnya malah seneng dong?” terus kugesek- gesekkan penisku.
Kalau dia memang belum siap, aku tidak akan memaksa. “Istri bapak pasti
puas banget ya?” dia
bertanya, dan menjerit kecil saat kugigit kembali puting susunya.
“Itulah kenapa dia tidak menolak kukasih anak 7 orang.” aku menjawab
bangga, dan tertawa. “Hamili saya juga, pak. Keluarin sperma bapak di
dalam. Nggak apa- apa, kalau pacar saya tidak mau ngasih anak, biar saya
dapat dari bapak saja.” wanita itu meminta. “Beneran, mbak?” bisa
kurasakan, setelah berkata begitu, dia menjadi lebih rileks. Kepala
penisku yang tadi tertahan, tiba-tiba bisa meluncur masuk meski masih
agak sulit. ”Iya, pak.” dan dengan kata-kata itu, ia pun menyerahkan
sepenuhnya tubuhnya kepadaku. Bibir vaginanya menyerah dan merekah,
menyilahkan kontolku untuk menembusnya. Bahkan kini vaginanya lah yang
aktif menyedot agar seluruh batang kontolku bisa dilahapnya.
Tanpa perlu usaha yang berarti, ’helm tentara’ itu pun berhasil masuk menguak
’gerbangnya’. ”Uugghhhh...” aku merasakan geli yang amat sangat saat
batangku yang kaku dan keras memasuki lubang kemaluannya. Terasa sesak,
penuh, hingga tak ada ruang dan celah yang tersisa, terasa begitu
nikmat. Aku terus mendesaknya masuk hingga mentok di mulut rahimnya.
”Ughhh, pak. Terus terang, seumur- umur belum pernah rahimku ngrasain
disentuh kontol seperti sekarang. Kontol pacar saya paling-paling
menembus sampai tengahnya saja, masih banyak sisa ruang yang longgar.”
rintihnya mesum. Tanpa diberitahu pun, aku sudah tahu. Vagina wanita itu
memang sangat sempit, seperti perawan saja layaknya. Benar-benar
beruntung aku bisa mendapatkannya. ”Saat dia tarik maupun dorong pun, saya tidak
merasakan sesak atau penuh seperti sesak dan penuhnya kontol bapak
mengisi rongga vaginaku saat ini.” katanya saat aku mulai melakukan
pompaan. ”Nikmati aja, mbak. Akan kupuaskan mbak malam ini.” dengan
pelan dan berirama, aku terus menarik pelan pinggulku kemudian
mendorongnya lagi. Begitu berulang-ulang dengan frekuensi yang makin
sering dan semakin cepat. ”Ahhhh.. iya, pak. Enak banget! Terus...” dan
wanita itu mengimbanginya dengan pintar. Secara reflek, pantatnya
bergerak ke atas ke bawah, mengejar dorongan dan tusukanku. Sesekali dia
juga bergerak memutar, sedikit ngebor apabila aku bergoyang pelan. Tak
lupa juga ia menggoyangkan kegelnya untuk makin memanjakanku. ”Ughhh...
enak banget, mbak.” aku mendengus. Untuk membalasnya, secara beruntun
kukocok vaginanya dengan sangat cepat dan dalam. Ia langsung berteriak
keenakan. ”Aahhhh.. pak, aarghhhh...” payudaranya bergoncang-goncang,
rambutnya terburai, keringatku dan keringatnya mengalir berjatuhan di
sprei.
Goyangan itu juga membuat ranjang kokoh yang kami pakai sampai
berderak-derak tak karuan. Segera kuremas-remas payudaranya sebagai
pelampiasan rasa nikmat yang semakin dominan. Kami sudah hilang kontrol.
