Ibu, Anak Dan Bibi
Namaku Deni, usiaku saat ini 16 tahun, baru saja naik kelas 2 SMU.
Aku adalah anak semata wayang orangtuaku. Ayahku, Gito, 40 tahun,
seorang pegawai swasta, dengan posisi sudah mapan, ibuku, Santi, 36
tahun, juga bekerja sebagai karyawati di sebuah perusahaan swasta.
Secara ekonomi keluarga boleh dibilang mapan menengah ke atas. Kami
sekeluarga tinggal di kota Jakarta. Ayahku sendiri berasal dari kota
Semarang, sementara ibuku berasal dari sebuah desa di dekat kota
Tasikmalaya. Kalau aku, ya karena lahir dan besar di kota Jakarta, lebih
merasa sebagai orang Jakarta saja tuh.
Sebenarnya ayah
dan ibuku tentu saja berharap bisa mendapatkan anak lagi, usaha membuat
anak jalan terus, tapi ya mau gimana lagi, dapatnya cuma aku saja.
Akhirnya mereka tak pernah lagi memimpikan untuk mendapatkan anak lagi.
Ibuku pernah cerita kepadaku, saat usia ibu memasuki usia ke 35, ayah
dan ibu sepakat, impian buat punya anak lagi sudah tak akan diteruskan.
Kenapa ? Pertama, kalau punya anak lagi, kasihan, usia ayah ibu saat ini
sudah lumayan, nanti ngejomplang jaraknya sama anak itu, semisal dapat
anak lagi, saat anak itu usia 20an, ayah ibu sudah memasuki usia 60an.
Kedua, jarak antara aku dan adikku itu juga bakal terlalu jauh, sulit
buat dekat. Karena pemikiran itu akhirnya sudah bisa dipastikan aku tak
akan pernah punya adik. Sebagai antisipasi, ibu memasang alat KB.
Aku
sendiri seperti kebanyakan tipikal remaja seusiaku di Jakarta ini,
adalah remaja yang gaul, trendi dan dinamis. Ayah dan ibu tidak
mengekang pergaulanku, namun tetap mengawasi dan memberi masukkan yang
positif. Buat urusan pelajaran, aku termasuk encer, nilaiku selalu
bagus, walau tidak peringkat utama, tapi biasanya masuk 10 besar,
pokoknya orang tuaku tidak khawatir dengan masalah pelajaran. Buat
masalah gaya, gaul dan trendi, aku juga cukup oke, ikut kegiatan
olahraga sepak bola dan basket, sering ke mall atau nongkrong sama teman
– teman, kadang kalau iseng main band, aku bagian kecrekan saja hehehe,
nggak bakat, cuma buat kompakkan saja. Walau sering bergaul sama teman –
teman namun aku bisa mengontrol diri, di samping juga pengawasan dari
orang tuaku, aku nggak mau sama yang namanya alkohol, narkoba dan
sejenisnya, no way, bodoh kalau mau terjerumus begituan, kita hancur,
melarat, yang kaya bandarnya doang. Paling aku cuma merokok, itu juga
sesekali, solider sama teman, ( Cuma merokok yang aku solider, kalau
yang lain nggak deh ). Aku pernah ketahuan sama orang tuaku, dan aku
jujur saja bahwa aku memang suka merokok, tapi tidak terlalu banyak,
secukupnya, kadang kalau lagi pusing belajar, aku merasa terbantu dengan
merokok. Ayahku juga perokok, dan karena aku sudah jujur maka ayah
hanya memperingatkan agar jangan terlalu banyak atau kecanduan, dan
untuk membeli rokok, ya pakai uang jatah jajanku, nggak bisa minta jatah
khusus. Ya, lumayan deh sehari paling banyak aku hisap 3 batang, itu
juga kadang nggak rutin tiap hari, kalau lagi mau saja.
Kalau
pulang sekolah aku jarang langsung pulang, soalnya pasti nggak ada
orang di rumah, orang tua belum pulang kerja, di rumah kagak pakai
pembantu, paling bayar jasa cuci setrika saja sama tetangga. Jadi kalau
pulang sekolah pasti aku keluyuran dulu, nongkrong, ke mall, rumah
teman, atau ke Warnet dekat rumah. Warnet sering jadi lokasi favourite,
yang jaga juga sudah akrab, jadi bisa agak bebas, kalau lagi malas,
bolos dari pagi ( banyak juga lho yang sering begini, makanya di warnet
dipasang tanda : pelajar berseragam sekolah dilarang masuk; tetap saja
kagak efek tuh ). Aku nggak gitu hobi main game online, lebih banyak
chatting, facebook-an, browsing, dan melakukan aktivitas favourite, buka
situs jorok dan download. Hasil berkelana di dunia maya, taruh di USB,
simpan dan nikmati di Laptop di rumah...hehehe.
Usiaku
saat ini memang sedang hot – hotnya ingin tahu tentang perempuan dan
seks, sayangnya aku belum punya pacar atau pengalaman dalam bidang ini.
Sejauh ini pengalamanku hanya dunia fantasi saja, kadang nyetel bokep,
baca majalah porno, ngayal lalu ngocok deh...belum ada yang nyata.
Secara selera aku suka wanita yang tinggi, cantik, kulitnya putih atau
agak hitam itu relatif, rambut juga relatiflah nggak spesifik, bertetek
besar itu keharusan, dan aku senang yang berbulu lebat. Jujurnya aku
paling merasa senang dengan wanita yang usianya sekitar 30 tahunan ke
atas. Aku paling cepat ON kalau lagi nonton bokep dan pemain wanitanya
ada yang kayak aku sebutkan tadi. Kalau buat bahan khayalan, paling
teman sekolahku si Hana, Rini, Mitha, juga bu Tina yang bahenol. Baru
berani ngayal, belum berani lebih dari itu, buat pacaran juga masih
belum mau ah, aku masih mau bebas merdeka tuh.
Selain
itu aku paling sering mengkhayalkan ibuku, ibuku memang tipe wanita
paruh baya yang seksi, tinggi, cantik dan juga masih montok. Teteknya
juga besar. Ibuku biasanya pulang kerja lebih dulu dari ayah, ayah
pulangnya agak malam. Aku paling hobi ngintipin ibuku mandi. Kebetulan
kamarku bersebelahan dengan kamar mandi, karena aku banyak waktu luang,
jadinya aku akali saja, sehingga aku bisa mengintip melalui celah
eternit. Kalau ibu masuk kamar mandi, aku segera masuk kamar, kunci
pintu, naik meja, peloroti celana, lalu menikmati tubuh mulus ibuku yang
sedang mandi, membusahi tetek dan pentilnya dengan sabun, mengusap
m3meknya yang dihiasi jembut yang rimbun, kont01ku pasti langsung keras
dan siap minta dikocok – kocok...cok. Aku selalu berhati – hati, posisi
lobang mengintipnya pun tak akan menimbulkan kecurigaan dan tak ketara
dari kamar mandi, lobang satu laginya di kamarku, kalau aku selesai
ngintip, aku langsung tutup dengan tripleks, pokoknya aman terkendali.
Kadang memang timbul niat lebih pada ibuku, namun aku belum punya nyali,
ya jadi cukup memuaskan dan bahagia dengan kondisi ini dulu saja. Aku
memang merasa amat sangat ingin mencoba melakukan dan merasakan hubungan
badan, namun belum ketemu lawan yang pas ( kayak ngadu ayam saja, pake
istilah lawan hehehe ). Tapi aku selalu percaya akan ada kesempatan dan
waktunya bagi mereka yang berhasrat ini.
Sekarang hari
pertama liburan, aku lagi uring – uringan, karena ayah ibuku janji
setelah ambil raport, besoknya akan mengajakku berlibur ke bali, mereka
akan cuti besar, namun mendadak atasan ayah membatalkan cuti ayah, nggak
ditentukan kapan bisa ambil lagi, karena ada proyek besar yang mendadak
didapat dan harus ayah urus. Gede banget nilainya seru ayah berapi –
api samapi muncrat ludahnya saking semangatnya menjelaskan. Ayah
sebenarnya menyuruh ibu dan aku berangkat saja, namun ibu nggak mau,
katanya kalau mau liburan harus sekeluarga. Jadilah akhirnya ibu juga
memutuskan mempersingkat cutinya, ibu tetap cuti namun hanya satu minggu
saja, bukan 3 minggu seperti direncanakan. Ayah bilang kepadaku dia
tahu aku kecewa namun urusan kantor juga penting, duit komisinya buat
ayah lebih dari lumayan kata ayah. Nanti saja akan ayah atur waktu,
mungkin libur akhir tahun kalau perlu ke Singapore saja, ongkosnya juga
nggak beda dengan ke Bali. Jadilah hari pertama libur mukaku sudah
bete...bete...bete...ah.
”Den, sudah dong, jangan marah
begitu, muka ditekuk terus kayak gitu apa nggak pegal, ibu saja pegal
ngelihat muka kamu kayak gitu.”
”Ah ibu, Deni lagi sebel nih, nggak mau diajak becanda..”
”Sudah deh, kamu kan juga tahu urusan kantor ayah, lagian ayah kan kerja nyari duit buat kita juga.”
”Iya
sih, tapi Deni kan sudah senang dari kapan tahu tuh bu karena kita mau
ke Bali, tahunya batal mendadak gini, siapa yang nggak kesal....huh.”
”Ya
sudah..., ibu juga sudah terlanjur cuti nih, jadi tadi ibu bilang ayah,
ibu mau ke kampung, nengok bibi – bibi kamu. Mungkin 3 atau 4 harian,
kamu mau ikut...???”
”Hah....jauh amat kenyataan sama impian...Bali sama kampung dekat Tasik...ogah ah.”
”Ya sudah kalau begitu, kamu di rumah saja sendiri sama ayah.”
Ah,
malas sih pergi ke kampung ibu saat ini, tapi kalau di rumah juga,
paling seminggu saja aku semangat keluyuran selebihnya bakal bosan,
lagian sendirian, ayah cuma ada kalau pulang kerja, hari sabtu-minggu
kalau lagi ada proyek juga biasanya ayah masuk...., ya mending ikut ibu
saja deh.
”Nggg...ikut deh bu, daripada bete sendirian.”
”Huh dasar kamu ini, bawa saja baju banyakan, siapa tahu nanti ibu pulang duluan, kamu masih betah di sana.”
”Alaaah....nggak
perlulah, seadanya saja. Siapa juga yang mau menghabiskan seluruh
liburan di kampung....emang kita cowok apaan, nggak janji deh.”
Ibuku
sendiri mempunyai 3 orang saudara, kakak tertua Bi Lasmi, 40 tahun,
suaminya pelaut, Bi Lasmi tinggal di kampung juga, anaknya si Joko,
kuliah di Yogyakarta. Ibu anak nomor 2. Anak nomor 3, Mang Nurdin, 34
tahun, sudah berkeluarga, anaknya 3 orang, tinggal di Surabaya, kerja di
sana. Anak nomor 4, Bi Ratna, 33 tahun, janda, sudah menikah 2 kali,
suami pertama meninggal karena sakit, suami yang kedua dengar – dengar
sih meninggal kecelakaan, anaknya si Jaka, 4 tahun, anak dari hasil
pernikahan dengan suami kedua. Si Jaka ini biasanya dipanggil si Ucil.
Bi Ratna sudah menjadi 2 tahun terakhir ini, untuk ukuran di kampung
sudah lumayan lama. Ibuku paling dekat dan sayang sama bi Ratna ini.
Kakek dan nenekku dari pihak ibu sudah meninggal, jadi di kampung memang
hanya tinggal bibi – bibiku ini dan beberapa family lainnya. Ibu tetap
sering berkunjung ke sana kalau ibu sempat. Ibu sendiri memang beda
dengan kedua bibiku, ibuku dulu lebih memilih bekerja di Jakarta sewaktu
tamat sekolah, dan akhirnya ketemu jodoh yaitu ayahku di sana. Kedua
bibiku ini juga cantik seperti ibuku, namun aku tidak terlalu banyak
memperhatikan, karena memang jarang ke sana dan dulu kan belum masa
puber, jadi kagak terlalu paham soal itu.
Akhirnya esok
harinya, pagi - pagi aku dan ibu berangkat, ibu nggak mau bawa mobil,
lebih memilih naik bis yang bagus kelasnya, biar nyaman. Ibu bilang ke
Ayah mungkin nanti hari Sabtu kami pulang. Perjalanan ke sana tidak
terlalu memakan waktu, jadi belum siang kami sudah tiba di kota
Tasikmalaya, lalu menyambung dengan angkot, kurang lebih satu jam, dan
akhirnya tiba di kampung X, kampungnya memang agak ke dalam, tapi sudah
bagus, jalannya sudah diaspal ( kabarnya sih belum lama, dari caleg yang
menang pilkada, penuhi janji ), listrik, sekolah, sinyal HP, siaran TV
juga lengkap. Banyak sawah dan kebun di sini, memang mata pencarian
utama dan juga hasil yang utama di sini adalah hasil bumi beserta
olahannya. Ada yang menggarap tanah sendiri, kerja di tanah orang,
berdagang hasil bumi. Bibi – bibiku mengelola tanah milik keluarga yang
jadi bagian warisan mereka. Punya ibu juga ada, ibu memepercayakan
dikelola kedua saudarinya ini, hasilnya terima bersih saja, toh ibu
sudah punya penghailan tetap yang lumayan besar dari pekerjaannya.
Mereka memperkerjakan beberapa orang untuk menggarap, sistem bagi hasil
dan juga upah saat panen. Bi Lasmi juga mengelola tanah miliknya yang
dibeli suaminya. Pemandangan di sini sebenarnya indah, ada pemandangan
gunung di kejauhan, kalinya tidak terlalu deras dan tidak banyak
bebatuan besar, lokasi buat berenang di kali banyak. Buat mancing juga
ada tempat yang enak di saluran irigasi. Udaranya segar dan masih asri.
Lokasi satu rumah dengan rumah lainnya tidak sama, ada yang dekat ada
yang jauh. Penduduknya masih banyak, yang kerja di kota tidak banyak,
karena di kampung juga banyak kegiatan dan penghasilan. Makanya kalau
mau kampungnya tidak kosong ditinggal warga merantau, perangkat desa
harus siap harus ada tanah yang digarap dan juga lapangan pekerjaan lain
yang mendukung. Banyak kegiatan dan peluang kerja di kampung, orangnya
juga tak bakalan merantau...betul nggak...? Sotoy loe Den...hehehehe.
Bibi
– bibiku senang sekali dengan kedatangan kami, soal tempat tinggal bisa
di mana saja, tapi kali ini ibu bilang mau nginap di rumah Bi Ratna
saja, bi Lasmi tidak masalah, toh rumahnya juga dekat, mungkin juga
paham dengan niat ibu yang mau membujuk bi Ratna biar kawin lagi. Mereka
sibuk melepas kangen, dan ibu membagikan oleh – oleh. Sedang aku mulai
sibuk ditarik – tarik si Ucil, ngajak main.
Tentu saja percakapan
dilakukan dalam bahasa Sunda, namun demi memudahkan yang nggak ngerti,
di tulis bahasa Indonesia saja ya...kalau yang paham, silahkan baca dan
mentranslatenya dalam hati ke bahasa sunda, biar lebih menghayati
ceritanya...hehehe
”Ucil, nanti duluh atuh...kang Deninya juga masih capek, biar istirahat dulu,” kata Bi Ratna.
”Nggak apa – apa bi, lagian sudah lama kagak ketemu si Ucil, sekarang sudah gede dan pintar ngomong.”
”Ya sudah, tapi mainnya dekat sini saja ya, nanti sebentar lagi kita makan, bibi mau siapkan dulu, kamu sudah lapar kan...?”
Akhirnya
aku menemani si Ucil, memang si Ucil ini paling senang kalau aku
datang. Aku juga senang – senang saja, habis anaknya lucu dan polos. Tak
berapa lama akhirnya kami dipanggil dan mulai makan siang. Mantap
menunya, ikan gurame goreng garing, pepes tahu, pete bakar sama lalapan
dan cabe cobek, kayak wisata kuliner saja. Kenyang banget perutku
memakannya. Setelah beristirahat, ibu mengajak bi Lasmi menemaninya
berkunjung ke rumah family dan temannya. Ibu menanyakan aku mau ikut
atau tidak, tapi aku bilang malas, masih capek, akhirnya ibu mnyuruhku
menemani Bi Ratna, si Ucil sedang asik dengan ngoroknya, tertidur pulas
dengan iler menetes, dasar si Ucil. Selepas ibu dan bi Lasmi pergi, aku
bermaksud membantu bi Ratna membereskan rumah, namun katanya aku
istirahat saja dan menemaninya ngobrol, sudah lama nggak ketemu. Memang
sudah lama nggak ketemu, dan juga karena saat ini aku sudah puber, aku
baru sadar ternyata bibiku ini memang cantik, kulitnya putih bersih,
bodinya juga aduhai dengan fokusku ke arah teteknya yang memang besar
menantang. Sepertinya ibu dan kedua bibiku memang memiliki garis
keturunan yang bertetek besar dan aduhai. Nggak lama bibi masuk ke
kamarnya, aku hanya melamun saja, nggak sadar bibiku sudah keluar lagi,
terdengar panggilannya, dari arah samping rumah. Aku segera ke sana, dan
kulihat bibi sedang mengangkat jemuran, tapi bukan itu yang membuatku
terkejut dan senang, bibiku kini hanya mengenakan kain dan kutang model
kampung, hampir kayak kembem gitu, agak panjang sampai batas perut,
dengan kedua talinya di bahu. Gila, seksi banget, apa memang yang kayak
gini sudah biasa dan busana sehari - hari, waktu suaminya masih ada,
dulu aku jarang nginap di sini, biasanya di rumah bi Lasmi, dan mungkin
karena aku masih anak kecil, jadi masih culun bin lugu, belum paham.
Kutangnya nampak ketat sekali membungkus teteknya yang besar, belahan
teteknya nampak jelas, saat ia mengambil jemuran, kulihat di lengannya
nampak bulu ketek yang seksi makin menambah nafsuku. Jadi keras nih
kont01ku. Akhirnya aku pura – pura membantu, biar lebih dekat dan bisa
lebih fokus melihat belahan teteknya.
”Sudah besar ya kamu sekarang, Den, sudah perjaka.”
”Kan dikasih makan sama ibu,Bi.”
”Ah kamu bisa saja...ponakan bibi ini sudah punya pacar belum...?”
”Ah...belum
kok bi.” kataku lagi. Posisiku agak di belakangnya, mataku sekan mau
melotot keluar melihat pemandangan belahan teteknya.
”Dicari atuh
Den, enak lho punya pacar, kamu bisa ngerasain gituan lho...enak lagi,
umur kayak kamu mah di sini juga sudah banyak yang kawin.”
”Ah...bibi, malu atuh ngomong kayak gitu...”
”Alaahh...sama
bibi mah kagak usah malu gitu, santai saja....kayak bibi kagak pernah
muda saja. Bibi mah ngerti anak muda kayak gimana. Lagian kamu kan
lelaki jadi bibi paham.”
”Iya juga sih...tapi tetap sajalah malu.”
”Ya
sudahlah, kata ibumu kamu lagi libur sekolah, kamu mau pulang kapan..??
kalau kagak ada kegiatan mah, di sini saja, temani si Ucil.”
Ternyata
bibiku ini ngomongnya bak – blakan dan vulgar juga, belum lagi tubuhnya
memang bahenol banget, kont01ku sudah sesak rasanya di balik celanaku.
Sebenarnya sih aku tidak rencana menghabiskan liburan di sini, nanti
ikut ibu balik, namun melihat ”rejeki” yang bakalan aku terima kalau aku
di sini, juga melihat gaya bibiku, hatiku jadi bimbang, mungkin saja
aku bisa mengalami hal yang menjadi keinginanku di sini. Aku hanya
menjawab...
”Deni belum tahu bi, lihat saja nanti.”
”Ya
sudah, tapi sebaiknya kamu berlibur saja di sini, daripada di Jakarta
terus. Toh di rumah bibi kosong. Lagian juga banyak kegiatan yang bisa
kamu lakukan. Bisa nambah ilmu sama pengalaman kamu juga. Sok atuh..udah
beres ngangkat jemurannya, masuk ke dalam saja.”
Akhirnya
bibi selesai mengangkat jemuran, dan kami pun masuk ke rumah. Aku
permisi ke kamar mandi, bilangnya mules, padahal mah ada sesuatu yang
harus kulepas nih, gila...keras banget kont01ku...., sesampainya di
kamar mandi, langsung saja kukocok kont01ku sambil membayangkan tubuh
bibiku tadi, ah lega rasanya saat akhirnya hiburan tangan ini selesai.
Sorenya
ibu balik, bi Lasmi pulang dulu, nanti janji mau nginap juga. Malamnya,
karena kamar di rumah bibi hanya ada 2 maka, aku tidur di kamar dengan
Ucil, sedang ibu dan bibi – bibiku di kamar bibi, mereka tampak seru
ngobrol dan tertawa, maklumlah nostalgia dan melepas kangen.
