watch sexy videos at nza-vids!
Download aplikasi gratis untuk Android
INDOHIT.SEXTGEM.COM

3. Dara - Dara Muda : Akhir Keperawanan Terakhir


Ini adalah hari yang sangat menyebalkan bagi Regina. Pagi tadi gadis cantik itu untuk kesekian kalinya harus menghadap guru BP karena datang terlambat. Ketika baru tiba di kelas setelah menyerima wejangan-wejangan dari sang guru BP, ia kembali harus berhadapan dengan kenyataan kalau ia lupa membuat tugas rumah mata pelajaran Fisikanya dan mendapatkan peringatan keras dari Bu Meri. Kini di tengah panasnya terik matahari di siang ini, Gina harus memeras otak dan berkutat dengan soal-soal ulangan mendadak yang diberikan oleh Pak Beno, si guru Biologi. Wajah cantik Gina yang biasa terlihat cerah dan penuh senyuman, kini terlihat kusut dan berkerut. Pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, agaknya sangat cocok menggambarkan “kesibukan” Gina hari ini.

“Uuusstt… Nit, nomor dua dong…”, Gina berbisik kepada Nietha yang duduk di sebelahnya.

“Ntar Gin, gue juga lagi nyariin nih”.

Nietha kini nampak sedang membolak-balikkan lembaran demi lembaran buku pelajarannya yang ditaruh di kolong bangku. Memang saat ini Pak Beno sedang keluar kelas, sehingga seluruh murid-murid di dalam kelas menggunakan kesempatan “emas” ini sebaik-baiknya. Hampir semua murid nampak sibuk dengan “metode” mereka masing-masing dalam mencari jawaban untuk soal tingkat tinggi yang diberikan oleh guru mereka tersebut.

“Buruan dong Nit, ntar Pak Beno keburu dateng tuh…”.

“Iya… iya… udah lu perhatiin pintu aja deh, kasi tau gue kalo Pak Beno nongol”.

“Tapi lembar jawaban gue masih kosong nih”.

“Lu salin yang ini aja dulu deh”, Nietha menyodorkan salah satu lembar jawabannya.

Berlahan tapi pasti kelas mulai terdengar gaduh seiring waktu pengerjaan soal yang semakin mepet. Suara bisikan murid-murid yang mulai saling bertanya satu dengan yang lain kian membuat suasana kelas semakin riuh. Belum lagi tingkah murid-murid yang mulai saling bertukar lembar jawaban semakin membuat parah suasana.

“Eeheem…!!!”, ketika murid-murid sedang “asyik” dengan aktifitas masing-masing, tiba-tiba terdengar suara deheman dari pintu kelas. Dengan secepat kilat pun masing-masing murid mengamankan semua bukti-bukti kecurangan mereka dengan berbagai cara. Suasana kelas pun dengan ajaib kembali menjadi sunyi senyap.

“Waktu tinggal 10 menit lagi!”, Pak Beno mengeluarkan ultimatumnya.

Suara Pak Beno terdengar seperti suara geledek di siang hari di telinga Gina. Gadis cantik itu pun nampak langsung panik karena lembar jawabannya masih nampak belum terisi seluruhnya.

“Nit…”, kembali Gina berbisik kepada Nietha.

Melihat Pak Beno yang kini sedang berjalan ke arah mereka Nietha pun memilih untuk mengacuhkan rengekan sahabatnya tersebut. Gina sendiri nampak semakin kebingungan ketika kini justru Pak Beno berjalan menghampirinya.

“Sudah selesai Gin?”, Pak Beno tersenyum ke arah gadis cantik itu.

“Be… belum Pak”, Gina tergagap.

“Ya sudah pelan-pelan saja buatnya”.

“I… iya Pak”.

Pak Beno yang biasanya nampak galak dan berwibawa, kini nampak ramah kepada salah satu murid favorit di kelasnya tersebut. Memang karena parasnya yang cantik dan tingkahnya yang supel membuat Gina tidak hanya banyak memiliki penggemar di kalangan murid-murid, namun di kalangan guru pun gadis cantik itu memiliki cukup banyak penggemar. Pak Beno ini tentu adalah salah satu diantara mereka. Setelah melihat kalau lembar jawaban Gina masih banyak kosong Pak Beno kemudian berbalik dan kembali berjalan pelan keluar dari dalam ruangan kelas.

“Uuustt… Gin, nih lu salin aja jawaban gue”, terdengar suara bisikan seorang pemuda dari belakang Gina.

Gina langsung menoleh menuju sumber suara. Rupanya laki-laki itu adalah Ferdi.

“Thanks ya Fer”, Gina langsung menyambar lembar jawaban itu dan menyalinnya secepat mungkin. Gina memang merasa tidak perlu lagi untuk mengecek kebenaran jawaban yang disalinnya tersebut karena Ferdi adalah merupakan salah satu golongan murid pandai di kelasnya. Jika dibandingkan dirinya yang akan cukup sangat merasa beruntung bisa mengisi rangking menengah dan tidak terdampar di rangking bawah, maka Ferdi adalah murid yang hampir selalu masuk dalam jajaran rangking teratas di kelas.

“Nih lu jadi nyalin jawaban gue”, Nietha menyerahkan lembar jawabannya yang telah penuh terisi kepada Gina.

“Gue nyalin punya Ferdi aja Nit…”, tanpa menoleh Gina nampak sibuk menulis dan kian berusaha mempercepat gerakan tangannya.

OK anak-anak, waktu sudah habis tolong semua lembar jawabannya dikumpul ke depan!”, terdengar suara Pak Beno dari depan kelas.

“Huuuh…!”, Gina menghela nafas panjang karena berhasil menyelesaikan proses penyalinan jawaban yang dilakukannya dengan susah payah tersebut tepat pada waktunya.

“Gimana udah?”, suara Ferdi kembali terdengar dari belakang.

“Udah, sory lama ya…”, Gina membalikkan badannya dan menyerahkan kembali lembar jawaban milik rekan sekelasnya tersebut.

“Nggak apa-apa…”, Ferdi tersenyum.

“Udah? Kumpul yuk!”, Nietha menepuk bahu Gina.

“Eh… iya”, Gina sesaat membalas senyum ke arah Ferdi dan kemudian beranjak dari tempat duduknya dan menyusul Nietha.

“Makasi banget ya Fer”, Gina berucap kepada Ferdi yang rupanya mengikutinya dari belakang.

“Santai aja kale”, Ferdi menyerahkan lembar jawabannya kepada Pak Beno yang sedang duduk di meja guru. “Eh Gin… sabtu nanti lu ada acara?”, ucap pemuda itu lagi.

“Nggak tau nih, emang napa?”.

“Nggak sih, sabtu ntar sepupu gue mau ikut lomba band jadi kalo lu nggak ada acara gue mau ngajak lu nonton”.

“Hhhmm… sabtu ini ya?”.

“Iya, lu ada acara?”.

“Nggak sih kayaknya, tapi ntar lu ingetin gue lagi ya sebelumnya soalnya gue anaknya pikun hehehe…”.

OK beres, tapi lu bisa kan?”.

“Sementara ini bisa sih, tapi gue nggak janji lo”.

OK, nggak apa-apa ntar gue ingetin lu lagi deket-deket itu”, Ferdi tersenyum lebar.

OK deh…”.

“Eh makan yuk, laper nih gara-gara berpikir mulu”, entah dari mana tiba-tiba saja Nietha muncul dan menyambar tangan Gina. Gadis cantik itu pun terpaksa harus berjalan tanpa sempat berkata apa-apa lagi kepada Ferdi. Hanya lambaian tangan Gina yang kian menjauh yang bisa ditatap Ferdi saat itu.

********

“Aaaakkh…!! Gue bete…!!”, Gina berteriak sekencang-kencangnya dan kemudian membenamkan wajahnya di balik bantal.

“Apaan sih lu Gin?”, Karen yang duduk di samping Gina langsung protes atas teriakan yang memekakan telinga tersebut.

Gina kemudian mengangkat bantal yang tadi menutupi kepalanya. “Hari ini adalah hari yang paling menyebalkan dalam hidup gue”.

“Mang kenapa sih ni anak Nit?”.

Karen mengalihkan pandangannya kepada Nietha yang sedang duduk bersama Hanny sambil membolak-balik lembaran halaman sebuah majalah remaja.

“Tau tuh, tapi tadi tu anak dihukum ke ruang BP sih gara-gara terlambat lagi”.

“Wah nggak ilang-ilang juga penyakit telat bangun lu Jeng?”.

Gina hanya mengangguk-angguk tanpa kata sambil memandang kosong ke langit-langit kamar. Keempat gadis cantik itu kini sedang berada di dalam kamar Nietha. Mereka bisa berkumpul karena ternyata sore nanti pelajaran tambahan batal diadakan akibat adanya agenda rapat guru dadakan. Pagi tadi memang Nietha menjemput satu per satu sahabat-sahabatnya tersebut, karena kebetulan jadwal pelajaran tambahan di kelas mereka masing-masing rencananya akan diadakan berbarengan hari itu. Pembatalan jadwal itu membuat mereka memiliki waktu untuk sekedar kumpul-kumpul.

“Emang sih tadi gue di-strap di ruang BP, tapi bukan itu yang bikin gue bete!”.

“Terus apaan coba?”, sambung Karen.

“Gue lagi perlu duit yang banyak nih”.

“Ah? Emang buat apa Jeng?”.

“Gue mau ganti HP, udah bosen nih gue diejekin ama Sasha and the genk”.

“Lagian lu juga sih doyan amat nyari masalah ama cheerleader-cheerleader ganjen itu?”, Nietha yang tadinya sibuk memperhatikan halaman majalah yang dipegang oleh Hanny kini ikut berkomentar.

“Mereka yang mulai duluan kok, gue kan cuma mau membela harga diri gue aja”.

“Gile, kalo dasarnya doyan berantem ya doyan aja, nggak usah pake bawa-bawa harga diri gitu deh hehehe…”.

“Kampret lu…!”.

Sebuah bantal langsung melayang ke arah Karen, namun beruntung ia berhasil menepisnya sebelum mengenai telak wajahnya.

“Hehehe… tapi yang dibilang Karen tadi ada benernya lo Gin”.

“Lu jangan ikut-ikut deh Han, bisa mati nih gue gara-gara emosi!”.

“Uuu… takut…”, Karen meledek Gina dengan memasang ekspresi wajah aneh.

Kembali sebuah bantal melayang ke arah Karen. Untuk kesekian kalinya serangan itu tidak mengenai sasarannya karena Karen dengan sigap berhasil menghindar. Karen langsung menjulurkan lidahnya ke arah Gina sehingga gadis cantik itu hanya bisa cemberut melihat kegagalannya. Dengan kesal ia kembali menutupi wajahnya dengan bantal yang masih tersisa.

“Udah ah, pada berantem mulu sih? Mending temenin gue beli makanan yuk Ren, abis si Mbok nggak masak tuh”, Nietha beranjak dari sebelah Hanny dan berjalan menuju lemari pakaiannya.

OK deh…”, Karen juga kemudian beranjak dari atas ranjang.

“Lu mau makan apa Han?”, Nietha bertanya sambil membuka satu persatu kancing hem putihnya.

“Emang lu mau kemana?”.

“Ke warung nasi deket perempatan tu”.

“Kalo gitu gue nasi campur ayam aja deh”, Hanny kemudian kembali melanjutkan membolak-balik halaman majalah yang dipegangnya.

“Kalo lu Gin?”.

Tidak ada respon dari Gina atas pertanyaan Nietha tadi. Gadis cantik itu keliatannya tidak mendengar pertanyaan Nietha karena wajahnya yang masih tertutup bantal.

“Eh miss bete… ditanya tuh!”, Karen langsung menggoyang-goyangkan tubuh Gina. Dengan malas Gina mengangkat bantal dari wajahnya dan menatap sayu kearah kedua sahabatnya tersebut.

“Apaan sih?”.

“Lu tadi ditanya ama Nietha, lu mau makan apa?”.

“Ooh… gue udah kenyang makan hati hari ini…”, Gina langsung membalikkan tubuhnya dan kini membekap guling dengan erat.

“Ye… ni anak!”, Karen kembali membalikkan tubuh Gina. “Serius nih!”.

“Gue nggak makan deh, nggak laper nih…”.

“Ya udah terserah lu”.

Karen langsung melangkah mendekati Nietha yang sudah selesai mengganti hem putihnya dengan sebuah baju kaos ketat berwarna kuning bergambar boneka tweety.

“Nit, gue pinjem baju lu ya?”.

OK pilih aja sendiri”.

Karen lalu membuka lemari pakaian Nietha dan mulai memilih sebuah baju yang akan dipinjamnya. Akhirnya gadis cantik itu memilih sebuah kaos berwarna hitam polos. Berlahan Karen membuka satu persatu kancing hem putihnya dan melepasnya berikut dengan kaos dalamnya. Kini tubuh atas gadis berpenampilan tomboy itu terlihat hanya berbalut bra berwarna putih. Sejenak ia menatap ke arah cermin di depan meja rias dan menyentuh payudaranya.

