Ibu Kost Les Privatku
Kadang di hotel di Ciawi, kadang di Cisarua atau di dalam Kota Bogor saja. Bahkan kami pernah melakukannya di dalam rumahnya ketika suaminya mengantar anaknya ke tempat neneknya.
Aku tak berani melakukannya lagi di dalam kamar kosku. Rasa takut ketahuan selalu menghantuiku kalau ia mengajak, kadang dengan memaksa untuk melakukannya di kamar kosku. Sebenarnya kalaupun ia terlihat masuk ke kamarku, orang akan maklum saja karena tahu aku memberikan les privat kepada Eka, anaknya.
Hubungan kami kelihatannya aman-aman saja. Tidak ada gunjingan mengenai kami berdua, karena kamipun saling menjaga dan menempatkan diri kami dengan baik. Kalau lagi ada orang lain kusapa dia dengan Ibu Heni, kalau pas tidak ada orang lain apalagi ketika ia mengerang di bawahku tentu saja kupanggil ia dengan mesra, Hanny.
Hanny pernah bercerita kalau dia sebenarnya tidak mencintai suaminya. Pernikahannya dulu terjadi untuk membalas budi keluarganya. Dia tidak berdaya dan tidak bisa menolak. Setiap kali berhubungan dengan suaminya, sebenarnya ia bisa mendapat orgasme, namun entah mengapa orgasmenya tidak bisa tuntas terlepas seakan masih ada yang menahan. Jadi dia sekarang melayani suaminya karena kewajibannya sebagai istri. Pak Edi juga tidak bisa berbuat banyak karena takut ditinggalkannya.
Sekali waktu sehabis olah tubuh bersamanya, kami saling bercerita tentang banyak hal. Mulai dari kehidupan kuliahku, saat-saat indah ketika kami bersama-sama dan pengalaman lainnya. Sampai ketika kusinggung tentang otot perut yang kukencangkan sehingga memberikan efek penis menjadi lebih keras ia menanggapi dengan antusias. Iapun bercerita tentang dinding vaginanya yang berkontraksi. Kami makin penasaran dengan fenomena ini.
Akhirnya kudapatkan jawabannya setelah dalam sebuah artikel di sebuah majalah kesehatan kubaca tentang senam Kegel. Ternyata kekuatan otot ini bisa dilatih dengan latihan tertentu. Setelah kubaca dan kubandingkan dengan artikel lain, aku mulai berlatih senam Kegel. Tidak sulit dan bisa dilaksanakan di mana-mana dan kapan saja.
Latihan dilakukan dengan menggerakkan otot antara anus dan penis dengan berkontraksi seolah-olah sedang menahan kencing. Otot ini dapat dikenali dengan mudah. Pada saat (maaf) BAB ada gerakan yang menutup (maaf lagi) lubang dubur dan memotong (minta maaf untuk terakhir kali) tinja.
Aku kadang melatihnya ketika di kampus sedang mengikuti kuliah, kadang saat duduk di angkot dan melihat wanita seksi yang menggoda. Sekalian sambil membayangkannya. Aku sengaja belum memberitahukan pada Hanny. Aku ingin melatihnya sendiri terlebih dahulu. Setelah sebulan lebih berlatih maka aku merasakan kekuatan penisku bertambah dan kenikmatan yang didapat Hanny meningkat. Hanny sendiri heran dengan kemajuanku.
Hanny semakin penasaran dengan kejutan-kejutan kecil yang kuberikan lewat otot Kegelku sewaktu kami bergumul di atas ranjang. Setelah yakin dengan hasil latihanku, barulah hal ini kukatakan padanya.
“Ihh.. Curang ya. Dapat ilmu baru nggak bagi-bagi”, katanya sambil mencubit dan memukuli punggungku.
“Aku nggak enak saja. Masak murid ngajarin gurunya”, kataku.
“Aihh..”. Ia tersipu-sipu malu. Tangannya semakin sering mencubit dan memukuliku. Kusergap dia dan kurebahkan untuk menerima kenikmatan dari otot Kegelku.
Kehidupan terus berjalan. Tak terasa sudah enam bulan aku dengan Hanny ber-ahh, ehh, ohh ria. Ujian semester membuat aku stres dan suntuk. Hanny tahu kalau aku lagi ujian semester. Selama ujian ia sengaja tidak menampakkan diri dihadapanku, takut mengganggu konsentrasi katanya. Ekapun juga tidak berani datang untuk memintaku memberikan les.