Keesokan
harinya akhirnya kuketahui, memang kalau di rumah, pakai busana kayak
yang kulihat waktu itu, memang wajar saja, bibiku cuek saja, ibu juga
nggak melihat itu sesuatu yang aneh dan menggangguku, bahkan ibu juga
memakai busana yang sama, saat kutanya, jawabnya santai sekali,
katanya...nyaman pakai baju kayak gini, juga sudah lama nggak memakai
pakaian kayak begini dan toh ibu dan bibi nggak perlu canggung di depan
kamu.....memangnya kamu ada masalah ? Ya sudah, nggak masalah kok bu
kataku dalam hati, maka selama itu aku mendapatkan pemandangan bagus
terus, tubuh montok ibu dan bibi, makin sering saja aku ke kamar mandi,
gimana lagi kalau setiap saat melihat belahan tetek besar dari 2 orang
wanita yang seksi. Untung saja tanganku bisa kutahan untuk tidak
menjamah. Singkatnya ibu banyak menghabiskan waktu berkunjung ke rumah
saudara dan temannya, sesekali ke sawah dan kebun, kadang aku ikut.
Suatu malam kami semua pergi jalan menyewa angkot milik tetangga, ke
kota Tasikmalaya, ibu mau membelikan baju buat bibi – bibiku, si Ucil
dan saudaraku sekalian traktir makan, makin asik karena pas ada pasar
malam dekat situ, lumayan ngerasain wahana Dunia Fantasi dadakan dan
seadanya, ya senang – senanglah, sedikit banyak aku mulai melupakan rasa
kesalku batal liburan ke Bali. Ada suasana hangat kekeluargaan yang
juga mampu mengobati kekecewaanku.
Di rumah bibi, ada
motor, aku nggak tanya milik siapa, mungkin milik almarhum suaminya,
bibi memberi kuncinya, katanya kalau aku mau jalan – jalan, bawa saja,
asal jangan ngebut. Biasanya aku ajak Ucil keliling, si Ucil senang
sekali, katanya ibunya jarang bawa motor, hanya kalau ada perlu saja,
jadi dia jarang naik motor. Karena pom bensin jauh, orang sini biasanya
beli eceran, agak mahal dikit. Akhirnya tibalah saat malam terakhir,
besok pagi ibu akan pulang, ayah tidak bisa menjemput jadi ibu pulang
sendiri bersamaku. Malam itu aku bilang aku mau tetap di sini saja,
habis udaranya enak, suasananya tenang, juga senang main sama si Ucil, (
dan tentu saja karena ada pemandangan indah di rumah bibi : bibiku
sendiri.). Lagian bosan di Jakarta nggak ada kegiatan.Ibuku agak heran,
katanya dasar aku plin plan, tapi memperbolehkan. Masalahnya bajuku
terbatas, ibu jadi agak kesal, katanya kan sudah dibilang bawa baju
lebih. Akhirnya esok ibu mengajakku sekalian mengantarnya ke kota
Tasikmalaya, untuk membeli baju kaos dan celana pendek serta CD. Aku
bilang naik motor saja, karena aku mau beli bensin di derigen, mulanya
ibu keberatan, tapi akhirnya mau. Aku segera ke belakang, mencari
derigen, memang ada, dan dari baunya saat aku mencium dalamnya waktu
membersihkan, sepertinya memang dipakai untuk menyetok bensin, 2 buah
ukuran 10 liter, tidak besar.Aku segera ikatkan di bagian depan. Esok
paginya ibu sudah siap, setelah berpamitan dengan bi Lasmi, bi Ratna,
beberapa family dan temannya, berangkatlah kami. Bawaan ibu tidak
terlalu banyak, oleh – oleh juga muat di tas dan plastik. Enak juga naik
motor lebih cepat, juga dapat bonus, punggungku sesekali merasakan
tetek empuk nempel...nyamannya hehehe. Karena naik motor,, maka tak
berapa lama kami sudah samapai. Ibu mengajakku ke pasar terdekat di
kota, membeli kaos murah meriah, 10 potong, 3 celana pendek dan ½ lusin
celana dalam, kagak sampai 300 ribu belanja. Sekalian juga mengajakku ke
toko makanan, membeli makanan ringan dan kopi juga susu sachet. Kutitip
dulu di tokonya, karena bawaan sudah penuh, nanti kuambil lagi. Lalu
ibu minta diantar ke ATM, mengambil uang, memberiku uang buat jajan
kunanti dan beli bensin. Sekalian uang untuk ongkos pulang, takutnya
nanti ayah nggak bisa menjemput, kubilang aku bisa pulang sendiri.
Setelah itu aku antar ibu ke teminal, parkir motor, belikan karcis dan
menunggu bisnya berangkat, ketika bis sudah mau jalan ibu mengecup
pipiku, sambil berpesan agar jangan merepotkan bibi – bibiku. Akhirnya
ibu pulang, aku lalu segera membeli bensin, mengambil belanjaanku dan
kembali ke rumah bibi. Sesampainya di sana hari masih belum terlalu
siang, kulihat si Ucil yang agak merengut karena tidak kuajak. Aku
godain saja dia, akhirnya aku bilang ke bibi mau ajak si Ucil pelesir ke
tempat wisata dekat kampung sini, tanpa diduga bibiku mau ikut juga,
katanya iseng nggak ada kegiatan, toh sawah dan kebun sudah ada yang
ngurus. Akhirnya kami berangkat, karena jalan di kampung, nggak perlu
helm. Sempat berpapasan dengan bi Lasmi, katanya sayang naik motor jadi
nggak bisa ikut, berpesan agar aku tidak ngebut dan hati – hati.
Akhirnya kami tiba di sana, tempat wisata alam dengan permainan anak,
karena hari Sabtu dan masa liburan jadi mulai agak ramai. Si Ucil mulai
heboh menunjuk mau main ini – itu, bibiku hanya tertawa dan memberiku
uang untuk membeli karcis. Kami bertiga bersenang – senang di sana, si
Ucil sudah kayak dinamo mobil – mobilan Tamiya saja, muter terus ke sana
ke mari. Agak sore kami makan bakso di tempat makan di situ. Si Ucil
masih sibuk bermain, aku dan bibi hanya mengawasi.
”Bibi
senang, kamu memutuskan tetap berlibur, jadi si Ucil ada temannya. Kamu
pakai saja motor itu kalau mau pergi. Kalau memang sempat bibi ikut,
tapi kalau nggak, sama si Ucil atau ajak saja bi Lasmi, pasti dia senang
juga.”
”Oh ya, itu motor siapa bi, punya almarhum mang Wawan ya...?”
”Iya...bibi
juga kagak gitu paham, si Wawan geblek itu kan mati kecelakaan. Bibi
juga kurang paham prosedurnya, nggak ngerti urusannya, setelah peristiwa
itu, bapaknya yang juga kakek si Ucil kirim tuh motor, katanya ganti
asuransi, dia bilang buat bibi saja, di rumahnya banyak, ini buat ajak
jalan si Ucil, tapi itu pun bibi juga jarang pakai.”
”Oh...”
Aku
hanya ber-Oh saja, tapi aku sempat menangkap sepertinya bibiku rada
jengkel dan juga agak kasar membicarakan almarhum suaminya. Mungkin bibi
menangkap kebingunganku, dia hanya tersenyum, sambil bilang nanti di
rumah akan dia kasih tahu. Kami lalu kembali ngobrol, mataku sempat
memandang beberapa sejoli yang sedang kasmaran, aku hanya nyengir saja,
bibiku sempat melihat dan kembali meledekku, rupanya kemarin kalau ada
ibu, bibi nggak berani terlalu vulgar. Kuperhatikan wajahnya sekilas,
memang cantik dan terus terang wajahnya memang agak mengundang, setahuku
sudah hampir 3 tahun, bibi menjanda, rasanya wanita secantik bibi agak
aneh kalau sulit mencari pasangan lagi, aku hanya diam saja berpikir,
akhirnya karena hari sudah sore, bibi mengajakku pulang. Si Ucil tertawa
terus sepanjang perjalanan pulang. Akhirnya kami tiba di rumah. Bibiku
lalu memandikan si Ucil, nggak lama bibi juga mandi, dan mulai
menyiapkan makan malam. Aku juga segera mandi dan memasukkan motor. Kini
bibi sudah kembali memakai busana favouriteku, kini mataku bisa bebas
jelajatan, nggak ada ibu sih, bibi sendiri sih cuek saja. Selesai makan
si Ucil, nonton TV bersamaku, nggak lama ketiduran, si Ucil ini kalau
sudah tidur, parah, nggak bakalan bangun kalau dia belum puas, dicolek
atau digoyang – goyang juga kagak bakal bangun, tahu kalau disiram air
seember hehehehe. Aku gendong si Ucil, karena ibu sudah pulang, si Ucil
tidur kembali di kamar bibi, aku yang menggendong, nyelonong masuk saja,
bibi rupanya lagi berbaring, istirahat, kainnya nampak agak tersingkap,
segera dirapikan, aku kaget dan segera minta maaf, bibi bilang tidak
apa, dan merapikan tidur si Ucil. Aku sendiri langsung keluar dan
menonton TV.
Tak berapa lama nonton, kurasakan kepalaku
agak pusing dan badanku agak tidak enak, perut terasa mual, makin lama
makin kuat, jangan – jangan hamil...hush....sembarangan, kayaknya masuk
angin, segera kuberlari ke kamar mandi dan muntah, setelah puas
mengeluarkan rasa mualku, kusiram dan kubersihkan mulutku. Keluar dari
kamar mandi kulihat bibi sudah menunggu, menanyakan kenapa, aku bilang
nggak tahu, tiba – tiba mual, dia bilang pasti masuk angin, karena dari
pagi aku naik motor, dan telat makan. Dia menyuruhku tidur saja, nanti
dia buatkan teh manis dan obat, juga akan mengerokiku, aku hanya bisa
mengangguk lemas dan berjalan ke kamarku. Tak berapa lama bibi masuk dan
membawa teh, obat dan minyak gosok. Bibi menyuruhku membuka baju dan
telentang, lalu mulai mengerokiku, walau lagi sakit, tapi aku merasakan
tangannya halus di punggungku, apalagi dekat denganku. Biar nggak enak
badan, tapi yang namanya kont01, terkadang kagak mau ngerti, diam – diam
membesar. Bibi masih terus mengeroki punggungku, lalu mulai mengolesi
minyak gosok dan memijatku, duh enak banget, mana tangannya lembut.
Sampai sini kagak ada masalah, lalu bibi menyuruhku berbalik, katanya
depanku juga harus dikerok, biar anginnya cepat keluar......gawat...aku
cuma bercelana pendek, mana celanya nggak terlalu besar, bisa tengsin
dong aku, kelihatan ada yang bejendol besar di balik celana, aku bilang
nggak usah...bibi terus memaksa, bahkan agak mendorong membalikkan
tubuhku.
”Iya deh bi, tapi jangan marah ya...”
”Marah kenapa Den...”
”Anu....Deni
kan lelaki, terus juga bibi itu cantik banget sih, jadi Deni
kebablasan...maaf ya Bi,” aku berterus terang, rada takut dia marah.
”Oalah....cuma
begitu aja, ya namanya juga baru gede sih, ada – ada saja kamu ini,
bibi ini kan jelek, sudah tua....sudah balik saja, nggak usah malu dan
minta maaf, memangnya bibi belum pernah lihat kont01, ayo. Kirain
kenapa.”
Dengan agak malu aku membalikkan badan, nampak
dari celanaku ada tonjolan yang besar, bibiku melihatnya sekilas,
nyengir dan mulai mengeroki dadaku. Sedang aku makin ngaceng saja,
karena bisa melihat dengan jelas belahan dadanya, bulu keteknya saat
mengerokiku dari depan. Sesak banget rasa celanaku.
”Den..Den,
kamu ini, sama bibi yang sudah tua kok masih bisa ngaceng....sudah
kagak perlu malu gitu, wajar kok, namanya juga baru remaja, sedang masa
pertumbuhan.”
”Iya...Bi, tapi sumpah kok, bibi cantik juga belum
tua. Kalau di sini memangnya seumur bibi sudah masuk kategori tua
ya...nggak lah. Mana masih montok lagi.”
”Ah...kamu ini, jangan ngeledek ah”
”Benar
kok bi, maaf ya, apalagi dengan pakaian kayak gini, aduh bi, maaf deh,
jangan marah dan salahkan Deni, benar – benar membuat nafas berdetak
cepat.”
”Lha...apa toh yang salah dengan pakaian kayak gini, biasa atuh di kampung sini.”
”Iya...tapi
di Jakarta kan kagak ada bi. Apalagi bibi yang memakainya, terus terang
saja, Deni nggak mau bohong nih, waktu melihatnya rasanya jantung Deni
mau copot. Namanya juga anak laki bi, bukannya mau kurang ajar, tapi
melihat bibi seperti itu duh....”
”Ah..kamu ini, memangnya kenapa
dengan begini..? Memangnya kamu mau apa..? Paling juga kont01 kamu
ngaceng, terus kamu kocok...iya kan. Bibi mah nggak yakin kamu sudah
pernah begituan. Sudah paham kalau anak seumuran Deni lagi sedang panas –
panasnya.”
”Iya sih....maaf deh bi.”
”Sudah...dari tadi
minta maaf melulu, bukan salah kamu, habis mau gimana lagi, bibi
biasanya memang berpakaian begini kalau di rumah, toh hanya ada kamu
keponakan bibi, sudah seperti anak juga. Ya, memang sih usia kamu lagi
tanggung, jadi bibi maklum dan paham deh dengan keadaan kont01 kamu. Nah
sudah selesai, sekarang, minum obatnya.”
”Terimakasih ya Bi, sekarang Deni, tidur dulu istirahat.”
”Eh...tunggu
dulu, masih ada lagi, kondisi kayak gini kagak bagus dibiarkan,
sebenarnya bibi mau saja membantu, tapi tangan bibi masih panas dengan
minyak gosok.”
”Apaan lagi Bi...?”
”Sekarang kamu buka celana kamu...!!!”
”APA...??? Maksud bibi apaan, dan apa hubungannya sampai harus buka celana.”
”Huh
dasar kamu ini, otaknya pasti sudah ngeres...hehehe. Dengar ya Den,
kalau kont01 yang lagi ngaceng itu kamu dibiarkan, akibatnya jelek ke
badan kamu yang lagi masuk angin ini, bisa jadi panas, karena nggak
dikeluarkan, efeknya menambah panas badan, tapi kalau kamu keluarkan
rasanya jadi adem ke badan. Percaya deh, bibi serius kok, dari
pengalaman dengan suami bibi yang pertama..”
”Ah becanda saja deh bibi ini.”
”Benar
kok, bibi serius, sebenarnya bibi mau bantu kamu, toh kamu masuk angin
juga karena ngajak Ucil sama bibi, sudah nyenangi kami, jadi bibi nggak
sungkan, toh biar kamu cepat baik. Namun nggak bisa, takut nanti kont01
kamu kepanasan. Sudah kamu sendiri saja ya. Bibi mau beresin bekas
ngerokin kamu.”
Aku masih ragu, masih nggak percaya
dengan kecuekan bibiku mengatakan hal tadi dengan sangat ringan tanpa
beban kepadaku, secara logika yang dikatakannya memang masuk akal, tapi
tetap saja aku jadi agak jengah mendengarnya. Duh...gimana nih
enaknya..??? Bibi sudah bersiap mengangkat gelas dan piring kecil minyak
gosok.
”Nggg....baiklah, tapi bibi temani ya...,” aku nekat saja deh.
”Den..Den...ada – ada saja kamu ini, tinggal kocok bereskan, sudah sering kan..? Ngapain juga bibi temani.”
”Kan
bibi yang menyarankan, jadi bibi tungguin dong, biar jelas...sudah deh
temani saja, katanya mau Deni cepat sembuh. Bibi nggak malu kan...?”
Kayaknya
ucapan terakhirku pas menembak sasaran. Akhirnya Bibi kembali duduk di
pinggir tempat tidur. Agak kikuk dan nyengir. Aku juga sama, nyengir
saja buat menghilngkan aura canggung yang ada, aku lalu mulai menurunkan
celanaku perlahan, ketika akhirnya celanaku sudah lepas, kulihat wajah
bibi agak terkejut, dan menatap kont01ku. Aku sih tidak merasa ada yang
beda dengan kont01ku, biasa saja, dibanding dengan pemain film bokep
yang kutonton, kalah jauh. Punyaku maksudnya.
”Ngg...nggg..ge..gede juga kont01 kamu ya Den.”
”Masa sih bi ? Deni mah kagak paham, menurut Deni biasa saja.”
”Den,
percaya kata bibi deh, sudah pengalaman, barang kamu itu gede, si Wawan
mah kagak ada kayak kamu. Lagipula kamu masih masa pertumbuhan, masih
bisa bertambah. Perempuan pasti senang ngelihat kont01 kayak punya
kamu.”
Aku pun mulai mengocok kont01ku, sambil melihat
kutang bibiku, bibiku terus menatap kont01ku, kulihat sesekali dia
meneguk ludahnya, duduknya agak gelisah, aku sendiri sudah cukup puas
dengan kondisi ini, nggak berniat lebih, cukup melihat bibiku dengan
kutangnya sudah bisa menyenangkan kont01ku saat ini, terlebih melakukan
onani disaksikan bibiku menimbulkan sensasi tersendiri. Aku kocok
kont01ku dengan cepat, mataku terus melihat tetek bibiku, bibiku makin
gelisah melihat kont01ku yang sudah agak memerah karena cukup lama
kukocok. Akhirnya aku merasakan mau keluar, bibi paham dan segera
mengambil kain, lalu aku segera memuncratkan pejuku ke kain tersebut.
Memang rasanya badan dan pantatku jadi agak ringan, juga tidak terasa
terlalu panas lagi. Bibi masih diam melihat kont01ku, aku segera melipat
kain dan berbicara, bibiku tersentak kaget...
”Benar juga bi, rasanya jadi lebih enak...bi....bi...bibiii...”
”Ha...apa Den...???”
”Deden bilang, badan rasanya jadi lebih enak..”
”Oh
ya...syukurlah...benar kan kata bibi. Nah sekarang kamu tidur,
istirahat. Terus pesan bibi, kalau memang lagi ngaceng, jangan suka
sering ditahan, lebih baik dikeluarkan biar lebih baik buat kesehatan.
Ditahan – tahan malah jadi sengsara, kalau dikeluarkan jadi lega dan
meringankan pikiran, Sudah, kamu istirahat, bibi mau tidur juga, kamu
kalau ada perlu apa – apa panggil saja atau datang ke kamar bibi.”
Di
kamarnya Ratna berbaring agak gelisah, dilihatnya anaknya, si Ucil
sudah tidur pulas sekali, ia tersenyum sesaat. Lalu kembali hanyut dalam
lamunannya. Memang dia merasa malas untuk berumah tangga lagi, tidak
setelah pengalaman buruknya bersama suaminya yang terakhir. Saudaranya
juga sampai bosan menyuruhnya agar berumah tangga lagi. Bukan maunya
mengalami hal ini, tak ada wanita yang mau rumah tangganya hancur, tak
ada, semuanya pasti mau bahagia. Perkawinan pertamanay sebenarnya tak
ada masalah, hanya nasib menentukan suaminya harus meninggal karena
sakit. Ia mencoba bangkit, membina rumah tangga lagi, ternyata lebih
parah, suaminya yang kedua sangat bejad. Ratna mencoba bertahan, tapi
itu juga ada batasnya. Minta cerai juga tak bisa, akhirnya nasiblah yang
membebaskannya. Tapi setelah kejadian itu, hatinya terluka, merasa
takut berumah tangga. Memang ia tak menunjukkan sikap canggung pada
lelaki, juga tak sungkan berbicara dengan vulgar, sebenarnya kalau mau
jujur itu juga untuk menutupi rasa kurang percaya dirinya. Buat urusan
berumah tangga, Ratna sudah mantap untuk tak mau berumah tangga lagi, ia
masih mampu mebiayai Ucil tanpa perlu sosok seorang suami. Toh kakeknya
Ucil juga masih membantu mengirimkan uang buat cucunya ini. Ketika
akhirnya ia menjanda....lagi, memang tak sedikit lelaki yang mencoba
peruntungan untuk memperistrinya, mulai dari yang bujang samapi yang
sudah beristri. Mulai dari yang seumuran dengannya, lebih muda dan
perjaka, samapi yang sudah uzur, tapi tetap tak mengubah keputusannya.
Tapi
walau begitu untuk urusan hasrat, dia agak keteteran. Di usianya
sekarang ini masih butuh kenikmatan hubungan seks. Dia coba meredam dan
memadamkannya, walau sulit dan menyiksa batinnya, toh ia mampu. Bekerja
di sawah dan kebun, mengurus rumah juga si Ucil mampu mengalihkan
gairahnya. Walau ingin, namun ia memilih memadamkannya secara sadar.
Tapi tadi saat melihat kont01 keponakannya, Deni, dia merasa api gairah
dalam dirinya mulai menyala dan tersulut. Ratna menghela
nafas....gelisah, lalu ia memjamkan matanya. Tidur...daripada berpikiran
yang tidak – tidak.