“Nit, kok toket gue segini-segini aja ya? Gimana sih cara gedein toket biar kayak punya lu?”, Karen mengalihkan pandangannya kepada Nietha yang terlihat sibuk mencari kunci mobil di dalam tas sekolahnya.

“Mana gue tau? Dari sononya toket gue udah segini”, sahut Nietha singkat.

“Pengen deh gue suntik silikon biar toket gue tambah gede”.

Karen mengangkat-angkat kedua payudaranya sendiri dan kemudian meremas-remasnya di depan cermin.

“Repot amat sih Ren, mending lu suruh cowok lu nyedotin tiap hari pasti deh ntar jadi tambah gede hahaha…”, Gina yang kini sudah duduk bersila di atas ranjang langsung melontarkan sebuah komentar.

“Disedotin cowok? Nggak ngaruh kale…”.

“Eh nggak percaya? Nih toket gue buktinya…”, Gina langsung membusungkan dadanya dan mengangkatnya dengan kedua tangan.

Memang diantara mereka berempat payudara Gina-lah yang berukuran paling besar yang mencapai angka 36, sedangkan Nietha terbesar kedua hanya mencapai angka 34. Karen dan Hanny adalah yang paling bontot karena memang kadang kala untuk beberapa merk pakaian dalam mereka ada yang mencapai angka 34, namun lebih sering mereka berdua bergelut dengan ukuran 32.

“Iya deh, gue tau untuk soal itu gue kalah telak ama lu…”, Karen melengos kesal. Sedangkan Gina nampak tersenyum lebar penuh kemenangan. Ia pun kemudian kembali menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dan menutupi lagi wajahnya dengan bantal.

Karen pun akhirnya selesai mengganti bajunya. Hem berikut dengan kaos dalamnya ia masukkan ke dalam tas sekolahnya.

“Yuk…!”, Nietha kemudian berjalan keluar kamar diikuti oleh Karen yang berjalan di belakangnya.

“Eh Han, lu jagain Gina yang bener ye, jangan biarin rabiesnya kumat ntar bisa hancur ni kamar si Nietha hehehe…”, ucap Karen sebelum keluar kamar.

Hanny hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Untung saja Gina tidak mendengar kata-kata Karen tadi dan masih sibuk dengan kedongkolan hatinya. Jika saja ia mendengarnya, bisa-bisa kembali pecah perang dunia dimana bantal-bantal akan melayang beterbangan ke seluruh penjuru kamar.

Suasana kamar menjadi sunyi selepas kepergian Nietha dan Karen. Gina nampak masih bergelut dengan ke-bete-annya dan kembali terlentang diatas ranjang dengan kepala tertutup bantal. Entah apa yang dipikirkan oleh Gina saat ini sehingga ia terlihat begitu tersiksa. Mungkin bagi teman-temannya curhat Gina tadi hanyalah efek dari berbagai masalah yang ia hadapi di sekolah seharian ini, namun bagi yang mengetahui kisah sebenarnya yang dialami Gina beberapa hari ini akan bisa menebak kalau sang gadis sedang memikirkan telepon terakhir dari Om Herdi. Saat ini Gina sedang menimbang-nimbang apakah ia nantinya akan menerima tawaran Om Herdi demi uang atau menolak demi mengikuti kata hatinya. Di satu sisi ia sangat membutuhkan uang untuk memenuhi obsesinya memiliki ponsel baru, namun di sisi lain ia sadar betul kalau perbuatannya waktu ini sangatlah salah.

Ketika Gina sibuk dengan gejolak pikirannya sendiri, Hanny masih terlihat menikmati aktifitasnya membaca majalah-majalah remaja milik Nietha. Namun setelah beberapa menit berlalu, Hanny terlihat beranjak dari tempatnya semula dan duduk di atas ranjang di samping Gina. Gadis itu kemudian memegang pundak Gina dan menggoyangkannya pelan.

“Gin…”.

Gina mengangkat bantal yang menutupi wajahnya dan langsung menolehkan kepalanya ke arah sahabatnya tersebut. “Napa Han?”,

“Hhhmm…”, Hanny tidak melanjutkan kata-katanya, hanya suara gumaman yang terdengar keluar dari mulut mungilnya.

Gina yang melihat ekspresi kebingungan di wajah Hanny, kemudian mengangkat tubuhnya dan mengambil posisi duduk menghadap ke sahabatnya tersebut.

“Kenapa?”.

“Hhhmm… gimana ya, gue bingung nih cara bilangnya…”, Hanny menundukkan kepalanya.

“Ya ampun Han, kok lu jadi kayak gini sih? Gue kan temen lu, kalo mau cerita ya cerita aja”, Gina memegang pundak Hanny dan kemudian mengangkat dagu gadis manis tersebut.

“Ini terkait soal apa yang tadi lu bilang ke Karen…”.

“Soal yang mana?”, dahi Gina sedikit berkerut.

“Soal toket…”.

“Oh, emang kenapa? Jangan bilang lu juga minder punya toket kecil? Hehehe…”.

“Nggak gitu kok”.

“Terus?”, kembali Gina mengerutkan dahinya.

“Lu jangan ketawa ya…”.

Dengan mantap Gina menganggukkan kepalanya.

“Sumpah ya lu jangan ketawa…”, ucap Hanny seolah-olah ingin meyakinkan makna anggukan kepala Gina.

Kembali Gina menganggukan kepalanya. Kali ini anggukan tersebut dikuatkan dengan isyarat tangan huruf V dengan menggunakan jari tengah dan jari telunjuknya.

Sejenak Hanny terdiam sebelum melanjutkan kata-katanya. “Gini Gin, kemarin rumah gue kan kosong, karena gue takut sendiri makanya gue nyuruh cowok gue main ke rumah, terus kita ngobrol-ngobrol seperti biasa tapi entah gimana tiba-tiba kita jadi ciuman, terus tanpa gue sadar tau-tau cowok gue udah ngebuka baju gue…”.

“Terus?”.

“Gue akhirnya sadar waktu cowok gue mau buka bra gue, waktu itu langsung gue dorong dia, sumpah Gin waktu itu gue shock banget, cowok gue sama sekali nggak pernah bertindak sejauh itu ama gue”.

“Terus dianya gimana?”.

“Dia sih terus memohon-mohon biar gue mau buka bra gue, dia bilang dia pengen ciumin toket gue, tapi gue nggak berani ngasi Gin, gue takut banget tapi dia terus memohon-mohon, akhirnya setelah gue nangis baru dia berhenti”.

“Hhhmm…”, Gina menghela nafas panjang. Gadis cantik itu terlihat bingung harus memberi pendapat apa. Di satu sisi dia tidak ingin Hanny yang masih begitu polos menjadi terkontaminasi seperti dirinya, namun di sisi lain dia sebenarnya ingin memberitahukan kalau semua yang diminta oleh pacar Hanny tersebut adalah sesuatu yang wajar, paling tidak untuk ukuran dirinya selama berpacaran.

“Gue musti gimana Gin?”.

Gina menggaruk-garuk kepalanya. “Hhhmm… gimana ya?”.

“Gue bingung, sebenernya gue pengen ngasi apa yang diminta cowok gue, tapi gue takut Gin!”.

Setelah menghela nafas kembali, Gina mencoba untuk memberikan sedikit pendapatnya. “Sebenernya Han, apa yang diminta ama cowok lu sama kayak yang diminta ama cowok-cowok lain ke pacarnya dan itu masih taraf “normal”, menurut gue sih…”. Sejak Gina terdiam. “Ngasi cowok lu megang atau nyium toket lu nggak bakal nyebabin apa-apa kok, paling efek sampingnya cuma bikin lu horny aja”.

“Maksudnya?”.

“Hhhmm…”, kembali Gina nampak bingung menjawab pertanyaan Hanny. Agaknya sahabatnya itu masih sangat lugu untuk menelaah apa yang ingin disampaikannya. “Gini aja deh Han, sekarang lu buka baju lu deh”.

Hanny tersentak kaget mendengar kata-kata Gina,“Ah? Buat apaan?”.

“Gue cuma mau ngasi contoh ke lu gimana rasanya kalo toket lu dicium cowok, setelah itu terserah lu deh mau buat keputusan apa, mau ngasi cowok lu ngelakuin yang sama seperti yang gue lakuin atau nggak”.

Hanny nampak bingung. Untuk beberapa saat ia terlihat terdiam.

“Gimana? Kalo lu nggak mau juga nggak apa-apa kok”.

“I… iya deh”, akhirnya jawaban itulah yang keluar dari mulut Hanny.

“Ya udah kalo gitu lu buka baju lu”.

“Bu… buka baju ya?”.

Gina dengan santai menganggukan kepalanya.

Kembali Hanny terlihat bingung. Gadis manis itu terlihat ragu untuk melakukan apa yang diminta oleh sahabatnya tersebut. Terlihat sekali kalau Hanny tidak pernah membuka pakaiannya di depan orang lain sebelumnya. Melihat kegugupan sahabatnya, Gina pun hanya tersenyum.

“Kenapa Han? Lu malu ama gue?”. Kembali gadis cantik itu tersenyum simpul. “Kalo lu malu buka baju di depan gue, gue juga bakal buka baju gue deh, jadi kita impas, lu bisa ngeliat gue, gue juga bisa ngeliat lu”.

Kemudian dengan santainya Gina membuka satu per satu kancing hem putihnya. Ketika mencapai kancing terakhir gadis cantik itu pun melepaskan hem tersebut dan meletakkannya di pinggir ranjang. Hanny hanya bisa terdiam melihat aksi “striptis” sahabatnya tersebut di hadapannya. Gina lalu melanjutkan membuka kaos dalamnya sehingga kini tubuh atasnya hanya tertutupi bra berwarna putih dengan aksen pink.

“Jadi nggak sih?”, tanya Gina melihat Hanny yang terlihat masih terpaku. “Kalo nggak jadi gue pake lagi nih”.

Dengan ragu-ragu Hanny lalu mulai membuka satu per satu kancing hem putih yang dipakainya. Cukup lama juga gadis manis itu melakukannya sebelum hem tersebut akhirnya terlepas berikut dengan kaos dalam yang dipakainya. Kini tubuh atas Hanny pun terlihat hanya terbalut bra berwarna putih polos.

“Branya juga dong…”, Gina langsung membuka kaitan belakang branya agar Hanny ikut melakukan hal yang sama.

Kembali dengan malu-malu Hanny mengikuti gerakan Gina. Beberapa detik kemudian kedua gadis remaja itu pun terlihat dalam keadaan topless dengan posisi saling berhadapan. Walaupun dihadapannya kini juga adalah seorang wanita namun nampaknya Hanny tetap merasa risih. Dengan kedua tangannya ia menutupi kedua payudaranya. Hal ini berbeda dengan Gina yang nampak santai membiarkan kedua payudaranya terekspos bebas.

“Nah sekarang lu diem aja, jangan komentar, jangan ngelawan, pokoknya lu rileks aja, OK?”.

Hanny mengangguk pelan.

Kemudian Gina mendekati Hanny. “Sekarang pejemin mata lu”.

Kembali Hanny hanya bisa menuruti perkataan Gina. Dalam kegelapan tersebut perasaannya bergejolak kencang tentang apa yang akan dilakukan sahabatnya tersebut kepada dirinya. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya Hanny bisa merasakan sebuah kecupan mendarat di bibirnya. Sebenarnya ia sangat terkejut atas apa yang ia rasakan, namun seperti permintaan Gina sebelumnya ia pun berusaha untuk tenang. Kecupan itu berlangsung singkat karena kini kecupan tersebut berubah menjadi lumatan. Entah apa yang Hanny rasakan saat itu, yang jelas setelah beberapa menit hanya bersifat pasif gadis manis itu kini justru terlihat ikut membalas lumatan bibir Gina.

“Gin…”, Hanny mendesah pelan ketika bibir mereka terpisah.

“Rileks Han, inget jangan komentar cukup rasain aja, sekarang terserah lu mau buka mata atau tetap nutup mata lu”.

Hanny bisa merasakan kalau kini jari tangan Gina menyapu permukaan bibirnya. Mendengar perkataan Gina tadi Hanny nampaknya memilih untuk tetap menutup mata. Bagaimana pun ini adalah hal yang sangat ganjil yang pernah ia lakukan. Kenyataan bahwa kini ia sedang bercumbu dengan sahabatnya sendiri dan jelas-jelas berjenis kelamin sama seperti dirinya adalah sebuah hal yang aneh. Sehingga ia memilih untuk tetap menutup matanya, karena tentu akan sangat berpengaruh jika ia harus melakukannya dengan mata terbuka.