Begitu habis masa ujian maka akupun dapat bernapas dengan lega. Rasanya badan dan pikiran lelah sekali, karena seperti umumnya mahasiswa lainnya cara belajarku juga SKS, Sistem Kebut Semalam. Karena rasa capek yang luar biasa maka malam itu aku tidur cepat sekali sampai lupa mengunci pintu dan mematikan lampu kamar.
Esoknya aku bangun kesiangan dan duduk di teras kamar. Kuperhatikan sekitarku. Pikiranku melayang, memutar ulang peristiwa-peristiwa yang terjadi selama enam bulan. Aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Rasanya seperti mimpi saja.
Bapak dan ibu kosku juga sangat baik kepadaku. Aku sering ngobrol dengan mereka sambil numpang nonton TV di rumah induk. Tiba-tiba aku tersentak ketika ibu kosku memanggilku.
“To.. Anto. Kamu baru bangun ya. Sudah selesai ujiannya?” ibu kosku bertanya.
“Sudah Bu, makanya tadi malam tidurnya keenakan dan bangun kesiangan”, kataku sopan.
“Ya sudah. Saya mau berangkat ke pasar. Kalau mau makan ada nasi di atas meja. Tapi jangan lupa kalau sudah selesai makan cuci piringnya. Ha.. Ha.. Ha. Bercanda, jangan dimasukin hati. Pintunya jangan lupa dikunci dan taruh ditempat biasa!” katanya sambil berjalan keluar.
“Eh hampir kelupaan.. Tadi pagi kulihat Ibu Heni mengetuk-ngetuk pintu kamarmu, tapi karena kamu belum bangun ia pulang lagi. Ada apa sih?” Ibu kosku bertanya sambil membuka pagar.
“Ahh.. Paling juga urusan pelajarannya Eka”, jawabku menghindar.
Ibu kosku sebenarnya cukup cantik. Sisa-sisa kecantikan masa mudanya masih terlihat. Inner beautynya muncul. Namun justru karena kebaikan dan inner beautynya itulah maka aku juga tidak berani sembarangan. Bahkan bercanda menjurus hal-hal yang porno pun aku tidak berani. Padahal kalau kami lagi ngobrol bertiga dengan suaminya, ia terkekeh-kekeh sambil memukuli tangan suaminya kalau humor suaminya mulai menjurus.
Aku mengambil kunci rumah induk di tempat yang sudah kami sepakati bersama. Kunci rumah memang tidak pernah dibawa. Takut kalau tiba-tiba ada anaknya yang datang atau aku memerlukan sesuatu. Lingkungan ini memang aman, pikirku. Aku masuk ke dalam rumah dan makan nasi panas hanya dengan ikan asin kesukaanku. Nikmat sekali rasanya ketika segelas air dingin yang kuambil dari kulkas mengantar butiran nasi terakhirku.
Aku keluar rumah, mengembalikan kunci pintu di tempatnya dan kembali ke kamarku. Dari balik kaca nako, rumah Hanny terlihat sepi. Jam segini anaknya sekolah dan suaminya kerja. Tidak ada suara tape atau radio yang biasa dia putar.
Aku mandi dan mengelus kejantananku yang mulai bereaksi. Sejak berhubungan dengan Hanny aku hanya sekali berswalayan ketika gairahku naik dan keadaan tidak mengijinkan. Hmm. Sambil bersiul aku menyabuni dan menggosok tubuhku. Tiba-tiba saja aku ingat waktu kencan di Ciawi yang pertama, dimana ia kusetubuhi dengan cepat dan masih mengenakan baju. Aha.. Aku punya rencana.
Aku percepat mandiku dan segera berpakaian. Kusemprot tubuhku dengan Eternity, yang hanya kupakai pada saat-saat tertentu, termasuk jika aku ada kencan dengan Hanny. Kukenakan kaus tanpa lengan dan celana pendek selutut dari bahan katun.
Aku mengaca di depan cermin dinding dan kulihat bayanganku. Tubuh tegap atletis dengan kumis terurus rapi. Upss, aku lupa mencukur jenggotku hari ini. Kuraba daguku. Kasar seperti digosok dengan sikat halus. Biasanya jenggotku kucukur tiga atau empat hari sekali. Kucari-cari pisau siletku, tapi tidak ketemu juga. Akhirnya aku menyerah.