Deni masih memikirkan hal yang
barusan, rasanya masih belum percaya, otaknya mulai nakal, kayaknya sih
bakalan hilang keperjakaanku di tempat ini, dan kalau dengan bibiku, aku
rela dan tidak akan menyesal, rasanya sih tidak akan sulit memikirkan
caranya, apalagi kayaknya bibiku terpesona dengan barangku. Kont01nya
kembali ngaceng....tak berapa lama akhirnya Deni mengantuk, mungkin
pengaruh obat dan kerokan tadi, akhirnya ia tertidur. Tengah malam Deni
terbangun, melihat jam di HP nya, jam 1 malam, sudah lama juga ia
tertidur, badannya sudah enak rasanya, nggak meriang lagi, pusingnya
juga sudah hilang, kebelet pipis, ia segera menuju kamar mandi, pipis,
lalu minum, ngantuknya sudah hilang, akhirnya ia seduh kopi,
sudah...nonton bola saja, kan jam segini kalau minggu dinihari banyak
siaran langsung. Ia kembali ke kamar, membuka tas, mengambil rokok. Ia
nyalakan TV pelan saja, bahkan sangat pelan, tidak terdengar dari kamar
bibi, takut mengganggu, mencari siaran bola, menyalakan rokok dan
meminum kopi..otaknya kembali membayangkan kejadian tadi, juga tubuh
bibinya, siaran bola jadi tak menarik. Deni mulai berpikir mencari cara,
nggak mau main tubruk saja, yang pasti bibinya sudah lama nggak
merasakan berhubungan seks, entah bagaimana namun nalurinya sangat pasti
akan hal itu, ia mesti memanfaatkan ini, lagipula ia masih pemula jadi
nggak bisa seenaknya. Kalem saja mengikuti alur. Tak perlu tergesa,
masih banyak waktuku, masih ada hampir 5 minggu sisa liburanku. Setelah
rokok dan kopi habis, dia matikan TV, membereskan gelas dan asbak, lalu
Deni melangkah....ke arah kamar bibinya.
Kamar bibi
memang tidak pernah dikunci, bahkan pintunya jarang ditutup, hanya
ditutup gorden kalau malam. Deni belagak saja, kalau tengsin, tinggal
bilang dari WC, karena masih ngantuk dan agak kurang enak badan jadi
salah kamar. Dilihatnya si Ucil masih pulas, ngorok lagi...dasar si
Ucil, bibi juga tertidur, tanganya terangkat memperlihatkan barisan bulu
keteknya yang aduhai, kutangnya agak kendor, sehingga tetek besarnya
seperti mau tumpah saja, ia segera naik ke atas tempat tidur, sengaja
menyenggol tubuh bibinya agak keras saat merebahkan tubuh. Lalu Deni
pura – pura sudah tertidur, kurasakan bibi kaget karena tersenggol tadi,
sempat bingung sejenak, lalu melihat Deni yang tertidur, posisinya
memunggunginya, deni merasakan tangan bibinya menggoyang tubuhnya...
”Den...Den...hei ngapain kamu tidur di sini...Den...”
”Wah...ngelindur nih bocah, habis pipis kali, ya sudahlah biarin saja, kasihan, mungkin masih meriang.”
Deni
mendengar suara bibinya yang masih agak mengantuk. Kembali melanjutkan
tidurnya. Ia kini hanya diam saja, memunggunginya, belum berani bergerak
atau membalikkan badan. Kulihat jam dinding di tembok, jam 01.40.
Suasana masih hening, hanya terdengar suara ngorok si Ucil yang seru
sekali tidurnya. Kulihat jam...jam 02.15, setelah yakin ia balikkan
tubuhnya, bibinya nampak tertidur pulas, kulihat satu kakinya agak
menekuk, kainnya agak tersingkap.....astaga, bibiku tidak memakai celana
dalam pikirr Deni. Ia hanya meneguk ludah menyaksikan m3meknya yang
indah, bulu jembutnya sangat rimbun dan hitam. Posisi badannya agak
miring, teteknya nampak menonjol mau keluar dari balik kutangnya. Deni
masih berdiam diri menikmati pemandangan indah ini, mataku terus menatap
bergantian ke arah kutang dan m3meknya. Perlahan Deni menurunkan
tubuhnya, Ia dekatkan wajahku ke m3meknya, nampak mempesona dengan
belahannya yang panjang. Ia puaskan menyaksikan pemandangan yang baru
pernah disaksikan secara nyata dan sedekat ini selama hidupnya.
Kont01nya berdenyut keras meronta – ronta di balik celanannya. Ia
beranikan tangannya secara perlahan menyentuh jembut bibinya, tebal dan
rimbun. Lama Deni memelototi m3mek bibinya, hanya ini saja yang bisa ia
lakukan, belum berani lebih. Puas, Deni kembali naikkan tubuhnya
perlahan, kini menyaksikan bulu ketek dan teteknya, kalau saja....ya...
ia menjulurkan pelan tangannya, perlahan menarik pelan ujung kutang
bibinya yang sudah melonggar, pelan – pelan.......yessss, seakan
meloncat bebas satu tetek besarnya saat akhirnya bagian sebelah
kutangnya berhasil ditarik.....Ampyunnnn.....besar dan putih bersih
sekali teteknya, besar, bulat dan masih kencang. Pentilnya seperti
tombol volume suara radio, berwarna coklat agak gelap, dihiasi lingkaran
aerola yang besar dan lebar di sekelilingnya. Deni menelan ludahnya
menikmati keindahan tetek bibi Ratna ini. Tangannya mengelus bulu
keteknya, lalu setelah mempertimbangkan ia sentuh perlahan
pentilnya....Oooohh nikmatnya, jadi inilah rasanya memegang pentil tetek
besar bibi ratna. Lama Deni memegangnya, memilinnya lembut, nggak
berani menciumnya, masih takut bibinya terbangun dan marah. Deni
merasakan pentil bibinya mulai membesar dan mengeras saat dimainkan,
teteknya terasa kenyal saat tersenggol tangannya. Tangan Deni yang satu
lagi sibuk mengelus kont01nya sendiri. Bibinya mulai menggeliat, Deni
jadi makin senang memainkannya, lama – lama bibinya makin sering
geliatnya, nampaknya akan segera terbangun nih, segera Deni menghentikan
kegiatan tangannya, dengan cepat dan tanpa suara ia membalikkan
tubuhnya, pura – pura tidur pulas.
”Ugh...Wah...mimpi apaan aku tadi...kok enak rasanya.”
”Lho...kenapa
tetekku bisa keluar begini....Nggg...mungkin kendor talinya...memang
mesti dijahit lagi, untung si Deni masih tidur.”
Lalu
kudengar bibinya merapikan baju dan kainnya, merasakan tubuh bibinya
melangkah dirinya, nampaknya bibi mau turun, ketika bibi keluar, kulirik
jam dinding, sudah jam 5 lewat, terdengar suara di kamar mandi, lalu
kesibukan di dapur, nampaknya bibiku memutuskan untuk bangun. Deni rada
kecewa tapi ya sudahlah cukuplah rejekiku saat ini pikirnya. Deni lalu
melanjutkan tidurku....masih dengan kont01 yang ngaceng.
Paginya
Deni terbangun jam 8 lewat, kulihat si Ucil sudah tak ada di tempat
tidur, ia lalu keluar kamar, melihat bibinya sedang menyuapi si Ucil,
dia menanyakan kondisi Deni, bibi bilang semalam aku ngelindur, habis
pipis, salah masuk kamar, tapi bibi tak tega membangunkan, Deni pura –
pura kaget dan minta maaf, nampaknya bibi tidak curiga.Bibi lalu
menanyakan aku mau sarapan apa, aku bilang apa saja. Deni mengambil
handuk lalu mandi. Di kamar mandi Deni ngocok lagi melepas beban tadi
subuh, lega rasanya. Saat sarapan, bibi bilang mau ke kebun, Deni bilang
mau ikut. Jadilah kami bertiga ke sana, jalan kaki. Di sana ketemu bi
Lasmi. Kubantu bibi di sana sambil bermain dengan Ucil. Pekerja yang di
sana sudah tahu siapa Deni. Tengah hari kami pulang untuk makan, lalu
Deni mengajak Ucil berenang dan memancing. Saat mancing pikiran ngeresku
kambuh.....duh kayaknya kagak bisa tahan lagi nih, apalagi setelah
melihat aset bibiku....gimana juga caranya nanti malam
harus...harus...tekadku membara, nggak sadar umpan kailku sedang dimakan
ikan, ketika sadar sudah habis umpannya, Ucil tertawa geli....dasar
Ucil...habis ibumu terlalu membuat nafsu sih.
Sorenya
kami pulang, setelah mandi lalu makan. Setelahnya kuajak Ucil nauk motor
sebentar, biar dia senang dan cepat tidur. Pulangnya Ucil nonton TV
sebentar, bibi juga ikut nonton, tak sampai satu jam Ucil sudah
tertidur, bibi mau memindahkan, tapi Deni melarang, biar Deni saja, bibi
tersenyum berterimakasih. Setelah itu Deni membawa Ucil ke tempat
tidur, tidur yang pulas ya Cil...Aa...ada perlu sama ibumu. Deni keluar,
menanyakan apa bibinya mau kopi susu, lalu menyeduh 2 gelas, kembali
duduk dan menyaksikan TV sambil mengobrol ringan, matanya bergantian
dari TV dan kutangnya. Deni memulai percakapan
”Bi...katanya mau cerita tentang Mang Wawan, itu kalau bibi mau lho...”
”Ah...nggak ada yang perlu diceritakan dari si Wawan brengsek itu..”
”Lho kok gitu....ceritakan dong bi. Kan bibi sudah janji...hayo...jangan ingkar janji.”
”Baiklah
karena kamu memaksa, ibu dan bibi kamu juga sudah tahu, bibi nggak
merasa malu cerita ke kamu, karena bibi sebel banget sama dia.”
”Lho dia kan suami bibi, bapaknya Ucil.”
”Iya,
tapi kelakuannya itu memuakkan. Kamu tahu Den, dia itu memang anak satu
– satunya, bapaknya pedagang hasil bumi yang sukses di daerah sini.
Terlalu memanjakannya. Waktu kenal bibi, bibi pikir dia lelaki baik dan
rajin, ternyata bibi salah. Dia cuma berpura – pura saja waktu itu,
untuk menarik simpati bibi. Orang tuanya senang saat dia memutuskan
menikah dengan bibi. Apalagi saat mendapatkan cucu.”
”Terus apa yang salah bi....???”
Bibi mengambil nafas sejenak, mereguk gelas kopinya, lalu kembali menerangkan...
”Dengar
dulu, bibi belum selesai, seperti kata bibi tadi, orang tuanya memang
kaya, terlalu memanjakannya yang hanya anak tunggal, bibi nggak mau
punya laki yang kerjanya hanya foya – foya dan mabuk – mabukkan. Sudah
tebal kuping bibi mendengar omongan orang tentang kelakuannya yang suka
main perempuan. Bibi nggak mau punya laki yang hanya menerima dari orang
tuanya, bibi punya kebun dan sawah, dia bisa bantu mengelola, atau dia
bisa kerja sama bapaknya, sebagai suami dan bapak si Ucil memang sudah
kewajibannya untuk bekerja, tapi ya itu tadi memang selalu dimanja orang
tuanya,apalagi setelah memberikan cucu.”
”Iya juga sih....Deni bisa mengerti...”
”Sifatnya
kalau lagi mabuk itu amat menjengkelkan, belum lagi suka marah – marah,
mau enaknya saja, juga ringan tangan, rasanya bukan ini perkawinan yang
bibi impikan.”
”Wah nggak boleh begitu dong, masa jadi suami main pukul sih...gemes banget nih Deni dengarnya.”
”Setahun
sebelum ia mati, sifatnya makin menjadi – jadi, saking kesalnya bibi
sampai nggak sudi lagi punya anak darinya, cukup Ucil saja. Tanpa
sepengetahuannya bibi memasang alat kontrasepsi. Rasanya malas dan tak
rela buat hamil anak lelaki bejad itu.”
Deni mengangguk sok tahu, mencoba meyakini bibinya bahwa ia sependapat.
”Terus kenapa mang Wawan meninggal..?”
”Bibi
masih ingat jelas, waktu itu hujan, si bejad itu pulang mabok, bawa
cewek nggak benar lagi, kagak peduli istri sama anaknya, kalau cuma itu
saja biarlah, bibi masih tahan, tapi ini dia panggil bibi, suruh
menyaksikan dia ngewek sama itu perempuan sundal itu. Mending kalau
cakep, kayak ondel –ondel menor begitu. Kalau menolak, bibi dia tampar
dan tendang, akhirnya bibi diam saja melihatnya, edannya lagi dia suruh
bibi melayani tingkah bejatnya, waktu bibi menolak dia marah,
ditamparnya bibi, diancam akan dia hajar habis – habisan, akhirnya bibi
turuti, hampir seperti pemerkosaan saja, karena bibi nggak rela.
Perempuan sundal itu malah ketawa – tawa, sakit hati bibi.”
”Gilaaaa...Keterlaluan
banget, sudah punya istri secantik bibi masih main perempuan juga, pake
acara bawa ke rumah lagi, pantas saja bibi benci sama dia. Bego banget
tuh orang.”
”Bibi teruskan ya, selesai dengan nafsu bejadnya, dia
melanjutkan minum – minuman yang sudah dibawa bersama dengan perempuan
itu, untung si Ucil sudah tidur saat peristiwa itu. Akhirnya setelah
puas mabok dan memaki bibi, kedua laknat itu pergi, dan terjadilah
kecelakaan itu.”
”Oh ya...gimana tuh ceritanya bi...??”
”Kamu
tahu kan, tikungan yang curam dan tajam di dekat kali situ...? Nah
waktu itu jalannya belum bagus dan terang kayak sekarang, dulu masih
jelek dan gelap, belum ada tembok sama besi pembatas, apalagi hujan saat
itu, mungkin karena mabok, motornya tak terkontrol, saat berpapasan
sama mobil angkot yang baru mau pulang, kedua laknat itu jatuh ke bawah,
ke dasar yang dalam, langsung tewas seketika. Anehnya bibi tidak merasa
sedih tuh. Malah senang, sakit hati bibi terbalas dengan cepat. Lalu
bapaknya, abahnya si Ucil, nampak menyesal karena terlalu memanjakannya,
dan nampaknya tahu kelakuan anaknya, dia meminta maaf sama bibi. Untuk
si Ucil dia akan menanggung dan membiayainya, sebenarnya dia meminta
Ucil tinggal bersamanya, tapi bibi masih keberatan dan Ucil juga belum
mau.”
Suasana jadi agak canggung setelahnya,
gila...ngaco banget tuh si Wawan, bini cakep kayak gini masih doyan saja
main perek, dasar, pantas saja umurnya pendek, pantas bibi benci sama
manusia itu. Untuk mencairkan suasana Deni mulai mengalihkan pembicaraan
ke hal lain, akhirnya suasana menjadi santai kembali, setelah beberapa
lama, Deni mulai menggiring arah percakapan.....
”Bi,
mulai besok selama Deni nginap, jangan pakai pakaian begini lagi ya,
ganti deh, pokoknya selama sisa liburan Deni, tolong ya....”
”Lha kenapa si Den..??? Bibi sudah biasa, nggak mau ah...”
”Aduh bi, Deni kan lelaki, ribet jadinya, kasihan dong sama Deni, anunya tegang terus.”
”Kan bibi sudah bilang, kalau memang begitu ya keluarin saja, kan beres.”
”Oh gitu ya bi,....ya sudah...”
Memang
ucapan ini yang Deni tunggu, tanpa basa – basi lagi, Deni berdiri dan
menurunkan celananya, lalu duduk kembali dan dengan santai mengocok
kont01nya yang sudah tegang. Bibinya nampak kaget melihatnya.
”Den, apa – apaan sih kamu, memang begini maksud bibi, tapi jangan di depan bibi atuh...”
”Ya salah bibi sendiri.....kan ini juga gara – gara bibi, yang penting Deni bisa lega...”
Bi
Ratna kini mulai gelisah melihat ke arah kont01ku, sedangkan aku
semakin provokatif saja mengocok kont01ku. Kulihat Bi Ratna mulai tidak
tenang posisi duduknya.
”Bi, kemarin katanya mau
bantuin Deni tapi tangannya panas karena minyak gosok, sekarang kan
nggak, kenapa nggak bantuin sekarang saja...??? Deni senang kok kalau
bibi yang bantuin.”
”Nggg....gimana ya, Den...kemarin kan karena Deni sakit, sekarag mah lain atuh...”
”Sudahlah
bi, kan nggak ada yang lihat, lagipula sungguh kok, Deni malah akan
merasa senang sekali kalau bibi bersedia, sebaliknya kalau bibi menolak
Deni akan sediihhhh sekali. Deni tahu bibi juga mau pegang punya Deni
kan.”
”Baiklah, tapi cuma itu saja ya, Den.”
Akhirnya
Bi Ratna mulai mendekat dan berlutut dekat Deni, tangannya yang halus
mulai menyentuh kont01nya, lama ia menyentuh dan hanya menggenggamnya,
mungkin sedang menghayati terlebih dahulu, mungkin sudah terlalu lama
dia tidak melihat kemaluan lelaki. Deni merasakan tangan bibinya sangat
halus sekali, membuat kont01nya tambah keras. Tak berapa lama tangannya
mulai mengocok kont01 Deni, dan Deni merasa nikmat sekali, apalagi
sambil menikmati kocokan bibinya, Deni bisa melihat belahan teteknya
dengan jelas.
”Ughhh....enak bi, Deni senang banget nih...”
”Sudah kamu nikmati saja....”
Sambil
mengocok kont01 Deni, matanya nampak terus memandangnya, sesekali Deni
lihat bibinya meneguk ludahnya, sepertinya sedang ragu mau memutuskan
sesuatu, Deni tidak mau kehilangan moment ini, segera mengeluarkan jurus
muslihatnya yang level paling tinggi.
”Biii....kalau cuma bibi yang lihat punya Deni, nggak adil nih....”
”Apa maksud kamu,Den...kamu mau lihat m3mek bibi, nggak ah...nggak boleh.”
”Ya
bibi, curang deh...kalau memang nggak boleh, boleh nggak Deni melihat
dan memegang tetek bibi saja, Cuma tetek bibi saja, terus terang Deni
suka sekali melihatnya, bahkan kont01 Deni ngaceng begini karena melihat
tetek besar bibi terus di balik kutang bibi...boleh ya bi...”
Kulihat
bibi terus mengocok kont01ku, raut wajahnya seperti sedang berpikir,
antara mengijinkan atau tidak...Dan memang Ratna sedang bergelut sama
batinnya...ragu tapi juga terbakar gairah...ya sudahlah akhirnya
memutuskan, remaja baru gede seperti keponakannya, melihat tetek saja
juga sudah puas...cuma tetek saja tak masalah. Lalu setelah beberapa
lama, bibinya berdiri dan duduk di samping Deni, tangannya mulai
menurunkan kutangnya....dan terpampanglah kedua teteknya yang besar
dengan indah di hadapan Deni, kont01 remaja tanggung itu langsung
berdenyut. Deni hanya memandanginya saja, sementara bibi kembali
mengocok kont01 Deni.
”Tuh sudah lihat kan, kok bengong doang...kalau mau pegang ya pegang saja Den, bibi nggak marah kok.”
”I...ii..iya, Bi....”
Dengan
tangan gemetar Deni mulai meremas kedua tetek besar itu, ranum, rasanya
empuk dan nyaman, jarinya mulai memainkan pentilnya, lama kelamaan
pentilnya makin mengeras dan membesar, kocokan bibi Ratna mulai terasa
cepat.
”Bi...Deni boleh hisap pentilnya nggak...???”
Bibi
tak menjawab, hanya mengangguk saja, nggak terlalu masalah dengan
permintaan keponakannya. Setelah menghisap pentil, nanti juga anteng
pikir Ratna. Deni segera mendekatkan mulutku ke tetek bibinya, lidahnya
mulai mengulum dan memainkan pentil tetek bibinya, menikmati betul
moment pertamanya merasakan tetek wanita. Lalu dia mulai menghisap
pentilnya, bergantian kiri dan kanan...lama kelamaan Ratna mulai
menggeliat dan gelisah...
”Den...Ughh...Den,
aduh...bibi mau kasih sesuatu yang enak ke kont01 kamu, kamu nikmati
saja ya...sudah kepalang tanggung, nambah ini sedikit nggak
masalahlah...lagipula pegel tangan bibi dari tadi ngocokin kont01 kamu,
belum ngecret juga.”
Lalu bibi mulai merendahkan
kepalanya, otomatis Deni menghentikan hisapannya pada pentil bibinya.
Deni sebenarnya sudah tahu apa yang akan dilakukan bibinya, sudah sering
melihatnya dalam film bokep yang sering ia tonton....namun merasakan
untuk pertama kalinya tentu saja membuatnya berdebar....., Deni
merasakan lidah bibinya mulai menjilati kepala kont01nya, geli tapi
enak, sesekali lidahnya menjilat lubang pipisnya. Lama bibinya menjilati
kepala kont01nya, tangannya membelai biji peler keponakannya ini, lalu
lidahnya mulai menjilati batang kont01 Deni, ketika akhirnya mulutnya
mulai mengulum dan menghisap kont01nya, tanpa sadar Deni
mendesah...tangannya meremas rambut bibinya. Gilaaaaa....lemas rasanya
lutut Deni, seluruh sendi terasa lepas, enak sekali ia rasakan saat
kont01nya dikulum dan dihisap oleh mulut manis bibi Ratna. Sesekali
dirasakan pangkal kepala kont01nya bersentuhan dengan bibir hangat
bibinya, merem melek Deni menahan rasa geli – geli nikmat ini. Bi Ratna
dengan semangat dan rakusnya melumat habis kont01 Deni dengan mulutnya.
Mimpi apa Deni..bisa merasakan kenikmatan pertama di-oral bersama
bibinya yang cantik dan bahenol ini
.