Aku terus bergerak cepat, sementara wanita itu sudah tidak mengeluh
sakit lagi. Seluruh gerak, suara, nafas, bunyi, desah dan rintih
hanyalah nikmat saja isinya. Posisi nikmat ini berlangsung kurang dari
lima menit. Kulihat tubuh montok wanita cantik itu sudah berkilatan oleh
keringatnya, makin menambah keseksiannya. Dengan gemas terus
kupermainkan puting susunya yang mencuat mungil. Kugigit, kujilat dan
kupilin-pilin penuh nafsu. Sodokan kontolku makin lama juga makin
kencang. Pada akhirnya, setelah hampir sepuluh menit bercinta, bisa
kuhantarkan wanita itu ke orgasmenya yang ke dua. ”Ohhhh... bapak memang
hebat. Hanya dari Bapak, saya bisa meraih orgasme seperti ini. Terima
kasih, pak. Terima kasih!” ucapnya disertai semprotan keras di
vaginanya. Kuhentikan goyanganku. Kuberikan dia kesempatan untuk
menikmati puncak kenikmatan itu. ”Saya juga puas, bisa bercinta dengan
orang secantik mbak.” aku berkata. ”Puas apa? Bapak kan masih belum
keluar?” terengah-engah, wanita itu kelihatan makin cantik. ”Sekarang
giliran saya untuk memuaskan bapak.” Sehabis berkata begitu, kurasakan
vagina wanita cantik itu berdenyut begitu keras, meremas dan mencekik
penisku begitu rupa. Aku kelojotan. Denyutan satu disusul dengan
denyutan lain yang lebih nikmat. Aku jadi tak tahan. Apalagi dalam tiap
denyutan selalu diiringi empotan keras di ujung penisku. Tanpa perlu
digoyang pun, aku menyerah. Spermaku muntah tak lama kemudian. Crott..
crott.. crott.. ”Ah, banyak sekali, pak.” wanita itu menggelinjang geli
saat vaginanya kusembur dengan kawah panasku berkali-kali. ”Uhh..” aku
jadi lemes sekali. Lemas tapi puas. ”Sudah lama ya nggak dikeluarin?”
wanita itu bertanya. Aku mengangguk. ”Istri saya sudah manopause, mbak.
Cuma cinta kasih yang menyatukan rumah tangga kami, nafsunya sudah lama
hilang.” ”Bapak seneng dong sekarang?” dia membelai rambutku. ”Seneng
banget. Sekali-kalinya ngentot, sama orang secantik mbak.” kucium
bibirnya ringan. Di bawah sana, kurasakan penisku mulai mengkerut dan
mengecil dan akhirnya lepas dengan sendirinya. Sementara vagina wanita
itu masih terus bergetar dan berkedut-kedut. ”Mau sampai kapan, mbak,
begini terus?” kutusuk lubang sempit itu dengan jari telunjukku, kucolek
air mani dan air cintanya yang terbenam di dalam, lalu kuoleskan ke
ujung putingnya. ”Sampai besok juga bisa.” wanita itu menjawab santai
dan meratakan cairan pemberianku ke seluruh permukaan payudaranya. Benda
itu jadi kelihatan makin mengkilap karenanya. Tersenyum penuh kepuasan,
kami berbaring telentang di ranjang hotel yang kini sudah acak-acakan.
Sesungguhnya aku ingin tinggal lebih lama lagi di tempat penuh birahi
ini, siapa juga yang rela meninggalkan wanita secantik dan semolek dia
yang rela tubuhnya kutiduri sepanjang malam, namun jarum jam di dinding
yang menunjuk angka 2 menyuruhku untuk pulang. Istriku yang sedang
menunggu di rumah pasti resah, aku pulang terlambat tanpa memberi kabar
apapun. ”Bapak mau pulang ya?” wanita itu bertanya, seperti mengetahui
apa yang kupikirkan. ”Iya, istri saya pasti sudah menunggu.” begitu
jawabku. Setelah meremas payudaranya sebentar, aku bangkit dan mulai
mengenakan kembali bajuku. ”Terima kasih, mbak, sudah mengajak saya
melakukan ini. Jarang-jarang saya nemuin orang seperti mbak.” kataku.
”Sama-sama, pak. Saya juga terima kasih. Bapak rela pulang telat demi
saya.” jawabnya sambil ikut memunguti pakaiannya yang berserakan.