Kini kembali Hanny merasakan Gina melumat bibirnya. Kali ini dengan nakal sahabatnya itu memainkan lidah di permukaan bibirnya. Lidah tersebut kemudian menyeruak masuk ke dalam mulut Hanny dan meliuk-liuk di dalamnya. Gina yang memang sangat ahli di bidang ini sehingga tak perlu waktu lama untuk mampu membuat sahabatnya itu terbuai oleh ciumannya. Apalagi kemudian Hanny bisa merasakan tangan Gina mulai memilin-milin puting payudara kanannya, sehingga kian membuat birahi gadis manis itu bergejolak.

Sambil tetap berpagutan panas tangan Gina terus menggerayangi kedua payudara Hanny secara bergiliran. Walaupun tidak berukuran terlalu besar, namun tangan Gina bisa merasakan kalau payudara sahabatnya itu cukup kenyal ketika meremasnya. Ciuman Gina kemudian terlepas dari bibir Hanny dan merabat turun menuju leher dan bongkahan payudara sahabatnya tersebut. Tak lama puting payudara kanan Hanny kini sepenuhnya telah berada dalam kuluman mulut mungil Gina. Hanny merasakan rasa geli yang luar biasa disekujur tubuhnya. Ia sampai menengadahkan kepalanya sambil membusungkan dada, sedangkan kedua tangannya menopang tubuhnya di belakang. Gina sendiri terus menjilati, mengulum dan sesekali menggigit pelan payudara Hanny itu dengan telaten, sambil memeluk tubuh sahabatnya tersebut.

“Oooh… aahh…”, desahan-desahan pelan terus terdengar keluar dari mulut Hanny. Tubuhnya terlihat bergelincang pelan setiap kali Gina memainkan lidahnya.

Ini memang pertama kali Hanny merasakan bagaimana rasanya ketika payudaranya dipermainkan oleh orang lain. Biasanya puting payudara mungil kemerahan itu hanya pernah disentuh oleh dirinya sendiri ketika mandi. Kini gadis manis itu merasakan betul kenikmatan permainan “sekwilda” yang biasanya hanya bisa ia dengar dari cerita sahabat-sahabatnya.

“Aaakkh…!”, Hanny berteriak lirih ketika Gina menggigit puting payudara kirinya dengan sedikit agak keras.

Saking tidak kuatnya menahan gejolak nafsu yang melandanya, topangan tangan Hanny akhirnya goyah dan tubuh gadis manis itu pun ambruk di atas ranjang. Gina tersenyum melihat sahabatnya yang sedang mulai dilanda birahi. Dengan nakal ia meremas-remas payudara Hanny yang nampak sudah menegang hebat. Kemudian kedua bongkahan padat itu kembali dikulum oleh Gina dengan telaten. Kuluman itu divariasi Gina dengan ciuman dan jilatan menelusuri perut rata Hanny dan juga melingkar disepanjang permukaan pinggang serta pusar sang gadis manis.

“Oohh… oooh… oooh…”, Hanny terus mendesah dan bergelinjang hebat. Agaknya sebentar lagi ia akan mencapai apa yang tidak pernah ia capai selama ini. Gadis manis itu seakan-akan lupa kalau yang kini sedang mencumbu dirinya adalah Gina, sahabatnya bukan kekasihnya.

“Oooh… oooh… aaakkhh…!!!”, tubuh Hanny akhirnya menegang hebat. Pinggangnya sampai terangkat beberapa sentimeter dari ranjang. Rupanya si gadis manis telah mencapai klimaks pertamanya hari itu. Klimaks pertama dalam seumur hidupnya.

Gina tahu benar kalau sahabatnya itu sudah mencapai puncak. Ia pun mengambil posisi duduk di samping Hanny yang masih terlentang dengan nafas memburu dan mata yang terpejam. Timbul keisengan Gina untuk sedikit mengangkat dan kemudian memasukkan tangannya ke dalam rok abu-abu yang dipakai Hanny. Di sana ia menyentuh permukaan celana dalam sahabatnya tersebut. Permukaan jari-jarinya bisa merasakan kalau kain katun putih bercorak bunga-bunga kecil itu sudah basah oleh lendir cinta tepat di bagian selangkangannya. Gina hanya tersenyum kecil. Ia lalu mengeluarkan kembali tangannya dan merapikan kembali posisi rok sahabatnya tersebut.

Melihat kondisi Hanny saat ini pikirannya langsung ber-flashback ketika ia masih sepolos dan selugu sahabatnya tersebut dalam bercinta. Gina ingat betul ketika kekasih pertamanya sewaktu SMP adalah laki-laki pertama yang mencumbu kedua payudaranya. Ia juga masih ingat betul bagaimana ia akhirnya bisa mencapai klimaks pertamanya akibat permainan lidah sang kekasih. Ia juga bisa merasakan cairan keluar dari selangkangannya dan membasahi celana dalam yang dipakainya. Saat itu ia benar-benar merasa malu karena menyangka kalau dirinya sedang mengompol. Mungkin perasaan itulah yang kini sedang melanda Hanny. Kemudian gadis cantik itu merebahkan tubuhnya disamping Hanny dan memeluk sahabatnya tersebut.

“Gimana rasanya Han?”.

“Gue nggak tau Gin…”.

Gina hanya tersenyum kecil mendengar jawaban polos sahabatnya tersebut.

“Gue tadi norak ya?”.

“Nggak kok, tadi apa yang lu lakuin normal banget”, Gina mengelus-elus rambut Hanny.

“Gue tadi kayaknya pipis deh”.

“Itu bukan pipis Han, itu lendir pelumas artinya tadi lu udah terangsang”.

“Tapi yang tadi kita lakuin nggak bahaya kan?”.

“Nggaklah, lu nggak bakal hamil kalo ngelakuin sebates yang kita lakuin tadi hehehe”.

Hanny tersipu malu. Wajahnya terlihat memerah. Gina sendiri bisa memaklumi keluguan sahabatnya tersebut.

“Gimana? Kira-kira lu bakal ngelakuin ama cowok lu?”.

“Nggak tau juga sih…”.

“Pokoknya sekarang terserah lu, gue nggak ikut-ikut lagi deh, OK?”.

Hanny pun mengangguk pelan.

“Udah ah, pakai baju lagi yuk! Kalo sampai Nietha ama Karen liat kita kayak gini ntar kita disangka lesbi lagi, rusak dong nama baik gue hehehe…”, Gina langsung mengangkat tubuhnya dan menyambar bra miliknya. Hanny sendiri kemudian menyusul beranjak dari posisinya.

Begitu selesai memakai kembali branya, tiba-tiba Gina mendengar suara ponselnya dari dalam tas sekolahnya. Gina langsung tersentak. Pikirannya yang semula sempat teralihkan, kini kembali menerawang menuju Om Herdi. Entah kenapa tanpa perlu melihat ponselnya ia seakan-akan bisa menebak kalau si penelpon pastilah laki-laki yang pernah mem-booking-nya tersebut. Dengan segera ia mengambil ponselnya dari dalam tas dan benar saja di layar ponselnya tertera nomor telepon milik Om Herdi.

“Halo…”, Gina menjawab ragu. Ia sekilas melirik ke arah Hanny yang terlihat sudah mulai memakai pakaiannya kembali. Iapun kemudian berjalan menjauh agar sahabatnya itu tidak bisa mendengar percakapannya.

“Gina?”.

“I… iya Om”.

“Gimana cantik? Kamu jadi ada pelajaran tambahan sore ini?”.

“Nggak jadi sih Om”.

“Oh, artinya bisa dong kita ketemu?”.

“Gimana ya Om?”, sahut Gina ragu.

“Ayo dong cantik, Om malam nanti musti balik nih jadi Om pengen banget ketemu sama kamu sekali lagi sebelum pergi”.

“Hhhmm…”, Gina terdiam. Ia benar-benar bingung harus memberikan jawaban apa. Sebenarnya ia tidak ingin mengulangi keisengannya di hati itu, namun itupun tidak bisa ia yakini sepenuhnya. Hal ini sebenarnya telah ia pikirkan dari kemarin namun ia belum juga menemukan jawabannya sampai detik ini.

“Gin, mau ya? Please… sekali lagi aja deh, abis itu Om juga nggak tau kapan bakal balik ke kota ini lagi”.

“Hhhmm… i… iya deh Om”.

“Hehehe… Nah gitu dong! Kalau begitu Om tunggu kamu di hotel yang kemarin ya?”.

“Tapi Gina harus pulang ke rumah dulu Om, abis takut mama khawatir kalo Gina pulang malem lagi”.

“Oh nggak apa-apa, tapi jangan lama-lama ya, Om sudah kangen banget nih sama kamu hehehe”.

Percakapan berakhir. Gina benar-benar tidak percaya kalau jawaban itulah yang akhirnya keluar dari mulutnya. Sebuah persetujuan. Namun semuanya sudah terjadi, kini ia tidak bisa mundur lagi. Sisi liar Gina pastilah saat ini sedang tertawa dengan lantang penuh kemenangan. Dengan tergesa-gesa Gina menyambar hem putih dan baju kaos dalamnya dan memakainya kembali. Ia kemudian juga menyambar tas sekolahnya dan memasukkan kembali ponselnya.

“Lu mau kemana Gin?”, Hanny nampak keheranan melihat tingkah aneh sahabatnya itu.

Sory nih gue musti pulang sekarang Han, ntar tolong lu bilangin Karen ama Nietha ya””, ucap Gina sambil memakai sepatunya dengan terburu-buru.

“Kok jadi buru-buru gini sih?”.

“Iya gue ada urusan dikit, udah ya daaa…”, Gina melambai ke arah Hanny yang terlihat hanya bisa berdiri termangu.

Beberapa detik hilang dari balik pintu tiba-tiba wajah Gina muncul lagi. “Oya, sukses juga ya ama cowok lu hehehe”, Gina mengedipkan satu matanya dan kembali menghilang dari balik pintu.

********

“Ma… adek pulang!”.

Gina berteriak setibanya ia di ruang keluarga. Tanpa menanti jawaban dari mamanya, Gina langsung berlarian menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Suasana rumahnya siang itu nampak sepi, namun Gina tidak terlalu mengambil pusing memikirkan itu karena saat ini ia memang sedang tergesa-gesa.

Di dalam kamar Gina langsung menyambar handuk dan langsung berlari menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi ia menanggalkan seluruh pakaian seragamnya, sehingga hanya dalam beberapa detik tubuh moleknya sudah tampil polos. Dengan cepat pula ia menganbil gagang shower dan mulai membasuh wajah cantiknya berikut dengan sekujur tubuhnya. Dalam kondisi basah seperti itu, tubuh remaja Gina terlihat semakin menggoda dan menggairahkan. Sungguh sebuah ciptaan Yang Kuasa yang sangat sempurna.

Selesai membersihkan tubuhnya, Gina mengeringkannya dari bulir-bulir air. Gadis cantik itu kemudian membalut tubuh sintalnya dengan handuk, mengambil seragamnya yang tergantung di pintu dan bergegas keluar dari kamar mandi. Sebelum berjalan menuju kamarnya, Gina melemparkan seragamnya ke dalam ember pakaian kotor yang berada di samping mesin cuci. Kemudian gadis cantik itu pun langsung berlari menuju kamarnya.

Begitu sang gadis masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu, dari balik tembok muncullah sosok laki-laki paruh baya. Sosok itu adalah Pak Yayan, sopir keluarga Gina. Dengan mengendap-ngendap laki-laki itu berjalan menuju ke depan kamar mandi. Sejenak Pak Yayan menengok ke sekeliling seakan ingin memastikan kalau tidak ada seorang pun yang melihat dirinya. Laki-laki itu kemudian berjongkok di depan ember pakaian kotor dan mengambil seragam Gina yang tadi dilemparkan kesana. Dari balik rok abu-abu gadis itu, Pak Yayan mendapati sebuah celana dalam mini putih polos berbahan katun.

Laki-laki itu tersenyum mesum dan membentangkan kain mungil tipis itu, sehingga ia bisa melihat bagian yang menempel langsung dengan vagina Gina. Pada bagian tersebut terlihat agak sedikit basah mungkin oleh keringat. Sekali lagi laki-laki paruh baya itu mengoleh ke sekeliling. Setelah memastikan kalau di tempat itu hanya ada dirinya sendiri, laki-laki itu kemudian mendekatkan celana dalam yang dipegangnya itu ke hidungnya. Dengan kuat ia lalu menghirup aroma yang masih menempel di kain tipis tersebut.

“Aaaahh…!!”, Pak Yayan mendesah pelan.

Hidungnya mencium aroma wangi khas vagina seorang gadis muda nan cantik. Aroma vagina dari anak majikannya yang menggoda. Wangi aroma itu jelas begitu menyengat mengingat celana dalam itu baru saja terlepas beberapa menit dari tempatnya semula. Pikiran mesum Pak Yayan langsung bergejolak. Kontraksi antara otak dan selangkangan langsung melandanya dengan hebat. Namun pikiran mesum itu tidak berlangsung terlalu lama, karena tiba-tiba ia mendengar suara pintu kamar Gina terbuka. Dengan cepat ia meletakkan kain mungil itu kembali ke tumpukan pakaian di dalam ember dan segera berlari untuk kembali bersembunyi di balik tembok.