Setelah beberapa lama
bi Ratna menghentikan kesibukan mulutnya, ia segera duduk dan menatap
Deni, ekspresi wajahnya fifty – fifty, sebagian agak canggung buat
ngomong, tapi juga sebagian lainnya penuh gairah dan rasa penasaran.....
..
”Den, sudah kepalang tanggung, bibi memang sudah
lama nggak merasakan barang lelaki, kamu mau kan bantu bibi. Kamu belum
pernah ngerasain begituan kan..? Makanya bibi mau kamu ngeluarin pertama
kali di dalam m3mek bibi. Bibi pakai alat KB, belum bibi lepas,jadi
nggak masalah. Eh..kalau kamu belum tahu caranya, jangan khawatir, nanti
bibi akan bimbing kamu.”
”I...iii..iya bi, kalau sama bibi, Deni
justru merasa senang dan bahagia, nggak bakalan nyesal. Kalau Deni masih
bego, maklumin saja ya bi..”
”Ah...nanti juga pintar. Umumnya sih
kalau dari pengalaman, juga cerita banyak teman bibi, kalau perjaka
awalnya suka cepat keluar, tapi nggak tentu, ada juga yang alot, lama
keluarnya. Itu bukan masalah, yang namanya pertama pasti masih tegang,
masih terlalu nafsuan, nanti juga biasa. Sini kemari....bantu bibi buka
pakaian bibi.”
Deni segera membuka kaosnya, sangat
penuh luapan kegembiraan dan penasaran...Deni sudah lama mau melepas
keperjakaannya, tapi kini saat akhirnya siap melepasnya, ternyata moment
itu sama bibinya yang aduhai ini...grogi dab tegang campur penasaran
bercampur satu. Deni lalu membantu bibi Ratna melepaskan kutangnya, lalu
bibinya berdiri, ia bantu melepas kainnya, terlihat celana dalamnya,
Deni bengong menatapnya, bibi ratna tersenyum dan menyuruhnya
melepaskannya. Memang semalam ia sudah melihat m3meknya, namun sekarang
melihatnya sedekat ini, mengethui sebentar lagi ia bebas melakukan
niatnya dan juga saat bibinya tak tertidur jauh lebih mengasyikkan,
indahnya...lalu bibi menarik tangannya ke arah kamar tempat Deni tidur,
mungkin dia lebih nyaman melakukannya di tempat tidur daripada di sofa.
Sesampainya di kamar bibi segera berbaring, Deni hanya berdiri saja
menyaksikan tubuh telanjang bibinya yang sangat indah dan mempesona.
”Ayo
sini, kamu naik dong, Den. Tadi kan semangat betul, kok sekarang banyak
bengong..? Kamu lihat m3mek bibi kan..? Nah..., ayo arahkan mulutmu ke
situ, nanti bibi kasih tahu...”
Dengan cepat Deni
segera naik, masih rada kurang pede, bibi mulai merenggangkan kakinya,
mempertontonkan m3meknya yang dihiasi bulu jembut yang lebat, belahan
m3meknya nampak jelas dan rapat, mungkin karena sudah lama nggak
diterobos barang lelaki. Mata Deni terpaku menyaksikannya.
”Den, sekarang kamu mainin m3mek bibi sama mulut dan lidah kamu, perempuan akan senang kalau lelaki memainkannya.”
Tangannya
mula – mula mengelus dan membelai bulu jembutnya, terasa tebal dan
kesat, sesekali ia menarik bulu jembut itu perlahan, nyamannya, lalu
jarinya mulai mengusap permukaan luar m3meknya. Tebal juga m3mek bi
Ratna, belahannya panjang dan rapat. Deni meneguk ludahnya...kont01nya
sudah ngaceng sekeras batang kayu.
”Sekarang gunakan jarimu, lebarkan m3mek bibi..kamu bisa gunakan lidahmu untuk menjilatinya”
Deni
mulai mengikuti bimbingan dan arahan bibinya, jarinya mulai melebarkan
belahan m3meknya, merenggangkannya, nampaklah lobang m3meknya yang
berwarna pink rada kemerahan menggoda, Deni mendekatkan mulutnya ke arah
sana, hidungku mencium aroma wangi yang enak, sangat natural dan
menggelitik saraf – saraf sensualnya. Ia mulai memainkan lidahnya
menjilati seluruh bagian dalam dan juga lobang m3mek bibi Ratna.
”Aahhh...ya...betul
begitu, nah...dekat atas lobang m3mek bibi, ada tonjolan daging sebesar
biji kacang, itu it1l bibi, kamu mainkan dengan lidahmu, bibi akan
merasa enak sekali kalau kamu memainkannya.”
Deni mulai
mencari tonjolan enak milik bibi, lalu lidahnya mulai menjilatnya,
memainkannya, memulasnya ke atas bawah, kiri kanan, pinggul bibi mulai
bergoyang, mulutnya mengerang dan mendesah nikmat. Secara naluriah,
tangan Deni mulai beraksi, jarinya mulai menusuk – nusuk lobang
m3meknya...
”Sssshh...Aaaahhh...Yaaaa..pinteeeerrr juga kamu....Deeeennn....Hhhhh”
Makin
senang Deni mendengar bibi Ratna memujinya, PeDenya bertambah, tangan
bibi mulai menjambaki rambutnya, sedang Deni makin bersemangat menjilati
it1lnya, jarinya makin leluasa keluar masuk di dalam lobang m3mek
bibinya yang sudah basah, makin tercium aroma yang khas sekali, yang
belum pernah ia rasakan dengan indra penciumannya sebelum ini, aromanya
enak sekali di hidung. It1l bibinya makin mengeras dan mudah sekali
dimainkan oleh lidahnya, lama Deni memainkannya sesuka hatinya, sesekali
bibirnya menarik lembut memainkan it1l bibi Ratna, juga masih asik
menyodokkan jarinya di lobang m3mek bi Ratna. Bibi hanya mendesah dan
merintih penuh gairah, pantatnya sesekali ikut bergoyang, Deni nggak
bosan, ini pengalaman pertamanya, dan ia menyukainya....ketika akhirnya
Deni merasakan desahan bibinya makin kuat, dan badan bibinya mulai
bergetar, pantat bi Ratna sedikit terangkat, tubuhnya mengejang
kuat...tak lama m3meknya menyemburkan cairan hangat, Deni merasakan
jarinya sedikit hangat juga lengket.
”Duuhhh...enaknya
sudah lama rasanya bibi nggak merasakan nikmat ini. Den, bibi rasa buat
urusan lidah, kamu bakalan cepat mahir. Sekarang kamu coba masukkin
kont01 kamu ke m3mek bibi, nikmatnya bakalan luar biasa, percayalah.
Karena ini pengalaman pertama kamu, nggak usah khawatir, lumrah kalau
cepat keluar...nanti juga terbiasa.”
”Ba..Baik bi..., bantu Deni ya...”
Deni
lalu mulai memposisikan diri di atas tubuhnya, satu tangan bibi mulai
melebarkan lobang m3meknya, sedangkan satu tangannya lagi mengenggam
kont01 Deni, membimbingnya menuju ke arah yang benar. Percobaan pertama
agak meleset....lalu akhirnya...Blessss...kont01nya mulai terbenam ke
dalam lobang nikmatnya, ketika akhirnya seluruhnya masuk, badan bi Ratna
nampak bergetar kuat. Deni melihat wajah bibinya seperti wajah orang
haus yang baru saja menemukan air. Deni hanya diam dulu merasakan
kenikmatan saat pertama kali kont01nya memasuki m3mek wanita, terasa
hangat dan nyaman. Sulit dia mengungkapkan perasaannya saat itu. Yang
dia tahu bibi mulai menyuruhnya memompakan kont01nya, Deni mengikuti
petunjuknya, konsentrasinya saat itu hanya tercurah pada pompaannya,
belum terpikir untuk melakukan hal sambilan lainnya seperti menghisap
teteknya, hanya focus pada pompaannya...maklum masih pemula. Deni juga
belum pandai mengatur ritme...memompa sekuatnya dan secepatnya, memang
m3mek bibinya terasa sempit dan mencengkram, membuat kenikmatan tiada
tara pada kont01nya...
Tidak sampai 2 menit Deni
merasakan klimaks pertama kalinya pada lobang m3mek wanita. Sangat
spesial bagunya karena wanita itu adalah bi Ratna.
Dia
hanya mampu terkulai lemas di atas tubuh bibinya. Masih diam menikmati
sensasi yang baru dirasakan. Bibi hanya membelai – belai punggungnya.
Tidak berapa lama, dia cabut kont01nya dan berbaring di sampingnya.
”Bi...maaf ya, Deni cepat selesainya...”
”Nggak
apa Den, justru itu normal, tadi kan bibi sudah bilang, kebanyakan
orang memang akan cepat keluar saat pertama kalinya, karena memang belum
terbiasa. Nantinya pasti akan lain.”
”Bi...Deni senang sekali,
bahkan bahagia karena pengalaman pertama Deni bisa melakukannya sama
bibi, akan jadi kenangan indah banget buat Deni.”
”Bibi juga Den,
syukurlah kalau Deni senang karena memilih bibi sebagai wanita pertama
bagi Deni untuk melakukan ini. Bibi memang sudah lama nggak
melakukannya, saat melihat barang kamu, jujur saja m3mek bibi berdenyut,
mungkin merasa ketemu lawannya. Bibi sempat bimbang, tapi karena kamu
keponakan bibi, bibi justru merasa nyaman dan aman. Biarkan ini menjadi
rahasia kita berdua ya.”
”Bi...???”
”Iya Den...kenapa...??”
”Deni ngaceng lagi.....mau masukkin lagi...”
Akhirnya
malam itu Deni kembali meneruskan pelajarannya, sampai 4 ronde, sudah
makin pandai dan terkontrol. Setelah selesai bibinya kembali ke
kamarnya. Deni kini sendirian, masih lemas sekali, tenaganya terkuras
habis. Meski begitu sangat bahagia....gilaaaa, keputusannya buat tetap
tinggal di kampung, sangat menguntungkannya. Tak menyesal ia hilang
keperjakaannya untuk wanita semenawan bi Ratna. Deni karena lelah segera
tertidur dengan senyum amat manis menghiasi bibirnya.
Paginya
ternyata bi Ratna juga bangun agak kesiangan, kecapekan juga. Benarnya
Deni mau ngebetot lagi, sayang ada si Ucil. Bibinya setelah selesai
sarapan, minta diantar ke kota, mau beli pil KB, buat jaga – jaga
katanya, walau pakai alat KB, tetap lebih baik berjaga. Di puskesmas di
balai warga sebenarnya ada dan bisa beli pil KB, tapi nggak mungkin
bibinya membeli di sana, bisa geger dunia persilatan...eh
salah...maksudnya bisa geger warga kampung sini, kalau bibinya yang
menjanda melenggang santai ke Puskesmas untuk membeli pil KB. Akhirnya
mereka berangkat, si Ucil diajak juga tentunya, bocah itu juga tak’kan
paham apa yang akan dibeli ibunya. Agak siangan mereka sudah sampai,
bibinya segera ke kebun seperti biasa. Ucil mengajak Deni ke rumah
abahnya, ya sudah Deni mau saja.
Kini sudah hampir 2
minggu Deni melakukan hubungan seks sama bi Ratna, sudah bisa dibilang
mahir dan mampu memuaskan bibinya. Hari ini Ucil tak di rumah, dijemput
abahnya, diajak kondangan ke saudara di bandung, pulangnya besok sore.
Dari pagi Deni ikut bibinya ke kebun, tapi baru sebentaran di sana sudah
terus colek – colek bibinya minta pulang. Nggak tahan mau nyodok lagi.
Hari ini bi Ratna memakai kaos dan celana selutut.Akhirnya bi Ratna
nyengir memaklumi kemauan keponakannya yang lagi doyan – doyannya, belum
siang mereka sudah pulang. Bibinya masuk ke rumah, menuju kamar.Deni
yang sudah ngaceng berat, segera memasukkan motor ke dalam rumah,
menutup pintu asal rapat tanpa menyadari belum terkunci, dengan semangat
45 segera ke kamar bibinya. Bi ratna baru juga membuka baju kaosnya,
hanya menyisakan BH, Deni sudah menomploknya merebahkannya ke kasur.
Bibinya tertawa kecil...
”Sabar atuh Den, semalam kan
sudah sampai 3 kali, masa sekarang belum tengah hari sudah minta
lagi....doyan amat sih ponakan bibi ini.”
”Namanya juga anak muda masih semangat. Lagian memang bi ratna sangat menggoda sih.”
Deni
segera memendamkan wajahnya di antara belahan tetek bi Ratna,
menciuminya, wangi dan harum, aroma wangi tubuh dan sabun bercampur satu
dan memabukkan. Tangannya segera meremasi BH bibinya, tak lama,
sebentar saja, tangannya tak sabaran segera melucuti paksa Bh bibinya.
Kini ia asik mengulum dan memainkan pentil bibinya, menghisapnya kuat –
kuat. Bibi Ratna sampai kelojotan. Keponakannya ini benar – benar murid
yang pandai, sebentar saja sudah mahir mengetahui juga lihai memainkan
titik – titik sensitifnya. Mampu secara kreatif mengembangkan
potensinya. Tangan bi Ratna menyusup ke balik celana pendek Deni, mulai
meremas – remas kont01 Deni.
Dengan cepat akhirnya
keduanya kini sudah tak berbusana lagi, Deni masih di atas menindih
bibinya, mengangkat lengan bibinya, menciumi dan menjilati rimbunan
keteknya, enak dan harum. Bibinya masih asik mengocok kont01nya, karena
sudah tak tahan, Deni menurunkan pantatnya sedikit
dan...blesss...kont01nya menerobos m3mek bibinya. Kini Deni sudah tak
culun lagi, sudah pandai menjaga tempo. Ia mulai memompa dengan
semangat, kaki bibinya terkangkang lebar, Deni menyodokkan kont01nya,
kuat dan bertenaga serta sedalam mungkin. Tetek bibina bergoyang
nafsuin. Gemas banget Deni melihatnya, ia dekatkan mulutnya, menghisap
pentil itu kuat, sodokannya makin kuat, hampir 3 menit lewatt, masih
tetap menghisap kedua pentil tetek bibinya secara kuat dan bergantian
juga menyodok dengan cepat dan konstant, efeknya bibinya mendesah kuat
dan penuh gairah...
”Aaahh.....Ssssshhh.....lagiiiii....”
”Huahhhh....ooohhhh......Wooowwww...”
”Yessss......”
Tubuh
bi Ratna menggeliat dan mengejang kuat, menyemburkan cairan orgasmenya,
sebenarnya Ratna juga heran di awalnya, dulu sama suaminya yang bejat,
sulit sekali ia orgasme, tapi sama keponakannya ini, sangat mudah dan
sering, mungkin karena ia sendiri enjoy dan menikmati semangat Deni yang
penuh gairah tanpa surut. Deni tak memperdulikan bibinya yang masih
lemas, makin mantap menyodokkan kont01nya, mata bi Ratna merem – melek
menrima gempuran sodokan kont01 Deni, tangannya memeluk erat pundak
Deni.
Sementara kedua insan ini masih seru memacu
birahi, Bi Lasmi melongok melalui hordeng yang sedikit terbuka di pintu
depan, motornya ada, kenapa dari tadi tak ada yang menjawab, masa si
Ratna sama Deni jam segini sudah tidur siang. Penasaran ia memutar
gagang pintu...tuh ceroboh sekali tak dikunci, mana ada motor, nanti
digondol maling lagi. Perlahan ia masuk dan menutup pintu, menguncinya.
Memandang sekeliling...sepi amat sih. Oh ya, si Ucil kan ikut si Abah,
tadi pagi Ratna sempat ngomong waktu ketemu di kebun. Ah paling adiknya
lagi tiduran di kamarnya. Yakin dengan perkiraannya, Lasmi segera menuju
kamar adiknya, sambil berseru..
”Rat, teteh minta
kecap dulu dong, nanggung lagi masak, tadi ke warungnya si Ros, tapi
tutup, lagi belanja ke pasar, makanya minta sedikit ke...APA...?”
Lasmi
membelalak, saat menyingkap gordeng yang menutup kamar adiknya, ia
mendapati pemandangan yang tak pernah ia duga atau bayangkan.
Keponakannya Deni sedang menindih adiknya Ratna, keduanya tanpa busana.
Matanya terbelalak memandangi keduanya bergantian.
Ratna
dan Deni diam membatu, kont01 Deni masih menancap di m3mek bibinya.
Terkejut sekali tentunya, situasi amat memojokkan mereka, mau ngomong
apapun posisi mereka sangat nyata sedang melakukan hubungan yang
terlarang. Rasanya mulut mereka terkunci rapat sulit menjelaskan.
Setelah lama terombang – ambing dalam kesunyian yang menegangkan, rasa
keterkejutan sudah berkurang, pikiran mulai mengalir kembali...
”Eh...teteh...eh...a..anu...”
”Bi...eng bi Las...Lasmi, De..Deni bi....bisa jelas...jelaskan...i...ini sa..salah Deni.”
Lasmi
masih terkejut, dalam pikirannya, ampun Ratna, banyak lelaki yang
mengejar kamu, mau memperistri kamu, tapi kenapa kamu malah memilih
ngewek sama...ke...keponakan kita, Deni ? Harus ada penjelasan yang
masuk akal, karena saat Lasmi memrgokinya, walau sesaat saja, jelas
keduanya melakukannya dengan sukarela, tak ada pihak yang terpaksa. Dia
duduk di pinggir ranjang, masih terkejut, semuanya diam, akhirnya Lasmi
bisa menguasai diri. Ratna sudah mendahului bicara. Saking tegangnya,
Deni sampai lupa mencabut kont01nya.
”Teh...nanti Ratna pasti jelaskan, ada alasan yang membuat Ratna melakukan hal ini.”
”Rasanya
tak perlu kamu jelaskan. Teteh bisa membaca pikiranmu. Selama ini teteh
dan teh Santi sudah mengerti kalau kamu memang trauma sama perkawinan,
tapi juga butuh pelampiasan...Cuma kenapa sama si Deni..?”
”Awalnya tak pernah terencanakan, terjadi begitu saja dan tak bisa dihindarkan....”
Lasmi
diam saja, saat itu deni baru sadar masih posisi menancap, ia mencabut
kont01nya, bergulir ke samping bi Ratna. Mata Lasmi sempat memandang
kont01 Deni, dan sama seperti Ratna dulu kala pertma kali melihat kont01
Deni, Lasmi juga terkesiap. Sebenarnya Lasmi juga belakangan ini selalu
uring – uringan, iyalah...suaminya yang pelaut, kalau melaut waktunya
selalu lama,kalau berlabuh cuma sebentar, tentu saja ia kurang
terpuaskan. Mana terakhir ia ngewek hampir setengah tahun yang lalu,
suaminya juga masih lama pulangnya. Matanya memandang kont01 Deni dengan
raut kepingin. Tak heran kalau ratna sampai mau melakukannya sama
keponakannya ini pikir Lasmi. Dia mulai bergairah dan merasakan denyutan
pada m3meknya. Kalau tadinya hal ini hanya menjadi rahasia Ratna dan
Deni berdua...kini sudah saatnya menjadi rahasia mereka bertiga. Tapi
keduanya harus dihukum dulu. Ratna dan Deni masih tegang menunggu reaksi
Lasmi selanjutnya, makin tegang melihat Lasmi yang sedang serius
berpikir. Untunglah Lasmi kembali berbicara...
”Kalian...selesaikan apa yang sedang kalian perbuat...”
”HAH...?” Ratna dan Deni mengucapkan keheranan mereka berbarengan, melongo bingung menatap Lasmi minta penjelasan lebih lanjut.
”Kenapa ? kalian dengarkan. Lanjutkan saja apa yang sedang kalian perbuat.”
”Ta..tapi teh...nggak mungkinlah...di di depan teteh.”
”Mungkin saja, kenapa malu ? Untuk apa ? Melakukannya sama keponakanmu kamu bisa nggak malu, apa bedanya sekarang ?”
”Ti...tidak...Ratna nggak mau. Ini lain soal.”
Deni hanya diam saja, bingung dan nggak tahu harus ngomong apa. Akhirnya Lasmi menggetokkan palu terakhir, final....
”Baik...kalau
begitu bersiaplah...teteh akan membicarakan hal ini ke Santi...ya
tetehmu Ratna, dan juga ibumu,Deni. Dan teteh yakin kalau Santi tak akan
senang dan bisa menerima hal ini. Bagaimana...?”
Deni sangat terkejut. Gila...mampus deh.....wah nggak bisa begini, ia akhirnya membuka suara.
”Sudah bi Ratna, kita teruskan saja. Daripada berabe.”
”Ta..tapi Den...i...itu...”
”Sudah...tenang saja, ayo, santai saja.”
”Kamu
dengarkan Rat, Deni benar, daripada berabe. Lagipula teteh sudah
berbaik hati mau membiarkan kalian menuntaskan ngewek kalian yang
terputus menddak tadi.”
Akhirnya Ratna siap
melanjutkan, canggung rasanya. Deni walau tadi terkejut, tapi kont01nya
masih ngaceng, maklum tadi dalam posisi tempur dan terangsang berat.
Ratna kembali berbaring, melebarkan kakinya dengan agak ragu. Deni sudah
di atasnya, beda dengan ratna, Deni tak ada keraguan, kalau bi Lasmi
bilang teruskan dan ia tak akan mengadukan hal ini ke ibunya, ya sudah,
teruskan saja. Blesss....kont01nya dengan cepat sudah menerobos, mulai
memompa. Deni sih tetap semangat, cuma Ratna sudah kehilangan selera.