Aku keluar dari kamar dan berjalan ke rumah tetanggaku tersayang. Sekilas kuamat-amati rumahnya dan keadaan sekitarnya. Sepi.
Aku membuka pintu pagar dan beberapa saat aku mengetuk pintu depan. Tok tok tok! Tidak ada sahutan. Kucoba kuketuk lagi namun juga tidak ada sahutan. Kucoba menarik selot pintu. Tidak terkunci. Kemana penghuninya pikirku.
Aku masuk, menutup pintu, meneliti ruang tengah dan kamarnya, kosong. Kulongokkan kepalaku di pintu dapur, kosong juga. Aku tidak tertarik untuk melihat kamar mandi di sudut dapur karena tidak ada suara guyuran air. Kemana Hanny, tanyaku dalam hati. Aku akhirnya kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa panjang. Kutarik sebuah majalah dan kubaca. Tidak ada berita baru, kulihat sampulnya ternyata edisi bulan lalu. Pantas saja!, makiku dalam hati. Kupilih artikel-artikel yang ringan saja.
Beberapa saat kemudian aku dikejutkan dengan sebuah hembusan nafas dan gigitan di telingaku. Saking asyiknya membaca artikel tentang penjelajahan ruang angkasa aku sampai tak sadar berada di mana.
“Heyy.. Pencuri masuk ke rumahku!” sebuah bentakan pelan dan lembut terdengar.
“Haa.. Haa.. Hi.. Hii. Kaget ya, makanya jangan suka masuk rumah orang tanpa ijin!” lanjutnya.
Rupanya Hannyku. Ia berdiri membungkuk agak menyamping. Ia hanya mengenakan daster longgar sehingga payudaranya terlihat menggantung malu-malu. Rambutnya basah dijepit dengan jepitan rambut ke atas sehingga tengkuk yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan lehernya yang jenjang seakan-akan menantangku.. Sekilas harum sabun mandi dan shampo tercium olehku. Ia mendekatkan mukanya ke mukaku dan melihat majalah yang kubaca. Dadanya sekilas menyentuh lenganku. Aliran hangat mulai menjalari tubuhku.
“Nggak, aku tadi ketuk-ketuk pintu nggak ada sahutan, akhirnya kubuka karena tidak terkunci. Kulihat kamar sampai dapur juga kosong”, kataku sambil menatapnya.
“Kamu nggak lihat sampai kamar mandi sih, kan kita bisa mandi bersama”, katanya manja.
“Aku sudah mandi. Cium ketekku kalau tidak percaya”
“Hussh.. Mulai kurang ajar kamu. Orang tua disuruh cium ketek”.
“Kok nggak kedengaran mandinya”.
“Iya, tadi baknya masih kosong sehingga aku mandi pakai shower, sekaligus keramas”.
“Berapa ronde tadi malam?” kataku menggodanya tanpa merasa cemburu. Wajar saja ia digauli suaminya. Aku saja yang memang kurang ajar.
“Idiih, kamu ini memang benar-benar..”.
Tangannya mencubit pinggangku. Kali ini tegangan listrik yang mengalir di tubuhku naik secara mendadak, tapi kemudian normal lagi. Kalau saja tubuhku ini alat elektronik tentu akan cepat jebol karena tegangan yang naik drastis melebihi tegangan normal.
Ia duduk di sampingku dan menempelkan tubuhnya dilenganku. Kembali dadanya menyentuh lenganku. Suhu tubuhku kurasakan makin naik.
“Sudah selesai ujian semesternya?”
“Sudah kemarin. Tadi malam keenakan tidur dan bangun kesiangan”.
“Baca apa sih asyik sekali?”
“Ini ada artikel tentang ruang angkasa”.
“Apa sih istimewanya?” tanyanya lagi.
Selama enam bulan aku mengenalnya, ia memang tidak berminat dengan soal-soal iptek. Ia sendiri mengakui bahwa wawasannya tentang iptek dan politik sangat kurang, namun kalau diajak bicara tentang kondisi kampung, trend busana dan hal-hal yang bersifat umum masih lumayan. Meski komentarnya kadang-kadang konyol dan terasa dangkal. Aku memakluminya, karena memang tidak ada orang yang sempurna. Nobody’s perfect.