Memang benar beberapa saat kemudian Gina terlihat keluar dari dalam kamarnya dan sudah nampak rapi dan segar. Tubuh gadis cantik itu kini berbalut tank top berwarna pink dan dipadu dengan celana jeans pendek ketat berwarna putih. Terlihat Gina keluar sambil menggendong sebuah tas ransel di bahu kirinya. Sambil berjalan menuju tangga Gina menyempatkan diri untuk memakai jaket model sporty guna menutupi tubuh atasnya. Ia tahu benar kalau mamanya suka cerewet kalau sang anak mengenakan pakaian-pakaian yang ketat dan agak menonjolkan lekukan-lekukan tubuhnya. Dengan bergegas kemudian gadis cantik itu menuruni tangga sehingga sedikit menimbulkan suara gadung.

“Ma… adek hari ini nginep di tempatnya Karen ya?”, dengan manja Gina mencium pipi dan memeluk tubuh mamanya yang kini terlihat sedang memasak di dapur.

“Lo kok tiba-tiba minta nginep?”.

“Pengen aja sih, besok kan juga tanggal merah Ma, boleh ya?”.

“Salah apa sih Mama waktu ngandung kamu, punya anak cewek kok nggak betahan amat sih diem di rumah?”.

Wanita anggun paruh baya tersebut nampak menggeleng-geleng sambil meneruskan kegiatannya memotong sebatang wortel. Sedangkan Mbok Iyem, sang pembantu rumah tangga hanya bisa tersenyum kecil mendengar komentar sang majikan.

“Tu kan Mama, mulai deh…”.

“Bantuin Mama gitu lo dek di rumah? Jangan keluyuran melulu”.

“Aaaa… Mama….”, Gina merajuk.

Mama Gina kemudian sejak menghentikan kegiatannya dan menatap wajah anak gadisnya tersebut. Sedangkan Gina sendiri membalas tatapan mamanya itu dengan ekspresi wajah memelas. Gina berusaha membuat mamanya menyetujui usulannya untuk menginap di rumah sahabatnya tersebut. Gadis cantik itu rupanya ingin mengantisipasi kalau-kalau siapa tahu ia harus pulang sore bahkan menjelang malam seperti terakhir kali ia bertemu dengan Om Herdi. Dengan alasan menginap di rumah Karen tentunya nanti ia tidak perlu repot-repot lagi mencari alasan kepada kedua orang tuanya lagi, terutama mamanya ini.

“Iya deh, tapi jangan nakal ya disana”.

“Iya Ma, makasi ya”.

Gina merangkup pundak mamanya dengan manja dan mengecup kedua pipi wanita tersebut.

“Kalo gitu Gina berangkat sekarang ya Ma”.

“Suruh Pak Yayan nganter kamu gih”.

“Nggak usah Ma, biar adek naik taxi aja”.

“Nggak, nanti kalau kamu berangkat sendiri pasti deh keluyuran dulu, Mama nggak suka! Pokoknya minta Pak Yayan buat nganterin ke rumah Karen”.

Ekspresi wajah Gina langsung berkerut mendengar perkataan mamanya. Dengan diantar oleh Pak Yayan berarti ia tidak bisa langsung ke hotel tempat ia membuat janji dengan Om Herdi. Kalaupun ia harus terlebih dahulu ke rumah Karen baru dari sana ia naik taxi ke hotel, tentunya akan menghabiskan biaya dan waktu yang sangat banyak karena lokasinya yang berseberangan. Selain itu tentunya Karen nantinya tidak akan melepasnya begitu saja sebelum mendapatkan penjelasan yang masuk akal. Sungguh sebuah pilihan yang sangat sulit.

“Adek naik taxi aja ya Ma?”, kembali Gina berusaha merajuk.

Namun kali ini mama Gina tidak bergeming. “Mau dianter Pak Yayan atau nggak boleh nginep sama sekali?”.

Suara mamanya terdengar bak petir yang menggelegar di telinga Gina. Sebuah ultimatum yang tidak bisa lagi diganggu gugat. Tubuh Gina langsung lemas dibuatnya.

“I… iya deh”, gadis cantik itu pun akhirnya terpaksa menerima “perintah” dari mamanya.

“Mbok, tolong panggilin Pak Yayan kemari”.

“Iya Bu”, wanita berperawakan kurus dengan penampilan sederhana itu kemudian beranjak meninggalkan dapur.

Mama Gina kemudian kembali melanjutkan aktifitasnya memotong sayuran. Gina sendiri nampak cemberut menahan kesal karena dengan terpaksa harus menuruti perintah mamanya. Tak lama dengan tergopoh-gopoh Pak Yayan masuk ke dalam dapur diikuti oleh Mbok Iyem dibelakangnya.

“Maaf Bu, Ibu memanggil saya?”.

Mama Gina kembali menghentikan aktifitasnya. “Iya Pak, ini tolong antarin adek ke rumah temennya”.

“Oh, iya Bu akan saya lakukan”.

Masih dengan ekspresi kesal dan dahi berlipat-lipat, Gina kemudian mendekati mamanya dan mencium tangan wanita tersebut. “Adek berangkat ya Ma, ntar bilangin ama Papa”.

Dengan langkah gontai Gina keluar dari dapur sambil diikuti oleh Pak Yayan. Di depan teras rumahnya, Gina menunggu sopirnya tersebut mengeluarkan mobil dari garasi. Tak lama mobil pun berhenti di depan teras. Pak Yayan kemudian keluar dari mobil dan kemudian membukakan pintu belakang mobil untuk nona majikannya tersebut.

“Silakan masuk Non”.

Masih dengan wajah berkerut Gina masuk ke dalam mobil. Dengan kesal ia melemparkan tas gendongnya ke jok disampingnya dan kemudian menghempaskan pantatnya dengan keras. Tak lama mobil pun melaju pelan meninggalkan areal rumah.

“Maaf Non, rumah temen Non ada di daerah mana?”.

“Di daerah *** Pak, tapi saya mau ke mall dulu, Bapak anterin saya ke mall aja deh biar nanti teman saya aja yang ngejemput di sana”.

“Tapi tadi kata ibu Non, saya disuruh nganter langsung ke rumah temennya Non?”.

“Udah deh Pak, jangan banyak tanya!”.

“Oh… baiklah Non”, walaupun merasa sedikit aneh dengan permintaan si nona majikan, namun Pak Yayan terpaksa harus menurutinya.

Tak lama mobil yang dikendarai Gina pun kemudian berhenti di areal parkir sebuah mall.

“Ya udah saya turun disini deh Pak”, Gina kemudian turun dari dalam mobil. Gadis cantik itu kemudian mendongakkan kepalanya dari jendela depan mobil.

“Jangan bilang-bilang Mama ya Pak kalau saya turun di sini, kalo berani bilang awas lo!”, ancam Gina.

“I… iya Non…”, Pak Yayan menjawab dengan sedikit tergagap.

Gadis cantik itu kemudian berjalan menuju ke depan lobi mall dan masuk ke dalamnya. Dari dalam Gina ssudah melihat mobil sedannya sudah tidak ada lagi di tempat semula yang berarti Pak Yayan sudah berangkat kembali ke rumah. Di tengah kerumunan pengunjung mall, Gina mengeluarkan ponselnya dari saku celana pendeknya dan men-dial nomor ponsel Karen. Lama Gina mendengar suara nada sambung lagu dari lagu sebuah band yang cukup terkenal, namun sama sekali tidak ada yang mengangkat. Kemudian Gina mengulang kembali me-dial nomor tersebut dan tetap tidak ada jawaban dari yang ditujunya. Mungkin Karen belum balik dari rumah Nietha atau ia sedang tidur, pikir Gina dalam hati. Ia pun memutuskan untuk segera berangkat menuju hotel dan menelpon Karen setelah menyelesaikan rencananya hari ini.

Gina lalu bergegas keluar dari pintu mall dan berjalan menuju pelataran taxi di Mall tersebut dimana biasanya ada beberapa taxi yang terparkir disana. Rupanya hari itu Gina cukup beruntung karena disana masih ada satu taxi yang sedang kosong. Dengan segera gadis cantik itu masuk ke dalam taxi tersebut.

“Mau kemana Neng?”.

“Ke hotel *** Pak”.

Tak lama taxi yang ditumpangi oleh Gina pun mulai melaju meninggalkan areal parkir Mall. Namun tanpa diketahui oleh gadis cantik itu sebuah mobil sedan hitam mengikuti taxi yang kini sedang ditumpanginya. Mobil sedan itu adalah mobil yang tadi mengantarnya ke areal mall tadi. Rupanya Pak Yayan, sang sopir sedikit penasaran dengan alasan sang gadis yang terdengar terlalu dibuat-buat sehingga memutuskan untuk mengikutinya. Dengan mengikuti Gina paling tidak ia nanti bisa menjawab atau mungkin berbohong apabila majikannya bertanya kemana ia mengantar sang gadis. Pak Yayan berusaha menjaga jarak agar Gina tidak sampai tahu kalau saat ini mobilnya sendiri sedang mengikutinya.

Taxi itu akhirnya sampai juga di depan lobi sebuah hotel, tempat dimana Gina dan Om Herdi pertama kali bertransaksi kehangatan tubuhnya. Setelah membayar ongkos taxi Gina keluar dan berjalan menuju lobi. Sedangkan diluar sana, mobil sedan hitam yang dikendarai Pak Yayan nampak sudah terparkir di salah satu pojok parkiran hotel tersebut. Dari balik kemudi Pak Yayan memandang tajam ke arah Gina yang kini nampak berdiri di lobi hotel dan sedang menyapu pandangannya ke sekeliling. Wajah si laki-laki paruh baya nampak berkerut seakan-akan bertanya-tanya sedang apa seorang gadis remaja berada di sebuah hotel siang-siang begini. Ada keperluan apakah? Pikir laki-laki itu. Tak lama Pak Yayan pun keluar dari mobil dan berjalan berlahan menuju lobi, sambil berusaha agar tidak sampai terlihat oleh Gina.

Sedangkan di dalam lobi, Gina masih nampak memperhatikan sekeliling lobi. Gadis itu memperhatikan setiap orang yang berada di sana. Tak nampak tanda-tanda adanya Om Herdi di sana. Akhirnya Gina pun mencoba untuk menanyakan nama Om Herdi dalam daftar tamu di resepsionis. Ketika ia sampai di depan meja resepsionis , tiba-tiba ponselnya berbunyi. Segera saja ia mengeluarkan benda tersebut dari saku celana pendeknya.

“Halo Om”.

“Hai cantik, kamu sudah di hotel?”.

“Sudah Om, ini lagi di depan resepsionis”.

“Ya udah kamu naik saja langsung ke lantai 3, cari kamar nomor 257”.

“Lantai 3? Kamar 257?”, Gina mengulang perkataan Om Herdi.

“Iya…”.

“Iya deh Om, Gina naik sekarang”.

Setelah percakapan selesai, Gina membatalkan niatnya menuju resepsionis dan langsung bergegas menuju lift untuk menuju ke lantai 3 sebagaimana disebutkan Om Herdi tadi. Sepeninggal Gina yang telah masuk ke dalam lift bersama dengan beberapa pengunjung hotel, Pak Yayan keluar dari persembunyiannya di balik tembok sekitar resepsionis. Dari tempat persembunyiannya samar-samar Pak Yayan mendengar nomor kamar yang menjadi tujuan Gina. Tak lama setelah itu ia berjalan pelan menuju meja resepsionis. Disana laki-laki paruh baya itu terlihat berbicara dengan seorang resepsionis wanita. Entah apa yang sedang dibicarakannya, namun yang jelas jawaban yang didapatnya cukup membuatnya terkejut.

“Ting!”.

Angka menunjukkan angka 3 dan pintu lift pun terbuka. Gina keluar dari lift bersama dengan beberapa orang lainnya. Gadis cantik itu langsung bergegas menuju ke kamar yang disebutkan oleh Om Herdi ditelepon tadi. Sesampai di depan pintu kamar bertuliskan nomor 257, Gina mengetuk pintu tersebut beberapa kali namun sama sekali tidak ada jawaban. Begitu ketukan terakhirnya juga tidak mendapat respon, ia mencoba membuka pintu kamar tersebut. Rupanya pintu tersebut tidak terkunci dan gadis cantik itu pun dengan hati-hati masuk ke dalam kamar. Ruangan kamar itu memang terlihat kosong, namun sayup-sayup Gina bisa mendengar suara senandung dari kamar mandi. Agaknya Om Herdi sedang mandi, demikian pikir Gina sehingga akhirnya gadis cantik itu memutuskan untuk duduk di kursi dan menunggu. Tak lama setelah itu pintu kamar mandi terbuka dan muncullah sosok kurus berambut setengah putih. Laki-laki paruh baya yang kini hanya berbalut handuk putih sebatas pinggang itu pun tersenyum melihat Gina yang sedang duduk di kursi.