Jadilah ini pergumulan satu arah. Kont01 Deni menyodok dengan mantap.
Mulutnya juga mulai menciumi dan menghisapi pentil bi Ratna. Nafsunya
sudah kembali normal, seakan jeda yang menegangkan barusan tak pernah
terjadi.
Lasmi duduk menyaksikan, duduk manis di
pinggir ranjang, dekat kaki pasangan yang sedang bergelut itu, sedikit
demi sedikit gairahnya naik, menyaksikan kont01 keponakannya yang gede
itu menerobos m3mek Ratna, memompanya keluar masuk membuat m3mek Lasmi
mulai basah, tangannya perlahan menyingkap kainnya, kini asik mengelus
CD-nya yang tebal, perlahan lalu makin cepat, akhirnya tangannya enyusup
ke balik Cd-nya, mulai asik mengelus belahan m3meknya. Merasa kurang
nyaman, ia lepskan CD-nya. Melepas kainnya. Lasmi di usianya yang ke 40
juga masih menggairahkan. Bodynya memang sedikit lebih montok dan
berisi, tapi tetap tperutnya juga rata, nyaris tanpa timbunan lemak yang
berarti. Kakinya mulai ia kangkangkan, m3meknya juga sama seperti
saudaranya, ditumbuhi jembut yang lebat samapi ke belahan pantatnya,
tangannya mulai mengelus belahan m3meknya yang sudah basah, segera saja
belahan itu mekar, menampakkan lobang m3meknya yang merah. Jarinya masih
asik hanya mengelus. Ratna dan Deni masih belum sadar dengan yang
sedang dilakukan Lasmi.
Lama – lama karena sodokan
kont01 Deni, Ratna mulai On lagi, desahannya mulai terdengar kembali.
Deni menjilati lehernya, memompa kont01nya kuat – kuat, terasa sangat
mentok di m3meknya, jilatan Deni juga sangat merangsangnya. Bi Ratna
menggelinjang kegelian, rasa nikmat makin menjalar ke seluruh tubuhnya.
Geli dijilati, enak disodok di bagian m3mek. Tanganya memeluk pundak
Deni kuat...
”Awww....Den....geliiiiii”
”Oooohhhh....Owwwww.....Sshhh...”
”Dikiiiitttt.......laaaggiiiii....Aaaaahhhh....”
Tanpa
ampun bi Ratna kembali jebol, Deni jadi makin bergairah, senang karena
bi Ratna kembali menikmati pergumulan mereka. Deni sebenarnya mau ganti
posisi, tapi malas, ada bi Lasmi...mendingan cepat tuntaskan saja yang
sekarang.
Lasmi mulai menyodokkan jarinya ke lobang
m3meknya, dikocoknya dengan cepat, tangan yang lain mulai memainkan dan
mengelus it1lnya yang besar dan menonjol, memainkannya dengan ujung jari
jempol dan telunjuk, cepat dan konstant, menahan desahannya agar tak
terdengar. Makin naik gairahnya...Aaahh...Ssshhh....enak...rasa nikmat
yang sangat, ditambah melihat adegan yang terjadi di depan matanya. Saat
ia melihat dan mendengar Ratna mendesah kuat terakhir tadi, nafsunya
jadi naik. Makin cepat jemarinya beraksi....Ooooohhhhhhh....ia menekan
bibirnya kuat, menahan agar suara desahannya saat orgasme tak terdengar.
Ratna
mengangkangkan kakinya selebar mungkin, sudah kepalang enak, sebodoh
amatlah sama teh Lasmi,eh di mana dia....ia agak mengangkat
bahunya...lho....lho....ngapain teh Lasmi, ke mana kain dan
Cd-nya...lagian dia kok lagi mainin m3meknya pakai jarinya sendiri.
Seketika otak Ratna seperti diterangi cahaya
terang...sialan...pikirnya..teh Lasmi ngerjain aku sama Deni. Saat itu
teh Lasmi sedang asik bermasturbasi, matanya terpejam. Ratna menarik
kepala Deni, mendekatkan kuping Deni ke mulutnya, ia segera membisikkan
sesuatu, Deni masih tetap memompakan kont01nya. Deni mengangguk.
Lasmi
sudah lupa dengan Ratna dan Deni, ia asik bermasturbasi sambil
terpejam, hal yang biasa ia lakukan di rumahnya sendiri, kalau sudah
bergairah dan orgasme,ia makin asik menikmati pemainan jarinya. Tiba –
tiba ia merasakan tubuhnya seperti ditarik merebahkannya. Siapa....Deni
yang menariknya...walau kuat tapi tetap lembut. Ratna nampak sedang
mengaso berbaring memulihkan tenaga. Dengan cepat Deni segera beraksi,
mulutnya langsung menyasar daerah selangkangan bi Lasmi, tanpa sungkan
lagi mulutnya dengan ganas menciumi m3mek bi Lasmi, aromanya enak. Bi
Lasmi yang sadar kalau sekarang gilirannya telah tiba, mengangkangkan
kakinya. Lobang m3meknya menganga jelas. Deni segera menjilatnya dengan
rakus, Lasmi mendesah Lidah Deni segera menjilati it1lnya yang besar,
menggoyangkannya dengan cepat membuat bi lasminya kelojotan. Melihat
lobang m3mek bi Lasmi yang sangat merangsang, Deni segera mempersiapkan
jari telunjuk dan jari tengahnya, menyodok lobang m3mek itu dengan
cepat, Lasmi kelabakan. Sementara Deni menggarap m3meknya, Lasmi dengan
cepat melepas kaos dan BHnya, keteknya juga rimbun, dan teteknya jauh
lebih besar dari tetek Ratna. Tentu Deni belum sadar, masih sibuk
bergerilya di bawah sana. Bi Lasmi meremas teteknya dengan tangannya
sendiri
Ratna melihat Deni sedang gantian mengerjai bi
Lasmi...dasar teteh...padahal kepengen, pakai acara nakutin segala.
Gairah Ratna mulai naik lagi. Ia mendekat ke arah tetehnya. Memang kalau
gelombang seks sudah memancar, kadang pengertian yang paling
mustahilpun akan timbul, tanpa perlu diucapkan lagi, pelakunya bisa
memahami niat dan kemauan yang lain. Ratna mulai meremas tetek Lasmi.
Lasmi diam saja tak protest, tangan Ratna mulai memilin pentilnya yang
sudah mengacung, dia sudah sering melihat tetehnya ganti baju, tapi
tetap saat ini ia megagumi betapa besar dan kenyalnya tetek tetehnya.
Mulutnya mulai menghisap pentil teh Lasmi.menjilati dan menggoyangnya
dengan lidahnya. Lasmi makin kelojotan, tangannya menarik lembut pantat
Ratna, mengarahkannya m3mek ratna ke mulutnya, dia belum pernah menjilat
m3mek perempuan, tapi tak sulit, tinggal melakukan seperti yang
dilakukan suaminya dan kini Deni pada m3meknya sendiri. Lidah Lasmi
mulai menyapu m3mek Ratna, m3mek Ratna kemerahan karena baru disodok
Deni, juga belahannya dalam posisi mekar. Lidahnya mulai menjilati it1l
Ratna. Awalnya canggung, tapi makin lama makin terbiasa, buktinya Ratna
di tengah kesibukannya menghisap pentil Lasm mulai mendesah.
Deni
terlalu konsent bermain dengan m3mek bi Lasmi, tak menyadari bi Ratna
telah bergabung, saat ia mendongakkan kepalanya
sedikit...ya...ampuun....ini...ini....terlalu hot buat dirinya.
Gilaaaa...tetek bi Lasmi....kont01nya berdenyut, ngaceng dengan keras
sekali. Makin ganas menyerang m3mek bi Lasmi. Lidahnya makin cepat
menggoyang it1lnya demikian sodokan jarinya. Lasmi menggoyang pantatnya,
desahannya tertahan keasikannya menjilati m3mek Ratna.
Akhirnya bi Lasmi tak tahan, pantatnya terangkat, badannya mengejang....awww...orgasme yang dashyat baru saja menghantamnya.
Deni
segera berhenti memainkan mulut dan lidahnya. Karena posisi bi Lasmi
agak di pinggir ranjang, Deni menarik pelan kaki bi Lasmi,
menjuntaikannya menggantung di pinggir tempat tidur. Deni turun berdiri
di pinggir tempat tidur....blesss kont01nya menerobos m3mek bi Lasmi. Bi
Lasmi bergetar, tubuhnya serasa luluh lantak saat kont01 keponakannya
menghujam tadi...gilaaaa....penuh dan terasa sesak di m3meknya. Deni
segera memulai pompaannya, ia condongkan badannya, mulai meremas tetek
bi Lasmi, mainan baru bagi Deni. Buseeet....kalah deh bi Ratna, Deni
membatin. Ia meremasnya kuat – kuat, pentilnya gede sekali. Gemas Deni
memilinnya. Karena Deni mulai sibuk memainkan tetek bi Lasmi, Bi Ratna
mengalah, berhenti menghisap tetek teh Lasmi. Kini bibirnya berganti
haluan mencium bibir Deni. Deni makin cepat saja menyodok m3mek bi
Lasmi, membuat bi Lasmi mengimbangi dengan ikut menggoyangkan pantatnya.
Lasmi
makin asik saja menjilati it1l adiknya, Ratna, bahkan jari tengahnya
sudah sedari tadi menyodok lobang m3mek Ratna. Lidahnya menggoyangkan
dan menghisap pelan it1l adiknya itu. Ratna yang posisinya agak nungging
karena mecondongakan tubuhnya untuk kemudian asik berciuman dengan Deni
mulai kewalahan. Pinggulnya bergoyang liar, mengejang...lalu orgasme.
Setelah Ratna orgasme, Lasmi menghentikan kegiatannya, konsentrasi pada
sodokan Deni yang makin lama makin enak. Ratna berhenti mencium Deni,
terkapar berbaring, kecapekan. Kini Deni melawan Lasmi. Deni langsung
menghisap pentil bi Lasmi, mantap banget, sangat kuat ia menghisapnya,
bi Lasmi sampai mendesah kuat, belum lagi sodokan keponakannya itu makin
bertenaga, ia mendesah, mengangkat lengannya ke atas, menikmati serbuan
nikmat. Deni terpesona memandang rimbunan ketek bi lasmi, mulai
menciumnya dengan ganas sambil menjilatinya bergantian, pompaan
kont01nya sudah sangat cepat.Bi lasmi makin kewalahan...
”Aaahh.....Pelaaaaannn....dikiiitttt...”
”Ooooh....janggaaaannnn dipelaniiiinnnn.....”
”Ughhhh....ampuuunnnn.....Awww......”
Bi
Lasmi pun menggelepar penuh kenikmatan...ternyata keponakannya sungguh
hebat. Deni mulai menciumnya dengan ganas dan panas, bi Lasmi tanpa
sungkan meladeni, lidah mereka saling beradu, tapi tekhnik Deni belum
maksimal, ciuman bi Lasmi jelas lebih tinggi tekhniknya, ia menyedot
lidah deni membuat Deni serasa melayang, nyaris lepas kendali, untung
tak lama kemudian bibinya melepas ciumannya, Deni samapai megap –
megap....Awas ya...pikir Deni, ia bertekad membalas, sodokannya kini
sudah amat sangat cepat,membuat bi Lasmi merasakan sensasi yang
tertinggi, belum pernah m3meknya disodok dengan secepat dan seganas ini,
apalagi kont01 Deni sangat memenuhi m3meknya.
Ada yang
merenggangkan kaki Deni, deni melirik, ternyata bi Ratna yang sudah
merasa segra kembali berjongkok di bawah selangkangan Deni yang sedang
berdiri sambil menyodok bi Lasmi. Bi ratna mulai menghisap dan menyedot
biji pelernya, tentu saja menyesuaikan dengan ritme gerakan pompaan dan
sodokan kont01 Deni. Sintiiiingg.....enaknya tak terkira, sambil tetap
asik menyodok bi Lasmi, bijinya diemut sama bi Ratna, Deni merasa
dirinya menjadi manusia paling berbahagia di bumi saat ini. Tapi
ketahanan Deni juga ada batasnya, seiring sodokannya yang makin kuat, ia
merasakan denyut nikmat pada kont01nya, ia hujamkan sedalam mungkin
kont01nya. Bi Lasmi nampaknya sadar Deni ma ngecret segera berucap...di
dalam saja...di dalam saja. Bi lasmi bergetar saat pejunya menyemprot
kuat.....selesai...dan melelahkan. Bi ratna masih asik menghisap biji
pelernya, membuat dengkul deni makin lemas. Deni segera mencabut
kont01nya. Bi ratna dengan rakus segera memburu kont01 Deni, menjilati
sisa peju yang menempel. Setelah Bi Ratna menuntaskan jilatannya yang
terakhir Deni segera menghempaskan diri ke atas kasur. Sangat lelah saat
ini. Hanya bisa berdiam diri. Bi ratna juga bergabung tiduran di atas
ranjang. 3 orang tanpa busana tergeletak lemas penuh kepuasan. Deni
masih diam saja, menengarkan bi ratna dan bi Lasmi yang mulai
bercakap...
”Ih teh Lasmi jahat, nakut – nakuti saja, padahal juga mau...dasar.”
”Awalnya sih nggak begitu. Tapi kont01 Deni sangat menggoda, akhirnya aku terangsang.”
”Terus bagaimana komenter teh Lasmi.”
”Ya puaslah, tapi....”
”Tapi apa teh...?”
”Belum puas banget...Rat, malam ini Deni menginap di rumah teteh saja ya.”
”Huh maunya...nggak, teh Santi kan menitipkan Deni menginap di sini.”
”Ya...jangan begitu dong...suami teteh masih lama berlayarnya..”
Mana
rela Ratna membiarkan jagoannya dibajak sama tetehnya. Lagian tadi teh
Lasmi sudh tega menakuti mereka. Akhirnya Ratna berkompromi.
”Teteh saja yang nginap, Ucil kan lagi pergi sama abah.”
”Ya sudah, tapi nanti banyakkan teteh ya, kan kamu sudah puas, sedang teteh baru hari ini.”
”Terserah teteh saja.”
”Iya...teteh mau ngerasain keponakan teteh sendirian, mungkin masih bisa maksimal lagi kemampuannya.”
Deni
yang menjadi object hanya diam, selain masih lelah, juga ia sedang
berpikir...gilaaaa....beruntung banget dirinya hari ini. Bi Lasmi jelas –
jelas masih cantik dan juga nafsuin, ia bisa ngewek bi Lami tanpa
terduga....sangat beruntung. Akhirnya semua membersihkan diri, nggak
melanjutkan lagi, walau jarak rumah di sini renggang – renggang, teta
nggak enak sama tetangga, siang – siang rumah terkunci rapat. Akhirnya
bi Lasmi pulang, mau pinjam kecap...malah dapat saos putih
kental........
Malamnya bi Lasmi menginap, sore – sore
sudah datang. Rumahnya paling dititipin sama tetangga yang juga ikut
bekerja d kebun. Bi Lasmi ikut makan di sini, setealah makan, mereka
bersantai. Deni asik menghisap rokok di dekat pintu sambil ngopi, baru
SMS mamanya, sekedar say hello dan mengabarkan kalau ia betah di
kampung. Kalau mamanya masih kurang suka ia merokok, beda sama bibi –
bibinya, di kampung sini mah sudah wajar saja. Bahkan bi Lasmi sesekali
merokok, seperti sekarang. Bi Lasmi asik ngobrol sama bi Ratna sambil
menonton TV. Keduanya memakai busana kesukaan Deni, kain dan kutang
model kampung. Lumayan seru obrolan mereka. Tak lama bi Ratna ke kamar
mandi, keluar lagi, masuk kamar seprti mengambil sesuatu di lemari, lalu
kembali ke kamar mandi. Agak berapa lama ia keluar, menghampiri
tetehnya, sambil nyengir campur sedikit BeTe bi Ratna berbicara...
”Wah..sepertinya teh Lasmi memang beruntung, aku baru dapat tamu bulanan. Nasib...”
”Ya..mau gimana lagi Rat.”
”Tapi sudahlah...teteh nggak usah pulang sudah terlanjur, nginap saja.”
”Iya...takut amat si Deni dibawa kabur sama teteh hehehe.”
”Nggak kok teh. Ya sudah, hitung – hitung teteh mengejar ketinggalan teteh.”
Bibi
lasmi terkekeh geli, setelah puas tertawa, ia berbicara kepada Deni
yang masih asik bertengger di pintu, kayak burung saja bertengger
hehehe.
”Den sudah dengar kan, nanti malam tidur sama bi Lasmi ya.”
Deni
hanya mengangguk saja, baginya tak masalah, baik bi Ratna maupun bi
Lasmi sama – sama yahud kok, ada kelebihan tersendiri. Bahkan kini ia
bisa memuaskan diri bermain berdua sama bi Lasmi, kalau tadi siang kan
keroyokan, nanti malam bisa puas ngewek berduaan. Keduanya masih asik
menonton TV, sambil ngobrol, Deni tak mendengar apa obrolan mereka, tapi
yang pasti mereka nampak gembira, cekikikan terus. Deni menyalakan
sebatang rokok lagi. Sambil menghirup kopi, santai, mengumpulkan energi.
Akhirnya jam 7 Deni menaruh gelas kopinya yang sudah habis, menutup dan
mengunci pintu, sambil memeriksa jendela. Seelah semua diperiksa dia
duduk bergabung menonton TV, bi Lasmi lagi ke WC, jadi Deni mengambil
tempatnya di sofa panjang, kini Deni duduk berdampingan sama bi Ratna.
Ketika bi Lasmi kembali, ia duduk di sofa kecil. Mereka menonton TV,
sesekali mengobrol ringan. Jam 8-an Deni mulai merasakan bergairah
kembali, acara TV juga tak menarik. Ia berucap...
”Bi Lasmi..eh anu...Deni mau netek dulu ya sama bi Ratna, habis sudah kebiasaan, nggak enapa kan ?”
”Sama bi lasmi juga bisa kan, tapi sudahlah, sesukamu.”
”Ya..bi Ratna...eng..boleh kan.”
” Dasar deh si Deni, tadi nanya dulu ke bi Ratna, baru ngomong ke bi Lasmi, tapi kamu cuma bisa netek saja ya...ayo sini.”
Deni
mendekat, memojokkan bi Ratna, kini bi Ratna posisi kepala bi Ratna
bersandar di atas pinggiran sofa. Deni menurunkan kutangnya, segera asik
menetek dan menghisapi pentil bi Ratna. Deni membandingkan, saat sedang
datang bulan pentil bibinya kelihatannya lebih membesar. Juga nantinya
Deni baru tahu waktu bibinya memberitahu, kalau wanita lagi datang bulan
sebenarnya nafsunya justru meningkat. Tapi ya itu, tetap nggak bisa
disodok, hanya orang yang tak sabaran saja yang nekad menyodok orang
lagi palang hehehe. Deni sangat menikmati menetek di teteknya bi Ratna,
ia menghisapnya kuat, sambil sesekali menggoyangkan pentil itu dengan
lidahnya. Bi ratna mendesah. Jadi tambah ngaceng kont01 Deni, Deni
menurunkan tangannya segera mengelus tonjolan di balik celananya itu.
Lagi
enak – enaknya mengelus kont01nya sendiri, ada tangan halus menepikan
tangannya, lalu menurunkan celananya...oh Bi Lasmi rupanya tak sabar
ingin berpartisipasi. Celananya sudah lepas, kini kont01nya mengacung
bebas. Deni membiarkan bi Lasmi erbuat semaunya pada kontonya, masih
asik menetek. Tangan deni mengangkat lengan bi Ratna, mulai menciumi dan
menjilati keteknya, nyaman sekali rasanya.
Kont01nya
terasa dibelai, biji pelernya dipijat – pijat cukup lama, enak...membuat
Deni merasa rileks dan nyaman, sementara tangan satunya bertugas juga,
batang kont01nya dikocok perlahan oleh bi Lasmi. Jempolnya mengelus
lembut kepala kont01 Deni mengusapnya dengan penuh perasaan. Sesekali
jempol bi Lasmi memainkan lobang pipisnya. Setelah agak lama
menggenggam, mengelus dan mengocok dengan tangannya, bi Lasmi mulai
memakai jurus lidahnya. Satu tangannya masih tetap memijat – mijit biji
peler Deni. Lidah bi Lasmi mulai menjilati kepala kont01nya, ringan
saja, bahkan hanya ujung lidahnya yang beraksi, tapi rasanya sangat
nikmat menjalar ke seluruh tubuh Deni. Amboiii....kayaknya bi Lasmi
lebih piawai buat urusan Oral pikir Deni. Lidah bi Lasmi mulai bergerak
lagi, menjilati batang kont01 dan juga biji pelernya, menggelitik urat –
urat pada batang kont01nya, Deni samapai merem melek dibuatnya,
entahlah, gerakannya santai namun sensasi yang diberikan sangat besar.