”Siapapun orangnya, pasti tidak akan menolak, mbak. Mbak begitu cantik
dan seksi.” kupandang wajah tirusnya
yang pucat, dan kembali kulumat bibir tipisnya. ”Bapak puas nggak tadi?”
dia bertanya. ”Bukan main, mbak. Saya sungguh sangat puas”, begitu
jawabku. Suatu jawaban jujur dari lubuk hatiku yang paling dalam. ”Tapi
ini kok masih melendung?” wanita itu meraba gundukan di balik celanaku
yang masih menggunung. ”Iya, mbak. Kontolku memang masih ngaceng. Tapi
bener, saya sangat puas kok.” tapi tidak kutepi tangannya, kubiarkan dia
terus meraba selangkanganku. Enak sih rasanya. ”Masih pengin ya, pak?”
tanyanya dengan tangan terus memijiti gundukanku, membuatnya semakin
membesar dan mengeras tak terkendali. ”bapak masih mau lagi ya?” dia
menaruh kembali celana dalam yang ia kenakan dan menggiringku naik ke
atas ranjang. ”Tapi, mbak...” aku ingin menolak, tapi
remasan tangannya yang nikmat mustahil untuk kuabaikan begitu saja.
”Sebentar saja, pak. Sebagai salam perpisahan kita.” sahutnya nakal
sambil melempar senyum serta melirikkan matanya kepadaku, seperti
menanti reaksiku. Sementara tangannya terus meremasi dan mengurut-urut
batang penisku. Aku terdiam, bingung antara mau menolak atau pengen
nambah lagi. ”Ehm, mbak...” Tapi kalimatku sudah dia potong. ”Aku buka
lagi ya, pak. Aku pengin lihat lagi nih jagoan bapak.” dan tanpa
menunggu persetujuanku, wanita itu dengan sigap mengendorkan ikat
pinggangku dan membuka kancing utamanya. Selanjutnya ia meraih
resluitingnya dan memelorotkannya ke bawah, menampakkan nampak celana
dalamku yang hitam kebiruan. Di balik celana dalam itu, membayang alur
daging sebesar pisang tanduk yang mengarah ke kananmilikku. ”Oouu.. ini
kali ya, pak, yang namanya stir kanan. Kalau stir kiri, mengarahnya ke
kiri, hehehe...” wanita itu menatapnya kagum sambil membelainya dnegan
sayang. Sudah kepalang tanggung, aku pun menyuruhnya untuk meneruskan.
”Buka, mbak. Kita lakukan sekali lagi.” ”Nah, gitu dong, pak. Itu
namanya bapak benar-benar muasin saya.” dengan tidak sabar, wanita itu
segera membetot kontolku dari sarangnya. Melalui pinggiran kanan celana
dalamku, batang itu mencuat keluar. Gede, panjang, kepalanya yang bulat
berkilatan penuh nafsu. Pada ujungnya ada secercah titik bening. Rupanya
cairan precumku telah terbit akibat remasan tangannya tadi. ”Hisap,
mbak.” kuminta dia untuk mengulumnya karena kulihat dia begitu mengagumi
benda itu. Tanpa menjawab, wanita itu segera merunduk dan mendekatkan
wajahnya. Bibirnya yang tipis terasa hangat saat menempel di ujung
kontolku. Dia menyentuh, menjilat dan
merasakan lendir lembut dan bening milikku. ”Ughhh.. mbak, telan.
Masukkan dalam mulutmu.” aku meminta. Dia mengangguk, dan melakukannya.
Wanita itu menghisap dan mengulum dengan begitu sempurna. Batangku ia
sapu dengan lidah, ujungnya ia jilat pelan-pelan, buah zakarnya ia
remas- remas sambil sesekali diciumi juga, sementara jembutnya yang
lebat ia sibak agar tidak mengganggu. ”Mbak... Uhhh, enak banget sih...”
kuelus-elus kepalanya. ”Tahu gini, aku minta emut dari tadi. Mbak
pinter banget. Uuhhhh...” kugerakkan kepalanya maju mundur, kupompa
dengan lembut agar dia makin lancar mengulumnya. Saat aku sudah tak
tahan, segera kurebahkan tubuh montoknya dan kutindih kembali. Tanpa
membuang waktu, kami pun mendayung untuk mengarungi ronde yang ke dua
yang sempat tertunda.