Sorry jadi bikin kamu menunggu, sudah lama cantik?”, Om Hendi mendekati Gina sambil tetap melanjutkan mengeringkan rambutnya dengan handuk yang lebih kecil.

“Nggak kok Om, baru aja…”.

Om Herdi lalu meletakkan handuk kecil yang tadi ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya di atas meja. “Om kangen banget sama kamu lo hehehe…”.

Laki-laki paruh baya itu lalu mengangkat tubuh Gina kemudian memeluknya. Ciuman lembut pun menyusul mendarat di bibir mungil Gina. Hanya dalam beberapa hitungan detik ciuman itu sudah berubah menjadi pagutan panas. Walaupun awalnya Gina terlihat agak kaku, namun akhirnya keduanya pun kini sudah terlihat mulai nyaman memainkan lidah mereka. Lidah mereka terus beradu dan membuat mereka saling bertukar liur. Tapi mereka seakan tidak peduli, apalagi Om Herdi yang sudah terlihat begitu bernafsu.

“Oh maafin Om, kok Om jadi bernafsu gini ya?”, ucap Om Herdi selepas pagutan mereka berakhir.

“Nggak… nggak apa-apa kok Om”.

“Kamu mau mandi dulu?”.

“Gina udah mandi kok tadi Om”, sahut Gina singkat. Gina terlihat cukup kaku berada di depan Om Herdi yang kini dalam keadaan hanya terbalut handuk. Kini baru Gina menyadari kalau ternyata laki-laki yang berada dihadapannya tersebut sudah cukup tua untuk layak menjadi ayahnya.

“Pantesan wangi banget tubuhmu, kamu sudah makan cantik?”.

“Sudah Om”.

Sebagai seorang laki-laki berumur, Om Herdi terlihat pandai memainkan suasana. Ia bisa melihat kalau Gina masih terlihat tegang dan kaku, sehingga ia mencoba mencairkan suasana dan membuat sang gadis menjadi lebih rileks. Mencumbui gadis dalam keadaan tegang tentunya tidak akan terasa nikmat, karena itu laki-laki paruh baya itu menyadari akan pentingnya melakukan foreplay sebelum bercinta. Kemudian Om Herdi mengambil telapak tangan kanan Gina dan mulai menciumi jari-jari lentik gadis cantik itu. Ciuman itu terus menjalar naik ke tangan Gina.

“Benar-benar lembut dan wangi, bisa kita mulai sekarang?”.

Gina hanya mengangguk pelan.

Om Herdi kemudian menarik lembut tangan Gina dan mengajaknya berjalan mendekati ranjang. Di depan ranjang laki-laki paruh baya itu memandang tajam ke arah wajah Gina. Disentuhnya pipi gadis cantik itu dan kemudian tangan itu menjalar menyusuri permukaan kulit Gina yang halus. Begitu sampai di leher sang gadis, tangan Om Herdi kemudian berpindah ke bibir untuk kemudian berakhir membelai rambut Gina yang panjang.

“Kamu benar-benar cantik dan mempesona Gin”.

Gina tidak memberikan respon apa-apa. Yang jelas sentuhan Om Herdi tadi cukup membuat sekujur tubuhnya merinding.

“Aaah…”, Gina mendesah pelan ketika Om Herdi kembali memeluk tubuhnya dan mendaratkan pagutan di bibirnya.

Sambil berpagutan panas tangan laki-laki paruh baya itu bergerak lincah membuka resleting jaket Gina. Hanya dalam beberapa detik jaket itu sudah terlepas dan teronggok di atas kursi. Kemudian tangan Om Herdi menuju sasaran berikutnya yaitu tank top pink yang dikenakan Gina. Masih dalam keadaan memagut bibir Gina, tangan laki-laki itu masuk ke dalam tank top dan mulai merabai payudara si gadis cantik. Rupanya bra yang dikenakan Gina hari itu terasa agak tebal sehingga Om Herdi merasa perlu untuk menggeser posisi cup bra tersebut. Setelah usahanya berhasil, kini permukaan telapak tangan Om Herdi bisa merasakan langsung kelembutan dan kepadatan payudara Gina. Si gadis cantik sendiri nampak mulai terangsang akibat pagutan dan remasan yang mendera bibir dan bukit kembarnya.

“Oooh… Om…”, desah Gina pelan ketika Om Herdi sengaja memelintir puting payudaranya di balik tank top.

Kemudian Om Herdi dengan cekatan mengangkat ujung tank top ketat sehingga akhirnya melewati kepala si gadis cantik. Sedetik kemudian tank top pink tersebut sudah teronggok menemani jaket Gina diatas kursi, sehingga kini tubuh atas Gina pun terlihat hanya tertutupi bra berwarna putih yang itupun cupnya sudah tidak lagi pada posisinya yang benar. Bra polos itu ternyata tidak lama melekat di tubuh Gina, karena tangan Om Herdi langsung bergerak menuju kaitannya. Kecekatan jari-jari tangan laki-laki paruh baya itu membuat sepotong pakaian dalam itu dengan mudahnya terlepas. Begitu bra tersebut terlepas, Gina langsung menyilangkan kedua tangannya guna menutupi kedua payudaranya. Walaupun perbuatan itu tidak ada gunanya toh laki-laki paruh baya dihadapannya itu sudah pernah melihat dan merasakan kekenyalannya, namun insting kewanitaan membuat Gina refleks melakukannya.

“Hhhmm… katanya waktu ini 36 A? Yang ini kok 36 B? Hehe…”.

Gina tersipu malu melihat Om Herdi dengan santainya mengacungkan nomor yang tertera pada pakaian dalam yang beberapa saat lalu masih melekat dan menutupi kedua payudaranya.

“Iya kan jadi tambah gede waktu Om sedot terakhir hehe…”, jawab Gina genit.

“Kamu itu benar-benar nakal dan menggemaskan! Om suka banget…”.

“Aaoo… sakit Om!”, Gina berteriak ketika dengan iseng Om Herdi kembali memilin puting kirinya. Agaknya kekakuan Gina di awal tadi kini sudah hilang. Kini gadis cantik itu sudah mampu mengekspresikan daya tarik kewanitaannya.

“Oh terlalu keras ya? Maaf deh , abis kamu tu nafsuin banget sih hehehe…”.

“Oooh… Om…”.

Tubuh Gina langsung melenguh pasrah ketika dengan rakus Om Herdi melahap buah dada kanannya. Sementara itu payudara kiri sang gadis juga tak lepas dari remasan kuat tangan Om Herdi. Gina memejamkan matanya agar bisa lebih menikmati sensasi geli yang mulai menyerang sekujur tubuhnya. Ia juga menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menahan desahan akibat kuluman dan sapuan lidah Om Herdi yang menyerang kedua bukit kembarnya secara bergantian. Di permukaan payudara montok nan padat itu pun kini mulai bermunculan bercak-bercak merah ketika bibir laki-laki paruh baya itu menyodot semakin keras. Selain bercak-bercak merah, permukaan kulit halus itu juga sudah terlihat basah terkena air liur.

“Ssrruup… sruuup… sruup…”, suara decakan pertemuan bibir Om Herdi dengan permukaan dada Gina semakin jelas terdengar.

“Aaahh… oooh…”.

Walaupun tengah menikmati permainan lidah Om Herdi, namun Gina tidak lupa untuk ikut mempersiapkan “senjata” laki-laki paruh baya itu agar segera siap tempur. Tangan kanan Gina menyusup ke dalam handuk yang membalut bagian bawah tubuh Om Herdi. Dengan lihai ia membuka gulungan handuk tersebut sehingga kain putih itu melorot turun. Om Herdi nampak terlalu sibuk menikmati kekenyalan payudara sang gadis cantik sampai-sampai tidak menyadari ketelanjangannya saat ini. Jari-jari lentik Gina pun mulai beraksi mengurut dan mengocok batang penis Om Herdi yang nampak sudah menegang. Batang penis yang baru beberapa hari lalu mengobrak-abrik selangkangannya.

“Kamu benar-benar gadis yang sangat cantik Gin”.

Om Herdi menegakkan kembali tubuh Gina dan mencium bibir mungil gadis cantik tersebut.

“Om pasti akan kangen berat sama kamu…”.

“Kangen Gina atau kangen ama yang lain Om? Hehehe…”, Gina tersenyum menggoda. Gen penggoda rupanya memang sudah mengalir di darah Gina, sehingga laki-laki manapun begitu mudah ditaklukkan olehnya. Agaknya Gina sadar kalau kelemahan laki-laki paruh baya seperti tipe Om Herdi ini adalah pada pujian dan godaan nakal. Dengan banyak memuji dan menggoda Gina berharap nantinya Om Herdi lebih royal lagi merogoh koceknya. Dengan begitu ia bisa segera mewujudkan impiannya dari hasil “kerja”nya hari ini. Sungguh sebuah bakat alam yang luar biasa.

“Iya kangen sama kamu dong, juga sama yang ini…”.

“Aaoo… iiih… Om genit…”, Gina mendesah ketika Om Herdi kembali dengan nakal mentoel puting payudaranya.

Tubuh atas Gina yang memang sudah terbuka membuat tangan Om Herdi tak heni-hentinya bergerak usil barang sekedar mencolek, memilin atau merabanya. Sambil tangan kanannya merabai tubuh sintal Gina, tangan kiri Om Herdi mengocok-ngocok batang penisnya sendiri.

“Sekarang buka celana kamu dan sepong kontol Om”.

Gina menurut dan tangannya mulai bergerak membuka resleting celana jeans pendek yang dipakainya.

“Jangan semuanya, tetap pakai celana dalammu!”.

Kembali Gina hanya bisa menurut. Ia yang semula ingin melorotkan celana pendek berikut dengan celana dalam yang dipakainya pun membatalkan niatnya. Entah apa yang ada dipikiran Om Herdi, yang jelas bagi Gina toh segitiga mungil polos berwarna putih itu akan terlepas juga nantinya. Namun sebagai penjual jasa, Gina mengerti benar kalau konsumennya ini adalah raja dan ia harus menurutinya selama ia membayar dengan harga yang setimpal. Setelah meletakkan celana jeansnya di atas kursi, Gina kemudian mengambil posisi berjongkok di hadapan Om Herdi. Gadis cantik itu kemudian mengambil alih batang penis dalam genggaman laki-laki paruh baya tersebut. Berikutnya batang penis itu pun amblas ke dalam mulut mungil Gina.

“Oooh…”, Om Herdi melenguh panjang ketika Gina mulai mengocok batang penisnya dengan menggunakan mulut.

Sesekali Om Herdi memejamkan matanya mungkin menahan rasa nikmat akibat sepongan Gina. Sesekali pula laki-laki paruh baya itu mengelus-ngelus rambut Gina sambil ikut mengocok-ngocok batang penisnya sendiri ke dalam mulut sang gadis cantik. Sedangkan sang gadis cantik terlihat cukup gelagapan dengan kocokan penis tegang di dalam mulutnya dan berusaha untuk tidak tersedak dibuatnya.

“Kita pindah ke kasur yuk cantik…”.

Om Herdi kemudian mengangkat tubuh Gina yang terjongkok dan mengajaknya menuju ranjang. Laki-laki paruh baya itu lebih dahulu berbaring di ranjang, sementara Gina masih berdiri di samping ranjang. Kemudian setelah Om Herdi memposisikan diri duduk di pinggir ranjang ia pun memberi isyarat kepada Gina untuk naik pula ke atas ranjang.

“Sini dong cantik, lanjutkan yang tadi”.

“Iya Om…”.

Gadis cantik itu kemudian naik ke atas ranjang dan merangkak mendekati Om Herdi. Tanpa perlu diperintah lagi, Gina langsung mengambil batang penis laki-laki itu dan mulai mengocoknya kembali dengan jari-jari lentiknya. Kocokan itu lalu berganti menjadi kuluman dan lenguhan-lenguhan kecil pun kembali terdengar keluar dari mulut Om Herdi. Di tengah kuluman dan kocokan Gina, beberapa saat kegiatan itu berhenti karena Om Herdi harus mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil di samping ranjang. Setelah sempat menarik nafas beberapa saat, Gina pun kembali melanjutkan service oralnya.

“Om, jangan direkam dong Gina kan malu”, gadis cantik itu menghentikan kulumannya dan menutupi wajahnya. Rupanya ditengah aktifitasnya tadi Gina baru menyadari kalau Om Herdi telah mengaktifkan kamera ponsel miliknya dan merekam apa yang sedang dilakukannya. Gina kemudian memalingkan kepalanya ketika dengan jail Om Herdi mengarahkan ponsel tersebut ke wajahnya.

“Cuma untuk koleksi pribadi kok cantik hehehe…”.

“Jangan ah Om…”, Gina masih terus berusaha menutupi wajahnya walaupun kini Om Herdi sudah terlihat mengarahkan ponsel ke arah payudaranya.