Akhirnya mulut bi Lasmi mulai menelan kont01nya, perlahan dari kepala
kont01, sampai batangnya, akhirnya amblas seluruhnya...ampuuun.....mulut
Bi Lasmi terlihat sesak disumpal kont01nya batin Deni dalam hati. Deni
jadi nggak konsen neteknya, sesekali melirik. Mulutnya mulai mengulum,
meghisap dan mengemuti kont01nya, mulai mengocoknya, lagi – lagi dengan
santai, nyaris tanpa semangat, tapi anehnya kok enak ya terasa bagi
Deni. Oh rupanya walau sambil mengulum ujung lidahnya tetap aktif
bergerak menjilati. Deni menggoyangkan pantatnya keenakan. Lalu kembali
bi Lasmi menelan kont01nya samapi pangkalnya, mendiamkan sebentar, dan
kemudian mengemut dan menghisapnya kuat, Deni merasakan lemas sekli,
saking nikmatnya. Hisapan Deni pada pentil bi Ratna makin kuat saja
seiring rasa kenikmatan yang ia rasakan pada kont01nya. Akhirnya bi
Lasmi mulai mengulum dengan cepat, tanpa jeda...entah berapa lama,
akhirnya Deni merasakan klimaks, tanpa permisi pejunya muncrat membasahi
mulut bi Lasmi. Deni melepas hisapannya pada pentil bi Ratna, mendesah
puaaassss.... Bi Lasmi memainkan pejunya sebentar lalu menelannya samapi
habis, belum cukup, dijilatinya sisa peju di ujung kont01 Deni.
Gila...dihisap sampai ngecret pikir Deni...mantap juga bi Lasmi.
Bi
Lasmi beristirahat sebentar, meminum air di gelas yang ada di meja. Bi
Ratna yang sadar kali ini bukan dia pemeran utama wanitanya, merapikan
kutangnya, permisi masuk kamar, capek mau tidur. Deni mengambil remote,
mematikan TV, masih duduk di sofa, ia segera membuka kaosnya. Bi Lasmi
juga mulai melucuti busananya, kini juga bugi...gil...gil....kont01 Deni
segera saja mengeras, Bi Lasmi menatapnya dngan antusias. Bi Lasmi
duduk di samping Deni. Dasr nggak sabarn Deni langsung saja tancap gas,
mulai meremas – remas teteknya Bi Lasmi tertawa melihat ketidaksabaran
keponakannya ini.
”Den sabar dulu, ke kamar saja ya, lebih enak.”
”Ayo..ayo bi.”
Bibinya bangun, Deni mengikuti dari belakan masih saja meremas tetek bi Lasmi yang memang sangat besar, kencang dan menantang.
Sesampainya di kamar bi Lasmi malah ngobrol dulu.
”Den,
tadi bi Ratna cerita ke bi Lasmi, katanya kamu belum lama ya diajarin
sama dia...hebat juga kamu, cepat pandai ya, si Ratna juga pintar
ngajarnya....”
”Iya...iya..ih bi Lasmi ngobrol melulu...”
”Hehehe...sabar
dong, nah kalau bi Ratna bisa ngajarin kamu, nanti bi Lasmi juga
berharap bisa menambahkan pelajaran lagi deh, biar kamu makin pintar.”
”Iya...iya...ayo deh dimulai pelajarannya.”
”Ih kamu ini, pemanasan dulu kek, maunya langsung nyodok saja...”
Mana
mikirin pemanasan sih, dari tadi sudah panas bi, batin Deni.Deni segera
menidurkan bibinya, bersiap menindihnya, bi Lasmi malah mendorongnya,
membuat Deni berbaring sejajar dengannya, posisi bi Lasmi di depannya.
Bi Lasmi memiringkan tubuhnya, mengangkat satu kakinya ke atas,
tangannya meraih kont01 Deni, diarahkan ke lobang m3meknya...blesss.
Deni segera memompakan kont01nya, sodokannya masih agak santai. M3mek bi
Lasmi terasa nyaman, sama nyamannya dengan m3mek bi Ratna. Bi Lasmi
menaikkan satu tangannya ke atas, meraih bagian belakang kepala
keponakannya itu, didorongnya kepala Deni, bi Lasmi agak memiringkan
kepalanya, mulutnya mulai mencium bibir Deni, mulanya santai, lalu makin
panas, dan seperti tadi siang, kembali menyedot lidah Deni, kembali
membuat Deni kehilanga kendali, sodokannya makin cepat. Bibinya
melepaskan ciumannya...ayo Den coba kamu sedot lidah bibi saat
berciuman. Bibinya kembali menciumnya, menautkan dan beradu lidah dengan
Deni, Deni berusaha menyedot – nyedot lidahnya, sulit
juga...lagi...lagi, akhirnya berhasil, dan ketika Deni menyedot, bibinya
balas menyedot...mantaaappp, enak banget rasanya berciuman dengan gaya
ini, lidah serasa saling membetot.
Deni melepaskan
ciumannya, pandangannya segera menuju ketek bi Lasmi, jarinya segera
saja asik mengelus dan memainkan bulu ketek bi Lasmi, pompaan kont01nya
sudah stabil. Tapi bi Lasmi segera membimbing tangan Deni ke
selangkangannya, menaruhnya di atas tilnya, kalau ini Deni paham, segera
saja ia memainkan it1l bi Lasmi yang menonjol, sodokan kontonya juga
mulai ia percepat, gemas, mulutnya menciumi ketek lebat bibinya.
Jemarinya mengurut – ngurut it1l bibinya dengan cepat, sodokannya makin
kuat dan dalam...tetek bibinya bergoyang – goyang.
”Terussss...Den...Pintar....”
”Arghhhh.....Uhhhhh....Awww...”
”Yesss...Yesss....Ssshhhh...”
Bibinya
mengejang, orgasme. Deni makin beringas, bi Lasmi yang baru keluar
jelas kelojotan digenjot Deni habis – habisan, matanya kini merem
melek.Sodokan kont01 Deni yang gede, it1lnya yang dimainin, belum lagi
kini deni menambahnya dengan menghisap pentilnya, kuat sekali.
Aaahhh.....suaminya kalah jauh sama keponakannya yang pemula ini. Mulut
bi Lasmi mendesah terus. Saat melihat pantat bi Lasmi yang montok, Deni
jadi mau nyodok m3mek bi Lasmi dari belakang, seperti di film bokep yang
sering ia tonton. Deni berhenti menyodok, bi Lasmi mengambil nafas
sejenak, Deni mencabut kont01nya..
”Nungging dong bi...”
”Siapa takut...ayo...”
Bibinya
segera nungging, tangannya bertumpu pada kepala tempat tidur. Montok
benar pantatnya pikir Deni. Ia segera meyodokkan kont01nya ke lobang
m3mek bibinya, gila pakai posisi begini, lobang m3mek bibinya terasa
lebih nikmat, terasa lebih sempit dan mencengkram. Deni memompakan
kont01nya, matanya asik melihat saat kont01nya menerobos keluar masuk,
gemas ia tepok pantat bi Lasmi perlahan, bi Lasmi tertawa kecil. Deni
mulai mempercepat pompaannya, plok...plok...plok....bunyi kont01nya saat
keluar masuk m3mek bibinya yang sudah basah menambah kenikmatan
tersendiri. Belum lagi desahan bi Lasmi. Deni pasang gigi paling tinggi,
tanpa pengumuman, ia menyodok dengan cepat sekali dan bertenaga, kedua
tangannya memegang pinggiran pantat bi Lasmi, bi Lasmi kelojotan dan
mendesah sejadi- jadinya...gimana nggak keenakan, kalau m3meknya disodok
dengan penuh semangat begini. Pantatnya juga bergoyang mengimbangi rasa
nikmat. Deni terus memperthankan kecepatan pompaan kont01nya, hampir 4
menitan sejak ia mulai mempercepat sodokannya...makin terasa denyutan
pada kont01nya, bibinya orgasme kembali, dan sedetik kemudian kont01
Deni memuncratkan pejunya. Keduanya terdiam lemas, akhirnya Deni
mencabut kont01nya, berbaring dulu memulihkan tenaga, demikian pula bi
Lasmi.
”Walah...untung banget bii tadi siang mergoki kamu sama bi Ratna, akhirnya bibi bisa ikutan ngerasain enaknya kont01 kamu.”
”Samalah Bi. Deni juga senang bisa nyodok m3mek bibi.”
”Ya sudah istirahat dulu, sebentar lagi kita sambung.”
Dan
akhirnya karena bi Ratna sedang halangan, selama 4 hari ke depan Deni
diboyong bi Lasmi untuk menginap di rumahnya, bahkan nambah satu hari.
Bi Ratna yang sebal karena bi Lasmi curang nambah jatah Deni nginap
sehari lagi itu, segera memboyong Den kembali ke rumahnya.Pendeknya sisa
liburan ini benar – benar menyenangkan dan membahagiakan mereka
bertiga.
Deni nampak termenung, ia bukannya tak sadar
liburannya akan berakhir. Senin besok ia harus kembali sekolah. Dan
sekarang hari Sabtu. Sengaja ia tak menjawab telepon ibunya atau
membalas SMS ibunya. Ia tak mau pulang. Tapi pagi ini ia mau tak mau
harus menjawab telepon mamanya..
”Aduh anak ibu tak ingat pulang ya..? Ditelepon tak menjawab, SMS tak dibalas.”
”Ingat bu...besok Minggu pagi Deni pulang.”
”Sayang ayahmu sibuk tak bisa jemput. Ibu juga repot. Oh ya, ibu sudah urus daftar ulang sekolahmu.”
”Iya..bu. Sudah dulu ya bu. Besok pagi Deni pulang.”
”Den...Den...nanti dulu dong, ibu kan masih kangen lama tak ketemu kamu. Kamu sakit ya, kok lemas banget.”
”Nggak bu..sudah ya...bye.”
Deni
mematikan HP-nya mencari bibinya. Mengabarkan ia akan pulang. Malamnya
Bi Lasmi sengaja dan niat banget buat nginap. Sore – sore si Ucil sudah
tidur, jadilah sepanjang sore sampai tengah malam, Deni, bi Ratna dan bi
Lasmi mengadakan acara pesta perpisahan yang panas.
Paginya
Deni pamit pulang, sedih hatinya. Ia mencium pipi kedua bibinya, nggak
enak cium bibir ada Ucil. Si Ucil juga nampak sedih. Mereka mengantar
kepulangan Deni. Menunggu angkot yang ke terminal. Deni berharap
angkotnya tak akan pernah lewat, tapi tak lama angkot lewat, Deni naik
melambaikan tangan....sedih sekali hatinya.
Ratna duduk
termenung, agak anaeh rasanya setelah sebulan lebih terakhir ini ia
menghabiskan waktu bersama keponakanya tersayang, Deni, kini rumahnya
sepi kembali. Hanya ia dan anaknya Ucil. Ratna diam saja melamun
memikirkan Deni. Hatinya terasa kosong, matanya sedikit berkaca, apakah
ia sedang kasmaran....?
Agak siangan Deni sampai.
Ibunya senang sekali bertemu anak semata wayang kesayangannya ini. Tapi
Deni nampak lesu. Menjawab seadanya. Bahkan saat ibunya menjelaskan
kalau project kantor ayahnya sukses dan klientnya sangat puas sehingga
menginginkan perusahaan ayahnya mengurus project baru di daerah
secepatnya. Ayahnya terpaksa harus menetap sementara di daerah itu
selama sebulan ke depan. Baru tadi pagi ayahnya berangkat, menyesal tak
bisa bertemu Deni. Namun Deni tak terlalu antusias. Deni cuma bilang ia
capek habis menempuh perjalanan, mau tidur dulu, meninggalkan ibunya
yang rada bingung. Deni masuk ke dalam kamarnya. Ia berbaring sambil
berpikir, sebulan lebih yang menakjubkan sudah usai. Deni terus
berpikir...lama, menjelang sore ia mantap, keluar kama mencari
ibunya...nah itu dia
”Bu...Deni, mau ngomong sebentar..penting.”
“Iya..ngomong saja, kamu kayak pejabat saja gayanya. Ayo bicaralah, ibu dengarkan.”
”Eh..be...besok Deni tak mau masuk sekolah lagi.”
”HAH...? Kenapa, kamu ada masalah di sekolah sebelum kenaikan dulu yangibu tak tahu...?”
”Ti...tidak, bukan itu bu. Maksud Deni, Deni tak mau masuk sekolah lagi. Deni mau sekolah di kampung.”
”Lho...lho ada apa ini, bukannya biasanya kamu tak terlalu suka kehidupan di kampung ibu. Ada apa sih, ibu tak paham.”
Dan memang Santi bingung sama perubahan sikap anaknya yang mendadak ini. Ia menunggu jawaban Deni.
”Begini
bu...Deni jenuh di Jakarta. Liburan yang lama di kampung kemarin telah
membuka mata Deni. Di sana ternyata menyenangkan. Lingkungannya asik,
orangnya ramah dan bersahabat. Juga Deni sempat melihat sekolah di sana,
sepertinya bagus. Lagian memang Deni sangat kerasan dan menyukai
kehidupan di sana. Pindhin sekolah Deni ya bu.”
”Wah..wah...nggak
bisa semudah itu nak. Ibu harus berdiskusi sama ayahmu. Tak bisa
mendadak. Lagipula ibu sendiri keberatan. Sudh kamu pikirkan dulu,
mungkin in hanya perasaan sesat karena kamu baru saja menghabiskan waktu
di sana.”
”Nggak. Pokoknya harus. Kalau tak mau...Deni tak mau sekolah lagi.”
Deni
nyelonong pergi, memanting pintu kamarnya. Santi membiarkan sudah hafal
tabiat anak semata wayangnya ini kalau lagi ngambek. Bingung dia
memikirkan hal ini, mana suaminya lagi dinas keluar. Santi paham adat
Deni, kalau dia sudah bilang tak akan sekolah, maka itu betul – betul
akan dilaksanakannya. Santi bingung, kenapa anaknya mendadak kepingin
sekali sekolah di kampung. Santi lalu mengambil HP-nya menelepon
suaminya, menceritakan permasalahan, setelah berunding, mereka sepakat
untuk membujuk Dni mengatakan alasan yang sebenarnya, pemikirn mereka,
pasti deni ada masalah di sekolahnya yang tak mereka ketahui. Suaminya
menyerahkan urusan ini sepenuhnya kepada Santi.
Senin
ini Santi menelepon kantornya, alasan sakit. Ia sengaja tak masuk kerja,
bertekad membujuk Deni. Dan memang Deni keras dengan niatnya, ia benar –
benar tak masuk sekolah. Deni tak mengurung diri dalam kamar, tapi
dibujuk dan dirayu bagaimanapun jawaban anak itu sama, nggak mau sekolah
di Jakarta, pindah sekolah titik. Sampai lelah ibunya membujuk.
Sepanjang hari. Jawaban Deni tak berubah. Malamnya Santi menyerah.
Sulit, adat anaknya keras. Deni sudah tidur, Santi duduk melamun.
Santi
bukannya tak mau anaknya sekolah di kampung, tapi jujur saja, Deni anak
satu – satunya. Kalaupun memang dalam menempuh pendidikannya Deni harus
pisah darinya, boleh, tapi nanti semasa Deni masuk bangku kuliah. Tidak
di masa SMA. Santi sangat tidak mau berpisah dengan anaknya. Lagian
alasan anaknya mengenai sekolah di kampung tak masuk akal, nggak, itu
bukan alasan sebenarnya. Pasti terjadi sesuatu hal yag luar biasa pada
anaknya selama ia berlibur di kampung...ya di kampung...semua jawaban
ada di sana.
Besoknya Santi masuk kerja. Membiarkan
anaknya, biar saja dulu. Dikantor Santi mengurus ijin selama 3 hari,
Rabu sampai Jumat. Senin baru ia masuk kerja. Malamnya ia memanggil
Deni, Santi bilang sebenarnya ia tak enak meninggalkan Deni sendirian,
tapi ibu ada tugas kantor penting selma 3 hari, keluar kota. Deni bilang
tak masalah. Santi meninggalkan sejumlah uang untuk jajan dan makan
Deni. Di kulkas juga banyak bahan makanan kok. Sama sekali ibunya tak
menyinggung soal sekolahnya, membuat Deni rada BeTe. Ibunya pura – pura
cuek, memilih masuk kamar, tidur. Dan paginya Santi sudah berada di bis
yang akan membawanya ke kampungnya.
Deni berbaring di
kamarnya, ia rindu sama bibi Ratna dan bi Lasmi, terutama bi Ratna,
mengenang moment – moment panas mereka. Memang dulu ia suka membayangkan
ibunya, tapi setelah melewatkan masa indah bersama bi Ratna, kini bi
Ratna adalah segalanya buat Deni. Harus...pokoknya aku harus bisa pindah
sekolah di sana. Biar bisa dekat kembali dengan bibinya. Deni lalu
tidur ditemani mimpi indahnya tentang bi Ratna. Selama 3 hari ditinggal
pergi, Deni hanya di rumah saja tak keluyuran seperti biasa. Teman
sekolahnya memang menelepon HP-nya, menanyakan kabarnya yang tak masuk
sekolah, juga diminta tolong sama wali kelasnya untuk mengecek, Deni
bohong saja, bilang sedang sakit, waktu sohibnya bialng mau datang
jenguk, Deni bohong, saat ini ia di kampung ibunya. Deni mengakhiri
pembicaraan dengan bilang tolong titip kabar ke wali kelasnya, setelah
sembuh ia akan segera masuk. Deni mulai gusar lagi. Ini sudah hari
Jumat, belum ada kepastian mengenai kepindahan sekolahnya....
Jumat
siang, Santi sudah berada di bis yang membawanya ke Jakarta. Lelah dan
tertekan. Santi memejamkan mata, memikirkan apa yang ia dapat 3 hari ke
belakng. Jawaban yang ia dapatkan sangatlah mengejutkannya. Awal ia
datang, tentu teteh dan adiknya menyambut gembira, tak ada hal yang aneh
dengan kedatangannya. Ia memutuskan menginap di rumah adiknya Ratna.
Waktu ia menceritakan perihal Deni yang aneh tak mau sekolah lagi di
Jakarta, lalu mau pindah sekolah di sini, juga menanyakan apa mereka
tahu apa yang terjadi selama liburan, teteh dan adiknya nampak aneh.
Sepintas wajar saja saat mereka bilang tak ada masalah. Tapi ia amat
mengenal kedua saudarinya ini, juga nalurinya mengatakan ada yang aneh
di sini. Cara keduanya menjawab sangat dibuat – buat. Ia bertekad
berusaha sekuat tenaga mencari tahu jawabannya. Cari teh Lasmi sulit, ia
juga tak mungkin mendesak tetehnya, sangat sulit. Paling mungkin
adiknya Ratna, hubungan mereka sangat dekat. 2 hari pertama Ratna masih
menjawab dengan jawaban yang sama, ditanya macam apapun tetap sama
jawabannya. Mungkin memang Deni sendiri yang tahu jawabannya, ya
sudahlah nanti ia akan coba membujuk Deni untuk berterus terang.
Akhirnya malam harinya, seperti biasa kalau lagi ada kesempatan ia
mengajak bicara adiknya, bukan membahas soal Deni, membahas urusan si
Ratna, biar bagaimanapun Santi itu kakaknya, berkewajiban mengetahui
rencana masa depan adiknya.
”Rat..gimana, belum mau berumah tangga lagi...?”
”Alah si teteh, ada – ada saja nanyanya. Itu melulu yang ditanyakan”
”Ya nggaklah, kan kamu juga harus mikirin si Ucil.”
”Maksud teteh apa...?”
”Iyalah..si Ucil kan butuh sosok ayah.”
”Ah
itu mah nggak harus selalu begitu, toh Ratna menyayanginya sepenuh
hati. Soal biaya juga nggak masalah, kan teteh juga sudah tahu.”
Santi diam, membenarkan tidak, membantahpun tidak.
”Ya sudah, kalau buat Ucil tak masalah, gimana sama kamu...?”
” Maksudnya...”
”Alah
kamu suka begitu Rat. Memangnya kamu sudah nggak butuh gituan, ayo deh
sama teteh jujur saja, ngomongnya vulgar juga nggak kenapa...nggak ada
orang ini, bebas ngomong yang jorok hehehe.”
”Ah, jadi malu
deh...ya jujurnya sih umurnya Ratna masih doyan ngewek, tapi itu kan
caranya nggak melulu mesti dengan kawin. Memuaskan diri banyak caranya”
Santi
agak mengernyitkan keningnya, jawaban adiknya tak bisa ia benarkan,
mana mungkin ia mau membiarkan adiknya menyalurkan hasratnya
sembarangan.
”Ya ampun Ratna, kalau maksud kamu dengan kumpul kebo ya teteh Santi nggak bakalan setuju.”
”Bukan itu teh..maksud Ratna. Kan kita bisa eh...memuaskan sendiri, biar tak maksimal, lumayan bisa nurunin tegangan hehehe.”
”Bisa
saja kamu. Ya, teteh sih masih berharap kamu mau berumah tangga, tapi
pilihlah calon yang baik dan sesuai, jangan kayak si Wawan geblek itu.”
”Ya
pastilah teh. Asli itu mah pengalaman pahit. Geblek banget tuh lelaki,
orangtuanya mampu, bisa menyekolahkan dia, bisa memberikan pekerjaan
malah disia – siakan. Sudah foya – foya melulu, doyan ngewek
sembarangan, mending kalau becus, nafsu doang gede...huh paling sebel
kalau sudah ngebahas dia.”