Aku memang tidak menemukan inner beauty dalam dirinya. Ketertarikanku semata-mata hanya karena nafsuku dan bentuk tubuhnya yang aduhai. Kadang-kadang bahkan aku berpikir bahwa inisiatifnya untuk variasi dalam bercinta bukanlah karena romantisme atau pengetahuan tentang hal-hal yang baru dalam hal hubungan sex, tetapi lebih merupakan sebuah naluri. Tapi toh aku menikmatinya juga.
Kuletakkan majalah yang kubaca dan kulingkarkan tangan kananku di belakang bahunya. Kumainkan tali bra-nya. Ia duduk di samping kananku. Jemari kanannya memegang tanganku yang ada di tubuhnya, sementara tangan kirinya menyingkapkan celana pendekku dan mengusap pahaku. Kepalanya disenderkan di dada kananku. Kuciumi rambutnya yang masih basah. Segar. Bulu kakiku ditariknya pelan-pelan. Nafsuku perlahan-lahan tapi pasti mulai meningkat.
“Han! Yang”
“Hmm.. Apa”
“Sudah berapa lama kita tidak bercinta?” tanyaku
“Hmm.. Kamu ujian dua minggu. Yah.. Kira-kira tiga atau empat mingguan”.
“Kalau aku ingin sekarang?” tanyaku dengan napas tertahan.
“Hussh.. Eka sebentar lagi pulang lho!”
Kami diam sambil terus kuciumi rambutnya. Ketika kucium tengkuk dan telinganya ia menghindar dan mengerang pelan,” Nghh.. Eeehh..”.
“Kamu ingat waktu kita bercinta di Ciawi pertama kali. Kusetubuhi kamu dengan cepat tanpa melepaskan bajumu?”
Ia berpikir sebentar dan mengangguk. Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum. Agaknya dalam hal-hal yang menyangkut hubungan badan ia sangat cepat ingat dan tanggap.
“Kenapa? Kamu memang nakal sekali. Anto.. Anto”. Ia mengeleng-gelengkan kepalanya dan badannya bergetar merinding.
“Hiihh”.
“Aku ingin mengulanginya sekarang, disini”.
Kuremas dadanya dan kucium lehernya. Ia memberikan gerakan menolak, namun dengan lembut kuremas dadanya dan kucium keningnya agak lama. Ia menyerah.
Kurebahkan badannya ke sofa, aku duduk dibawah di dekat kepalanya. Kucium Hanny mulai dari rambut, kening, hidung, pipi, leher dan kemudian bibirnya menyambut bibirku dengan lumatan ganas. Ketika daguku yang berjenggot pendek kugesekkan ke lehernya ia meronta-ronta.
“Uffppss.. Sakit dan geli yang”.
Kini kami berciuman dengan dalam, french kiss. Tanganku meraba pahanya yang tertutup daster. Kumainkan jariku mengikuti garis celana dalam di pahanya. Tanganku ke bawah dan kusingkapkan dasternya. Bulu-bulu halus di kakinya kumainkan. Lututnya kucengkeram dengan lima jariku dan kugesek-gesek dengan kukuku. Ia melenguh.
“Uuhh.. Geli sayang”.
Digigitnya telingaku dan lidahnya terjulur menjilati lubang telingaku. Kepalaku mengelinjang menahan geli.
“Rasain sekarang..” katanya.
Tanganku mulai menarik ban celana dalamnya. Ia tiba-tiba tersentak dan bangkit dari sofa.
“Kenapa Hanny?” tanyaku kuatir kalau ia marah padaku.
Ia diam saja dan melangkah ke pintu, membukanya, memindahkan sandalku ke dalam dan “Klik” ia menguncinya. Korden jendela kaca depan dibiarkannya terbuka. Ia hanya mengecek korden kain transparan yang melapisi korden utamanya. Ia yakin bahwa jika ada orang yang datang dan menempelkan matanya di kaca jendelapun tidak akan melihat apa-apa di dalam rumah.
Aku berdiri dan menyongsongnya.
“Pengamanan level pertama”, katanya sambil tersenyum.
Akupun tersenyum pula. Hebat sekali Hannyku ini. Akupun ingat waktu kejadian pertama di kamar kosku, ketika ia memasukkan sandalnya dan sepatuku ke dalam kamar.