“Bentar aja kok, ayo dong dilanjutin lagi…”, sambil memegang ponsel dengan tangan kanan, Om Herdi menggunakan tangan kirinya untuk mengacung-acungkan batang penisnya yang sudah semakin tegang.

Walaupun masih kesal dengan perbuatan Om Herdi yang masih asyik memain-mainkan kamera ponselnya, Gina terpaksa mengikuti kemauan laki-laki itu untuk melanjutkan permainan. Gadis cantik itu sadar bagaimanapun Om Herdi saat ini adalah konsumen pengguna jasanya, sehingga selama ia membayar dengan harga yang pantas maka ia memiliki hak untuk melakukan apa yang sedang dilakukannya sekarang. Sambil kembali melanjutkan mengulum penis Om Herdi, Gina berusaha menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya. Sementara itu Om Herdi sendiri hanya nampak tersenyum-seyum kecil melihat layar ponselnya yang mengabadikan momen indah serta bagian-bagian tubuh molek Gina.

Tak lama setelah itu Om Herdi mengangkat kepala Gina sehingga kulumannya berhenti. Kemudian laki-laki paruh baya itu meremas-remas kedua payudara Gina dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk mencari sudut pandang terbaik guna mengabadikan kedua bukit kembar sempurna tersebut. Gina sendiri terlihat sudah cuek dengan tingkah konsumennya tersebut karena baginya mungkin itu hanyalah salah satu bentuk fantasi nakal seorang laki-laki. Yang penting bagi Gina adalah wajahnya tidak ikut terekspos, walaupun tanpa disadarinya kalau tadi Om Herdi beberapa kali sempat secara sembunyi-sembunyi telah merekam wajah cantiknya.

“Oh toketmu ini Gini bener-bener luar biasa montok!”, ucap Om Herdi sambil memainkan puting kanan Gina.

“Aaoo…”, Gina hanya melenguh pelan.

“Ini satu lagi yang Om suka”, kini tangan kiri Om Herdi yang berganti memegang ponsel, karena tangan kanannya kini merambah turun merabai selangkangan Gina. Walaupun daerah sensitif itu masih tertutup celana dalam, namun bahan yang sedemikian tipis membuat permukaan kulit tangan Om Herdi bisa merasakan bulu-bulu halus yang ada di baliknya.

Gina sama sekali tidak protes ketika tangan Om Herdi memegang ujung celana dalamnya dan menariknya turun. Dengan santainya gadis cantik itu hanya merapikan rambut panjangnya sambil melihat ke arah Om Herdi yang sibuk merekam daerah selangkangannya yang semakin terbuka. Kini celana dalam mini putih Gina sudah bertengger di pahanya yang tertekuk. Sementara Om Herdi sendiri mulai nampak sibuk mengelus-elus permukaan lubang vagina sang gadis.

“Rupanya kamu tipe cewek yang cepet basah ya? Hehehe…”.

Gadis cantik itu hanya tersipu malu karena harus diakuinya kalau saat ini lubang vaginanya sudah mulai membanjir. Gina memang memiliki libido yang sangat tinggi, walaupun begitu ia bukan tipe wanita yang mau begitu saja mengobral tubuhnya kepada kekasih-kekasihnya. Mungkin sekedar petting Gina tidak akan keberatan memperlihatkan dan menyerahkan tubuhnya untuk dinikmati oleh sang kekasih, namun lebih dari itu Gina memiliki batasan dan kriteria sendiri. Terbukti dari sekian banyak laki-laki yang singgah di kehidupan Gina hanya dua kekasihnya yang pernah merasakan kehangatan tubuhnya, tanpa menghitung keberuntungan Om Herdi tentunya.

“Hhmm… sungguh aroma yang memabukkan…”, Om Herdi menghirup dalam-dalam celana dalam Gina begitu kain mungil itu terlepas dari kaki sang gadis.

Gina hanya bisa pasrah melihat kain penutup wilayah kewanitaannya itu dinikmati oleh hidung Om Herdi. Ia tidak terlalu heran melihat tingkah polah konsumennya tersebut, karena pada pertemuan pertama pun pakaian dalamnya mendapatkan perlakuan yang sama. Gadis cantik itu hanya bisa berharap semoga hari ini ia tidak perlu lagi kehilangan sepasang pakaian dalam seperti beberapa hari sebelumnya. Kini kain mungil tipis itu sudah tergeletak rapi di atas ranjang menemani bra miliknya yang sudah terlebih dahulu ada disana.

“Oooh… wanginya masih seperti terakhir Om menciumnya!”, seru Om Herdi setelah mengendus selangkangan sang gadis.

“Uuuhh… Om…”, Gina terlihat bergelinjang pelan ketika Om Herdi menyapukan lidahnya di permukaan lubang vaginanya. Selesai melakukan hal tersebut, laki-laki paruh baya itu mematikan kamera ponselnya dan meletakkannya kembali di atas meja,

“Om… pelan-pelan… sakit!”.

Gina berteriak lirik saat laki-laki paruh baya itu menusukkan jari tengah ke dalam lubang vaginanya. Memang setelah tadi Om Herdi membuka kedua pahanya lebar-lebar sekaligus mengelus-ngelus dan menjilati vaginanya, lubang surga itu terlihat semakin merekah dan basah. Apalagi ketika laki-laki itu mulai mengocok lubang tersebut dengan jari-jarinya kian membuat tubuh sang gadis bergelinjang, sedangkan kedua pahanya terlihat kian mengangkang lebar. Gina sendiri harus menggunakan kedua tangannya sebagai penopang tubuhnya yang terlihat mulai terbakar birahi. Om Herdi sendiri terlihat tersenyum kecil melihat perubahan yang terjadi pada bidadari kecilnya tersebut. Kini sang bidadari kecil sudah terkukung dalam dekapan nafsu yang panas.

“Oooh… ooohh…aaakh…”, desahan pelan terus terdengar keluar dari mulut Gina. Lenguhan juga kerap terdengar apabila Om Herdi terlalu keras menghujamkan jari-jarinya.

“Makin basah nih cantik hehehe…”, goda Om Herdi sambil terus menghujam-hujamkan jari-jarinya.

“I… iya Om… oooh…”.

“Udah pengen kontol nih kayaknya?”.

“I… iya Om…”.

“Mau kontolnya Om nggak? Hehe…”.

“Mau Om…”.

“Bener?”.

“Bener Om… aaah…”.

“Kalau gitu masukin dong kontolnya Om terus digoyang”.

Setelah berkata demikian Om Herdi membaringkan tubuhnya di ranjang. Gina sendiri nampaknya mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh laki-laki paruh baya tersebut. Dengan berlahan Gina mengangkat tubuhnya dan berdiri mengangkang diatas tubuh Om Herdi. Kemudian dengan berlahan pula gadis cantik itu mengambil posisi berjongkok. Dengan menggunakan tangan kirinya Gina mengambil batang penis Om Herdi dan mulai mengarahkan ke lubang vaginanya, sedangkan tangan kanan ia gunakan sebagai penumpu.

“Aaaakkhh…!!!”.

Keduanya berteriak hampir berbarengan ketika Gina menurunkan pantatnya sehingga batang penis Om Herdi menghujam ke dalam lubang vaginanya. Cukup lama Gina membiarkan batang penis itu membenam di dalam vaginanya, agaknya gadis cantik itu memang menyukai ukuran penis Om Herdi yang besar dan berurat. Mungkin Gina merasa jika dibandingkan dengan penis milik kekasihnya, penis Om Herdi ini seakan-akan mampu memaksa lubang vaginanya terbuka lebih lebar. Gadis cantik itu lalu menumpukan kedua tangannya di dada Om Herdi dan mulai menggoyangkan pinggulnya.

“Oooh… gila Gin… memekmu… aaaahh…!!”, Om Herdi merancau hebat. Jepitan dinding vagina gadis cantik itu terasa menjepit kuat batang penisnya.

“Oooh… Oooh… Oooh…”, Gina pun mendesah tak kalah hebat. Penis kokoh Om Herdi terasa begitu liar mengaduk-ngaduk lubang vaginanya ketika ia bergoyang.

Dalam posisi woman on top seperti ini Gina nampak benar-benar bisa menguasai permainan. Ia terlihat mampu memaksimalkan jepitan lubang vaginanya demi memberikan kepuasan dan kenikmatan bagi pelanggannya tersebut. Walaupun ini adalah baru kali kedua ia menjual diri, namun gadis cantik itu terlihat sudah sangat berpengalaman memuaskan laki-laki langganannya di atas ranjang. Selain ia sendiri memang sangat menikmati adukan penis Om Herdi di dalam vaginannya, sehingga ia sama sekali tidak perlu berpura-pura untuk mengekspresikannya.

“Om suka nggak?”, Gina tersenyum melihat ekspresi wajah Om Herdi yang terlihat merem-melek penuh kenikmatan.

“Su… suka banget cantik… goyang terus sayang… goyang terus!”.

Gina semakin mengencangkan goyangannya. Pinggul ramping gina terlihat begitu lincah bergoyang di atas tubuh Om Herdi. Goyangan itu terus berlangsung sampai akhirnya Om Herdi menghentikannya. Laki-laki paruh baya itu membalikkan tubuhnya sehingga kini Gina-lah yang terbaring di atas ranjang. Kemudian Om Herdi ikut berbaring di sampingnya samping mengelus-elus rambut dan wajah gadis cantik itu.

“Cantik, Om boleh nanya nggak?”.

“Nanya apa Om?”.

“Kamu pernah ngelakuin anal nggak ama pacar kamu?”.

“Blom Om…”.

“Artinya pantat kamu masih perawan dong?”.

Gina tidak menjawab. Ia agaknya tahu arah pembicaraan Om Herdi ini. Sebuah pembicaraan yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Karena tidak mendapatkan jawaban, Om Herdi kembali melanjutkan kata-katanya, “Kenapa? Kamu tidak suka anal ya cantik?”.

Gina kembali tidak menjawab. Gadis canik itu terlihat bingung harus memberikan jawaban apa. Namun beberapa saat kemudian ia terpaksa harus menganggukkan kepalanya pelan.

“Takut sakit ya?”.

Anggukan kepala kembali menjadi jawaban Gina.

“Bagaimana kalau Om tambahin bayaran kamu dua kali lipat, kamu mau nggak ngasi Om buat nyoba lubang kamu yang satu itu?”.

Gina tetap belum bisa memberikan jawaban. Tidak terbayang dalam benaknya akan membiarkan sebuah penis menghujam ke dalam lubang duburnya. Bagaimanapun menurutnya persetubuhan melalui lubang dubur bukanlah sebuah persetubuhan normal.

“Bagaimana kalau tiga kali lipat? Kamu mau?”, lanjut Om Herdi karena melihat Gina yang masih diam membisu.

“Ti… tiga kali lipat Om?”, akhirnya kata-kata meluncur juga keluar dari mulut Gina.

“Iya tiga kali lipat, bagaimana?”.

Kembali Gina terdiam. Kalau benar Om Herdi membayarnya tiga kali lipat dari tarif yang dibayarkannya beberapa hari lalu, maka keinginannya untuk memiliki ponsel baru akan segera terwujud. Bahkan jumlah itu akan sangat berlebih sehingga mungkin ia tidak perlu untuk menjual diri lagi. Namun sejumlah uang itu tentu harus dibayarnya dengan memenuhi permintaan Om Herdi tadi. Sebuah permintaan yang begitu berat untuk dipenuhi. Permintaan yang tak pernah ia bayangkan untuk lakukan sebelumnya. Membiarkan sebuah penis menghujam ke dalam lubang duburnya juga tentu berarti merelakan keperawanan terakhirnya yang masih tersisa.

“Om tidak akan memaksa kamu cantik, kalau kamu tidak mau juga tidak apa-apa kok?”, ucap Om Herdi penuh kebapakan sambil membelai rambut panjang Gina.

“Gin… Gina mau kok Om…”.

“Oh… kamu yakin?”, Om Herdi tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

Gina tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya.

Om Herdi kemudian beranjak turun dari ranjang dan berjalan menuju lemari pakaian. Gina hanya bisa menatap ke arah laki-laki tersebut dan bertanya-tanya apa gerangan yang akan dilakukannya. Tak lama terlihat kalau laki-laki itu mengambil sebuah botol kecil yang entah apa isi didalamnya. Masih dalam keadaan telanjang bulat dan dengan batang penis mengacung tegak, Om Herdi kembali berjalan menuju ranjang. Sejenak ia tersenyum ke arah Gina. Laki-laki itu terlihat begitu terpesona melihat keadaan Gina yang terbaring bugil di atas ranjang. Ia pun kemudian beranjak naik ke atas ranjang.

“Ayo kita mulai cantik hehehe”.

Om Herdi membaringkan kembali tubuh Gina di ranjang. Gadis cantik itu sendiri hanya bisa pasrah karena toh ia tadi sudah memberikan persetujuannya. Kini ia hanya bisa berharap semuanya berjalan cepat dan tidak menyakitkan. Tanpa dikehendaki Gina, kini tubuhnya secara refleks terasa bergidik hebat. Om Herdi kini kembali membuka lebar kedua paha Gina.