Santi nyengir, memang
adiknya ini selalu marah kalau membahas si Wawan. Perkataan Ratna
terakhir tadi membuatnya sedikit teringat masalah Deni. Ia pun kembali
berucap, serius juga sedikit guyon biar adiknya nggak marah terus. Ratna
masih emosi
”Itulah...makanya teteh sedih banget si
Deni nggak mau sekolah, berkeras mau pindah. Teteh keberatan, lain
halnya kalau si Deni sudah kuliah. Kalau masih SMA di Jakarta saja. Tapi
sekarang tuh anak tak mau sekolah. Teteh nggak mau tuh anak kayak si
Wawan, orangtuanya mau menyekolahkan tapi si Deni menyia – nyiakan.”
”Nggaklah
teh. Mana bisa si Deni disamain sama si Wawan. Si Deni mah anak baik,
sekolahnya pinter nggak bego kayak si Wawan. Lagian si Deni ngeweknya
juga lebih pintar dari....”
Ratna tak menyelesaikan
ucapannya. Dia memang emosi banget tiap membahas si Wawan, lagianngapain
juga tetehnya nyamain si Deni sama si Wawan. Ratna yang sayang sama
keponakannya tentu membelanya dengan penuh semangat dan emosi. Saking
semangatnya sampai kebablasan. Ekspresi muka Ratna kini seperti orang
salah tingkah. Sedang Santi yang sudah hapal karakter adiknya tahu
banget kalau ekspresi adiknya sudah seperti ini, maka ada rahasia yang
adiknya sembunyikan. Sementara Ratna salah tingkah, Santi memandangnya
dengan ekspresi pemuh minat...
”Rat...teteh dengar kata
– katamu yang terakhir walau tak kamu selesaikan. Kamu nggak usah
bohong, teteh sudah tahu kalau sekarang gayamu seperti ini maka ada
suatu rahasia yang kamu sembunyikan. Gimana kamu bisa ngomong dan bisa
menilai kalau si Deni ngeweknya lebih pintar, jelas ada sesuatu yang tak
teteh ketahui...nah sekarang kamu ceritakan saja semuanya dari awal
sejujurnya...”
Dan meski adiknya Ratna mencoba
berkelit, akhirnya mengalir juga penjelasannya dari awal, sungguh
membuat Santi sangat terkejut, sangat tak menyangka. Ratna hanya diam
saja setalah memberikan penjelasan. Sementara Santi juga diam, selain
terkejut, otaknya juga mulai bisa merangkai serpihan – serpihan jawaban
yang tadinya terpencar, mulai bisa memahami alasan Deni. Mau marah juga
sulit, di satu sisi Deni anaknya, di sisi lain ada Ratna, adiknya. Ratna
memang telah berterus terang, tapi Ratna tidak jujur sepenuhnya, Ratna
memilih untuk tidak melibatkan atau membawa nama teh Lasmi, bisa tambah
runyam urusannya. Agak lama berdiam diri, Ratna memulai kembali
percakapan.
”Teh, jadi begitulah ceritanya. Eh..ma..maafin Ratna yah teh.”
”Untuk
apa...? Ini bukan masalah dimaafkan atau tidak, semuanya telah terjadi.
Kenapa Rat...? Kenapa..? Den...Deni itu kan keponakanmua sendiri...apa
tidak ada lelaki lain...?”
”Teh...sungguh...awalnya Ratna juga
menolak. Terserah teteh mau percaya atau tidak, tapi itu benar. Tapi
yang namanya laki dan perempuan dalam satu rumah...akhirnya apapun bisa
terjadi. Be..benar Ratna ini bibinya, tapi kalau digoda dan juga dari
Ratna sendiri memang ada kebutuhan...ya..eh...itu akhirnya terjadi.”
”Tidak harus terjadi kalau kau bisa menahan diri dan menolak secara sungguh – sungguh.”
Santi
memandang adiknya tersebut. Hatinya marah, namun juga menyadari,
sesalah apapun Ratna, tetap saja ia harus bisa objectif, Santi juga
memikirkan kemungkinan lainnya, ya anaknya sendiri Deni, biar
bagaimanapun sedang dalam usia yang sedang puncak – puncaknya penasaran
mengenai wanita dan seks. Yang satu sedang penasaran, yang satu laginya
juga punya kebutuhan...klop ketika mereka bertemu. Tak peduli kalaupun
itu tak boleh dilakukan.
”Teh...Ratna tak akan atau tak
bisa bilang kalau Ratna menyesalinya..nggak..nggak bisa. Biar
bagaimanapun sebagai wanita, Ratna mengakui kalau ratna menikmatinya.
Diri ratna mendapatkan rasa nyaman. Teteh boleh bilang ini edan, tapi
jelas dengan eh Deni, Ratna menemukan sesuatu yang telah lama hilang.
Bukan hanya urusan eng...seks semata, tapi juga melibatkan rasa nyaman,
rasa senang, hati Ratna bahagia. Setelah sakit karena perlakuan kasar si
Wawan, entahlah..Ratna merasakan Deni telah mengobatinya.”
”Cukup
Rat. Cukup...jangan kau teruskan perkataanmu. Teteh memang memikirkan
keadaanmu yang terluka dan terpuruk akibat rumah tangga yang berantakan
karena ulah suamimu yang tak bertanggung jawab itu. Berharap kau bisa
bangkit lagi, tetapi jelas bukan sama anakku.”
”Iya teh. Ratna
sadar itu tak mungkin. Ratna hanya mengungkapkan kalau saat itu Ratna
bahagia. Bagi Ratna walau hanya sebentar, tapi saat itu telah
membahagiakan Ratna. Mungkin setelah ini teteh akan benci sama ratna,
tak mau ketemu lagi, Ratna bisa menerimanya, tapi tolong jangan salahkan
Deni. Ini bukan salahnya sepenuhnya, Ratnalah yang pantas disalahkan.”
Santi
hanya diam saja, adiknya nampak bersungguh – sungguh dengan
perkataannya yang terakhir. Bahkan kini Ratna nampak menahan air
matanya. Berat buat Santi untuk memutuskan atau memikirkan apa yang mau
ia lakukan atau katakan selanjutnya. Ia berdiri, menuju dapur, membuat 2
cangkir teh. Dirinya perlu menyegarkan diri. Ia membuat teh. Setelah
selesai ia membawanya ke sofa, ditaruhnya di meja. Satu untuknya satu
untuk Ratna. Ia meminumnya, hanya mengangguk memberi tanda pada adiknya
juga untuk minum. Setelah minum teh, Santi merasa lebih segar dan mulai
bisa berpikir lebih jernih. Ia diam sebentar untuk berpikir. Ratna hanya
diam sambil memegang cangkir tehnya. Akhirnya Santi memulai bicara.
”Rat,
seperti yang tadi teteh bilang, semua sudah terjadi. Jelas teteh
kecewa. Sangat. Tapi juga sadar, anak teteh pasti juga punya andil dalam
kesalahan ini. Pasti, teteh yakin mengingat usianya yang puber. Biar
bagaimanapun kamu adik teteh, selain kamu hanya ada teh Lasmi yang
tersisa, tak mungkin teteh memutuskan hubungan.”
”I..iya teh.”
”Tapi kini masalahnya adalah si Deni.”
”Den..Deni teh..? Maksudnya..?”
”Selain
masalah sekolahnya, ada hal lain yang teteh harus pikirkan setelah
mendengar pengakuanmu. Kamu dan teteh sama – sama tahu, kalau kita sudah
merasakan dan menikmati enaknya ngewek, pasti akan mau lagi dan lagi.
Ibarat orang yang sudah terbiasa merokok atau ngopi, kalau tak ketemu
rokok atau kopi, pasti rasanya tak enak. Kamu paham kan..?”
”I..iya teh.”
Ratna meminum kembali tehya, kembali berbicara.
”Dan
Deni telah melakukan sesuatu yang seharusnya belum waktunya ia lakukan.
Jelas sudah membuatnya terbiasa. Alasannya mau pindah sekolah pasti
karena itu. Kini sulit untuk teteh. Kalaupun ada sisi baiknya dalam hal
ini, paling tidak Si Deni itu mengenal hubungan seks bukan dari pelacur
dan sejenisnya. Namun tetap saja setelah merasakan enaknya hubungan
seks, tubuhnya akan dan sudah terbiasa, pasti mau lagi, teteh khawatir
anak itu...eh...bakalan mencari kepuasan melalui pelacur. Seumurannya
belum mengerti resiko dan bahayanya.”
”Teh....benar juga kata teteh...”
”Ya...ini
masalah yang harus dipikirkan. Soal sekolahnya, teteh akan berusaha
membujuknya. Oh ya, Rat, tolong ceritakan lagi...jangan malu, ini
penting. Kalau teteh mau bicara sama Deni, teteh perlu pahami dan
mengerti jelas situasinya. Nah, kamu bilang tadi si Deni ngeweknya lebih
pintar...eh, mana bisa si Rat. Dia itu anak baru gede...baru mau
17...?”
Ratna wajahnya bersemu merah, malu juga dia
menceritakan hal ini, tapi tetehnya benar, tetehnya perlu kejelasan.
Kalau tetehnya mau membujuk keponakannya buat kembali bersekolah dan
juga agar tidak melakukan hal yang beresiko, maka tetehnya perlu segala
informasi.
”Eh...gimana ya teh...aduh...anu...”
”Sudah jangan gugup begitu, ceritakan saja....”
”Ba..baik...eh
begini teh, memang sih awalnya si Deni itu eh..per..perjaka, masih
hijau, tapi karena eh...giat belajarnya jadi pintar. Bakat juga sih....”
”Iya, gurunya kamu sih. Terus ada lagi..?”
”Eh
se..selain itu, teteh mungkin tak akan paham, tapi eh kont01nya itu
sangat eh mengesankan. Sulit menolaknya, makanya ratna juga sampai
melakukan hal ini.”
”Ah...itu sih kamu terlalu berlebihan. Mungkin
kamu saja yang sudah lama nggak ngewek, makanya pas ketemu
pelampiasannya jadi berlebihan menilainya. Sudah...sudah, soal itunya si
Deni, nggak perlu dibahas.”
Ratna menghela nafs, lelah, banyak yang masih harus ia pikirkan. Ia butuh istirahat.
”Rat,
teteh nggak bisa ngomong banyak lagi, semua sudah terjadi. Tapi
tolong....tolong untuk ke depannya, tahan dirimu, jangan kamu lakukan
lagi sama anakku. Teteh anggap ini hanyalah gairah sesaat saja...seiring
waktu baik kamu atau Deni akan melupakannya, akan menemukan lagi
jalannya yang baru. Paham...?”
”Pa..paham teh.”
”Satu hal
lagi, setelah ini, jangan kamu hubungi Deni. Biar saja, dia tahunya
teteh sedang dinas kantor. Bukan ke kampung. Jangan kau bocorkan kalau
teteh sudah tahu hal ini. Awas kalau kamu telepon dia. Urusan ini biar
teteh yang selesaikan. Sudah, besok pagi teteh pulang. Sekarang mau
tidur dulu.”
”Teh...sekali lagi, maafin Ratna.”
Santi
tak menjawab, hanya mengangguk kecil lalu masuk ke kamar. Dan sekarang
Santi kembali membuka matanya. Bis sudah memasuki tol dalam kota,
sebentar lagi ia akan sampai di rumah. Dia masih bingung harus
bagaimana, satu hal tak mungkin ia memberitahu suaminya mengenai masalah
ini. Bisa runyam urusannya. Memang ia seharusnya marah besar pada
adiknya Ratna. Tapi ikatan di antara mereka juga membuatnya tak mampu
marah secara berlebihan. Selain itu ia memakai rasionya juga...urusan
ini terlepas dari masalah Ratna adalah bibi sedang Deni keponakan,
sebenarnya simpe...sangat simple...ini semata karena masalah kont01 dan
m3mek saja. Yang pria yaitu anaknya, memandang dan menilai Ratna dengan
segala daya tariknya, yang wanita yaitu Ratna memandang dan menilai Deni
dengan segala daya tariknya. Waktu dan tempat mendukung. Ketika segala
rangsangan dan nafsu sudah bicara maka yang namanya etika, adat, moral,
tidak boleh, tidak pantas dan sejenisnya akan masuk tong sampah. Memang
ia menyalahkan Ratna juga, tapi juga tetap ada bagian dalam diri Santi
yang membelanya, biar bagaimanapun andil Deni pasti besar. Dia tahu
anaknya punya adat dan kemauan. Santi yakin sekali Ratna yang walaupun
menyimpan hasrat dan gairah yang terpendam pasti di awalnya menolak, dan
anaknya pasti akan membujuk dan berusaha terus samapi akhirnya Ratna
tergoda. Insting Santi sangat yakin akan hal itu, makanya dia tak bisa
terlalu menyalahkan Ratna. Ya...memang ia sedikit beruntung, karena
Ratna kelepasan bicara maka akhirnya semuanya terungkap.
Menjelang
sore Santi sudah di rumah, istirahat. Deni, di kamarnya masih ngambek.
Santi memutuskan tak akan membicarakan hal itu hari ini terlalu lelah.
Sabtu siang, ia mengajak Deni ke mall, menyenangkan hati anaknya.
Malamnya Santi masih berusaha membujuk anaknya untuk sekolah dan tak
usah pindah sekolah, tapi ya itulah Deni masih berkeras. Santi sengaja
tak mau menyinggung atau membeberkan kalau ia sebenarnya sudah tahu yang
terjadi. Santi masih berusaha, tak ada hasil. Santi maih bersabar,
memilih menutup hari ini dahulu. Besok ia akan berusaha lagi, dan kalau
gagal, baru ia akan mendesak Deni dengan fakta yang ia ketahui.
Minggu siang dia melihat Deni sedang menonton TV. Dia pikir dia akan coba bujuk anak kesayangannya itu lagi.
”Den, besok kamu sekolah ya sayang...”
”Bu,
ngapaon sih bahas hal itu lagi. Kan sudah jelas, Deni nggak mau. Deni
baru akan sekolah lagi kalau pindah sekolah di kampung. Bosan deh ibu
terus saja begitu padahal sudah tahu maunya Deni.”
Ya..sudah, anak ini terlalu keras kemauannya...sudah waktunya anak ini diberi terapi, Santi membatin.
”
Ibu tahu itu, dan ibu belum rela kamu tinggalkan. SMA ya di Jakarta
saja. Alasan kamu pindah sekolah juga terlalu mengada – ada.”
”Nggak. Memang itu alasannya.”
”Den..dengar
ya, kemarin ibu 3 hari itu bukan dinas kantor. Ibu pergi ke kampung
mencari tahu kenapa kamu sampai berniat sekali pindah sekolah.”
Deni
agak kaget mendengar hal ini, tapi masih PeDe kalau ibunya tak akan
tahu alasan sebenarnya. Dia masih kukuh sama kemauannya.
”Terus
kenapa ? Nah, Deni rasa setelah ibu ke kampung, ibu akan setuju sama
alasan Deni kan ? Sekolah di sana lebih enak, juga sekolahnya bagus,
hawanya sejuk,orangnya bersahabat, pemandangannya bagus, nggak sumpek
kayak di Jakarta.”
Deni memandang ibunya dengan
menantang. Yakin akan mampu membuat ibunya mengabulkan keinginannya.
Ibunya menghela nafas, memndang wajahnya sejenak sebelum berbicara....
”Dan kamu bisa ngewek sama bi Ratna, begitu kan alasanmu yang sebenarnya ?”
Duaaarrr....Deni
membisu, wajahnya pucat. Ibu....ibu tahu...gimana caranya ? Masa sih bi
Ratna bisa membocorkan hal kayak gini. Hei...hei tunggu, tadi ibu hanya
berkata bi Ratna. Nampaknya ibu tak tahu soal bi Lasmi. Baik...jadi aku
harus waspada, jangan sampai ibu tahu hal itu. Tapi kenapa sampai bi
Ratna bicara...aduh gimana sih bi Ratna. Tapi ya...ini kan ibu, biar
bagaimanapun caranya pasti ibu akan berusaha cari tahu, pasti ibu
mendesak atau memarahi bi Ratna sampai akhirnya ia mengakui hal ini.
Deni masih diam. Ibunya kembali bicara....
”Nah betul kan...? Den..kok kamu sampai begitu sih..? Apa yang kamu pikirkan ?”
”Bi Ratna. Ya...Deni memikirkan Bi Ratna. Deni suka kepadanya.”
”Den,
sudah...sudah, ibu tak akan membahas apa, kenapa, bagaimana hal itu
sampai terjadi, sudah percuma, sudah terlambat, lagipula ibu sudah
banyak bicara panjang lebar sama bibimu. Sekarang sudahi semua ini,
alasanmu sudah jelas, besok kamu sekolah lagi. Mengerti.”
Deni
hanya diam, tak tahu musti bicara apalagi. Santi memandang anaknya.
Tahu anaknya pasti kaget karena dirinya mengetahui semua ini. Tapi ia
yakin anaknya besok pasti sudah akan sekolah lagi. Tak ada lagi alasan
Deni untuk berkeras hati. Hanya satu hal lagi yang harus ia bicarakan.
”Den...ibu
juga tak nyaman membicarakan ini, tapi ibu harus bicarakan.
Kenyataannya adalah seharusnya belum saatnya kamu melakukan dan belum
waktunya kamu merasakan eh...berhubungan seks, tapi kamu sudah terlanjur
melakukan dan merasakannya. Nah ibu hanya bisa bilang...anggaplah semua
yang sudah terlanjur terjadi itu hanya gairah sesaat juga romansa
sesaat saja. Seiring waktu akan terlupakan. Juga ibu harap kamu sekarng
konsentrasi saja belajar dan berbuat sesuai usiamu. Jangan sampai kamu
mencari kenikmatan dengan pelacur ya. Jangan...kalau sudah waktunya kamu
juga akan merasakan. Sekarang yang penting, sibukkan dirimu maka dengan
sendirinya eh...keinginan untuk....itu akan surut. Sudah, sekarang kamu
renungi semua perkataan ibu. Ingat, besok kamu harus sekolah lagi.”
Santi
meninggalkan anaknya, membiarkannya berpikir, proses pendewasaannya.
Santi merasa tak perlu membahas lagi soal Ratna dan Deni, semua sudah
terjadi, juga dia tak mau membuat Deni makin terkenang hal itu, sebisa
mungkin menjauhkan anaknya dari memikirkan hal itu. Santi sendiri juga
sudah tahu semua penyebab dan alasan semua itu dari Ratna. Sekarang
biarlah Deni menata hidupnya ke depan.
Besoknya Senin,
Santi bersiap berangkat kerja, biasanya dia dan suaminya berangkat
terlebih dahulu. Deni belakangan, karena sekolahnya dekat. Deni sudah
memakai seragamnya. Santi tesenyum melihatnya. Sudah normal kembali.
Begitupun esoknya dan esoknya lagi. Memang Deni jadi diam saja, tapi itu
wajarlah, mungkin anak itu butuh waktu untuk merenungi semua ini pikir
Santi. Maka alangkah terkejutnya Santi ketika pada hari Jumat HP-nya
berbunyi,dari sekolah Deni, mereka menanyakan kenapa Deni sudah 2 minggu
ini tak masuk sekolah. Santi dengan cepat berlasan kalau anaknya sedang
sakit, setelah basa – basi sebentar, percakapan selesai. Karena masih
jam kerja maka Santi sulit buat memikrkan hal itu. Menjelang sore
pekerjaannua sudah selesai, Santi di ruangannya hanya menunggu jam
pulang. Dia mulai memikirkan anak kesayangannya ini...duh, Deni apa sih
maumu kali ini ? Santi teingat sudah lama tak menghubungi suaminya, ia
mengambil HP-nya menelepon suaminya, menanyakan kabar dan bagaimana
pekerjaannya di daerah. Suaminya menanyakan apakah Deni sudah sekolah
lagi, juga kenapa sampai kemarin anak itu minta pindah sekolah. Santi
berbohong saja, dia bilang anak mereka sudah bersekolah, kemarin itu
hanya karena masih terbawa suasana menyenangkan liburan di kampung saja,
makanya Deni bilang mau sekolah di sana. Setelah bercakap – cakap
beberapa lama lagi, Santi mengkhiri pembicaraan.
Santi
melirik jam di dinding ruangan kerjanya, masih belum jam pulang.Akhirnya
ia memilih menunggu sambil mencek email, lalu membuka accout FB-nya.
Saat melihat halaman FB-nya wajahnya berkernyit, pada bagian recent
comment dia melihat apa yang Deni posting : Kangen sama R di
Tasikmalaya. R...? tentu saja itu inisial untuk Ratna. Santi menghela
nafasnya, anaknya belum cukup matang, belum bisa mengatasi beban akibat
perbuatannya. Akhirnya ia mematikan komputer, bersiap pulang.
Lalu
sebenarnya kemana dan ngapain saja Deni selama seminggu ini ? Memng
setiap pagi ia memakai seragam sekolah, menunjukkan siap berangkat
sekolah. Tapi ketika ibunya berangkat kerja, Deni akan segera menukar
seragamnya dengan baju biasa. Menghabiskan waktu di luar. Entah ke teman
dekat rumahnya yang sekolahnya masuk siang atau paling sering ia
nongkrong di Warnet dekat rumahnya, browsing sambil ngobrol sama teman –
temannya di sana. Setelah terbiaa melakukan hubungan seks, tentunya
saja tubuhnya mulai terbiasa dan menuntut melakukannya lagi. Seminggu di
awl ia pulang hal itu belum terlalu terasa, setelahnya baru lumayan
nyusahin. Belum lagi ia selalu memikirkan bi Ratna. Memang ia mencoba
mengatasinya dengan bermasturbasi, tapi jelas rasanya beda dan kurang
memuaskan. Dia juga berpura – pura mau sekolah lagi agar ibunya tak
banyak membujuknya lagi. Soal ibunya yang akhirnya tahu hubungannya
dengan Bi Ratna, Deni tak peduli, dia masih tetap kukuh ingin sekolah
dan tinggal di kampung.