Kembali kami berciuman. Lidah kami saling memilin dan menjepit. Sedot menyedot silih berganti. Kubawa dia kembali ke sofa dan segera kubaringkan. Tanganku menyusup dari bawah dasternya dan menarik celana dalamnya, melanjutkan pekerjaan tadi yang sempat tertunda. Tangannya bergerak akan melepas jepit rambutnya, tapi kutahan.
“Jangan! Biar saja begitu. Aku sangat menikmati keindahan tengkukmu!”
Ia mengangkat pantatnya memudahkan aku melepas celana dalamnya. Aku berdiri di dekat kepalanya dan tak lama kemudian celana pendek dan celana dalamku sudah terlepas ditangannya. Ketika aku mau melepas kaus ditariknya tanganku sehingga aku jatuh diatas tubuhnya.
Tangan kiriku mulai menjalar di pahanya. Dasternya sudah tersingkap benar-benar mulus sekali pahanya. Kuremas-remas sampai ke pangkal pahanya. Ketika sampai di celah sempit antar dua pahanya, kumasukkan jari tengahku, dan kugaruk-garuk dinding vaginanya.
“Ah sayang. Kamu semakin nakal dan.. Pintar”.
Aku tidak menghiraukannya. Sementara itu tangan kananku meremas buah dadanya dari luar. Tangannya membalas dengan memegang bahkan mencengkram keras kejantananku. Terasa sedikit ngilu tapi nikmat. Kami memutar tubuh pelan-pelan karena tempatnya sempit. Dia mengarahkan agar posisiku di bawah. Akhirnya dengan susah payah karena ia tidak mau melepaskan pelukannya sementara tempat sempit, namun akhirnya aku sudah ditindihnya.
Dengan ganasnya ia menciumiku, seperti seekor elang yang mencabik-cabik buruannya. Terus ke leher dan lenganku yang terbuka. Diciuminya bulu ketiakku, dihirupnya napas dalam-dalam. Aku yakin saja karena sudah kuamankan dengan Eternity sebelum berangkat tadi. Kemudian ia menyingkapkan kausku, menjilati dan menggigit putingku. Lidahnya kemudian menjilati bulu dadaku dan bibirnya menggigit serta menariknya pelan.
Tidak lama kemudian kepalanya turun ke selangkanganku dan ia telah mengulum, menghisap kepala meriamku dan tangannya mengurut serta meremas batangnya. Pandai sekali ia memainkan meriamku.
“Hannyku.. Sayang.. Ohh. Ohh. Ahh. Nikmat sekali sayy” Aku pegang kepalanya dan aku tahan agar ia tidak melepaskan kulumannya pada kepala meriamku.
Aku bangkit dan kudorong ia ke belakang. Kembali aku berada di atas tubuhnya. Kusingkapkan dasternya sampai di dadanya. Bra transparan warna krem tidak mampu memuat gundukan payudara dan tidak mampu menyembunyikan putingnya. Kulepaskan kaitan bra-nya di punggung dan kutarik cup-nya ke atas. Kini giliranku menjilat dan menciumi putingnya.
“Ayo sayang.. Jangan.. Kau permainkan aku.. Ayo masukkan!! Sekarang.. Ya.. Ohh. Oohh.”
Kata-katanya terus meracau, apalagi ketika aku melahap habis gundukan payudaranya dengan mulutku dan kusedot, kukulum, kupilin dan kugigit dengan lembut putingnya.
“Ah.. Gil.. La.. Ennak ssayang.. Kamu.. Ohh.. Oohh”
Kukocok penisku dan kuarahkan ke guanya kemudian dengan sekali hentakan sudah masuk ke dalam lubang kenikmatannya. Kupompa perlahan lahan. Tubuhnya meronta-ronta. Kedua gunduk payudaranya bergoyang kencang. Kuraih payudaranya kanannya dengan tangan kiriku, aku pelintir putingnya sebelah kiri dan mulutku masih menggigit halus puting kanannya. Ia menghentakkan badannya ketika putingnya kugesek dengan daguku yang tiga hari tidak bercukur.
Kaki kananku kuturunkan ke lantai, sedang kaki kiriku kuluruskan sejajar permukaan sofa. Hanny mengangkangkan kakinya. Kaki kananya di naikkan ke sandaran sofa. Semakin cepat kocokanku, semakin cepat pula ia meronta.