“Ini Om oleskan biar nanti nggak kerasa sakit”, Om Herdi menuangkan isi botol kecil tersebut ke tangan kirinya. “Ini adalah pelumas, nggak bakal memberikan efek apa-apa kok”, sambungnya lagi. Dengan berlahan laki-laki itu kemudian mengoleskan cairan itu di selangkangan Gina berikut dengan pantat dan lubang duburnya.

“Sssshh…”, Gina mendesah pelan. Ia merasakan rasa dingin yang sangat menyengat ketika cairan kental itu menyentuh permukaan selangkangannya.

“Tahan sebentar ya, Om bakal masukin cairan ini sedikit ke dalam…”.

“Aaakkhh… Om…”.

Segera setelah itu Gina merasakan jari Om Herdi menyeruak masuk ke dalam lubang pantatnya. Rasa dingin bercampur sedikit rasa sakit kian terasa begitu kuat ketika jari tangan tersebut bergerak berputar-putar. Desahan-desahan pelan terus terdengar keluar dari mulut Gina.

OK sudah, sekarang siap-siap, mungkin ini akan terasa sedikit sakit di awal”.

“Pelan-pelan Om…”, desah Gina.

“Iya cantik…”.

Tak lama Gina bisa merasakan ujung penis Om Herdi mulai menggesek-gesek permukaan pantatnya. Lalu ujung penis itu kemudian dirasakannya mulai menari-nari di permukaan lubang duburnya. Gina memejamkan matanya dan menggenggam sprei ranjang kuat-kuat. Gadis cantik itu seakan-akan tahu kalau sebentar lagi rasa sakit yang teramat sangat pasti akan menyerang sekujur tubuhnya. Dan…

“Aaaaakkkhhh…!!!”.

Teriakan kencang memenuhi seluruh penjuru ruangan ketika batang penis Om Herdi telah sepenuhnya terbenam di dalam lubang dubur Gina. Detik itu juga gadis cantik itu merasakan rasa perih menyerang seluruh simpul syarafnya secara simultan. Rasa perih ini bahkan melebihi rasa perih ketika ia diperawani dulu. Gina seakan merasakan lubang pantatnya membuka dengan paksa akibat batang besar yang kini bersarang di dalamnya. Ia merasakan lubang pembuangannya tersebut seakan-akan robek dengan paksa.

“Aaaakkh… Om… aaakkh… sakiiit…”.

“Ditahan sayang…!”.

Om Herdi mulai mengocok batang penisnya, sehingga permukaan batang penisnya kini mulai bergesekan dengan permukaan lubang dubur Gina.

“Om…!!”, lenguh Gina. Tubuh gadis cantik itu bergelinjang hebat menahan rasa perih yang semakin menjadi mendera lubang pantatnya. Cengkeraman tangan Gina terlihat semakin kuat meremas sprei. Kocokan penis Om Herdi yang semakin kencang di lubang duburnya benar-benar menguras tenaganya. Tenaga untuk berteriak, tenaga untuk menahan sakit dan tenaga untuk bertahan tetap tersadar. Bagaimanapun semua ini adalah hal yang baru bagi Gina dan hal baru terkadang memang sedikit menyakitkan di awal, namun untuk kali ini rasa sakit sepertinya tidak akan hilang dalam jangka waktu dekat.

“Aaakkh… ooohh… aaakkh…!!”.

“Oh Gin, sempit banget…!!”.

“Om… sa… sakit…!!”, tubuh Gina semakin bergelinjang hebat. Mata gadis cantik itu terpejam dan beberapa bulir air mata terlihat mengalir dari ujung matanya.

Bertolak belakang dengan keadaan Gina, Om Herdi terlihat begitu menikmati kocokannya ke dalam dubur gadis cantik tersebut. Bagaimana tidak, pantat sang gadis yang beberapa saat lalu masih original tentunya terasa begitu keset dan sempit. Sebenarnya vagina Gina juga memberikan sensasi kenikmatan yang tak kalah luar biasa, namun sebagai seorang petualang cinta Om Herdi tentunya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Menikmati dubur perawan seorang remaja yang cantik jelita. Jauh di dalam hati Om Herdi ia sangat bangga menjadi laki-laki pertama yang menikmati kenikmatan lubang “alternatif” milik Gina.

“Oooh… seket banget pantat lu perek!! Nggak sia-sia gue ngeluarin duit banyak!!”.

Kata-kata umpatan mulai keluar dari mulut Om Herdi. Seperti pertemuan pertama, kata-kata umpatan dan makian itu adalah tanda birahi sang laki-laki mulai meninggi. Gina sendiri sudah tidak mampu lagi memperhatikan kata-kata umpatan tersebut. Bahkan ia sudah tidak mampu lagi menelaah apa yang sedang terjadi. Yang ada padanya kini hanyalah rasa sakit dan perjuangan untuk tetap tersadar.

“Aaakkh… ooohh… aaakkh…!!”.

“Aaakkh… ooohh… aaakkh…!!”.

Cukup lama Om Herdi memompa dubur Gina sebelum akhirnya laki-laki itu menarik batang penisnya. Namun belum sempat Gina menarik nafas lega, Om Herdi dengan cepat membalikkan tubuhnya hingga tertelungkup. Dengan cepat Om Herdi kembali menghujamkan batang penisnya ke dalam pantat Gina. Kali ini laki-laki paruh baya itu terlihat menindih tubuh telungkup Gina sambil terus menyetubuhinya dengan ganas. Ia terlihat sama sekali tidak peduli dengan keadaan Gina yang sudah terlihat lemah tanpa tenaga.

“Rasain nih lonte!! Gue obrak-abrik pantat lu!!”

“Aaakkh… aaakhh…”, teriakan Gina yang semula kencang kini terdengar lebih menyerupai rintihan. Gadis cantik itu seakan-akan tidak mampu lagi untuk berteriak. Tenaganya sudah terlalu lemah untuk mengekspresikan rasa sakitnya. Kini yang bisa ia lakukan hanya pasrah menerima lesakan demi lesakan kasar penis Om Herdi di duburnya.

“Oooh… gila… gila banget… ooohh…”, rancau Om Herdi.

“Oooh… ooh… ooohh…!!”.

“Oooh… ooh… ooohh…!!”.

Rancauan, teriakan dan desahan penuh kenikmatan dari Om Herdi terus terdengar memenuhi penjuru kamar, menandakan sebentar lagi ia akan mencapai puncak tertinggi. Sedangkan Gina masih terlihat tergeletak pasrah. Walaupun rasa sakit sudah mulai berkurang dirasakannya, namun ia sama sekali tidak terlihat menikmati persetubuhannya kali ini. Pikiran yang menerawang entah kemana ditambah dengan pandangan yang mulai berkunang-kunang membuat ia tidak mampu merasakan apa-apa lagi. Ia terlihat seperti boneka yang pasrah menerima perlakuan apa pun dari pemiliknya. Hal ini jelas sekali berbeda dengan yang dirasakan Om Herdi saat ini.

“Oooh… gue nyampe nih!! Gila jepitannya pantat lu perek!!”

“Aaaahh… nikmat banget!!!”.

“Jleeep… jleeeep… jllleeep…!!”, Om Herdi semakin kencang menggenjot lubang pantat Gina. Hal ini membuat tubuh mereka berdua berguncang-guncang hebat di atas ranjang. Kondisi ranjang pun sudah tidak karuan lagi karena cengkraman tangan Gina membuat kondisi kain spreinya menjadi amburadul.

“Aaaahh…. ooohhh….”, lenguhan panjang terdengar keluar dari mulut Om Herdi. Kepala laki-laki itu terlihat mendongak dengan mata terpejam. Terlihat sekali ekspresi kepuasan terpancang dari wajah tuanya.

“Crooott… crooot… crooot…!!”.

“Crooott… crooot… crooot…!!”.

Sementara itu seiring lenguhan panjang Om Herdi, cairan spermanya menyembur kencang ke dalam lubang dubur Gina. Walaupun dalam keadaan lemas, Gina bisa merasakan kalau cairan yang menyembur sangatlah banyak dan deras. Mungkin Om Herdi benar-benar merasakan kepuasan maksimal sehingga mencapai klimaks yang luar biasa. Walaupun semburan terakhir sudah selesai dikeluarkan, namun Om Herdi nampak enggan menarik batang penisnya sehingga batang tegang itu mengendur di dalam lubang dubur Gina. Setelah batang penisnya mengecil barulah laki-laki paruh baya itu menggulingkan tubuhnya dari atas tubuh Gina. Nafasnya terlihat memburu ketika tubuhnya terlentang di atas ranjang. Sedangkan tubuh Gina masih terlihat tergolek lemah seperti tadi tanpa ada gerakan sama sekali. Hanya sisa cairan kental berwarna putih yang terlihat sedikit meleleh keluar dari lubang duburnya.

“Hooos… hooos… hoos…”, nafas Om Herdi yang sudah mulai teratur terdengar mengisi kesunyian ruangan kamar. Selain itu hampir tidak terdengar suara apa-apa lagi. Kesunyian itu pun pecah ketika terdengar suara ketukan dari luar pintu.

“Took… took… took…”.

Mendengar suara ketukan itu dengan agak berat Om Herdi mengangkat tubuhnya dan mencoba beranjak menuruni ranjang.

“Took… took… took…”.

Ketukan kedua terdengar setelah Om Herdi sudah berhasil berdiri di pinggir ranjang. Senyuman kecil tersungging di bibir laki-laki itu melihat tubuh bugil Gina di atas ranjang, sebuah tubuh yang begitu indah dan sempurna. Om Herdi kemudian mengambil sebuah kimono putih dari atas kursi dan memakainya guna menutupi ketelanjangannya. Laki-laki itu kemudian berjalan pelan menuju pintu.

Ketika pintu dibuka ternyata di balik pintu berdiri seorang laki-laki bertubuh pendek. Laki-laki itu juga terlihat sudah cukup berumur bahkan terlihat sedikit lebih tua jika dibandingkan dengan Om Herdi. Hanya saja rambutnya belum memutih seperti rambut Om Herdi. Laki-laki itu adalah Maman, sopir Om Herdi. Maman berasal dari kampung dimana Om Herdi berasal. Karena laki-laki itu sempat diberhentikan dari tempat kerjanya sebagai sopir truk, maka Om Herdi mengajaknya bekerja di kota. Sudah hampir dua tahun laki-laki tua itu mengabdi kepada Om Herdi sebagai sopir pribadi.

“Ada apa Man?”.

“Nggak apa-apa sih bos, cuma mau ngingetin kalo sebelum ke bandara bos masih harus mampir dulu ke kantor Pak Joko, jadi sepertinya bos harus segera berangkat kalau tidak mau ketinggalan pesawat”.

“Oh hampir gue lupa, ya sudah kalau begitu gue mandi dulu habis itu kita langsung check out”.

Maman terlihat tidak terlalu berkonsentrasi mendengar perkataan bosnya tersebut. Matanya terlihat menatap nanar ke arah tubuh Gina yang tergolek di atas ranjang. Matanya bisa melihat bagaimana mulusnya kedua paha dan bagaimana montoknya pantat gadis cantik tersebut. Terlihat begitu segar dan menggiurkan. Ketika pertama kali diminta untuk berbicara dengan Gina, Maman memang sudah terpesona dengan kecantikan gadis remaja tersebut. Ia benar-benar memuji selera bosnya saat itu. Terlihat untuk sesaat laki-laki tua itu menelan ludahnya.

“Eehhemm…!”.

Deheman Om Herdi seketika itu pula memecahkan pikiran mesum Maman.

“Eh… maaf bos, kenapa tadi?”.

“Makanya jangan ngelanjor mulu! Netes tuh liur hahaha…”.

“Ah bos bisa aja, siapa coba yang nggak ngiler liat yang bening-bening kayak gituan hehehe…”, wajah Maman terlihat memerah menahan malu. Ia terlihat cukup kagok dipergoki seperti itu. Sambil menggaruk-garuk kepalanya ia hanya bisa cengengesan.

“Lu mau tu cewek?”.

“Kalo dikasi yang jelas maulah bos, saya kan masih normal hehehe…”.

“Ya udah, lu garap aja dulu tuh sambil nunggu gue mandi”.

“Serius bos?”, mata Maman terbelalak mendengar perkataan Om Herdi tadi.

“Seriuslah, lu mau nggak?”.

“Mau bos… mau banget…!”.

Memang hubungan antara Om Herdi dengan sopirnya Maman sudah sangat dekat. Maka tak heran kalau mereka berdua saling menyapa dengan sapaan santai “lu gue”, walaupun hubungan mereka adalah atasan dan bawahan. Apapun kebiasaan Om Herdi sudah diketahui oleh Maman, termasuk hobby bosnya ini mem-booking gadis-gadis cantik, namun baru kali ini ia ditawari untuk menikmati tubuh salah satu gadis bookingan bosnya tersebut. Ini pastilah hari keberuntungan Maman.