Santi duduk di ruang tamu, melirik jam,
jam 7 lewat, kemana anaknya itu ? Waktu pulang, rumah sepi. Dicoba
menelepon dan SMS anaknya, tak ada jawaban. Tak lama terdengar suara
pagar dibuka. Saat deni masuk, Santi menyuruhnya duduk.
”Darimana kamu Den ?”
”Main...”
”Den, kamu bohong ya sama ibu. Ternyata seminggu ini kamu juga tak sekolah. Apa sih maumu ? ”
”Ibu sudah tahu kan mau Deni, jadi tak perlu tanya lagi.”
”Dan jawaban ibu tetap sama...tidak.”
”Ya sudah....Berhentikan saja Deni sekolah. Deni juga akan pergi ke kampung. Percuma ibu larang.”
”DENI !! Kamu itu berpikir dengan otakmu atau tidak sih...?”
”Bu,
dengar ya, Deni sebenarnya sudah tak masalah untuk tetap sekolah di
sini. Sayangnya Deni punya kebutuhan bu...buat ngewek sama bi Ratna.”
PLAK...Santi
tak bisa menahan amarahnya, menampar pipi Deni. Deni hanya diam, lalu
ke kamarnya membanting pintu dan menguncinya. Santi duduk berdiam diri.
Belum pernah ia menampar anak kesayangannya itu. Tapi kali ini Deni
sudah kelewatan, bagaimana mungkin anak itu bisa sesantai itu mengatakan
dia butuh ngewek sama bibinya. Gila...apa yang harus kulakukan ? Sampai
jam 10 Santi mengetuk pintu kamar Deni menyuruhnya keluar untuk makan,
tak ada jawaban. Akhirnya ia mengunci pintu rumah. Karena khawatir, ia
tidur di sofa, ia takut anaknya akan kabur. Sulit sekali ia tidur,
otaknya terus bekerja memikirkan anaknya.
Ini yang
paling Santi khawatirkan, sebenarnya walau Deni bicara tentang ngewek
sama bi ratna, bukan itu inti permasalahan anak itu. Deni HANYA MERASA
di kampung ada bi Ratna yang siap memenuhi kebutuhannya. Yang jadi
masalah adalah lebih pada kebutuhan ngeweknya sendiri. Membawa nama
bibinya karena perwujudan emosinya semata. Ini intinya. Masih lama Santi
berpikir, mengnalisa, merenung, menjelang pagi baru ia tertidur...belum
yakin dengan solusinya.
Saat Santi terbangun, hampir
jam 9 pagi. Dia terkejut, langsung duduk melihat kamar anaknya, sudah
terbuka, panik jadinya...lalu lega, Deni nampak sedang duduk di meja
makan, sudah mandi, nampaknya baru selesai makan mi. Kini anak itu
sedang merokok. Santi kembali terkejut ketika Deni bicara.
”Bu...maafin Deni ya. Semalam sudah buat ibu marah.”
”I..iya, ibu juga minta maaf sudah menamparmu.”
”Nggak
itu memang salah Deni, ngomong seenaknya. Pantas ditampar. Maaf juga
membuat ibu khawatir sampai seperti ini. Deni kaget waktu tadi membuka
pintu kamar melihat ibu tidur di sofa. Maafin Deni bu.”
”Ya sudah kalau kamu menyadarinya. Ibu mau mandi dulu sudah jam 9.”
Santi
lalu berdiri, masuk ke kamar mandi. Untunglah sepanjang siang itu Deni
nampaknya sudah mulai tenang, sekarang sedang nonton TV. Santi saat ini
sedang duduk di kamarnya, wajahnya serius. Akhirnya ia menghela nafas,
ia memanggil Deni. Tak lama Deni masuk ke kamarnya, duduk di pinggir
ranjang, siap mendengar apa yang mau ibunya katakan.
”Den,
ibu langsung saja ngomongnya, nanti kalau kamu mau jawab, jawab saja
sejujurmu. Dari omonganmu semalam, ibu akhirnya yakin, masalah kamu
sampai tak mau sekolah sebenarnya karena kamu sudah terbiasa dan butuh
dengan eh..hubungan seks. Sampai mau pindah sekolah segala. Intinya
sebenarnya hal tadi.”
”Eh..itu benar bu.”
”Bagaimana kalau ibu katakan kalau ibu memahami dan akan membiarkan kamu memenuhi hal itu supaya sekolahmu bisa lancar lagi ?.”
”Maksud ibu...ibu akan mengijinkan Deni sekolah di kampung ?”
”Tidak.”
”Lalu..kenapa
ibu mengatakan akan membiarkan Deni memenuhi kebutuhan seks Deni ?
Kalau tidak pindah sekolah di sana, bagaimana bisa ketemu bi Ratna ?”
”Siapa bilang kamu boleh melakukan hal itu dengan bibi kamu ?”
”Maksud ibu ? makin nggak ngerti jadinya nih.”
”Kamu
akan kembali sekolah. Tidak di kampung, tapi di Jakarta. Kebutuhanmu
juga akan terpenuhi. Bukan dengan bi Ratna. Tapi dengan ibu.
”APA ? MAKSUD I...IBU...?”
Ya,
Santi memang sudah berpikir matang. Adat Deni yang sangat keras tak
akan bisa dilunturkan. Karena semuanya sudah jelas, akar permasalahannya
sudah ditemukan. Anak itu harus menyalurkan hasratnya. Dan kalau
dibiarkan berlarut akan parah, anak itu bisa mencari kepuasan secara
sembarangan, dengan pelacur misalnya. Lebih baik Santi yang memenuhinya.
Ya, Santi merasa itulah solusi terakhir yang paling baik buat Deni dan
dirinya.
”Kamu sudah dengar. Kamu bisa memenuhi
kebutuhanmu ke ibu. Ibu sudah pikirkan hal ini baik – baik. Jika hal ini
akhirnya bisa membuatmu benar – benar bersekolah kembali, maka ibu
siap.”
Deni terdiam, tak menyangka ibunya sampai sejauh
itu memikirkan dan menyayanginya. Tentu saja Deni terkejut, bahkan tak
tahu harus bagaimana. Tapi dorongan keinginan, juga kesadaran bahwa
dirinya memang sering membayangkan ibunya telah menggelitik gairahnya.
Diliriknya ibunya yang mengenakan daster biasa itu. Deni segera
berkata...
”Ibu Yakin...?”
Hanya
anggukan kepala saja sebagai jawaban. Deni segera mendekati ibunya,
bersandar di bahu ibunya, memeluknya erat, lama hanya memeluknya, tetap
memiliki keraguan. Ia mendongakkan kepalanya, matanya beradu dengan mata
ibunya. Deni melihat mata ibunya, ibunya juga melihat matanya. Mata
ibunya telah menjawab keraguannya. Mata ibunya nampak penuh keyakinan
dan juga keseriusan akan ucapannya. Deni melepaskan pelukannya,
mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu ibunya. Ia segera
memiringkan tubuh ibunya, berhadapan dengannya. Deni mendekatkan
wajahnya ke wajah ibunya, ia mulai menciumi pipi ibunya, lalu bibir
ibunya, ibunya hanya menutup rapat mulutnya tak membalas ciumannya. Deni
menarik daster ibunya, agak sulit karena ibunya dalam posisi duduk.
Ibunya membantunya, ibunya mengangkat sedikit pantatnya. Deni segera
menarik daster ibunya, melepaskannya. Santi duduk diam, kini hanya berCD
saja.
Deni diam terpesona, apa yang biasa hanya bisa
ia lihat saat mengintip ibunya mandi, kini di hadapannya. Ia mendorong
pelan ibunya, membaringkannya. Deni masih menatap tubuh ibunya itu,
teteknya besar dan sekal, bulat keras. Belum lagi pentilnya. Deni segera
memakai tangannya untuk meremas tetek ibunya. Perlahan, menikmati rasa
kenyal dan lembutnya. Kedua tangannya meremas tetek ibunya itu. Telapak
tangannya merasakan pentil ibunya yang mulai mekar dan mengeras, terasa
menggelitik telapak tangannya. Jarinya mulai menelusuri pentil itu dan
lingkaran coklat di sekelilingnya, terasa nyaman. Pentil itu kini
dijepitnya menggunakan ujung jari telunjuk dan ujung jari jempolnya, ia
pilin – pilin, makin mekar dan mengacung jadinya pentil itu. Ibuny masih
diam saja. Deni membuka kaos dan celana pendeknya, hanya menyisakan
kolor yang menonjol besar. Ibunya hanya diam saja melihat Deni tanpa
komentar. Deni mendekatkan mulutnya, mulai menjilati kedua pentil yang
sudah besar mengacung itu, menggelitiknya dan menggoyang – goyangnya
dengan lidahnya, menghisapnya lembut, mengemutnya, lalu menghisapnya
lagi kuat. Tubuh ibunya sedikit bergetar, juga sedikit mendesah. Deni
masih terus menghisap pentil ibunya, tangannya juga kembali meremas –
remas tetek ibunya. Sambil menghisap pentil itu, lidahya beraksi
mengoyang – goyangkan pentil itu, ibunya mendesah kecil. Cukup lama ia
fokus di tetek dan pentil ibunya, kont01nya sendiri sudah ngaceng
sekali. Deni mengangkat lengan Santi, tampaklah rimbuan hiam yang
menggoda, tangannya segera mengelus dan memainkan bulu ketek itu,
menariknya lembut. Lalu Deni menciumi dan menjilatinya. Harum juga
menebarkan rangsangan tersendiri yang menggelitik nafsu Deni. Lama ia
menjilati kedua pangkal lengan ibunya, sesekali ibunya menahan rasa geli
saat lidah Deni terasa sangat menggelitik.
Deni lalu
menciumi belahan tetek ibunya, turun ke bawah sampai ke perut yang
rata,, ia elus – elus dengan tangannya, lalu diciuminya perut ibunya,
makin ke bawah, kini matanya memandang CD putih yang tebal. Tangannya
diletakkan di sana merasakan rasa hangat. Terasa sekali jembut tebal di
baliknya. Tangannya mengelus CD itu sebentar. Lalu mulutnya menciumi
permukaan Cd itu. Tangannya segera menarik turun CD ibunya itu, ibunya
mengangkat sedikit pantatnya, memudahkan Deni meloloskan CD itu. Deni
diam, meneguk ludahya, matanya menatap keindahan m3mek ibunya itu,
jembut yang lebat nan hitam menghiasinya sampai belahan pantatnya,
sangat kontras dan menambah pesona m3mek itu. Belahannya nampak dalam
mengundang. Tangannya mulai meraba dan mengelus jembut itu, Tebalnya
terasa di telapak tangannya. Lalu dengan ujung jari telunjuknya ia
mengelus belahan m3mek itu, naik turun, belahan itu mulai merekah, makin
lama makin lebar, nampak kemerahan isi di baliknya, juga mulai basah.
Ibunya hanya menggoyangkan pantatnya sedikit, masih tetap diam.
Mulutnya
mulai menciumi belahan m3mek itu dengan penuh gairah dan perasaan.
Aroma harum yang khas memenuhi rongga hidungnya. Diciuminya seluruh
permukaan m3mek ibunya. Lobang m3mek ibunya nampak kemerahan dan rapat.
Deni mulai menjulurkan lidahnya, it1l ibunya agak besar, lidahnya mulai
menyapu dan mengelus it1l itu, menggoyangkannya, perlahan lalu makin
cepat, pantat dan tubuh ibunya mulai kerap bergoyang. Desahannya mulai
sering terdengar. Jari tengah Deni segera menyodok lobang m3mek yang
sudah basah itu. Disodokkan dengan sangat cepat, dengan cepat jari itu
terasa licin dan lengket. Hampir 5 menit sudah ia memainkam m3mek itu.
Ibunya makin sering menggoyangkan pantatnya, kakinya menekuk dan
mengangkang lebar. It1lya sangat nyaman di lidah Deni, terus dan cepat
Deni memainkannya...tangan ibunya mulai meremas rambut anaknya itu.
Desahannya yang tadi hanya pelan mulai keras.
”Ahhh...Dennnn....”
”Sudaaahhh....Ohhhhh”
”Arghhhhh......Ughhhhh”
Santi
mengejang, badannya bergetar, pantatnya terangkat tinggi. Terasa hangat
cairan orgasme yang baru saja ia keluarkan. Anak ini sudah mahir
memainkan lidahnya pikir Santi. Tubuhnya masih lemas merasakan
kenikmatan. Deni berdiri, menurunkan kolornya, kont01nya mengacung. Mata
Santi menatap ke kont01 anaknya itu...pantas saja si Ratna sampai tak
bisa menahan godaan. Santi merasakan tubuhnya terbakar gairah, m3meknya
berdenyut saat ia memandan lekat – lekat kont01 Deni. Deni berdiri agak
kikuk mau ngomong...
”Eh...bu..hi..hisapin ya.”
Santi
mengangguk, Deni mendekat, duduk di tempat tidur, Santi yang tadi
terlentang, memutar tubuhnya menjadi tengkurep, mendekat ke selangkangan
anaknya. Jarinya mulai meremas dan mengelus kont01 anaknya ini. Biji
Pelernya ia mainkan sesaat, diremasnya lembut. Saat tangannya
menggenggam batang kont01 Deni, terasa batang kont01 itu berdenyut. Ia
masih memainkan tangannya pada kont01 Deni, mengocoknya bergantian pelan
lalu cepat. Lidahnya mulai menjilati kepala kont01 Deni, lalu
batangnya, gerakannya sangat cepat dan penuh tekanan yang kuat. Deni
mendesah sambil merem – melek. Mulut ibunya mulai menelan kont01nya,
mengemut, menghisap, mengulum, saat menarik kont01nya keluar, ibunya
selalu melakukannya samapai batas leher kepala kont01nya lalu menelannya
lagi, sangat cepat. Batas leher kepala kont01nya sangat geli
bersentuhan dengan bibir ibunya yang basah dan sensual.
Ampuuunnn....enak sekali pikir Deni. Ibunya masih lama mengulum dan
menghisap kont01nya, terakhir ibunya menelan sedalam mungkin kont01nya.
Lalu mengemutnya dengan kuat, bikin Deni kelojotan. Ibunya menghentikan
Oral nya, segera turun, berlutut di pinggir tempat tidur, ditariknya
kaki Deni hingga menjuntai ke bawah. Dilebarkannya kaki itu, lalu ibunya
memposisikan diri di tengah kakinya itu.
Tangan ibunya
menggenggam kont01 Deni, ditaruhnya kont01 itu di belahan tetek
besarnya. Kedua tangannya lalu mengapit erat pinggiran teteknya,
menjepit erat kont01 itu di tengahnya. Deni melihat ibunya sedikit
meludahi kont01nya dan belahan teteknya. Ibunya lalu menaik turunkan
badannya, juga menggoyangkan teteknya, mengocok kont01 itu.
Uffff.....Sangat Enaaaakkk....belum pernah Deni merasakan hal seperti
ini, kont01nya sangat nyaman dikocok di antara tetek ibunya yang besar
dan kenyal. Deni mengerang penuh kenikmatan. Tetek yang besar itu terasa
membelai lembut sekaligus menekan erat kont01nya, kombinasi rasa nikmat
yang tiada tara bagi Deni. Masih lama ibunya melakukan gerakan ini,
Deni msih meraa nyaman, tapi sudah tak tahan mau memasukkan kont01nya di
m3mek ibunya.
”Bu...su...sudah duluuu...Deni sudah nggaaakk tahan mau masukkin.”
”Ya sudah kalau begitu maumu.”
Ibunya
menghentikan kegiatan tadi. Segera naik dan berbaring, melebarkan
kakinya. Deni segera menindih ibunya, Deni mengangkat sedikit pantatnya,
mengarahkan kont01nya, lalu blessss....gilaaa...saat kont01nya sudah
amblas seluruhnya Deni diam dan merasakan rasa nyaman dan nikmat di
sekujur tubuhnya, m3mek ibunya terasa sangat hangat, sangat rapat dan
nyaman. Sementara Santi merasakan sesak namun nikmat dalam m3meknya.
Penaasaran menjalari pikirannya....sebentar lagi ia akan tahu apa yang
telah membuat Ratna sampai begitu terlena.
Deni ulai
bergerak, memompa kont01nya perlahan, cairan di m3mek ibunya terasa pas
dan memudahkan pompaannya. Kont01nya ia tarik keluar sejauh mungkin dan
ia tekankan sedalam mungkin. Saat ia menyodok sedalam mungkin, ibunya
mendesah penuh kenikmatan. Perlahan namun pasti gerakan memompa dan
menyodoknya makin cepat. Tetek ibunya bergoyang – goyang dengan sangat
seksi, ibunya mendesah, matanya merem melek, kedua tangannya terangkat
ke atas. Deni terus menyodok, sambil sibuk kembali menciumi ketek Santi.
Lalu ia jilati leher dan telinga ibunya, membuat Santi kegelian. Deni
memompa dengan penuh nafsu, desahan dan wajah ibunya makin membuatnya
terpacu, ibunya samapi kelojotan menahan sodokannya...
”Den...pelaaannnn....Ughhh...”
”Ssssstttt....Yeaaahhhh....Oooohhh...”
”Ampuuunnnn....Aaaahhhh....Awwww....”
Ibunya
mendapatkan orgasme, dan Deni malah menjadi semakin nafsu. Tak
memperdulikan ibunya yang lemas, ia makin asik menyodok. Santi sendiri
sampai kelojotan, rasa nikmat yang tak henti menghantamnya, ja...jadi
inikah yang telah membuat Ratna tak bisa menolak Dini, kini Santi paham
sepenuhnya. Godaan ini terlalu sulit dan juga terlalu enak buat ditolak.
Pantat ibunya nampak bergoyang liar mengimbangi sodokan Deni. Terasa
membetot kont01nya. Tangan Deni mulai meremas kuat tetek ibunya itu.
Sodokannya juga tetap stabil. Dua minggu tanpa ngewek membuatnya benar –
benar disalurkannya sekarang. Bibir Deni mencium bibir ibunya, kini
ibunya membalas, mereka berciuman dengan panas. Setelah itu Deni mulai
menghisap pentil ibunya kuat – kuat, sodokannya mulai agak berkurang
kecepatannya, sudah maksimal ia bertahan...denyut nikmat terasa pada
kont01nya. Kembali ia mencium ibunya, memeluknya erat, dan dengan
sodokan yang kuat.....crooot...crooot....croott...kuat dan banyak sekali
pejunya, membuat ibunya bergetar saat pejunya menyemprot kuat. Deni
terkulai sesaat, akhirnya dicabutnya kont01nya, berbaring....
”Bu terimakasih ya sudah muasin hasrat Deni.”
”Ya...sekarang sudah mau sekolah lagi kan...?”
”Iya.”
”Kalau kamu nanti sedang kepengen bilang ke ibu ya. Tapi jangan sampai ayahmu tahu.”
Dan
akhirnya memang Deni kembali ke sekolah. Nilainya bahkan meningkat.
Kini setiap ia ingin, ibunya akan memenuhinya. Ayahnya akhirnya sudah
menyelesai proyeknya dan kembali pulang, namun mereka tetap
melakukannya. Waktu terus berjalan....
Santi merasa
sudah melakukan solusi yang paling tepat. Kini anaknya dapat memuaskan
hasrat yang merongrongnya. Tahu kini ibunya selalu ada untuk
membantunya. Bersekolah seperti sediakala dan tak pernah membicarakan
lagi niat untuk pindah sekolah ke kampung. Santi bahkan amat menikmati
melakukan hubungan seks dengan Deni, bisa sangat mengerti dan sangat
memahami kenapa adiknya sampai tak kuasa menahan diri dari godaan Deni.
Santi bahkan bisa toleran saat Ratna datang menginap ke Jakarta ( Ucil
dititipkan ke abahnya. mungkin Ratna kangen sama Deni pikir Santi ).
Rumah mereka hanya memiliki 2 kamar. Jadi Ratna tidur di kamar Deni.
Suaminya tentu saja tak curiga dan berpikiran macam – macam. Tapi Santi
tahu bahwa di kamar itu setiap malam Deni dan Ratna bukan hanya sekedar
tidur. Deni pasti ngewek sama bibinya itu. Santi diam saja, membiarkan
kedua orang yang ia sayangi itu memuaskan hasrat masing – masing.
Deni
sedang merokok di kamarnya, menatap jam di
dinding tik...tik...tik...yak sudah jam 12 malam, resmi sudah kini ia
berusia 17. Banyak yang terjadi belakangan ini, dan semuanya
menyenangkannya. Ibu, Bi Ratna, Bi Lasmi akan selalu menjadi wanita yang
ia sayangi. Ia tak akan pernah tahu apa yang akan ia temui di masa
depan. Tak akan pernah tahu wanita seperti apa yang akan menjadi
pasangan hidupnya nanti. Tapi satu hal yang pasti, sampai kapanpun bi
Ratna akan selalu menjadi cinta pertama dan menempati ruang khusus di
hatinya. Deni tersenyum, mematikan rokoknya, lalu tidur.