Kedua kakinya ia jepitkan diatas tubuhku. Sampai akhirnya ia menggelinjang, kedua tangannya menekan keras kepalaku ke atas payudaranya. Ia hampir mencapai orgasmenya. Jepit rambutnya sudah terlepas dengan sendirinya, rambutnya sudah acak-acakan dan sebagian tergerai menempel di pipi dan mukanya yang basah oleh keringat.
“Ayo sayang. Aku sudah tak tahan lagi. Ayo.. Sayang, yah.. Please.”
“Iya ss.. Say, aku juga se.. Se.. Bentar la.. Gi..”.
Kedua tangannya meremas pantatku pantatku dan membantu mempercepat gerakan pinggulku. Kocokanku semakin kupercepat ketika kurasakan lahar panas akan meledak dari kepundannya.
“Yangg.. Oh.. Aku.. Ma.. U kel.. Luu.. Arr”
“Ohh.. Kita sama-sama.. Ouhh.. Yeeaah!”
Kukunci tangannya dan kuhempaskan tubuhku dengan kuat. Akhirnya bersama-sama kami mencapai orgasme yang luar biasa.
Kurebahkan tubuhku di atas tubuhnya. Ia memelukku, mencium kening dan bibirku.
“Terima kasih.. Sayang. Kamu benar-benar gila tapi perkasa dan hebat”.
Kutinggalkan rumahnya dengan langkah ringan. Sebelum masuk ke pagar rumahku, sekilas kudengar Eka berlari pulang dan memanggil Mamanya. Hmm, nyaris saja. Pengalaman yang seru dan menegangkan.
Sorenya Eka ke kamarku dengan membawa sebuah botol yang dibalut dengan kertas koran. “Dari Mama”, kata Eka sambil menyerahkannya kepadaku. Eka kemudian mengeluarkan buku pelajarannya dan sebentar kemudian aku sudah menerangkan kepadanya sampai jelas. Eka pamit pulang.
Kubuka kertas koran yang membungkus botol tadi. Sebuah botol pendek warna gelap. Label botol jelas dengan sengaja telah dirobek. Kubuka tutupnya dan kucium, bau anggur. Kemudian kulihat dengan lebih jelas lagi. Ternyata ginseng yang direndam dalam anggur kolesom. Kuperiksa koran pembungkusnya. Ada secarik kertas dan kubaca.
“Anggur merah cintaku. Nikmatilah diriku setiap saat kau mau. Ttd.. Honey”
Setelah beberapa kali bercinta dengan cara kilat, kami sepakat untuk menamakannya “Quicky.. Quicky” atau Q.. Q. Kedengarannya agak nakal dan jenaka tetapi nuansa romantisnya.
Secara iseng aku pernah menganalisis pelesetannya. Kalau Q.. Q diucapkan dalam bahasa Inggris “kyu.. Kyu”. Aku tidak tahu persis apakah kyu dalam bahasa Mandarin berarti sembilan. Tetapi sering kuperhatikan kalau dalam dunia perjudian kyu-kyu adalah 9-9. Kembali diucapkan dalam bahasa Inggris “nine-nine”. Kalau diucapkan dengan cepat maka seolah-olah terdengar seperti “nenen”. Tahu arti kata “nenen?”. Kalau nggak tahu, keluar dan jangan baca situs ini lagi!
Kode untuk keadaan aman adalah korden yang ditutup setengahnya. Untuk ajakan Quicky.. Quicky adalah tanda lingkaran dari pertemuan jari tengah dan ibu jari sementara jari lainnya lurus.
Quicky.. Quicky menjadi selingan kami dalam menuntaskan gairah bercinta ketika keadaan memang mengijinkan tapi waktunya sempit. Akhirnya kami bercinta ala Quicky.. Quicky di kamar kosku sampai beberapa kali. Kalau ia menghendaki Quicky.. Quicky di kamar kosku, ia mendatangiku dengan daster tanpa mengenakan celana dalam, dadanya kadang memakai bra kadang tidak. Atau ia memakai celana pendek tanpa celana dalam, atasnya memakai kaus YCS tanpa bra.
Kurasakan Quicky.. Quicky membuat suasana agak menegangkan karena diburu waktu, namun ada sensasi tersendiri ketika kami sudah menggelepar lemas. Kadang-kadang kutunggu Hanny sehabis senam dan kami check in di Bogor lalu pulang sebelum senja. Sekali kami pernah melakukannya pada malam hari di teras belakang rumahnya yang terlindung dengan beralaskan karpet setelah lampunya kami matikan terlebih dahulu.