“Tapi inget, kejadian ini jangan sampai lu bocorin ke nyonya, OK?”.

“Iyalah bos, kapan sih saya pernah ngecewain bos hehehe…”.

“Ya udah sana, inget jangan lama-lama, abis gue mandi kita langsung berangkat”.

Senyum sumringah langsung terpancar di wajah tua Maman. Setelah bosnya beranjak menuju kamar mandi Maman pun masuk ke dalam kamar, menutup pintu dan menguncinya. Ekspresi mesum tergambar jelas pula di wajah Maman. Ia kini terlihat seperti seekor serigala yang melihat seekor domba yang siap di santap. Tak lama setelah terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi bergegas Maman membuka seluruh pakaiannya hingga bugil. Terlihat batang penis laki-laki itu sudah mengacung tegak. Mungkin sejak di pintu tadi nafsu birahi Maman sudah bergelora melihat tubuh Gina yang tergolek di ranjang.

“Mimpi apa gue semalem hehehe…”, dalam hati Maman bergumam.

Dengan berlahan laki-laki tua itu mendekati ranjang dan mulai naik ke atas ranjang. Sama sekali tidak ada gerakan dari Gina walaupun Maman mulai merabai paha dan kakinya yang jenjang.

“Busyet! Mulus banget nih cewek…”, kembali Maman berguman dalam hati.

Tangan Maman terus merabai tubuh polos Gina. Kini tangannya mulai meremas-remas bongkahan pantat sang gadis. Laki-laki tua itu bisa melihat cairan sperma masih sedikit menetes dari lubang pantat Gina. Ia pun tersenyum dan bisa memperkirakan apa yang bosnya lakukan tadi terhadap gadis cantik di hadapannya itu. Kemudian dengan perlahan Maman membalikkan tubuh Gina. Mata gadis cantik itu nampak terpejam dan masih belum ada tanda-tanda perlawanan darinya, padahal kini dengan nakal tangan Maman sudah mulai beraksi meremas-remas payudara montok berikut dengan putingnya. Kembali Maman tersenyum melihat bercak-bercak merah di permukaan bukit kembar Gina.

“Oohh…”, Maman mendesah pelan sambil mengocok-ngocok batang penisnya sendiri saat tangan kanannya mendarat di bulu-bulu selangkangan Gina. Sadar kalau waktunya tidak banyak, dengan segera saja Maman menindih tubuh Gina dan mulai mencium dan mengulum kedua payudara milik sang gadis.

“Sruuup… srruuup… ssruup…”.

“Aaakkh…!!”.

Gina berteriak cukup keras karena merasakan sakit di puting payudara kanannya. Rupanya Maman tadi sempat terlalu keras menggigit putingnya sehingga membuat kesadaran Gina langsung bangkit. Dengan segera gadis cantik itu membuka matanya dan saat itu pulalah ia menyadari kalau laki-laki yang kini berada diatas tubuhnya bukanlah Om Herdi.

“Lepasin… lepasin gue…!!”.

“Tenang Non… saya sudah dapet ijin kok ngentotin Non hahaha…”.

“Jangan… jangan… tidak…!!”.

“Jangan ngelawan Non, nanti malah rugi sendiri… dikasi enak kok malah ngamuk hahaha…”.

Gina meronta-meronta dengan segala tenaga yang masih tersisa di tubuhnya. Namun nampaknya usahanya itu sia-sia belaka karena Maman terlalu kuat untuk ia lawan. Walaupun sudah cukup berumur agaknya gairah yang sudah terlanjur memuncak membuat tenaga Maman menjadi berlipat-lipat untuk menahan tubuh Gina yang terus meronta dan menendang-nendang. Malah kini dengan kasar Maman membuka dan mengangkat kedua kaki Gina ke atas pundaknya. Tanpa peringatan apa-apa langsung saja laki-laki tua itu menghujamkan batang penisnya ke dalam vagina sang gadis cantik.

“Aaaakkkh…!!”.

Kembali Gina hanya bisa berteriak lantang. Belum hilang rasa perih pada lubang duburnya, kini sebuah penis besar menghujam deras ke dalam lubang vaginanya tanpa pemanasan. Lubang surga itu masih dalam keadaan kering ketika Maman mulai menggenjotnya dengan ganas. Gina pun tidak bisa melawan lagi karena kini tenaganya sudah benar-benar habis. Yang kini ia bisa lakukan hanya pasrah menahan rasa sakit ketika batang penis milik Maman mengoyak-ngoyak vaginanya.

“Oooh… memek perek kayak Non ternyata masih keset banget ya! Nggak nyangka ooohh…!”, teriak Maman di tengah genjotannya.

“Aduh… sakit! Aaakkh…”.

Kepala Gina nampak menggeleng-geleng dan tubuhnya pun terus bergelinjang. Hari ini agaknya benar-benar adalah hari sial bagi Gina karena selain kekacauan yang dialaminya di sekolah, kini ia harus mengalami dua kali persetubuhan yang sama sekali tidak bisa ia nikmati. Kini sudah dua penis mengisi kedua lubang miliknya, namun tak satupun yang memberikannya kenikmatan. Yang ada hanya rasa sakit yang begitu menyiksa. Walaupun begitu paling tidak Gina bisa bersyukur laki-laki yang kini menyetubuhinya ini tidak lagi mengoyak lubang duburnya yang masih terasa sakit. Hari ini Gina lebih merasa sedang diperkosa ketimbang sedang disetubuhi. Sama sekali dalam hidupnya ia tidak pernah disetubuhi dengan cara sekasar ini.

“Ooooh… memek ABG memang legit! Ooohh… enak tenan!!”, Maman terus menggenjot vagina gadis cantik tersebut, malah kini dengan kecepatan yang terhitung cukup keterlaluan.

“Aaahh…. Aaahh…. oooh….”.

“Oooohh… oooh…. ooohh….”.

Desahan, lenguhan dan teriakan kembali memenuhi seluruh ruangan kamar. Bedanya, kalau teriakan Maman adalah teriakan penuh kenikmatan dan nafsu, sedangkan teriakan Gina adalah teriakan penuh siksaan dan keterpaksaan.

Beberapa menit sudah lubang vagina Gina tergenjot dengan ganas. Cairan cinta mulai terlihat membasahi lubang surga tersebut. Sungguh aneh! Berlahan rasa sakit dan perih yang semula dirasakan Gina kini mulai berganti menjadi rasa nikmat yang luar biasa. Cara Maman menyetubuhinya dengan kasar kini seakan-akan membawa sensasi luar biasa bagi Gina. Syaraf-syaraf otaknya benar-benar menikmati sensasi “perkosaan” ini. Mendadak tenaga yang semula habis kini muncul kembali untuk berteriak, bergelinjang dan bergoyang. Kini teriakan kedua insan berbeda dunia itu mulai terdengar seirama. Teriakan penuh kenikmatan dan gelora birahi.

“Ooohh… perek tetep aja perek! Sok jual mahal diawal tapi ujung-ujungnya konak juga hahaha…”, ucap Maman melihat perubahan ekspresi Gina.

“Ooooh… oooh….”.

“Enak kan kontol gue perek kecil? Hahaha…”.

Tanpa disadari oleh Maman maupun Gina, ternyata Om Herdi sudah keluar dari dalam kamar mandi dengan menggunakan kimono. Laki-laki paruh baya itu hanya tersenyum kecil melihat sopirnya tersebut menggenjoti Gina dengan penuh semangat.

“Gimana Man, mantap kan jepitannya? Hehehe…”.

“Iya Bos, mantep surantep banget! Maknyus pisan…”.

Dengan santainya Om Herdi kemudian beranjak menuju lemari pakaiannya dan mulai mengambil satu persatu pakaian yang akan dia kenakan. Laki-laki itu bertingkah seolah-olah di atas ranjang tidak terjadi apa-apa, padahal jelas-jelas suara teriakan Maman dan Gina terdengar begitu keras di seluruh penjuru kamar.

“Ayo Non… teriak yang keras, biar gue jadi makin semangat hehehe…”.

“Aaahhh… Pak….”.

“Kenapa perek? Nggak kuat? Nggak kuat nahan kontol gede gue? Hehehe…”, kata-kata Maman penuh dengan ejekan dan hujatan. Namun anehnya kata-kata itu membuat Gina semakin bergairah. Entah akal sehatnya sudah benar-benar hilang atau memang kini dirinya sudah menjelma menjadi seorang gadis yang haus seks.

“Ooooh… tidak… aaaaaakkkh….!!”.

Tubuh Gina melengkung naik. Mulutnya terbuka lebar dan terdengar teriakan panjang. Rupanya gadis cantik itu mencapai orgasme berkat permainan kasar dan ganas Maman. Sebuah orgasme yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Gina sendiri tidak tahu kenapa seorang laki-laki rendahan seperti Maman bisa memberikannya orgasme yang sedemikian dasyat.

“Wih… ngencret juga nih si Non hahaha…”.

Dengan segera Maman mempercepat genjotannya. Ia memang tadi sempat melirik ke arah bosnya yang terlihat sudah selesai mengenakan pakaiannya. Artinya waktunya sudah semakin menipis. Kembali dengan ganas Maman memompa vagina gadis cantik itu tanpa memperdulikan kalau Gina kini sudah kembali tergeletak pasrah.

“Oooohh… Oooohhh… Oooohh….!!”.

“Aaaaakkh….!!!”, akhirnya beberapa menit kemudian lenguhan panjang terdengar keluar dari mulut Maman. Jepitan lubang surga Gina membuat Maman terlena sehingga tak sempat menarik keluar batang penisnya.

“Crooot… croooot… croooot….!!”.

Semburan cairan putih pun menyembur deras ke dalam lubang vagina Gina. Setelah beberapa semburan barulah Maman bisa menarik batang penisnya sehingga sisa cairan putih itu mendarat deras di perut dan dada Gina. Setelah semprotan terakhir Maman mengoles-oleskan ujung penisnya di paha Gina guna membersihkan sisa sperma yang ada. Setelah itu dengan segera ia turun dari ranjang dan membiarkan Gina tergolek dengan tubuh belepotan penuh cairan sperma.

“Gimana? Puas lu?”.

“Puas banget bos hehehe…”.

“Udah sekarang buruan lu bersih-bersih!”.

Maman langsung menyambar satu persatu pakaiannya yang tergeletak di lantai dan berlari menuju kamar mandi. Om Herdi sendiri sudah nampak rapi dengan setelan jas necis. Berlahan ia mendekati Gina yang tergolek di ranjang. Dengan tenang Om Herdi menutupi tubuh bugil Gina dengan selimut. Menggunakan tangannya Om Herdi menyeka rambut yang menutupi wajah Gina. Terlihat kalau saat ini gadis cantik itu tertidur dengan lelapnya. Agaknya sang gadis terlalu lelah setelah melayani dua laki-laki dalam beberapa jam. Namun walaupun dalam keadaan berantakan dan kelelahan seperti ini, wajah gadis itu masih tetap memancarkan kecantikannya.

Laki-laki paruh baya itu kemudian mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam kopernya. Ia mengeluarkan beberapa ikat uang dari dalam amplop tersebut dan meletakkannya diatas meja. Lalu Om Herdi berjalan menuju kursi dimana teronggok seluruh pakaian Gina. Ia mengambil bra dan celana dalam gadis tersebut. Ia lalu menghirup aroma yang masih tertinggal di kedua potong pakaian dalam itu dan tersenyum kecil. Setelah puas, laki-laki itu kembali berjalan menuju ranjang dan memasukkan bra dan celana dalam tersebut ke dalam koper. Agaknya harapan Gina di awal tadi tidak akan tercapai, karena ia nampaknya harus kembali kehilangan pakaian dalamnya hari ini.

“Sudah bos?”, dengan tergopoh-gopoh Maman keluar dari kamar mandi. Ia nampak sudah mengenakan kembali pakaiannya yang di sana-sini terlihat sedikit agak lecek.

“Udah Man”.

Kemudian Maman berlari menuju pintu dan membuka kuncinya. Om Herdi sekilas menatap kembali wajah Gina. Senyuman kecil kembali tersungging di bibirnya melihat pancaran kepolosan di wajah sang bidadari kecil. Tak lama kedua laki-laki beruntung itu pun menghilang dari balik pintu, meninggalkan Gina yang terlelap dalam tidurnya. Sebuah tidur yang tenang dan nyenyak.

.

Bersambung…



« Back | Next »

Download film langsung dari hape !
+ KISAH PANAS +
[01] | [02] | [03] | [04] | [05] | [06] | [07] | [08] | [09] | [10] | [11] | [12] | [13] | [14] | [15] | [16] | [17] | [18] | [19] | [20]
Home Home
Guestbook Guestbook

U-ON
390
INDOHIT.SEXTGEM.COM